Karakterisasi Yurisprudensi No : 628 K/PID/1984

  • Post : 2024-10-21 11:59:08
  • Download ()
Kaidah Yurisprudensi : 628 K/PID/1984
Pengadilan Tinggi sebelum memutus pokok perkara ini seharusnya menunggu dulu putusan pengadilan yang akan menentukan status pemilikan tanah dan rumah tersebut mempunyai kekuatan pasti.Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi Keputusan mengenai kebersalahan Tersangka/Terdakwa pada perkara pidana tentang tanah wajib didahului dengan kejelasan/kepastian status kepemilikan tanah dan rumah/bangunan tersebut.
Usulan Perbaikan Kaidah YurisprudensiKeputusan mengenai kebersalahan Tersangka/Terdakwa pada perkara pidana tentang tanah wajib didahului dengan kejelasan/kepastian status kepemilikan tanah dan rumah/bangunan tersebut.

Pertimbangan Hukum
Pengadilan Tinggi Bandung sebelum memutus pokok perkara ini seharusnya menunggu lebih dahulu putusan pengadilan yang akan menentukan status kepemilikan tanah dan rumah tersebut mempunyai kekuatan hukum pasti.

Anotasi Oleh : Dewi Bunga
Penyelesaian mengenai permasalahan hak keperdataan sering kali memanfaatkan celah pidana, sehingga terdapat kesan bahwa perkara tersebut dipaksakan bahkan direkayasa. Kaidah hukum sebagaimana yang terkandung dalam Putusan Regno. 628 K/Pid/1984 di mana “Pengadilan Tinggi sebelum memutus pokok perkara ini seharusnya menunggu dulu putusan Pengadilan yang akan menentukan status pemilikan tanah dan rumah tersebut mempunyai kekuatan pasti” sangat penting untuk dikaji agar dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan perkara pidana yang mengandung unsur keperdataan. Selain itu, kajian ini juga penting agar Yurisprudensi tersebut digunakan dengan tepat. 

Penelitian yang secara spesifik mengkaji mengenai kaidah yurisprudensi dalam Putusan Regno. 628 K/Pid/1984 memang belum ada, tetapi ada beberapa penelitian yang menggunakan Putusan Regno. 628 K/Pid/1984 sebagai kajian dalam penelitiannya. Edwin Yuliska menulis tentang “Terpenuhikah Unsur Pidana Penguasaan Tanah Yang Sama-Sama Belum Memiliki Sertifikat Tanda Bukti Hak.” Dalam tulisan tersebut, Edwin Yuliska memberikan argumentasi mengenai penundaan perkara pidana dengan merujuk pada Putusan Regno. 628 K/Pid.B/1984. Dalam putusan ini, MA memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk menunggu adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang memutuskan mengenai status kepemilikan tanah. Apabila perkara berupa hak atas kepemilikan tanah atau bangunan, maka pidana yang menyangkut hal itu harus dipending dahulu. Ini juga sesuai dengan surat edaran Kejagung dengan jelas ditegaskan jika sekiranya kasus yang objeknya berupa tanah, di mana status hukum kepemilikan tanah berdasarkan alasan hak yang dimiliki masih berperkara perdata di pengadilan atau sama-sama belum memiliki sertifikat tanah, maka jika ada pihak yang dituduh melanggar pidana, maka kasus tersebut tidak dapat dipidana.

