Karakterisasi Yurisprudensi No : 592 K/PID/1984
Terdakwa dibebaskan dari dakwaan karena unsur melawan hukum tidak terbukti.Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi Putusan bebas dijatuhkan kepada Terdakwa apabila unsur dakwaan tidak terpenuhi.
Usulan Perbaikan Kaidah YurisprudensiPutusan bebas dijatuhkan kepada Terdakwa apabila unsur dakwaan tidak terpenuhi.
Usulan Perbaikan Kaidah YurisprudensiPutusan bebas dijatuhkan kepada Terdakwa apabila unsur dakwaan tidak terpenuhi.
- Bahwa menurut risalah lelang tanggal 10 Januari 1981 No.10, diterangkan antara lain, bahwa terhadap tanah tersebut belum pernah diukur secara pasti akan batas-batasnya, sehingga masih kabur juga, apakah pohon-pohon karet yang dideres Terdakwa tersebut masuk kebun yang dilelang atau bukan;
- Bahwa karena pada waktu Terdakwa menderes karet tersebut dengan pengertiannya bahwa pohon-pohon karet tersebut masuk dalam kebunnya, maka unsur “dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum” tidak ada, oleh karena pada waktu menderes pohon karet tersebut terdakwa beranggapan bahwa pohon-pohon karet tersebut adalah miliknya;
- Bahwa dengan demikian unsur dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum tidak terbukti, maka perbuatan pencurian yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti, oleh karena mana terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan.
PERMERIKSAAN FAKTA HUKUM YANG TIDAK CERMAT DAN SEKSAMA MENIMBULKAN AKIBAT UNSUR MELAWAN HUKUM TIDAK DAPAT DIBUKTIKAN
Perkara dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 592 K/Pid.B/1984 menyelesaikan sengketa terkait tindak pidana pencurian dan perbuatan tidak menyenangkan dalam kasus yang dilakukan terdakwa. Dalam dakwaannya di Pengadilan Negeri, pelaku didakwa atas dakwaan I Pasal 362 jo. 64, 65 KUHP dan dakwaan II Pasal 335 (1) KUHP. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan terkait dakwaan I Pasal 362 jo 64, 65 KUHP tersebut yang pada dasarnya menyatakan bahwa unsur “barang yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain” dalam Pasal 362 KUHP merupakan unsur yang wajib dibuktikan terlebih dahulu untuk dapat menentukan terbukti tidaknya unsur melawan hukum. Unsur ini mensyaratkan adanya kejelasan bahwa maksud memiliki tersebut diarahkan terhadap barang milik orang lain yang dilakukan secara melawan hukum. Unsur “barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain” harus benar-benar dapat dibuktikan sehingga unsur “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum” dapat dibuktikan kemudian. Mahkamah Agung dalam perkara ini menyatakan bahwa judex factie telah salah menerapkan hukum dan menolak pembuktian sifat melawan hukum dikarenakan unsur “barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan milik orang lain” tidak dapat dibuktikan dengan tegas. Mahkamah Agung dalam hal ini berhati-hati dalam memutus dan berpendapat bahwa judex factie tidak seksama dan cermat (onvoldoende gemotiveerd) dalam memeriksa dan mempertimbangkan pembuktian terhadap “barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”.
Kaidah hukum ini juga diterapkan pada Putusan 110/Pid.B/2020/PN.Sru di mana Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam penjatuhan pidana kepada seseorang Hakim harus juga mengacu pada Pasal 183 KUHAP yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Oleh karenanya Mahkamah Agung dalam menjatuhkan Putusan Perkara Nomor 592 K/Pid.B/1984 tampak adanya keraguan dan menerapkan asas in dubio pro reo ,yaitu asas yang menyatakan bahwa jika timbul keraguan Hakim harus memutus yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Unsur “secara melawan hukum” dalam arti sempit dimaknai seabgai perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif seseorang atau bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut undang-undang. Dalam perkara Nomor 592 K/Pid.B/1984 Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur “barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain” tidak bisa dibuktikan sehingga dalam hal ini perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak dapat dibuktikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif seseorang dan oleh karenanya unsur “secara melawan hukum” menjadi gugur. Dengan demikian, dakwaan II ,yaitu bahwa terdakwa melakukan perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 335 (1) KUHP yang menyatakan “barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan barang sesuatu apa dengan kekerasan, dengan sesuatu perbuatan lain ataupun dengan perbuatan yang tidak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan sesuatu perbuatan lain, maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.
