Karakterisasi Yurisprudensi No : 96 K/Mil/2020

  • Post : 2024-08-07 14:02:01
  • Download ()
Kaidah Yurisprudensi : 96 K/Mil/2020
Perbuatan melakukan hubungan sesama jenis (homoseksual) oleh Prajurit TNI-AD melanggar ketentuan dalam Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 dan diancam dengan ketentuan pidana penjara.

Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi
Meskipun pelanggaran terhadap Surat Telegram KASAD merupakan ranah hukum administrasi, Prajurit TNI-AD yang melanggarnya dikenakan hukum pidana penjara.
Pertimbangan Hukum
  • Bahwa perbuatan Terdakwa melakukan hubungan seksual sesama jenis dengan Saksi in casu, telah bertentangan dengan Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 tanggal 4 Agustus 2009 sebagai aturan atau norma yang melarang prajurit TNI-AD untuk melakukan perbuatan homoseksual. Surat Telegram KASAD tersebut merupakan aturan kedinasan yang harus dipatuhi Prajurit TNI-AD dan karenanya kepada prajurit yang melanggar aturan Surat Telegram KASAD tersebut, merupakan pelanggaran terhadap aturan kedinasan dalam institusi TNI-AD.
  • Bahwa dengan demikian, terang dan jelas perbuatan Terdakwa melakukan hubungan seksual dengan Saksi telah melanggar ketentuan Pasal 103 ayat (1) KUHPM.
  • Bahwa sebelum sampai pada penjatuhan pidana kepada Terdakwa tersebut, dipandang perlu untuk mempertimbangkan hakikat dari perbuatan Terdakwa in casu, yaitu bahwa perbuatan Terdakwa melakukan hubungan seksual sesama jenis dengan Saksi yang dilakukannya sebanyak 4 (empat) kali, merupakan perbuatan yang dapat menurunkan citra Korps Perwira, serta dapat berpengaruh pada Prajurit lain di kesatuan. Di samping itu, perbuatan in casu sangat tidak layak dilakukan Terdakwa sebagai seorang perwira karena bertentangan dengan norma/aturan kedinasan di kesatuan dan aturan agama serta norma kesusilaan di masyarakat. Oleh karenanya, Terdakwa dipandang tidak lagi layak dan pantas dipertahankan dalam dinas Prajurit TNI, oleh karena itu sesuai ketentuan Pasal 26 KUHPM, atas perbuatannya tersebut, kepada Terdakwa harus dijatuhkan pidana tambahan pemecatan di samping penjatuhan pidana penjaranya.

Anotasi Oleh : Sri Bayuningsih Praptadina
Perbuatan Melakukan Hubungan Sesama Jenis Oleh Prajurit TNI-AD Sebagai Bentuk Pelanggaran Perintah Dinas

Permohonan kasasi yang ditangani Mahkamah Agung dengan nomor register 96 K/Mil/2020 telah dijadikan rujukan oleh hakim dalam perkara lainnya di tahun-tahun mendatang. Putusan yang melibatkan Apollonius Bimoseno Rayca Wibowo sebagai terdakwa dalam kasus pelanggaran perintah dinas atau perbuatan melanggar kesusilaan (hubungan sesama jenis) dianggap telah meletakkan kaidah yurisprudensi mengenai penjatuhan pidana dan pemecatan dari dinas militer terhadap anggota TNI-AD karena melakukan dengan sengaja melanggar perintah dinas yakni melakukan perbuatan hubungan sesama jenis. Larangan hubungan sesama jenis oleh prajurit TNI-AD yang dimaksud diatur dalam Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 tanggal 4 Agustus 2009. 

Pertimbangan hukum yang demikian dirumuskan oleh majelis hakim setelah terlebih dahulu membatalkan putusan Pengadilan Militer I-02 sehubungan dengan kesalahan penerapan hukum terkait alasan ketidaktahuan terdakwa mengenai Surat Telegram KASAD tentang larangan perbuatan homoseksual serta surat tersebut bukanlah perintah dinas khusus yang ditujukan kepada Terdakwa secara perseorangan. Ketika memutuskan untuk mengadili sendiri perkara ini, hakim menyusun kaidah yurisprudensi di atas dengan mempertimbangkan sebagai berikut:
“Bahwa perbuatan terdakwa melakukan hubungan seksual sesama jenis dengan Saksi Indra Maulana in casu, telah bertentangan dengan Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 tanggal 4 Agustus 2009 sebagai aturan atau norma yang melarang prajurit TNI-AD untuk melakukan perbuatan homoseksual. Surat Telegram KASAD tersebut merupakan aturan kedinasan yang harus dipatuhi Prajurit TNI-AD dan karenanya kepada prajurit yang melanggar aturan Surat Telegram KASAD tersebut, merupakan pelanggaran terhadap aturan kedinasan dalam institusi TNI-AD. Bahwa dengan demikian, terang dan jelas perbuatan Terdakwa melakukan hubungan seksual dengan Saksi Indra Maulana telah melanggar ketentuan Pasal 103 ayat (1) KUHPM.”

