Karakterisasi Yurisprudensi No : 41K/TUN/1994

  • Post : 2025-01-25 22:32:37
  • Download (266)
Kaidah Yurisprudensi : 41K/TUN/1994
"Mahkamah Agung berpendapat bahwa tenggang waktu pengajuan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju langsung dari Surat Keputusan Tata Usaha Negara, tenggang waktu tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dihitung secara kasuistis sejak pihak ketiga merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan sudah mengetahui adanya keputusan Tata Usaha Negara tersebut."
Pertimbangan Hukum
Amar putusan PT TUN yang membatalkan putusan PTUN dalam hal pencabutan KTUN yang
diterbitkan oleh Tergugat harus dibatalkan.

Bahwa, benar permohonan gugatan yang diajukan melebihi batas waktu yang ditentukan
berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 yang dihitung secara kasuistis sejak
pihak ketiga merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN dan sudah mengetahui adanya
keputusan tersebut, maka gugatan akan ditolak.

Anotasi Oleh : Sholahuddin Al-Fatih

TENGGANG WAKTU PENGAJUAN GUGATAN BAGI PIHAK KETIGA YANG TIDAK DITUJU LANGSUNG DARI SURAT KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DIHITUNG SECARA

Perkara dalam putusan nomor 41 K/TUN/1994 menyelesaiakan sengketa terkait gugatan pihak ketiga yang tidak dituju langsung dan merasa dirugikan akibat sebuah Keputusan Tata Usaha Negara. Penggugat a/n H. Tjokropranolo, Direktur Utama PT.Gatria Tugu Prima, yang dalam putusan kasasi tersebut disebut sebagai Termohon Kasasi, memiliki legal standing yang diragukan keabsahannya (error in persona) karena tidak berhubungan atau tidak ada hubungan dengan Sutianto Sumali/Lucia Larasati Adidjoyo selaku pemilik akta tanah yang dijadikan obyek perkara. Selain itu pula, penggugat yang diwakili oleh kuasa hukumnya telah melewati batas daluwarsa untuk mengajukan gugatan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa gugatan hanya bisa diajukan dalam tenggang waktu 90 hari sejak KTUN dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN. Kaidah hukum yang menyebutkan tentang daluwarsa menjadi kaidah hukum utama dalam putusan tersebut. Bahwa tenggang waktu pengajuan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju langsung dari Surat Keputusan Tata Usaha Negara, tenggang waktu tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dihitung secara kasuistis sejak pihak ketiga merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan sudah mengetahui adanya keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Ketentuan tenggang waktu sebagaimana disebutkan dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 juga telah bersifat konstitusional, final dan mengikat berdasarkan pada Putusan MK Nomor 1/PUU-V/2007.
Anotasi Oleh : Fitria Esfandiari

PEMBATASAN JANGKA WAKTU PENGAJUAN GUGATAN KE PTUN HARUS
DIHITUNG SEJAK DIKETAHUINYA PUTUSAN YANG MERUGIKAN DIRINYA

OLEH PIHAK KETIGA

Putusan Mahkamah Agung Nomor 41 K/TUN/1994 menyelesaikan sengketa terkait permohonan perubahan wajib pajak atas nama Sutianto Sumali/Lucia Larasati Adidjoyo dalam hal ini berkedudukan sebagai Pihak Termohon Kasasi yang dahulunya merupakan Penggugat/Pembanding. Perkara ini melibatkan Camat Penjaringan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Utara sebagai Pihak Pemohon Kasasi I dan II dahulu Tergugat I dan II/Terbanding. Dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta meliputi beberapa hal yaitu:
1). Menyatakan batal dan tidak sah Surat Camat Penjaringan (Tergugat I) dalam hal ini ditanda tangani oleh Wakilnya Drs. D.A. Djufri Sinaro tanggal 22 Januari 1991 Nomor 48/1.711.1;
2). Menyatakan batal dan tidak sah Surat Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (Tergugat II) tanggal 15 Februari 1991 Nomor S-184/WPJ.06/KB.0306/1991;
3). Memerintahkan Tergugat I mencabut kembali suratnya Nomor 48/1.711.1 tanggal 22 Januari 1991 dengan cara membuat dan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Utara untuk mengembalikan pencatatan objek dan subjek pajak sekaligus sekaligus menyatakan berlaku lagi girik-girik (daftar keterangan obyek pajak untuk ketetapan PBB) atas nama Sutianto Sumali dan Lucia Larasati Adidjoyo;
4). Menggugat para Tergugat untuk membayar ongkos perkara menurut hukum.
Seluruh gugatan ini ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, sedangkan di tingkat banding dikabulkan sebagian. Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara tersebut mempertimbangkan terlebih dahulu terkait hal-hal di antaranya yaitu terkait kontra memori kasasi yang diajukan Tergugat I/Terbanding yang sebelumnya disebutkan tidak ada adalah tidak tepat. Selanjutnya bahwa pertimbangan Majelis Hakim Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang menyatakan bahwa Pasal 1338 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian mengikat para pihak sebagai Undang-Undang artinya apa yang sudah diperjanjikan hanya dapat dibatalkan atas persetujuan para pihak, atau dengan ata lain kalau ada pembatalan atas suatu perjanjian maka kedua belah pihak dalam perjanjian itu harus sudah sepakat. Jika melihat dalam kasus diatas maka tidak pernah terjadi perjanjian jual beli,sehingga tidak perlu ada kesepakatan untuk membatalkan jual belinya. Lebih lanjut Mahkamah menilai terdapat beberapa kejanggalan-kejanggalan dalam akta jual beli PPAT Camat Cengkareng, ahli waris yang disebutkan dalam akta bukan merupakan ahli waris yang sah karena tidak teridentifikasi sebagai ahli waris. Kejanggalan lain yaitu tidak tercatat dalam register Kantor Kecamatan Cengkareng, maka mantan Camat Cengkareng dan mantan Lurah Kapuk mengeluarkan surat pernyataan tentang jual beli cacat dan batal demi hukum.