Unsur melawan hukum pada pasal ini juga menjadi tidak terbukti karena sifat melawan hukumnya hilang. Pasal 335 (1) KUHP mensyaratkan ancaman kekerasan tersebut haruslah dilakukan dengan melawan hukum sehingga apabila unsur melawan hukum tersebut hilang, maka Mahkamah Agung berpendapat tidak terbuktilah unsur dalam pasal ini. Pengadilan pada hakikatnya adalah lembaga yang berupaya memberikan keadilan terhadap kasus yang diperiksanya. Pertimbangan yang cermat dengan demikian menjadi amat penting karena putusan dalam tingkat manapun akan memberikan dampak terhadap nasib para pihak. Rangkaian proses pembuktian dalam hukum acara pidana melewati proses yang disebut dengan fractured decision menurut Wroblewski, dan pada tahap inilah putusan akhir mendapatkan fondasinya. Hakim memiliki kewenangan untuk memilih dan memilah mana bukti yang relevan atau tidak, begitu pula mana bukti yang kebenarannya harus dipastikan dulu sebelum dipertimbangkan sebagai bukti. Dalam hal bukti yang diajukan pihak adalah surat/dokumen sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 184 KUHAP, maka pengadilan haruslah dengan cermat memperhatikan apakah dokumen tersebut benar keasliannya, begitupun dengan apakah isinya memiliki relevansi dengan kasus yang diperiksa.
PERMERIKSAAN FAKTA HUKUM YANG TIDAK CERMAT DAN SEKSAMA MENIMBULKAN AKIBAT UNSUR MELAWAN HUKUM TIDAK DAPAT DIBUKTIKAN
Perkara
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 592 K/Pid.B/1984 menyelesaikan
sengketa terkait tindak pidana pencurian dan perbuatan tidak
menyenangkan dalam kasus yang dilakukan terdakwa. Dalam dakwaannya di
Pengadilan Negeri, pelaku didakwa atas dakwaan I Pasal 362 jo. 64, 65
KUHP dan dakwaan II Pasal 335 (1) KUHP. Mahkamah Agung memberikan
pertimbangan terkait dakwaan I Pasal 362 jo 64, 65 KUHP tersebut yang
pada dasarnya menyatakan bahwa unsur “barang yang seluruh atau sebagian
kepunyaan orang lain” dalam Pasal 362 KUHP merupakan unsur yang wajib
dibuktikan terlebih dahulu untuk dapat menentukan terbukti tidaknya
unsur melawan hukum. Unsur ini mensyaratkan adanya kejelasan bahwa
maksud memiliki tersebut diarahkan terhadap barang milik orang lain yang
dilakukan secara melawan hukum. Unsur “barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain” harus benar-benar dapat dibuktikan
sehingga unsur “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum” dapat
dibuktikan kemudian. Mahkamah Agung dalam perkara ini menyatakan bahwa
judex factie telah salah menerapkan hukum dan menolak pembuktian sifat
melawan hukum dikarenakan unsur “barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan milik orang lain” tidak dapat dibuktikan dengan
tegas. Mahkamah Agung dalam hal ini berhati-hati dalam memutus dan
berpendapat bahwa judex factie tidak seksama dan cermat (onvoldoende
gemotiveerd) dalam memeriksa dan mempertimbangkan pembuktian terhadap “barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”.