Adapun ketentuan Pasal 103 ayat (1) KUHPM menyatakan bahwa militer yang menolak atau dengan sengaja tidak menaati perintah dinas atau dengan semaunya melampaui perintah tersebut diancam dengan pidana penjara maksimum 2 tahun 4 bulan. Selain hukuman di atas, terdakwa juga dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer TNI-AD karena dianggap telah menurunkan citra/korps perwira dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma/aturan kedinasan di kesatuan dan aturan agama serta norma kesusilaan di masyarakat.

Putusan ini kemudian juga diikuti oleh 2 (dua) putusan lainnya, yaitu Putusan Nomor 135 K/Mil/2020 dengan terdakwa Gus Fadhol dan Putusan Nomor 162 K/Mil/2020 dengan terdakwa Muhamad Chandra Arista Yudha. Kedua terdakwa juga didakwa dengan Pasal 103 ayat (1) terkait pelanggaran perintah dinas karena melakukan perbuatan hubungan sesama jenis. Terdakwa Gus Fadhol dipidana dengan hukuman 8 (delapan) bulan penjara, sedangkan terdakwa Muhamad Chandra Arista Yudha dijatuhi hukuman penjara 10 (sepuluh) bulan, ditambah dengan pemecatan dari dinas militer. Berbeda dengan terdakwa Apollonius, pelanggaran perintah dinas oleh terdakwa Gus Fadhol merujuk pada Surat Telegram KASAD Nomor 2497/2012 tanggal 28 Desember 2012, sementara terdakwa Muhamad Chandra merujuk pada Perkasad/34/XII/2008 pada angka 10 huruf h. Meski demikian, kedua peraturan tersebut berisikan larangan yang sama dengan Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 tanggal 4 Agustus 2009, yaitu larangan bagi prajurit TNI untuk melakukan hubungan sesama jenis. 

Penerapan hukum terhadap prajurit TNI yang melakukan hubungan sesama jenis juga diperkuat melalui SEMA Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Bagi Pengadilan, pada Rumusan Hukum Kamar Militer. SEMA tersebut menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/398/2009 tanggal 22 Juli 2009 jo. Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019 yang isinya mengatur larangan bagi prajurit TNI melakukan hubungan kelamin sesama jenis, maka akan diterapkan ketentuan Pasal 103 ayat (1) KUHPM sebagai perbuatan melanggar perintah dinas. Meski demikian ketentuan ini tidak bisa dijadikan rujukan terhadap perkara Para Terdakwa karena peraturan baru diterbitkan setelah perkara diputus oleh Majelis Hakim. 
Lebih lanjut, apabila mencermati rumusan Pasal 103 ayat (1) KUHPM yang berbunyi “Militer yang menolak atau dengan sengaja tidak menaati perintah dinas atau dengan semaunya melampaui perintah tersebut…” dan jika merujuk pada ketentuan Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 mengenai larangan melakukan hubungan sesama jenis, maka perbuatan terdakwa Apollonius memang dinilai melanggar ketentuan tersebut. Meski demikian, terdapat 2 (dua) poin menarik yang perlu dibahas adalah (1) penggunaan sanksi pidana pada pelanggaran Surat Perintah Dinas; dan (2) penjatuhan sanksi pidana bagi terdakwa yang melakukan hubungan sesama jenis.

Pertama, Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 merupakan surat perintah/instruksi yang dalam kategori produk hukum administratif. Oleh karenanya, sanksi yang semestinya dikenakan terhadap pelanggaran tersebut ialah berupa sanksi administrasi. Lebih lanjut, ketentuan dalam Hukum Disiplin Militer menyatakan bahwa pelanggaran terhadap perintah kedinasan diselesaikan secara hukum disiplin, yang terdiri dari:
Teguran;
Penahanan ringan paling lama 14 (empat belas) hari; dan
Penahanan berat paling lama 21 (dua puluh satu) hari.
Adapun untuk pemberhentian baru dilakukan jika anggota TNI telah berulang kali melanggar hukum disiplin prajurit dan tidak mempedulikan segala hukuman. Penjatuhan hukuman disiplin ini diikuti dengan sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Merujuk pada ketentuan tersebut, maka perbuatan terdakwa Apollonius seharusnya dikenakan sanksi administratif dan hukuman disiplin militer. Begitu pula dengan dua terdakwa lainnya, yakni Gus Fadhol dan Chandra. Penggunaan Pasal 103 ayat (1) KUHPM yang mengatur sanksi pidana semestinya digunakan sebagai upaya terakhir dalam menyelesaikan masalah (
ultima ratio). 

