Karakterisasi Yurisprudensi No : 693 K/Pid/1986
Kaidah 1 : Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur ‘kekerasan’ dalam Pasal 365 (1) KUHP adalah kekerasan yang merupakan sarana (middel) untuk memungkinkan sesuatu yang dikehendaki (dalam hal ini melakukan pencurian), jadi satu tahap sebelum in casu Pasal 363 (1) ke 4 KUHP;
Kaidah 2 : Mahkamah Agung berpendapat bila yang didakwakan adalah pencurian dengan pemberatan (gequalificeerde diefstal), dengan sendirinya pencurian-pencurian yang lebih ringan termasuk dalam dakwaan in casu Pasal 363 (1) ke 4 KUHP.
- Amar putusan PT yang memperbaiki putusan PN dalam kualifikasi perbuatan yang terbukti dipersalahkan pada terdakwa harus diperbaiki
- Bahwa benar kekerasan dalam perkara ini terbukti, tetapi kekerasan itu merupakan cara melakukan pencurian. Sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan dalam Pasal 365 (1) KUHP adalah merupakan sarana (middel) untuk memungkinkan sesuatu yang dikehendaki, jadi satu tahap sebelum in casu pencurian yang diniatkan untuk dilakukan.
- Bahwa benar yang didakwakan adalah pencurian dengan pemberatan (gequalificeerde diefstal), dengan sendirinya pencurian-pencurian yang lebih ringan termasuk juga dalam dakwaan in casu Pasal 363 (1) ke 4 KUHP.
PASAL YANG LEBIH RINGAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN, DENGAN SENDIRINYA
TERMASUK KE DALAM DAKWAAN DENGAN PASAL YANG LEBIH BERAT
(DELIK DENGAN PEMBERATAN)
Perkara dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986 menyelesaikan sengketa terkait tindak pidana pencurian dalam kasus pencurian kalung yang dilakukan dua orang bersama-sama. Dalam dakwaannya di Pengadilan Negeri, pelaku didakwa atas Pasal 365 Ayat (1) dan Ayat (2) dan subsidier 362 jo 55 (seharusnya 363 ayat 1 ke 4 jo 55). Mahkamah Agung memberikan pertimbangan terkait dakwaan pasal 365 Ayat (1) dan Ayat (2) tersebut, yang pada dasarnya menyatakan bahwa kekerasan dimaksud dalam Pasal 365 Ayat (1) harus merupakan sarana sebelum pencurian dilakukan. Selain itu, Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa apabila pelaku didakwa dan terbukti melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Pasal 365 Ayat 1 dan Ayat 2), artinya, delik pencurian dalam arti lain yang lebih ringan (Pasal 363 Ayat 1 ke 4) sudah termasuk di dalamnya (meski tidak didakwakan). Sehingga Mahkamah Agung memperbaiki penerapan hukumnya dengan menjatuhkan terdakwa bersalah melanggar Pasal 363 ayat 1 ke 4 yaitu melakukan pencurian dengan bersekutu yang lebih ringan dari dakwaan Pasal 365 Ayat (1). Namun meski Mahkamah Agung membuat kaidah yurisprudensi bahwa hakim dapat memutuskan dakwaan yang lebih ringan yang tidak didakwakan kepada pelaku, namun Mahkamah Agung tidak memberikan penjelasan, bilamana pelaku akhirnya dapat diputus dengan dakwaan yang lebih ringan, manakala dakwaan yang diajukan oleh Jaksa (yang lebih berat) ternyata juga terbukti di persidangan. Mahkamah Agung juga tidak memberikan batasan, kapan seorang hakim dapat menjatuhkan pidana berdasarkan pasal sejenis/serumpun yang lebih ringan, manakala seorang pelaku hanya didakwa dengan dakwaan tunggal oleh Jaksa dengan pasal sejenis/serumpun yang lebih berat. Putusan yang menjadikan Putusan MARI Nomor Nomor: 693 K/Pid/1986 tersebut sebagai yurisprudensi antara lain adalah putusan Nomor 404/Pid.B/2013/PN.Jr. Putusan ini mengambil kaidah hukum dengan menyimpulkan bahwa terdakwa dapat