Kaidah
hukum ini juga diterapkan pada Putusan 110/Pid.B/2020/PN.Sru di mana
Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam penjatuhan pidana kepada seseorang
Hakim harus juga mengacu pada Pasal 183 KUHAP yang mensyaratkan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Oleh karenanya Mahkamah
Agung dalam menjatuhkan Putusan Perkara Nomor 592 K/Pid.B/1984 tampak
adanya keraguan dan menerapkan asas in dubio pro reo ,yaitu asas yang
menyatakan bahwa jika timbul keraguan Hakim harus memutus yang paling
menguntungkan bagi terdakwa. Unsur “secara melawan hukum” dalam arti
sempit dimaknai seabgai perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif
seseorang atau bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut
undang-undang. Dalam perkara Nomor 592 K/Pid.B/1984 Mahkamah Agung
berpendapat bahwa unsur “barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain” tidak bisa dibuktikan sehingga dalam hal ini
perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak dapat dibuktikan sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif seseorang dan oleh
karenanya unsur “secara melawan hukum” menjadi gugur. Dengan demikian,
dakwaan II ,yaitu bahwa terdakwa melakukan perbuatan tidak menyenangkan
sebagaimana diatur dalam Pasal 335 (1) KUHP yang menyatakan “barang
siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan barang sesuatu apa dengan kekerasan, dengan
sesuatu perbuatan lain ataupun dengan perbuatan yang tidak menyenangkan
atau dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan sesuatu perbuatan lain,
maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri
maupun orang lain”.
Unsur
melawan hukum pada pasal ini juga menjadi tidak terbukti karena sifat
melawan hukumnya hilang. Pasal 335 (1) KUHP mensyaratkan ancaman
kekerasan tersebut haruslah dilakukan dengan melawan hukum sehingga
apabila unsur melawan hukum tersebut hilang, maka Mahkamah Agung
berpendapat tidak terbuktilah unsur dalam pasal ini. Pengadilan pada
hakikatnya adalah lembaga yang berupaya memberikan keadilan terhadap
kasus yang diperiksanya. Pertimbangan yang cermat dengan demikian
menjadi amat penting karena putusan dalam tingkat manapun akan
memberikan dampak terhadap nasib para pihak. Rangkaian proses pembuktian
dalam hukum acara pidana melewati proses yang disebut dengan fractured
decision menurut Wroblewski, dan pada tahap inilah putusan akhir
mendapatkan fondasinya. Hakim memiliki kewenangan untuk memilih dan
memilah mana bukti yang relevan atau tidak, begitu pula mana bukti yang
kebenarannya harus dipastikan dulu sebelum dipertimbangkan sebagai
bukti. Dalam hal bukti yang diajukan pihak adalah surat/dokumen
sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 184 KUHAP, maka pengadilan haruslah
dengan cermat memperhatikan apakah dokumen tersebut benar keasliannya,
begitupun dengan apakah isinya memiliki relevansi dengan kasus yang
diperiksa.