Kedua, pertimbangan majelis hakim bahwa perbuatan terdakwa Apollonius melakukan hubungan seksual sesama jenis dianggap tidak sesuai dengan norma/aturan kedinasan, agama maupun masyarakat memenuhi rumusan Pasal 103 ayat (1) KUHPM karena melanggar perintah dinas juga problematik. Hingga saat ini, belum ada ketentuan yang mengatur larangan hubungan seksual sesama jenis (homoseksual) oleh orang dewasa. Larangan hubungan seksual sesama jenis hanya dilarang jika dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak di bawah umur dengan jenis kelamin yang sama, sebagaimana Pasal 292 KUHP. Menurut Dading, orang dewasa yang melakukan hubungan seksual sesama jenis tidak dapat dihukum. Hal yang demikian karena titik tekan pasal a quo menurut Simons adalah untuk menjamin orang dewasa tidak berbuat cabul dengan anak, dengan alasan apapun.
Lebih lanjut, pembenaran moral sebagai dasar untuk mengkriminalisasi individu juga tidak dapat dibenarkan, kecuali jika perbuatan yang dilakukan individu tersebut memang membahayakan orang lain. Klaim membahayakan orang lain harus didukung dengan adanya alasan yang objektif. Dengan demikian, pertimbangan majelis hakim yang menekankan pada norma, moral yang berlaku di agama, masyarakat maupun TNI tidak bisa dijadikan alasan untuk membatasi hak Para Terdakwa dalam konteks orientasi seksual mereka. 

Selain dakwaan Pasal 103 ayat (1) KUHPM, dakwaan terhadap terdakwa Apollonius dan Chandra dengan Pasal 281 ke-1 KUHP yang berbunyi “barangsiapa dengan sengaja merusak kesusilaan di hadapan umum”, juga dinilai tidak tepat. Simons menekankan bahwa perbuatan merusak merupakan perbuatan seksual yang dilakukan di muka umum untuk menimbulkan atau memuaskan nafsu birahi, perbuatan mana menyinggung perasaan hati orang lain dan menimbulkan malu pada orang lain. Di hadapan umum sendiri ditafsirkan sebagai apa yang telah terjadi di tempat umum atau dapat dilihat dari tempat umum. Sedangkan pada fakta persidangan terdakwa Apollonius tidak ditemukan fakta bahwa perbuatan seksual antara terdakwa dan Saksi Indra Maulana dilakukan di tempat terbuka dan diketahui oleh orang, melainkan hanya disebutkan tempat perbuatan berupa rumah dinas terdakwa di Medan dan kamar hotel di Medan dan Bali. Begitu pula dengan Terdakwa Chandra yang melakukan perbuatan seksual di dalam di kamar Saksi Serka Aris Refli, dan perbuatan dengan saksi-saksi lainnya tidak disebutkan mendetail mengenai tempat dan kronologis.

Berbeda dengan dua terdakwa di atas, Gus Fadhol didakwa dengan Pasal 294 ayat (2) ke-1 KUHP yang mengatur mengenai larangan pejabat melakukan perbuatan cabul kepada bawahan atau orang yang dipercayakan atau diserahkannya. Merujuk pada pasal tersebut maka harus ada hubungan atasan dan bawahan antara terdakwa Gus Fadhol dengan saksi/korban di lingkungan tempat mereka bekerja. Sayangnya, di dalam fakta persidangan tidak ditemukan fakta relevan yang menjelaskan hal tersebut. Fakta persidangan hanya menyebutkan terdakwa Gus Fadhol melakukan perbuatan persetubuhan sesama jenis dengan para saksi tanpa menjelaskan lebih detail mengenai hubungan pekerjaan di antara mereka. Dengan demikian, Pasal 294 ayat (2) ke-1 KUHP juga tidak tepat dikenakan kepada terdakwa Gus Fadhol.