dijatuhi hukuman yang lebih ringan (yang tidak didakwakan) karena dianggap dakwaan yang lebih ringan tersebut sudah ada di dalam dakwaan terhadap delik dengan pemberatan. Kaidah hukum ini kemudian diterapkan pada putusan Nomer 404/Pid.B/2013/PN.Jr yang memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika dengan dakwaan Pasal 112 Ayat (1) jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan menyatakan bahwa dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 693 K/ Pid/1986, terdapat kaidah hukum bahwa terdakwa dapat dijatuhi pidana pencurian yang lebih ringan walaupun yang didakwakan pada terdakwa pencurian dengan pemberatan (halaman 24 Putusan). Namun dalam putusan Nomer 404/Pid.B/2013/PN.Jr dengan perkara penyalahgunaan narkotika ini sebetulnya tidak ada keraguan pertimbangan hakim untuk memilih akan memutus dengan menggunakan pasal dengan pemberatan atau pasal yang lebih ringan, sehingga penggunaan kaidah yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung RI Nomor 693 K/ Pid/1986 pada putusan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 693 K/ Pid/1986 dirasa tidak tepat atau tidak relevan. Sebaliknya dalam putusan Nomer 882/Pid.Sus/2015/PN Jkt.Utr dengan perkara pelanggaran hak cipta dengan dakwaan Pasal 72 Ayat 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 693 K/ Pid/1986 tersebut dijadikan referensi tapi dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario. Putusan tersebut menyatakan (dalam halaman 95-96) bahwa dalam putusan No. 693 K/Pid/1986 tanggal 12 Juli 1986 Terdakwa dapat dijatuhi pidana dengan tindak pidana yang sejenis yang sifatnya lebih ringan (misalnya didakwa dengan dakwaan tunggal melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP, tetapi yang terbukti adalah Pasal 360 ayat (2) KUHP), maka Terdakwa dapat dijatuhi pidana sesuai Pasal 360 ayat (2) KUHP walaupun pasal ini tidak didakwakan. Sedangkan dalam putusan Nomer 882/Pid.Sus/2015/PN Jkt.Utr dengan perkara pelanggaran hak cipta tersebut dengan memperbandingkan Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 72 ayat (2) dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Majelis Hakim berpendapat Pasal 72 dan Pasal 24 tidak satu rumpun atau tidak sejenis, sehingga kaidah jurisprudensi yang dibuat oleh Mahkamah Agung dalam putusan No. 693 K/Pid/1986 tidak dapat diterapkan di dalam perkara a quo. Sehingga terlihat bahwa putusan Nomer 882/Pid.Sus/2015/PN Jkt.Utr meskipun menjadikan putusan No. 693 K/Pid/1986 sebagai acuan (yurisprudensi) dengan mengambil kaidah hukum yang ada, namun tidak mengambil dan menerapkan kaidah hukum tersebut karena situasi kasus yang berbeda dengan kaidah hukum tersebut. Dengan demikian kaidah juriprudensi bahwa Hakim dapat memutus suatu perkara dengan dakwaan yang lebih ringan dari dakwaan yang diajukan Jaksa, karena dianggap dakwaan yang lebih ringan tersebut sudah pasti ada dalam kategori dakwaan dengan pemberatan yang diajukan Jaksa tersebut, harusnya dapat dikembangkan dan diuraikan lebih lanjut dengan memberikan batasan sejauh mana Hakim dapat memutus dengan dakwaan yang lebih ringan dari dakwaan Jaksa, apakah kategori sejenis dan serumpun atau ada batasan lain. Selain itu yang perlu diperjelas oleh Hakim adalah pertimbangan Hakim untuk memutus seorang terdakwa dengan aturan yang lebih ringan, manakala aturan yang lebih berat yang didakwakan oleh Jaksa terbukti di depan sidang pengadilan.