PERMERIKSAAN FAKTA HUKUM YANG TIDAK CERMAT DAN SEKSAMA MENIMBULKAN AKIBAT UNSUR MELAWAN HUKUM TIDAK DAPAT DIBUKTIKAN
Perkara
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 592 K/Pid.B/1984 menyelesaikan
sengketa terkait tindak pidana pencurian dan perbuatan tidak
menyenangkan dalam kasus yang dilakukan terdakwa. Dalam dakwaannya di
Pengadilan Negeri, pelaku didakwa atas dakwaan I Pasal 362 jo. 64, 65
KUHP dan dakwaan II Pasal 335 (1) KUHP. Mahkamah Agung memberikan
pertimbangan terkait dakwaan I Pasal 362 jo 64, 65 KUHP tersebut yang
pada dasarnya menyatakan bahwa unsur “barang yang seluruh atau sebagian
kepunyaan orang lain” dalam Pasal 362 KUHP merupakan unsur yang wajib
dibuktikan terlebih dahulu untuk dapat menentukan terbukti tidaknya
unsur melawan hukum. Unsur ini mensyaratkan adanya kejelasan bahwa
maksud memiliki tersebut diarahkan terhadap barang milik orang lain yang
dilakukan secara melawan hukum. Unsur “barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain” harus benar-benar dapat dibuktikan
sehingga unsur “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum” dapat
dibuktikan kemudian. Mahkamah Agung dalam perkara ini menyatakan bahwa
judex factie telah salah menerapkan hukum dan menolak pembuktian sifat
melawan hukum dikarenakan unsur “barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan milik orang lain” tidak dapat dibuktikan dengan
tegas. Mahkamah Agung dalam hal ini berhati-hati dalam memutus dan
berpendapat bahwa judex factie tidak seksama dan cermat (onvoldoende
gemotiveerd) dalam memeriksa dan mempertimbangkan pembuktian terhadap “barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”.
Kaidah
hukum ini juga diterapkan pada Putusan 110/Pid.B/2020/PN.Sru di mana
Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam penjatuhan pidana kepada seseorang
Hakim harus juga mengacu pada Pasal 183 KUHAP yang mensyaratkan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Oleh karenanya Mahkamah
Agung dalam menjatuhkan Putusan Perkara Nomor 592 K/Pid.B/1984 tampak
adanya keraguan dan menerapkan asas in dubio pro reo ,yaitu asas yang
menyatakan bahwa jika timbul keraguan Hakim harus memutus yang paling
menguntungkan bagi terdakwa. Unsur “secara melawan hukum” dalam arti
sempit dimaknai seabgai perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif
seseorang atau bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut
undang-undang. Dalam perkara Nomor 592 K/Pid.B/1984 Mahkamah Agung
berpendapat bahwa unsur “barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain” tidak bisa dibuktikan sehingga dalam hal ini
perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak dapat dibuktikan sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif seseorang dan oleh
karenanya unsur “secara melawan hukum” menjadi gugur. Dengan demikian,
dakwaan II ,yaitu bahwa terdakwa melakukan perbuatan tidak menyenangkan
sebagaimana diatur dalam Pasal 335 (1) KUHP yang menyatakan “barang
siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan barang sesuatu apa dengan kekerasan, dengan
sesuatu perbuatan lain ataupun dengan perbuatan yang tidak menyenangkan
atau dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan sesuatu perbuatan lain,
maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri
maupun orang lain”.
Unsur
melawan hukum pada pasal ini juga menjadi tidak terbukti karena sifat
melawan hukumnya hilang. Pasal 335 (1) KUHP mensyaratkan ancaman
kekerasan tersebut haruslah dilakukan dengan melawan hukum sehingga
apabila unsur melawan hukum tersebut hilang, maka Mahkamah Agung
berpendapat tidak terbuktilah unsur dalam pasal ini. Pengadilan pada
hakikatnya adalah lembaga yang berupaya memberikan keadilan terhadap
kasus yang diperiksanya. Pertimbangan yang cermat dengan demikian
menjadi amat penting karena putusan dalam tingkat manapun akan
memberikan dampak terhadap nasib para pihak. Rangkaian proses pembuktian
dalam hukum acara pidana melewati proses yang disebut dengan fractured
decision menurut Wroblewski, dan pada tahap inilah putusan akhir
mendapatkan fondasinya. Hakim memiliki kewenangan untuk memilih dan
memilah mana bukti yang relevan atau tidak, begitu pula mana bukti yang
kebenarannya harus dipastikan dulu sebelum dipertimbangkan sebagai
bukti. Dalam hal bukti yang diajukan pihak adalah surat/dokumen
sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 184 KUHAP, maka pengadilan haruslah
dengan cermat memperhatikan apakah dokumen tersebut benar keasliannya,
begitupun dengan apakah isinya memiliki relevansi dengan kasus yang
diperiksa.
Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah unsur melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam bahasa Belanda melawan hukum itu adalah wederrechtelijk (weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Dalam menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Selain itu, sifat dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik, yaitu dalam rumusan delik culpa. Pemenuhan unsur melawan hukum dari suatu perbuatan akan menentukan seseorang dinyatakan telah melakukan perbuatan pidana atau tidak. Yurisprudensi Putusan Regno. 592 K/Pid.B/1984 sering kali digunakan sebagai rujukan dan dalil untuk membebaskan terdakwa, oleh sebab itu perlu dikaji kapan dan dalam perkara apa Yurisprudensi ini dapat diterapkan. Pembahasan mengenai unsur melawan hukum merupakan kajian penting dalam hukum pidana. Lamintang dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia” menyatakan bahwa kata “melawan hukum” (wederrechtelijk) terdapat pada rumusan beberapa delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), untuk menggambarkan sifat tidak sah dari suatu tindakan atau suatu maksud tertentu. Ketiadaan unsur melawan hukum akan berimplikasi pada putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada terdakwa.
Eddy O.S Hiariej dalam bukunya yang berjudul “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi” menyatakan bahwa dalam Memorie van Toelichting atau sejarah pembentukan KUHP di Belanda tidak ditemukan apakah yang dimaksud dengan kata “hukum” dalam frase “melawan hukum”. Jika merujuk pada postulat contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui, salvis verbis legis, sententiam ejus circumuenit, maka dapat diartikan bahwa seseorang dinyatakan melawan hukum ketika perbuatan yang dilakukan adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum. Kajian mengenai Yurisprudensi dalam Putusan Regno. 592 K/Pid.B/1984 pernah ditulis oleh Aditya Wiro dalam penelitian yang berjudul “Penerapan Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum Pidana Indonesia.” Dalam penelitian tersebut, dirujuk Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret 1985 No. 592 K/Pid.B/1984, dalam Perkara Menderes Pohon Rambun di mana Mahkamah Agung justru mempersoalkan atau lebih tepatnya menunggu terlebih dahulu putusan hakim perdata tentang status tanah yang disengketakan yang menjadi unsur “barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”, dalam Pasal 362 KUHP. Mahkamah Agung sangat berhati-hati untuk membuktikan adanya unsur “dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum” dalam kasus ini. Menurut pendapat penulis, dalam kasus ini dua unsur yang disebut di atas, yaitu unsur melawan hukum dan barang tidak terbukti. Tidak terbuktinya unsur melawan hukum yang menjadi alasan Mahkamah Agung sesungguhnya adalah unsur yang terobjektifkan oleh kedua unsur tadi.
Meninjau Eksistensi Yurisprudensi tentang Unsur Melawan Hukum dalam Putusan No.592 K/PID/1984
Dalam putusan No. 592 K/PID/1984 dengan terdakwa atas nama Ahmad Lanun Marpaung, Mahkamah Agung (selanjutnya ditulis MA) menyatakan bahwa unsur melawan hukum tidak terpenuhi, sehingga MA memutuskan untuk membebaskan terdakwa. Dalam kasus ini, Terdakwa didakwa dengan dakwaan kumulatif, yaitu Pasal 362 Juncto 64 dan 65 KUHP dan Pasal 335 ayat (1) KUHP. Pada dakwaan pertama MA berpendapat:
“…bahwa terhadap tanah tersebut belum pernah diukur secara pasti akan batas-batasnya, sehingga masih kabur juga, apakah pohon-pohon karet yang dideres terdakwa tersebut masuk kebun yang dilelang apa bukan;
Menimbang, bahwa karena pada waktu terdakwa menderes karet tersebut dengan pengertian bahwa pohon-pohon karet tersebut masuk dalam kebunnya, maka unsur “dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum” tidak ada oleh karena pada waktu menderes pohon-pohon karet tersebut terdakwa beranggapan bahwa pohon-pohon karet tersebut adalah miliknya.”