Dari berbagai uraian di atas, penyelesaian perkara pelanggaran perintah dinas masih bisa mengedepankan penggunaan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Hukum Disiplin Militer. Di sisi lain, dengan melihat posisi hukum pidana sebagai ultimum remidium, serta tidak adanya ketentuan yang melarang perbuatan homoseksual di dalam KUHP, maka seyogyanya majelis hakim perlu meninjau kembali penjatuhan pidana pada Pasal 103 ayat (1) KUHPM bagi Anggota TNI pelaku hubungan sesama jenis.
Anotasi Oleh : Lovina
Meninjau Kembali Penerapan Hukuman Pidana Bagi Prajurit TNI-AD yang Melanggar Surat Telegram KASAD
Sekilas tampak tidak ada masalah dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 96 K/Mil/2020 yang menghukum Terdakwa Apollonius Bimoseno Rayca Wibowo selama 8 bulan penjara dan pemecatan dari dinas militer TNI-AD karena melakukan tindak pidana dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas. Perintah dinas yang dimaksud tertuang dalam Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 tanggal 4 Agustus 2009 yang melarang prajurit TNI-AD untuk melakukan perbuatan homoseksual. 

Berdasarkan fakta hukum, terungkap bahwa Terdakwa Apollonius melakukan hubungan sesama jenis dengan Indra Maulana sebanyak 4 kali sejak 2015-2018. Perbuatan tersebut dianggap melanggar Pasal 103 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), yang berbunyi:

“Militer, yang menolak atau dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas, atau dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu, diancam karena ketidaktaatan yang disengaja, dengan pidana penjara maksimum dua tahun empat bulan.”

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 tanggal 4 Agustus 2009 tersebut merupakan aturan kedinasan yang harus dipatuhi Prajurit TNI-AD, termasuk Terdakwa Apollonius. Oleh karena itu, prajurit (Apollonius) yang telah melanggar aturan Surat Telegram KASAD sama dengan telah melanggar aturan kedinasan dalam institusi TNI-AD, sehingga dapat dijatuhi hukuman berupa pidana penjara. 

Tak hanya itu saja, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa Apollonius berupa pemecatan dari dinas militer TNI-AD sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 KUHPM. Pidana tambahan itu dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan Terdakwa Apollonius dapat menurunkan citra Korps Perwira, bertentangan dengan norma/aturan kedinasan, aturan agama, serta norma kesusilaan di masyarakat.

Putusan Nomor 96 K/Mil/2020 diikuti oleh dua putusan lainnya, yaitu Putusan Nomor 135 K/Mil/2020 atas nama Terdakwa Gus Fadhol dan Putusan Nomor 162 K/Mil/2020 atas nama Terdakwa Muhamad Chandra Arista Yudha. Kedua Terdakwa tersebut juga dihukum karena melanggar Pasal 103 ayat (1) KUHPM yaitu dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas. Terdakwa Gus Fadhol dihukum dengan pidana penjara selama 8 bulan sedangkan Terdakwa Muhamad Chandra Arista Yudha dijatuhi pidana penjara selama 10 bulan. Keduanya juga diputus oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dengan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer TNI-AD. 

Sama seperti Terdakwa Apollonius, perintah dinas yang dimaksud juga berupa Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 tanggal 4 Agustus 2009 dan Surat Telegram KASAD Nomor 2497/2012 tanggal 28 Desember 2012 yang isinya antara lain mengatur larangan bagi seluruh Prajurit TNI-AD untuk melakukan hubungan seksual sesama jenis (homoseksual). Majelis Hakim menyatakan bahwa Surat Telegram KASAD tersebut sejak diterbitkan mengikat bagi seluruh Prajurit TNI-AD tanpa terkecuali. Selain itu, rujukan lain Majelis Hakim yaitu Peraturan KASAD (PERKASAD) Nomor 34/XII/2008 pada angka 10 huruf h yang berisikan larangan bagi Prajurit Tentara Nasional Indonesia untuk melakukan kegiatan atau terlibat jaringan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) dan bagi yang tidak mengindahkan larangan tersebut harus ditindak tegas. 

Perbuatan berhubungan sesama jenis (homoseksual) di lingkungan militer yang dihukum dengan Pasal 103 ayat (1) KUHPM ini menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Landasan majelis hakim menghukum para Terdakwa yakni berdasarkan Surat Telegram KASAD baik tahun 2008, 2009, maupun 2012 yang pada intinya mengatur larangan bagi seluruh Prajurit TNI-AD melakukan hubungan seksual sesama jenis (homoseksual).

