Karakterisasi Yurisprudensi No : 628 K/PID/1984
Pengadilan Tinggi sebelum memutus pokok perkara ini seharusnya menunggu dulu putusan pengadilan yang akan menentukan status pemilikan tanah dan rumah tersebut mempunyai kekuatan pasti.Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi Keputusan mengenai kebersalahan Tersangka/Terdakwa pada perkara pidana tentang tanah wajib didahului dengan kejelasan/kepastian status kepemilikan tanah dan rumah/bangunan tersebut.
Usulan Perbaikan Kaidah YurisprudensiKeputusan mengenai kebersalahan Tersangka/Terdakwa pada perkara pidana tentang tanah wajib didahului dengan kejelasan/kepastian status kepemilikan tanah dan rumah/bangunan tersebut.
Usulan Perbaikan Kaidah YurisprudensiKeputusan mengenai kebersalahan Tersangka/Terdakwa pada perkara pidana tentang tanah wajib didahului dengan kejelasan/kepastian status kepemilikan tanah dan rumah/bangunan tersebut.
Pengadilan Tinggi Bandung sebelum memutus pokok perkara ini seharusnya menunggu lebih dahulu putusan pengadilan yang akan menentukan status kepemilikan tanah dan rumah tersebut mempunyai kekuatan hukum pasti.
Penyelesaian
mengenai permasalahan hak keperdataan sering kali memanfaatkan celah pidana,
sehingga terdapat kesan bahwa perkara tersebut dipaksakan bahkan direkayasa.
Kaidah hukum sebagaimana yang terkandung dalam Putusan Regno. 628 K/Pid/1984 di
mana “Pengadilan Tinggi sebelum memutus pokok perkara ini seharusnya menunggu
dulu putusan Pengadilan yang akan menentukan status pemilikan tanah dan rumah
tersebut mempunyai kekuatan pasti” sangat penting untuk dikaji agar dapat
dijadikan referensi dalam menyelesaikan perkara pidana yang mengandung unsur
keperdataan. Selain itu, kajian ini juga penting agar Yurisprudensi tersebut
digunakan dengan tepat.
Penelitian
yang secara spesifik mengkaji mengenai kaidah yurisprudensi dalam Putusan
Regno. 628 K/Pid/1984 memang belum ada, tetapi ada beberapa penelitian yang
menggunakan Putusan Regno. 628 K/Pid/1984 sebagai kajian dalam penelitiannya.
Edwin Yuliska menulis tentang “Terpenuhikah Unsur Pidana Penguasaan Tanah Yang
Sama-Sama Belum Memiliki Sertifikat Tanda Bukti Hak.” Dalam tulisan tersebut,
Edwin Yuliska memberikan argumentasi mengenai penundaan perkara pidana dengan
merujuk pada Putusan Regno. 628 K/Pid.B/1984. Dalam putusan ini, MA
memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk menunggu adanya putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang memutuskan mengenai status
kepemilikan tanah. Apabila perkara berupa hak atas kepemilikan tanah atau
bangunan, maka pidana yang menyangkut hal itu harus dipending dahulu. Ini juga
sesuai dengan surat edaran Kejagung dengan jelas ditegaskan jika sekiranya
kasus yang objeknya berupa tanah, di mana status hukum kepemilikan tanah
berdasarkan alasan hak yang dimiliki masih berperkara perdata di pengadilan
atau sama-sama belum memiliki sertifikat tanah, maka jika ada pihak yang
dituduh melanggar pidana, maka kasus tersebut tidak dapat dipidana.
Y.A.
Triana Ohoiwutun meneliti mengenai “Implementasi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
Tentang Penetapan Tersangka Ditinjau Dari Perspektif Keadilan (Studi Kasus
Perkara No. 04/Pid.Pra/2016/PN.Bwi)”. Dalam penelitian tersebut dinyatakan
bahwa merujuk pada keadilan yang dimaknai sebagai legalitas sebagaimana
dikemukakan oleh Kelsen bahwa adil jika suatu aturan itu diterapkan pada semua
kasus yang menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan karena
berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap Putusan Nomor 628 K/Pid/1984,
Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk menunggu adanya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mengenai status
kepemilikan tanah. Dengan demikian, penetapan tersangka berdasarkan Surat
Panggilan Nomor S.Pgl/513/II/2016/Ditreskrimum dalam kasus yang sama, yaitu
mengenai sengketa tanah yang berada dalam ranah pemeriksaan perkara perdata,
diaplikasikan atau diterapkan secara berbeda oleh penyidik pada hakekatnya
bertentangan dengan keadilan yang dimaknai sebagai legalitas.