Y.A. Triana Ohoiwutun meneliti mengenai “Implementasi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 Tentang Penetapan Tersangka Ditinjau Dari Perspektif Keadilan (Studi Kasus Perkara No. 04/Pid.Pra/2016/PN.Bwi)”. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa merujuk pada keadilan yang dimaknai sebagai legalitas sebagaimana dikemukakan oleh Kelsen bahwa adil jika suatu aturan itu diterapkan pada semua kasus yang menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan karena berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap Putusan Nomor 628 K/Pid/1984, Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk menunggu adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mengenai status kepemilikan tanah. Dengan demikian, penetapan tersangka berdasarkan Surat Panggilan Nomor S.Pgl/513/II/2016/Ditreskrimum dalam kasus yang sama, yaitu mengenai sengketa tanah yang berada dalam ranah pemeriksaan perkara perdata, diaplikasikan atau diterapkan secara berbeda oleh penyidik pada hakekatnya bertentangan dengan keadilan yang dimaknai sebagai legalitas.
Anotasi Oleh : Lovina
Pentingnya Status Kepemilikan Tanah pada Perkara Pidana tentang Tanah
Setidaknya hampir 20 tahun lamanya Yuyun Sunarti bersengketa kepemilikan tanah dengan suami-istri Yoeng Kim Seng dan Tjoen Lian Soe yang merupakan mertua dari Yuyun sendiri. Berawal dari tahun 1965 Yuyun membeli tanah dan bangunan di Jalan Merdeka No. 11A Bogor dari Rukmainah, namun sertifikatnya ditulis atas nama Pang Siong Foe, adik Yuyun, karena Yuyun masih berkewarganegaraan asing. Hingga empat tahun kemudian, Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 197 Panragan berupa tanah dan bangunan Jalan Merdeka No. 11A Bogor itu menjadi atas nama Yuyun Sunarti setelah dilakukan jual-beli ganti nama kepemilikan dari Pang Siong Foe menjadi Yuyun Sunarti. 

Sengketa bermula saat Yuyun pindah ke Jakarta sehingga rumahnya dijaga oleh suami-istri Yoeng Kim Seng dan Tjoen Lian Soe. Kemudian pada 30 Mei 1969 muncul surat kuasa yang berisi Yuyun Sunarti menguasakan Tjoen Lian Soe untuk memindah tangankan tanah dan bangunan Jalan Merdeka No. 11A Bogor tersebut. Tiga tahun kemudian Tjoen Lian Soe mengadakan perikatan jual beli tanah dan rumah itu kepada Yoeng Kim Seng (suaminya). Yuyun pun beraksi: memberitahukan kepada dunia melalui surat kabar dan mendatangi pejabat-pejabat agraria dan pendaftaran tanah bahwa surat kuasa tanggal 30 Mei 1969 itu palsu, sehingga pemindahan tanah dan rumah kepada Yoeng Kim Seng pun tidak sah. Selain itu, Yuyun juga meminta polisi untuk memeriksa keaslian surat kuasa 30 Mei 1989. 

Pihak Yoeng Kim Seng pun tidak mau kalah. Awalnya ia beserta istrinya Tjoen Lian Soe sudah membuat tiga buah akta perdamaian yang pada intinya menyatakan surat kuasa 30 Mei 1989 tidak sah. Namun, kemudian ia menggugat Yuyun Sunarti secara perdata atas sengketa tanah tersebut. Di tengah perkara perdata dan pengusutan keabsahan surat kuasa 30 Mei 1989, Yoeng Kim Seng membuat surat jual beli lepas mutlak atas tanah dan rumah Jalan Merdeka No. 11A Bogor dan dipindahkan ke nama Joeng She Jin (anaknya). Setelah itu sengketa tanah dan rumah tersebut masih terus berlanjut. Yuyun Yunarti menuntut Yoeng Kim Seng dan Tjoeng Lian Sioe antara lain dengan tuduhan pencurian dan penggelapan. Ia juga menuntut Wahir, notaris yang diduga memalsukan surat kuasa 30 Mei 1989. Dari sini, Wahir dinyatakan bersalah dan Yoeng Kim Seng dan Tjoeng Lian Sioe yang disebutkan menyuruh Wahir untuk memalsukan surat kuasa 30 Mei 1989 tersebut juga dinyatakan bersalah dengan masa percobaan. 

Dari sengketa tanah dan rumah sepanjang hampir 20 tahun tersebut, permasalahan utamanya adalah belum jelas apakah tanah dan rumah tersebut milik Yuyun Sunarti, atau milik Joeng She Jin. Terakhir, Yuyun Sunarti melaporkan Yoeng Kim Seng dan Tjoeng Lian Sioe karena ia merasa tidak pernah memberi kuasa untuk menjual tanah dan bangunan tersebut. Kedua terdakwa Yoeng Kim Seng dan Tjoeng Lian Sioe didakwa dengan Pasal 385 ayat (1) KUHP: menjual tanah dan rumah milik orang lain tanpa hak. Pengadilan Negeri Bogor menyatakan kedua terdakwa bersalah, sementara itu Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan kedua terdakwa tidak bersalah karena belum/tidak ditentukan siapa pemilik sebenarnya dari rumah dan tanah tersebut. Saat perkara sampai di Mahkamah Agung, Majelis Hakim memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk membuka kembali persidangan dan memeriksa serta memutus pokok perkara tersebut sesudah jelas status kepemilikan tanah berdasarkan putusan pengadilan dalam perkara perdata. 