Unsur Pasal 103 ayat (1) KUHPM yang menarik untuk dibahas yaitu unsur “Yang menolak atau dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas, atau dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu”. Menarik untuk ditelusuri lebih lanjut apakah Prajurit TNI-AD yang melakukan perbuatan yang dianggap melanggar Surat Telegram KASAD dapat dijatuhi hukuman pidana atau tidak. 

Pada dasarnya, suatu perintah dinas merupakan suatu kehendak yang berhubungan dengan kepentingan militer dari seorang atasan yang berstatus militer yang disampaikan kepada seorang bawahan yang juga berstatus militer baik secara lisan maupun tertulis, untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Suatu perintah dinas harus memenuhi syarat-syarat, yaitu:
Materinya harus merupakan suatu kehendak (perintah) yang berhubungan dengan kepentingan dinas militer
Baik pemberi perintah maupun pelaksananya harus yang berstatus militer, dalam hubungan sebagai atasan dan bawahan
Materi perintah tersebut harus termasuk dalam lingkungan kewenangan dari atasan yang bersangkutan dan atasan tersebut memiliki kewenangan untuk memberikan perintah itu. 

Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila dihubungkan dengan Surat Telegram KASAD, dapat disimpulkan bahwa Surat Telegram KASAD merupakan surat yang berbentuk edaran yang ditujukan kepada seluruh Prajurit TNI-AD tanpa terkecuali. Oleh karena itu, surat tersebut bukanlah suatu surat yang ditujukan kepada perseorangan sebagai bentuk perintah, sehingga Surat Telegram KASAD tersebut tergolong sebagai bagian bentuk administrasi umum di lingkungan TNI-AD. Dengan demikian, penyelesaian terhadap pelanggaran Surat Telegram oleh Prajurit TNI-AD selayaknya dilakukan dengan hukum adminitrasi, bukan hukum pidana. 

Lebih lanjut, apabila ditelusuri kembali syarat-syarat surat perintah dinas di atas, para Terdakwa tidak menerima surat dinas khusus yang berisi perintah untuk melaksanakan suatu perintah kedinasan. Selain itu, hubungan sesama jenis yang dilakukan oleh Terdakwa Apollonius, Gus Fadhol, maupun Chandra, tidak semuanya merupakan hubungan antara atasan dan bawahan. Melihat dari hal-hal tersebut, setidaknya para Terdakwa tidak selayaknya dikenakan hukuman berupa pidana penjara. Menggunakan hukum pidana sebagai mekanisme penyelesaian masalah tidak selalu tepat mengingat hukum pidana merupakan jalan terakhir (ultimum remedium) sehingga selayaknya suatu perbuatan baru dapat dipidana jika memang perbuatan tersebut ditujukan untuk membahayakan orang lain.

Selain Pasal 103 ayat (1) KUHPM, putusan Nomor 96 K/Mil/2020 maupun dua putusan lainnya yang mengikuti, para Terdakwa juga didakwa dengan tindak pidana terkait dengan kesusilaan, yaitu Pasal 281 ke-1 KUHP dan Pasal 294 ayat (2) ke-1 KUHP. Apabila ditilik lebih jauh, perbuatan para Terdakwa yaitu berhubungan seksual dengan sesama jenis (homoseksual) hanya bisa dikenakan tindak pidana kesusilaan terkait dengan perbuatan cabul, tepatnya Pasal 292 KUHP karena hanya pasal cabul saja yang pelaku dan korbannya bebas gender. Akan tetapi, apabila melihat unsur Pasal 292 KUHP, perbuatan cabul oleh pelaku baru dapat dipidana apabila dilakukan terhadap anak sesama kelamin. Perbuatan cabul yang dilakukan oleh Terdakwa Apollonius, Gus Fadhol, maupun Chandra tidak dilakukan terhadap anak, melainkan dengan orang dewasa. Dengan demikian, Pasal 292 KUHP terkait tindak pidana kesusilaan tidak dapat dikenakan terhadap para Terdakwa.
Satu hal yang menarik dari putusan Nomor 135 K/Mil/2020 dengan Terdakwa Gus Fadhol, yaitu selain Pasal 103 ayat (1) KUHPM, ia juga didakwa dengan Pasal 294 ayat (2) ke-1 KUHP yaitu perbuatan cabul yang dilakukan oleh pejabat terhadap bawahannya atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah Terdakwa Gus Fadhol dapat dikenakan tindak pidana kesusilaan Pasal 294 ayat (2) ke-1 KUHP tersebut? Pasal 294 ayat (2) ke-1 KUHP berbunyi:

“Diancam dengan pidana yang sama pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.”