Selain hal diatas dapat dicermati pula dalam pertimbangan hukum hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta terkait 1338 BW dalam perkara a quo telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dikarenakan ketentuan dalam pasal ini memang mengatur mengenai berlakunya semua persetujuan sebagai suatu Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Namun tidak dapat dilupakan bahwa semua persetujuan tersebut dibuat secara sah. Persetujuan yang sah sebagaimana dimaksud adalah sesuai pasal 1320 BW yaitu memenuhi syarat, Pertama, sepakat mengikatkan diri, kedua, Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, dan ketiga, suatu hal tertentu. Dalam hal tenggang waktu tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 dihitung secara kasuistis sejak pihak ketiga merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan sudah mengetahui adanya keputusan tersebut yaitu sesudah kedua orang itu menerima Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang kini jadi sengketa, maka harus diartikan bahwa Penggugat juga telah menerima Surat Keputusan Tata Usaha Negara tersebut pada saat yang bersamaan. Berbagai pertimbangan Mahkamah diatas pada akhirnya mengabulkan permohonan dari Pemohon Kasasi I Camat Penjaringan dan Pemohon Kasasi II Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Utara.

Selanjutnya membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tata Usaha Negara Jakarta tanggal 15 Februari 1994 No. 84/B/1993/PT.TUN-JKT. Terbitnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana diubah pertama kali dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), menjadi salah satu upaya perwujudan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat terhadap terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara. Pihak yang merasa dirugikan kepentingannya tersebut menurut aturan dasarnya apabila tidak tersedia suatu upaya administratif atau jika telah melakukan upaya tersebut namun hasilnya tidak memuaskan dapat mengajukan gugatan ke PTUN dalam jangka waktu 90 (Sembilan puluh) hari sebagaimana telah diatur dalam Pasal 55 dari UU PTUN. Jika lewat waktu yang ditentukan maka KTUN sudah tidak dapat lagi digugat walapun terdapat cacat yang fatal. Persoalan jangka waktu pengajuan ini adalah upaya untuk memberikan kepastian hukum suatu KTUN agar tidak berada dalam keadaaan yang tidak pasti.[1]

Dalam perkembangan hukum ketatanegaraan di Indonesia, Mahkamah Konstitusi hadir sebagai salah satu lembaga kehakiman yang independen. Melalui empat putusannya, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-V/2007 tanggal 12 Maret 2007 (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-V/2007); Putusan Mahkamah Konstitusi No. 57/PUU-XIII/2015 tanggal 16 November 2015 (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 57/PUU-XIII/2015); Putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XIII/2015 tanggal 15 Juni 2016 (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUUXIII/2015) serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XVI/2018 tanggal 22 November 2018 (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XVI/2018). Seluruh putusan MK ini memperkuat kedudukan Pasal 55 UU PTUN sebagai pasal yang konstitusional dan telah sesuai dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Dalam pandangan MK, stabilitas pemerintahan lebih penting dibandingkan dengan kepentingan pribadi individu. Selanjutnya, hukum acara yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan formil termasuk jangka waktu pengajuan gugatan ke PTUN haruslah dilihat dalam konteks untuk mewujudkan keadilan. Hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bertujuan menegakkan hukum dan keadilan. Pada akhirnya persoalan jangka waktu gugatan selama 90 (Sembilan puluh) hari ini oleh MA diterbitkanlah SEMA No. 1/2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Sehingga tujuan utama hukum acara PTUN adalah kebenaran materiil.
  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • H. Tommy Boestomi, S.H - Ketua
  • J. Djohansjah, S.H - Anggota
  • H. Zakir, S.H - Anggota

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 1992-04-22  
  • H. Tjokropranolo selaku Direktur Utama PT. Gatria Tugu Prima
    menghadiri undangan Walikota Jakarta Utara, tertanggal 16 April
    1992 Nomor 2537/1.711 dengan acara penelitian dan penyelesaian
    sengketa tanah di Kapuk Muara antara PT. Gatria Tugu Prima dengan
    Hadi Pratikno/BPL Pluit.
    Masalah sengketa tanah tersebut terjadi karena adanya surat Camat
    Penjaringan Nomor 48/1.711.1 pada tanggal 22 Januari 1991.
    Sementara itu gugatan baru diajukan pada tanggal 16 Juli 1992.
    H. Tjokropranolo juga disebut tidak memiliki legal standing (error in
    persona) sebagai penggugat karena pemilik tanah yang
    disengeketakan bernama Sutianto Sumali dan Lucia Larasati
    Adidjoyo
  •    Tanggal : 1993-04-20  
  • Putusan PTUN Jakarta Nomor 136/G/1992/Tn/PTUN-JKT antara lain: Menolak gugatan Penggugat dan menetapkan biaya perkara
    dibebankan kepada Penggugat
  •    Tanggal : 1994-02-15  
  • Putusan PT TUN Jakarta Nomor 84/B/1993/PT.TUN-JKT antara lain: Menerima permohonan banding dari Penggugat/Pembanding dan membatalkan Putusan PTUN Jakarta Nomor 136/G/1992/Tn/PTUN- JKT
  •    Tanggal : 1994-10-18  
  • Putusan MA Nomor 41K/TUN/1994 antara lain: Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II serta membatalkan Putusan PT TUN Jakarta Nomor 84/B/1993/PT.TUN-JKT

Frasa Terkait Karakterisasi

Author Info