Putusan Mahkamah Agung No. 628K/PID/1984 dijadikan yurisprudensi dan diikuti oleh majelis hakim pada perkara lain yang serupa. Pada Putusan No. 1272K/Pid/2017, Terdakwa Kartini Sihombing yang menghancurkan plang sablon tulisan “Di tanah ini telah dilakukan sita eksekusi Nomor 02/EKS/2016/104/Pdt.G/2011/PN.Lbp tanggal 23 Mei 2011, Putusan Nomor 25/Pdt/2013/PT.Mdn tanggal 6 Maret 2013 oleh Pengadilan Tinggi Medan dan Putusan Nomor 2869K/Pdt/2013 tanggal 23 Juni 2014 oleh MARI yang dimenangkan oleh Maruli Nababan yang berkekuatan hukum tetap” dinyatakan bersalah dengan terang-terangan menggunakan kekerasan terhadap barang dan dihukum selama 6 bulan penjara. Ia menghancurkan plang sablon tersebut karena marah tanah dan rumahnya dieksekusi pengadilan menjadi milik Maruli Nababan. 

Padahal, pada saat proses penyelidikan dan penyidikan perkara Kartini Sihombing karena menghancurkan plang sablon perintah eksekusi tanah, Kartini juga mengajukan gugatan perlawanan terhadap sita eksekusi tersebut dengan perkara perkara nomor 138/Pdt.G/PLW/2016/PN.Lbp tanggal 19 September 2016 di saat yang sama. Pada tahap eksepsi perkara pidananya, ia pun telah mengajukan eksepsi prajudisial (pertangguhan penuntutan) yang menentukan adanya dua perkara yakni perkara pidana dan perkara perdata yang diperiksa dalam rentang waktu yang bersamaan, yang ada kaitannya satu dengan lainnya. Dengan demikian, menurut Pasal 81 KUHP yang berbunyi “Mempertangguhkan penuntutan untuk sementara karena ada perselisihan tentang hukum yang harus diputuskan lebih dahulu oleh suatu mahkamah lain, mempertangguhkan gugurnya penuntutan untuk sementara”, maka seharusnya perkara pidana Kartini Sihombing ditangguhkan hingga gugatan perlawanan terhadap sita eksekusi tanahnya untuk menentukan siapa yang berhak atas tanah tersebut berkekuatan hukum tetap. 

Putusan lain yang senada terdapat pada perkara No. 35/Pdt/2020/PT.Mdn di mana Rahmad Mulia Hasibuan menggugat kepemilikan sebidang tanah Jalan Menteng VII, Lingkungan III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan yang diklaim milik keluarga Daulay sesuai plang merk bertuliskan “Tanah ini milik Adlin Daulay”. Atas perbuatan pemasangan plang merk tersebut, Rahmad Mulia Hasibuan telah membuat laporan di Kepolisian Resor Kota Medan sesuai dengan Surat Tanda Terima Laporan Polisi No. STTLP/2446/K/IX/2015/Resta Medan tanggal 7 September 2015 dengan dugaan telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a prp No.51 Tahun 1960, dan hingga saat ini masih dalam proses penyelidikan. Sementara itu, Pengadilan Negeri Medan yang kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan menolak gugatan Rahmad Mulia Hasibuan dengan alasan pemalsuan tanda tangan dan penggelapan hak atas tanah yang dilakukan Mr. Hasibuan, Ayah Rahmad, atas tanah Jalan Menteng VII, Lingkungan III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan tersebut. Dengan kata lain, keluarga Daulay menuduh ayah Rahmad (Mr. Hasibuan) memalsukan tanda tangan pada akta jual beli tanah tersebut. Padahal, sama seperti putusan sebelumnya, seharusnya pengadilan dapat dengan bijak menyatakan gugatan terdakwa ditolak dengan alasan perlu kejelasan status kepemilikan tanah yang bersengketa tersebut. Selain itu, pertimbangan menolak gugatan penggugat karena alasan pemalsuan tanda tangan tidak dapat dibenarkan karena majelis hakim dianggap memihak salah satu pihak di mana belum ada putusan pengadilan pula tentang tanda tangan tersebut palsu atau tidak. 