Mengenai unsur “perbuatan cabul”, R. Soesilo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, dan sebagainya. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, perbuatan Terdakwa termasuk ke dalam kategori perbuatan cabul. Akan tetapi, mengenai unsur “Dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya”, untuk dapat diterapkan, maka Terdakwa harus mempunyai jabatan yang kedudukannya di atas dari korban dan merupakan satu lingkungan pekerjaan. Berdasarkan fakta hukum di persidangan, terungkap bahwa korban-korban dari Terdakwa tidak berada dalam garis komando dengan Terdakwa dan bukan orang yang berada dalam kedudukan sebagai bawahan Terdakwa. Selain itu, mereka juga bukan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepada Terdakwa. Dengan demikian, Pasal 294 ayat (2) ke-1 KUHP tidak dapat dikenakan kepada Terdakwa Gus Fadhol.

Sementara itu, untuk Terdakwa Apollonius dan Terdakwa Chandra, mereka tidak didakwa dengan Paasal 294 ayat (2) ke-1 KUHP. Oleh karena perbuatan para Terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur pada tindak pidana kesusilaan, maka sudah selayaknya para Terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Tak hanya tindak pidana terkait kesusilaan saja, Majelis Hakim Mahkamah Agung perlu meninjau ulang penjatuhan hukuman pidana penjara yang diberikan kepada para Terdakwa karena melanggar Pasal 103 ayat (1) KUHPM. 
Anotasi Oleh : Nur Ansar
Kriminalisasi Orientasi Seksual: Hubungan Sesama Jenis Sebagai Tindak Pidana dalam Institusi TNI

Upaya untuk mengkriminalisasi Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) menjadi salah satu poin pendiskusian dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Namun, saat ini, ketika RKUHP belum disahkan dan pendiskusian soal perlu atau tidaknya LGBT dikriminalisasi terus berlanjut, Mahkamah Agung dalam putusannya No. 96 K/Mil/2020, menyatakan terdakwa sebagai anggota TNI telah melanggar Pasal 103 ayat (1) KUHPM, karena melakukan hubungan seksual sesama jenis (homoseksual).
Penjatuhan pidana terhadap anggota yang berhubungan sesama jenis kelamin tersebut juga diikuti oleh dua putusan kasasi selanjutnya yaitu putusan nomor 135 K/MIL/2020 dan putusan nomor 162 K/MIL/2020. Khusus untuk putusan nomor 162 K/MIL/2020, terdakwa sudah dinyatakan bersalah pada pengadilan militer yang diperkuat pada pengadilan tinggi militer serta dalam kasasi di Mahkamah Agung. Selain itu, Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan SEMA No. 10 tahun 2020 tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Berdasarkan rumusan kamar militer dalam SEMA tersebut, pelanggaran atas Surat Telegram Panglima TNI No. ST/398/2009 Juncto Telegram TNI No. ST/1648/2019 yang mengatur larangan bagi prajurit TNI melakukan perbuatan asusila sesama jenis kelamin, diterapkan ketentuan Pasal 103 ayat (1) KUHPM sebagai perbuatan melanggar perintah dinas.
Pendapat Mahkamah Agung dalam putusan No. 96 K/Mil/2020, menarik untuk dibahas dalam konteks penjatuhan pidana atas suatu perbuatan. Tetapi, sebelum membahas hal tersebut lebih jauh, penting untuk melihat duduk perkara dari kasus tersebut. Berdasarkan putusan No. 96 K/Mil/2020, Terdakwa dengan melakukan hubungan seksual sesama jenis di rumah dinas. Terdakwa melakukannya 4 kali, yang kedua pada 2016, ketiga pada 2017, dan yang keempat pada 2018. Atas perbuatan tersebut Terdakwa didakwa menggunakan Pasal 103 ayat (1) KUHP Militer atau Pasal 281 ke-1 KUHP. perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan Surat Telegram KASAD No. 1313/2009 tanggal 4 Agustus 2009 yang isinya menegaskan larangan bagi Prajurit TNI-AD melakukan hubungan seksual sesama jenis (homoseksual) sebagaimana perbuatan yang dilakukan Terdakwa.
Perbuatan terdakwa didakwa menggunakan dakwaan alternatif yaitu, pertama Pasal 103 ayat (1) KUHPM atau kedua, Pasal 281 ke-1 KUHP. Dalam pengadilan militer I-02 Medan, Terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah. Namun, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menyatakan terdakwa bersalah dengan pertimbangan:
Bahwa perbuatan Terdakwa melakukan hubungan seksual sesama jenis dengan Saksi Indra Maulana in casu, telah bertentangan dengan Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 tanggal 4 Agustus 2009 sebagai aturan atau norma yang melarang prajurit TNI-AD untuk melakukan perbuatan homoseksual. Surat Telegram KASAD tersebut merupakan aturan kedinasan yang harus dipatuhi Prajurit TNI-AD dan karenanya kepada prajurit yang melanggar aturan Surat Telegram KASAD tersebut, merupakan pelanggaran terhadap aturan kedinasan dalam institusi TNI-AD. Bahwa dengan demikian, terang dan jelas perbuatan Terdakwa melakukan hubungan seksual dengan Saksi Indra Maulana telah melanggar ketentuan Pasal 103 ayat (1) KUHPM;

