Karakterisasi Yurisprudensi No : 3 Yur Pid 2018 (1586 K Pid 2011)
Materi yang akan dianalisis dalam Putusan Nomor 1586 K/Pid/2011 adalah mengenai alasan ketidaktahuan bahwa barang yang dikuasai berasal dari tindak pidana tidak meniadakan ancaman pidana bagi yang bersangkutan. Penemuan hukum yang terdapat dalam Putusan Nomor 1586 K/Pid/2011 adalah ''Apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah, orang tersebut seharusnya patut menduga kendaraan tersebut berasal dari kejahatan.''
Bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindakan penadahan dengan cara membeli 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Mio warna Merah tahun 2009 No. pol S 5067 E dari Arifin dengan harga Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) yang tidak dilengkapi surat-surat seperti STNK dan BPKB, sehingga sudah seharusnya keadaan demikian Terdakwa mengetahui, bahwa sepeda motor yang dibelinya tersebut adalah hasil dari kejahatan;
Pasal 480 ke-1 KUHP menyatakan bahwa melakukan perbuatan- perbuatan tertentu, yang di antaranya adalah menjual dan membeli, terhadap barang yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, dikategorikan sebagai kejahatan penadahan. Namun, KUHP tidak memberikan batasan atau penjelasan kondisi barang seperti apa yang dapat dikatakan “patut diduga berasal dari tindak pidana”, termasuk barang berupa kendaraan bermotor. Kondisi ini menyebabkan ke tidakjelasan mengenai kapan seseorang dapat dikatakan telah menjual atau membeli kendaraan bermotor yang patut diduga berasal dari tindak pidana, sehingga dapat dihukum dengan pasal ini.Tinjauan Pustaka Pasal 480 KUHP mengatur tentang perbuatan tadah atau penadahan, “Tindak pidana penadahan disebut tindak pidana pemudahan, yakni karena perbuatan menadah telah mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang mungkin saja tidak mungkin ia lakukan, seandainya tidak ada orang yang bersedia menerima hasil kejahatannya. Dalam terminologi hukum pidana, penadahan adalah perbuatan yang sengaja mendapatkan keuntungan atas barang yang berasal dari kejahatan, dengan cara membeli, menjual, menyewa, menyewakan, menerima gadai, menggadaikan, mengangkut, menyimpan barang. Menurut R. Soesilo, penadahan sebagaimana dijabarkan dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) adalah: Yang dinamakan “sekongkol” atau biasa pula disebut “tadah” itu sebenarnya hanya perbuatan yang disebutkan pada Pasal 480 ke-1 KUHP karena sebagai sekongkol, barang siapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena kejahatan.Penelitian terkait dengan penadahan pernah ditulis oleh Dirgantara Pradikta Sukoco dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Penyelidikan Dan Penyidikan Terhadap Pelaku Kejahatan Tindak Pidana Pencurian dan Penadahan Sepeda Motor (Studi Kasus Di Polsek Jebres Surakarta).” Temuan dari penelitian ini adalah dalam penyidikan, Pasal 480 bisa berdiri sendiri tanpa pelaku utama pencuriandengan dasar hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung No.: 79 K/Kr/1958 tanggal 09 Juli 1958, Yurisprudensi Mahkamah Agung No.: 126 K/Kr/1969 tanggal 29 November 1972 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 166 K/Kr/1961, tanggal 10 Agustus 1957. Coby Mamahit meneliti mengenai “Aspek Hukum Pengaturan Tindak Pidana Penadahan Dan Upaya Penanggulangannya Di Indonesia.” Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tindak pidana penadahan yang diatur dalam Pasal 480 KUHP merupakan tindak Pidana Formil, sehingga ada tidaknya pihak lain yang dirugikan bukanlah unsur yang menentukan. Aturan ini telah dipertegas kembali, melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. No.79K/Kr/1958 tanggal 09 Juli 1958 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. No.126 K/Kr/1969 tanggal 29 November 1972 yang menyatakan bahwa: “tidak ada peraturan yang mengharuskan untuk lebih dahulu menuntut dan menghukum orang yang mencuri sebelum menuntut dan menghukum orang yang menadah” dan “pemeriksaan tindak pidana penadahan tidak perlu menunggu adanya keputusan mengenai tindak pidana yang menghasilkan barang-barang tadahan yang bersangkutan”.Pembahasan Tindak pidana penadahan telah diatur di dalam Bab XXX dari buku II KUHP sebagai tindak pidana pemudahan. Tindak pidana penadahan disebut tindak pidana pemudahan, yakni karena perbuatan menadah telah mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang mungkin saja tidak mungkin ia lakukan, seandainya tidak ada orang yang bersedia menerima hasil kejahatannya. Penadahan (heling) itu hanya tindak pidana yang tersebut dalam nomor satu. Tindak pidana penadahan yang dilakukan sesudah selesai suatu tindak pidana terhadap kekayaan, yaitu mengenai barang yang diperoleh dengan jalan kejahatan. Barang yang telah dicuri atau dirampas atau digelapkan atau diperoleh dengan penipuan, akan ditampung oleh seorang penadah, sehingga akan mempersukar pengusutan kejahatan yang bersangkutan. Secara lengkap, delik penadahan tertuang dalam Pasal 480 KUHP yang menyatakan sebagai berikut:Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:1. barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;2. barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.Dalam ketentuan Pasal 480 KUHP dinyatakan bahwa barang atau benda tersebut diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. Barang yang diperoleh dengan kejahatan maksudnya, bahwa barang itu harus benar-banar merupakan hasil dari suatu kejahatan tertentu, harus terbukti terjadi adanya, umpamanya ada barang tertentu yang diperoleh dengan pencurian. Penadahan merupakan suatu tindak pidana yang tidak berdiri sendiri, melainkan suatu tindak pidana yang diawali dengan tindak pidana asal (predicate crime), untuk dapat tidaknya seseorang disangka melakukan tindak pidana penadahan, maka terlebih dahulu harus jelas tindak pidana asalnya. Sehubungan dengan hal ini, maka timbul pertanyaan apakah tindak pidana asalnya harus dibuktikan terlebih dahulu. Yurisprudensi Mahkamah Agung pada Putusan Nomor: 79 K/Kr/1958 tanggal 9 Juli 1958 dan Putusan Nomor: 126 K/Kr/1969 tanggal 29 November 1972 menyatakan bahwa “tidak ada peraturan yang mengharuskan untuk lebih dahulu menuntut dan menghukum orang yang mencuri sebelum menuntut dan menghukum orang yang menadah” dan “Pemeriksaan tindak pidana penadahan tidak perlu menunggu adanya keputusan mengenai tindak pidana yang menghasilkan barang-barang tadahan yang bersangkutan.” Dengan demikian, tindak pidana ini dapat diperiksa walaupun belum ada putusan tentang tidak pidana asalnya.Dalam prakteknya, jarang dapat dibuktikan bahwa si penadah tahu benar bahwa objek barang tersebut berasal dari tindak pidana. Biasanya yang dapat dianggap sebagai terbukti adalah "unsur culpa", yaitu bahwa si pelaku penadah dapat dianggap patut harus dapat menyangka asalnya barang itu dari kejahatan. Sehubungan dengan permasalahan hukum ini, maka Putusan Nomor 1586 K/Pid/2011 dapat menjadi sumber hukumnya. Dalam pertimbangan hakim dinyatakan:Bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindakan penadahan dengan cara membeli 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Mio warna Merah tahun 2009 No. pol S 5067 E dari Arifin dengan harga Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) yang tidak dilengkapi surat-surat seperti