Terhadap perkara serupa, Majelis Hakim perlu merujuk Putusan No. 219/Pid.B/2021/PN.Kdi terkait sengketa tanah antara Terdakwa Sadrack Tengkano dengan keluarga H. Daeng Patanga. Dakwaan Pasal 167 ayat (1) KUHP terkhusus unsur melawan hak orang lain, menurut Majelis Hakim belum bisa dibuktikan karena masing-masing pihak masih merasa memiliki tanah dan bangunan tersebut. Oleh karena itu, merujuk Putusan No. 628K/Pid/1984 yang sudah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung, Majelis Hakim menyatakan perbuatan terdakwa terbukti akan tetapi perkaranya mengandung sengketa perdata sehingga terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum. Dengan demikian, Majelis Hakim menangguhkan perkara ini hingga adanya putusan perdata No. 13/Pdt.F/2021/PN.Kdi yang berkekuatan hukum tetap terkait gugatan sengketa tanah tesebut.
  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • H. Adi Andojo Soetjipto, S.H. -
  • Ny. Hj. Siti Rosma Achmad, S.H. -
  • H. Soerjono, S.H. -

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 1965-03-19  
  • Yuyun Sunarti membeli sebuah rumah Hak Guna Bangunan berdasarkan sertifikat No.197 yang mengatasnamakan Supandi karena Yuyun Sunarti masih berstatus WNA.
  •    Tanggal : 1969-11-22  
  • Supandi mengembalikan rumah kepada Yuyun Sunarti dengan jual-beli.
  •    Tanggal : 1973-08-01  
  • Yuyun Sunarti mendengar rumah sudah dijual.
  •    Tanggal : 1980-01-30  
  • Yoeng Kim Seng dan Tjoeng Lian Sioe telah menjual suatu rumah atau bangunan di atas tanah hak guna bangunan kepada Yoeng Se Jin dengan memakai surat kuasa tertanggal 30 Mei 1969 yang isinya adalah palsu (berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 68/81/PTB tanggal 27 Oktober 1981).
  •    Tanggal : 1980-10-17  
  • Putusan Pengadilan Negeri Bogor:
    1. Menyatakan Terdakwa-Terdakwa Yoeng Kim Seng dan Tjoeng Lian Sioe bersalah melakukan kejahatan “Secara bersama-sama dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hak telah menjual rumah Jalan Merdeka No. 11A, Bogor, sedangkan mereka Terdakwa-Terdakwa mengetahui bahwa rumah tersebut adalah hak milik Yuyun Sunarti atau orang lain”;
    2. Menghukum oleh karena itu Terdakwa I Yoeng Kim Seng dengan hukuman penjara selama 6 (enam) bulan dan Terdakwa II Ny. Tjoeng Lian Sioe dengan hukuman penjara selama 4 (empat) bulan;
    3. Memerintahkan barang-barang bukti berupa 1 (satu) buah rumah tinggal yang berdiri di atas tanah Hak Guna Bangunan No. 197/Panaragan yang dikenal dengan nama Jalan Merdeka No. 11A Bogor dikembalikan kepada yang berhak, yaitu Yuyun Sunarti; dan Menghukum pula Para Terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah).
  •    Tanggal : 1984-03-08  
  • Putusan Pengadilan Tinggi di Bandung No.150/1983/Pid/PTB
    1. Menerima permohonan banding tersebut; dan
    2. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal 17 Oktober 1983 No. 74/1983/Pid/B/PN/Bgr dan dengan:
    Mengadili sendiri:
    1. Menyatakan perbuatan Para Terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran;
    2. Barang bukti dikembalikan ke dalam keadaan semula, pada waktu sebelum diadakan penyitaan; dan
    3. Menyatakan biaya perkara dalam kedua tingkat banding dibebankan kepada negara.
  •    Tanggal : 1985-05-29  
  • Putusan Regno. 628 K/Pid./1984

Frasa Terkait Karakterisasi

Author Info