Lebih lanjut, Mahkamah Agung menjatuhkan pidana tambahan selain pidana pokok berupa penjara dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa perbuatan Terdakwa melakukan hubungan seksual sesama jenis dengan Saksi Indra Maulana yang dilakukannya sebanyak 4 (empat) kali, merupakan perbuatan yang dapat menurunkan citra Korps Perwira, serta dapat berpengaruh pada Prajurit lain di kesatuan. Di samping itu perbuatan in casu sangat tidak layak dilakukan Terdakwa sebagai seorang perwira, karena bertentangan dengan norma/aturan kedinasan di kesatuan dan aturan agama serta norma kesusilaan di masyarakat. Oleh karenanya, Terdakwa dipandang tidak lagi layak dan pantas untuk dipertahankan dalam dinas Prajurit TNI, oleh karena itu sesuai ketentuan Pasal 26 KUHPM, atas perbuatannya tersebut, kepada Terdakwa harus dijatuhkan pidana tambahan pemecatan di samping penjatuhan pidana penjaranya.

Adapun rumusan Pasal 103 ayat (1) KUHPM adalah, “Militer yang menolak atau dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas atau dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu…”. Jika kita merujuk dengan adanya Surat Telegram terkait larangan, memang perbuatan terdakwa jelas melanggar pasal tersebut. Akan tetapi, ada dua hal perlu dibahas di sini terkait, penggunaan sanksi pidana terhadap terdakwa.
Pertama, peraturan yang dilanggar oleh terdakwa sebenarnya adalah Surat Telegram KASAD Nomor 1313/2009 tanggal 4 Agustus 2009 yang sifatnya administratif. Dengan kata lain, jika melanggar surat telegram tersebut, seharusnya sanksinya juga bersifat administratif. Pelanggaran lain di luar kasus ini, sebenarnya bisa menjadi contoh. Misalnya dalam SEMA No. 03 tahun 2018, berdasarkan rumusan kamar militer, Pasal 103 KUHPM tidak dapat diterapkan terhadap prajurit yang melangsungkan perkawinan tanpa izin kesatuan sebab dinyatakan sebagai pelanggaran disiplin. Perbuatan homoseksual sebenarnya juga dapat dinyatakan sebagai pelanggaran disiplin karena sifatnya yang melanggar Surat Telegram KASAD. 
Kedua, pendapat Mahkamah Agung bahwa perbuatan berhubungan seksual sesama jenis kelamin bertentangan dengan norma kesusilaan dan agama sehingga dapat dihukum menggunakan Pasal 103 ayat (1) KUHPM juga problematis. Berhubungan seksual sesama jenis kelamin seperti homoseksual tidak diatur sebagai tindak pidana. Yang dinyatakan sebagai tindak pidana adalah perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang diketahui atau patut diduga masih di bawah umur, sebagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHP. Dengan kata lain, tidak adanya aturan tentang larangan hubungan sesama jenis sebagai tindak pidana, seharusnya orientasi seksual seperti ini tidak dapat dihukum pidana kecuali dilakukan terhadap anak atau orang di bawah umur.
Pasal 103 ayat (1) KUHPM memang dapat saja berlaku bagi semua tindakan yang tidak menaati perintah dinas, tetapi memilih menggunakan jalur pidana sebagai media penyelesaian masalah perlu ditinjau kembali. Hal ini berhubungan dengan hukum pidana yang merupakan jalan terakhir (ultimum remedium) dalam mekanisme penyelesaian masalah. Selain itu, karena sifat pemidanaan yang justru merampas kebebasan seseorang, suatu perbuatan baru dapat dipidana jika memang bersifat berbahaya. Menurut Baker, pembenaran moral sebagai dasar untuk mengkriminalisasi tidak dibenarkan jika melanggar hak individu, kecuali jika memang perbuatan tersebut ditujukan untuk membahayakan orang lain, serta ada alasan objektif untuk mengkriminalisasinya.
Sementara itu menurut Husak, negara harus menerapkan pembatasan dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan agar tidak eksesif dan melampaui kebutuhannya. Husak membagi dua pembatasan yang perlu diterapkan dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan. Pertama, internal constrain, yaitu pidana tidak dapat diterapkan kecuali perundang-undangan melarang kerusakan yang besar (berbahaya), merupakan perbuatan yang salah, serta hukuman yang dijatuhkan harus proporsional. Kedua, external constraints, yaitu negara perlu membatasi kriminalisasi hanya pada kepentingan yang substansial negara, upaya langsung untuk mendukung kepentingan negara, serta membuat pembatasan minimum yang diperlukan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah memidanakan pelaku homoseksual menggunakan Pasal 103 ayat (1) KUHPM justru memenuhi prinsip kriminalisasi dan pembatasan tersebut? Merujuk pada pertimbangan Mahkamah Agung yang menekankan soal moral, agama, serta norma peraturan dalam TNI, tidak dapat dibenarkan begitu saja. Biar bagaimana pun, seperti yang disebutkan sebelumnya, pembenaran atas moralitas tidak dapat digunakan begitu saja untuk membatasi hak asasi seseorang. Dengan demikian, menggunakan hukum pidana atas perbuatan homoseksual dalam kesatuan militer perlu kembali dikaji lebih jauh dalam konteks hak asasi manusia. Apalagi KUHP sendiri tidak memuat pasal yang melarang homoseksual kecuali jika dilakukan terhadap orang yang masih di bawah umur atau patut diduga masih di bawah umur.
  Download Karakterisasi   File Putusan