Selanjutnya pada dakwaan kedua MA berpendapat:
“Menimbang, bahwa dalam kasus ini, pada waktu terdakwa menyuruh pergi saksi-saksi Subandi
dan Bani dengan ancaman oleh karena terdakwa merasa bahwa ia berada di kebunnya sendiri, menderes karetnya, dengan demikian unsur melawan hukum tidak terbukti, oleh karena mana terdakwa harus dibebaskan pula dari dakwaan ke II tersebut.”
Pendiskusian tentang unsur “melawan hukum” dalam kasus tersebut dan dalam kajian hukum pidana secara umum menjadi topik yang menarik. Dapat dikatakan bahwa ada tidaknya sifat melawan hukum dalam suatu perbuatan menjadi aspek yang perlu dibuktikan agar seseorang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Mengenai hal ini kemudian muncul perdebatan tentang maksud dari sifat melawan hukum yang dapat dibagi menjadi dua aliran, yaitu ajaran melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Ajaran melawan hukum materiil berpandangan bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum bukan hanya apabila memenuhi unsur delik dalam perundang-undangan pidana tetapi diartikan secara luas, yaitu bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sementara itu, ajaran melawan hukum formil beranggapan bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum jika sudah memenuhi unsur delik dalam suatu undang-undang. Meski demikian dua ajaran ini tetap berpandangan bahwa: (1) seseorang tidak dapat dipidana atas perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang; dan (2) melawan hukum harus dibuktikan apabila dinyatakan tegas dalam rumusan delik. Dalam kasus Ahmad Lanun Marpaung, “melawan hukum” merupakan unsur yang secara tegas tertulis pada dua pasal yang didakwakan. Dengan kata lain, unsur tersebut harus dibuktikan pula secara tegas dalam pertimbangan Hakim. Menurut MA, Hakim dalam putusan judex factie tidak mempertimbangkan secara seksama terkait unsur melawan hukum. Oleh karena itu, MA kemudian mempertimbangkan unsur tersebut sebagaimana dikutip di atas.
Di sini, yang perlu diperhatikan adalah pemaknaan MA terkait sifat melawan hukum dari terdakwa. MA fokus pada lahan yang belum pernah diukur secara pasti sebelumnya, sehingga batas-batas lahan tidak jelas. Dengan demikian, perbuatan Terdakwa yang mengira bahwa tempat dia memanen karet masih merupakan miliknya. MA pada dasarnya berfokus pada syarat formal berupa harus ada bukti pengukuran yang jelas terkait lahan yang menjadi tempat menderes, untuk menyatakan bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan yang melawan hukum. Apabila syarat tersebut tidak ada, unsur “melawan hukum” dari perbuatan terdakwa dianggap tidak terpenuhi.
Yurisprudensi ini kemudian dikutip dalam beberapa putusan pengadilan, walaupun tidak dipertimbangkan oleh Hakim dalam semua putusan. Misalnya dalam putusan 111/Pid/2021/PT MDN, yurisprudensi tersebut dikutip oleh pemohon banding, bukan dalam konteks pertimbangan hakim. Dalam putusan No.110/Pid.B/2020/PN.Sru, juga hanya dikutip dalam pembelaan terdakwa dan tidak ikut dipertimbangkan oleh Hakim. Hal yang sama juga ditemukan dalam putusan 1872/Pid/2020/PT MDN.