STNK dan BPKB, sehingga sudah seharusnya keadaan demikian Terdakwa mengetahui, bahwa sepeda motor yang dibelinya tersebut adalah hasil dari kejahatan;Putusan Nomor 1586 K/Pid/2011 memberikan ukuran untuk menganalisis unsur bahwa objek barang tersebut diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. Pertama, barang yang ditawarkan tersebut jauh lebih murah dari harga pasar. Kedua, objek barang tidak dilengkapi dengan bukti kepemilikan. Ketiga, terdapat perbuatan di luar kewajaran, baik yang terkait dengan penjualnya atau terkait dengan objek barangnya. Putusan Nomor 1586 K/Pid/2011 kemudian diikuti oleh hakim lain sebagaimana dalam Putusan No. 1750 K/Pid/2012, Putusan Nomor 1056 K/PID/2016 dan Putusan Nomor 371 K/PID/2017 yakni dengan objek barang yang sama. Putusan Nomor 1008 K/PID/2016 juga mengikuti kaidah hukum dari Putusan Nomor 1586 K/Pid/2011 di mana mengukur unsur penadahan dengan harga yang di luar kewajaran dan tanpa bukti kepemilikan dalam objek barang berupa Laptop merk Toshiba dengan processor core i5 beserta charger-nya dan 1 (satu) unit power bank serta 1 (satu). Majelis hakim juga menggunakan petunjuk di mana penjual bukan bekerja sebagai penjual laptop tetapi pekerja di kedai kopi. Kaidah yurisprudensi sebagaimana terkandung pada Putusan Nomor 1586 K/Pid/2011 diikuti oleh Majelis hakim pada Putusan Nomor 170 K/PID/2014 yang menyatakan bahwa seharusnya terdakwa curiga dengan harga 1 (satu) unit pompa air milik PDAM seharga Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) yang tidak sesuai dengan harga pasar.Dalam praktik hukum yang pernah terjadi di Indonesia, kaidah hukum sebagaimana yang tertuang dalam Putusan Nomor 1586 K/Pid/2011 telah membebaskan terdakwa dari tuduhan penadahan. Putusan Nomor 607 K/PID/2015 membebaskan terdakwa dari segala dakwaan karena fakta hukum menunjukkan bahwa terdakwa telah membeli sapi pada saksi dengan harga pasar, pada waktu dan mekanisme jual beli yang wajar sehingga tidak mencurigakan atau sembunyi-sembunyi. Fakta-fakta hukum tersebut dapat membuktikan bahwa terdakwa tidak terdapat niat jahat/melawan hukum, karena terdakwa benar-benar tidak tahu bahwa sapi yang telah dibeli dengan harga wajar tersebut adalah sapi curian.Perbuatan penadahan dilakukan untuk menutupi kejahatan, sehingga disusun dengan sangat rapi. Interpretasi terhadap unsur “objek barang tersebut diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan” sekilas bertendensi menghukum orang yang tidak bersalah. Adakalanya memang seseorang tidak memiliki mens rea untuk menguasai barang hasil kejahatan. Ia tertarik membeli hanya karena harganya murah. Meskipun demikian, tujuan dari ketentuan Pasal 480 KUHP justru mengajarkan masyarakat untuk teliti dalam membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan serta menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda tersebut. Ketentuan ini juga digunakan untuk mempermudah pembuktian tindak pidana asal dan memutus mata rantai keuntungan yang didapat dari pelaku tindak pidana asal. Dengan demikian, kaidah yurisprudensi ini masih relevan untuk digunakan pada praktik hukum.KesimpulanUnsur “objek barang tersebut diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan” dalam tindak pidana penadahan adalah 1) ketika ditawarkan dengan harga yang jauh dari harga pasar; 2) tidak dilengkapi dengan bukti kepemilikan; 3) terdapat perbuatan di luar kewajaran baik yang terkait dengan penjualnya atau terkait dengan objek barangnya. Kondisi-kondisi ini menggambarkan bahwa barang tersebut berasal dari tindak pidana, sehingga dapat dihukum dengan Pasal 480 ke-1 KUHP.
Download Karakterisasi
File Putusan