Putusan Yang Mengikuti

Majelis Hakim

  • Dr. Burhan Dahlan, S.H., M.H. -
  • Prof. Dr. Drs. H. Dudu DM., S.H., M.Hum. -
  • Hidayat Manao, S.H., M.H, -

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 2018-10-23  
  • Terdakwa melakukan hubungan sesama jenis (homoseksual) sebanyak 4 (empat) kali bertempat di beberapa tempat.
  •    Tanggal : 2020-01-27  
  • Oditur Militer I-02 mengajukan penuntutan terhadap Terdakwa karena dianggap melanggar tindak pidana “Dengan sengaja tidak menaati suatu perintah dinas” sebagaimana ketentuan Pasal 103 ayat (1) KUHPM. Terdakwa dituntut dengan hukuman sebagai berikut:
    • Pidana Pokok: Penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara;
    • Pidana Tambahan: Dipecat dari dinas militer casu quo TNI AD.
  •    Tanggal : 2021-03-05  
  • Pengadilan Militer I-02 Medan Nomor 115-K/PM.I-02/AD/X/2019 membacakan putusan dengan amar sebagai berikut:
    • Menyatakan Terdakwa tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan;
    Pertama: Ketidaktaatan yang disengaja
    ATAU
    Kedua: Dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan

    • Membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Oditur Militer;
    • Memerintahkan supaya perkara Terdakwa ini dikembalikan kepada Perwira Penyerah Perkara untuk diselesaikan menurut saluran hukum Disiplin Prajurit;
    • Menetapkan barang bukti berupa surat-surat: ....;
    • Membebankan biaya perkara kepada negara.
  •    Tanggal : 2020-03-09  
  • Oditur Militer pada Oditurat Militer I-02 Medan mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Militer I-02.
  •    Tanggal : 2020-03-17  
  • Oditur Militer pada Oditurat Militer I-02 Medan mengirim memori kasasi ke Kepaniteraan Pengadilan Militer I-02 Medan pada 18 Maret 2020.
  •    Tanggal : 2020-06-17  
  • Mahkamah Agung menetapkan amar sebagai berikut:
    1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Oditur Militer pada Oditurat Militer I-02 Medan tersebut; dan
    2. Membatalkan Putusan Pengadilan Militer I-02 Medan Nomor 115-K/PM.1-02/AD/X/2019 tanggal 5 Maret 2020.

    MENGADILI SENDIRI:
    1. Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja tidak menaati suatu perintah dinas”;
    2. Menjatuhkan pidana berupa: Pidana Pokok: Penjara selama 8 (delapan) bulan dan Pidana tambahan: Dipecat dari dinas militer TNI AD;
    3. dst...

Frasa Terkait Karakterisasi

Author Info