Apabila melihat tiga putusan tersebut, penafsiran dari pembelaan terdakwa melalaui penasihat hukumnya maupun argumentasi dalam pengajuan banding, justru mengarah pada masalah bentuk putusan, yaitu karena menganggap unsur tidak terpenuhi berarti terdakwa dibebaskan dari dakwaan. Penafsiran ini jelas sudah keluar dari konteks yurisprudensi itu sendiri terkait perbuatan terdakwa yang dinyatakan tidak memenuhi unsur melawan hukum. Sementara itu, dalam pencarian putusan lain yang dapat dikatakan mengikuti yurisprudensi putusan No. 592 K/PID/1984, justru penafsirannya sudah berbeda dengan yurisprudensi. Misalnya dalam putusan No.497/Pts.Pid.B/2008/PN.Spt, No.124/Pid.B/2015/PN.Tpg, dan putusan No.282/Pid.B/2016/PN.Tbt di mana Hakim mempertimbangkan yurisprudensi tersebut setelah membuktikan unsur-unsur yang didakwakan. Adapun bunyi pertimbangan dalam tiga putusan tersebut justru sama, yaitu:
“Menimbang, bahwa dari Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. Nomor 163 K/Kr/1977 tertanggal 11-Juni-1979, yang menyatakan: Karena unsur-unsur tindak pidana yang juga dinyatakan dalam surat tuduhan, tidaklah terbukti, Terdakwa seharusnya dibebaskan dari segala tuduhan dan tidak dilepaskan dari tuntutan hukum. Demikian pula halnya, dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. Nomor 592 K/Pid/1984, yang menyebutkan: Terdakwa dibebaskan dari dakwaan karena unsur melawan hukum tidak terbukti.”
Sama halnya dengan penafsiran dari penasihat hukum atau pemohon banding dalam tiga putusan sebelumnya, penafsiran Hakim dalam tiga putusan ini juga mengarah pada bentuk putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa karena terdapat unsur dakwaan yang tidak terpenuhi. Dalam hal ini, alih-alih memaknai yurisprudensi sesuai dengan konteks putusan awalnya, Hakim menafsirkan yurisprudensi dalam konteks penjatuhan putusan bebas atau lepas. Tampaknya, penafsiran seperti itu muncul karena penulisan kaidah hukum dalam yurisprudensi tersebut, yaitu “Terdakwa dibebaskan dari dakwaan karena unsur melawan hukum tidak terbukti,” sebagaimana dituliskan pada bagian atas yurisprudensi ini. Apabila dibaca sekilas, poinnya memang tentang bentuk putusan, yaitu bebas atau lepas. Ditambah lagi, dalam pertimbangan terkait yurisprudensi ini yang justru tidak sesuai dengan konteksnya, dibarengi dengan yurisprudensi lain terkait bentuk putusan antara bebas atau lepas.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, konteks yurisprudensi No. 592 K/PID/1984 adalah perbuatan terdakwa yang pada saat itu tetap menderes karet di atas tanah yang dianggap masih menjadi miliknya karena belum pernah dilakukan pengukuran sebelumnya sehingga batas-batasnya tidak jelas. Karena hal tersebut, MA kemudian berpendapat bahwa perbuatan terdakwa tidak melawan hukum, sehingga unsur tidak terbukti dan terdakwa seharusnya dibebaskan dari dakwaan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat para ahli, walaupun terdapat perdebatan tentang melawan hukum yang akhirnya menjadi dua ajaran, yaitu formil dan materil, mereka tetap sepakat bahwa apabila “melawan hukum” diatur secara tegas, unsur tersebut harus dibuktikan. Berdasarkan hal tersebut, penulisan kaidah hukum terkait yurisprudensi ini sebaiknya diperjelas sehingga penafsiran yang justru tidak sesuai dengan konteks yurisprudensi dapat diminimalisasi. Selain itu, Hakim juga sebaiknya lebih jeli dalam mengutip yurisprudensi khususnya dalam konteks lahirnya yurisprudensi tersebut. Hanya akan menjadi pengutipan yang sia-sia apabila suatu yurisprudensi dikutip tetapi tidak sesuai dengan konteks dari yurisprudensi tersebut.