Pentingnya Status Kepemilikan Tanah pada Perkara Pidana
tentang Tanah
Setidaknya hampir 20 tahun lamanya Yuyun Sunarti bersengketa
kepemilikan tanah dengan suami-istri Yoeng Kim Seng dan Tjoen Lian Soe yang
merupakan mertua dari Yuyun sendiri. Berawal dari tahun 1965 Yuyun membeli
tanah dan bangunan di Jalan Merdeka No. 11A Bogor dari Rukmainah, namun
sertifikatnya ditulis atas nama Pang Siong Foe, adik Yuyun, karena Yuyun masih
berkewarganegaraan asing. Hingga empat tahun kemudian, Sertifikat Hak Guna
Bangunan No. 197 Panragan berupa tanah dan bangunan Jalan Merdeka No. 11A Bogor
itu menjadi atas nama Yuyun Sunarti setelah dilakukan jual-beli ganti nama
kepemilikan dari Pang Siong Foe menjadi Yuyun Sunarti.
Sengketa bermula saat
Yuyun pindah ke Jakarta sehingga rumahnya dijaga oleh suami-istri Yoeng Kim
Seng dan Tjoen Lian Soe. Kemudian pada 30 Mei 1969 muncul surat kuasa yang
berisi Yuyun Sunarti menguasakan Tjoen Lian Soe untuk memindah tangankan tanah
dan bangunan Jalan Merdeka No. 11A Bogor tersebut. Tiga tahun kemudian Tjoen
Lian Soe mengadakan perikatan jual beli tanah dan rumah itu kepada Yoeng Kim
Seng (suaminya). Yuyun pun beraksi: memberitahukan kepada dunia melalui surat
kabar dan mendatangi pejabat-pejabat agraria dan pendaftaran tanah bahwa surat
kuasa tanggal 30 Mei 1969 itu palsu, sehingga pemindahan tanah dan rumah kepada
Yoeng Kim Seng pun tidak sah. Selain itu, Yuyun juga meminta polisi untuk
memeriksa keaslian surat kuasa 30 Mei 1989.
Pihak Yoeng Kim Seng pun tidak mau
kalah. Awalnya ia beserta istrinya Tjoen Lian Soe sudah membuat tiga buah akta
perdamaian yang pada intinya menyatakan surat kuasa 30 Mei 1989 tidak sah.
Namun, kemudian ia menggugat Yuyun Sunarti secara perdata atas sengketa tanah
tersebut. Di tengah perkara perdata dan pengusutan keabsahan surat kuasa 30 Mei
1989, Yoeng Kim Seng membuat surat jual beli lepas mutlak atas tanah dan rumah
Jalan Merdeka No. 11A Bogor dan dipindahkan ke nama Joeng She Jin (anaknya).
Setelah itu sengketa tanah dan rumah tersebut masih terus berlanjut. Yuyun
Yunarti menuntut Yoeng Kim Seng dan Tjoeng Lian Sioe antara lain dengan tuduhan
pencurian dan penggelapan. Ia juga menuntut Wahir, notaris yang diduga
memalsukan surat kuasa 30 Mei 1989. Dari sini, Wahir dinyatakan bersalah dan
Yoeng Kim Seng dan Tjoeng Lian Sioe yang disebutkan menyuruh Wahir untuk
memalsukan surat kuasa 30 Mei 1989 tersebut juga dinyatakan bersalah dengan
masa percobaan.
Dari sengketa tanah dan rumah sepanjang hampir 20 tahun
tersebut, permasalahan utamanya adalah belum jelas apakah tanah dan rumah
tersebut milik Yuyun Sunarti, atau milik Joeng She Jin. Terakhir, Yuyun Sunarti
melaporkan Yoeng Kim Seng dan Tjoeng Lian Sioe karena ia merasa tidak pernah
memberi kuasa untuk menjual tanah dan bangunan tersebut. Kedua terdakwa Yoeng
Kim Seng dan Tjoeng Lian Sioe didakwa dengan Pasal 385 ayat (1) KUHP: menjual
tanah dan rumah milik orang lain tanpa hak. Pengadilan Negeri Bogor menyatakan
kedua terdakwa bersalah, sementara itu Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan
kedua terdakwa tidak bersalah karena belum/tidak ditentukan siapa pemilik
sebenarnya dari rumah dan tanah tersebut. Saat perkara sampai di Mahkamah
Agung, Majelis Hakim memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk membuka
kembali persidangan dan memeriksa serta memutus pokok perkara tersebut sesudah
jelas status kepemilikan tanah berdasarkan putusan pengadilan dalam perkara
perdata.
Putusan Mahkamah Agung No. 628K/PID/1984 dijadikan yurisprudensi dan
diikuti oleh majelis hakim pada perkara lain yang serupa. Pada Putusan No.
1272K/Pid/2017, Terdakwa Kartini Sihombing yang menghancurkan plang sablon tulisan
“Di tanah ini telah dilakukan sita eksekusi Nomor
02/EKS/2016/104/Pdt.G/2011/PN.Lbp tanggal 23 Mei 2011, Putusan Nomor
25/Pdt/2013/PT.Mdn tanggal 6 Maret 2013 oleh Pengadilan Tinggi Medan dan
Putusan Nomor 2869K/Pdt/2013 tanggal 23 Juni 2014 oleh MARI yang dimenangkan
oleh Maruli Nababan yang berkekuatan hukum tetap” dinyatakan bersalah dengan
terang-terangan menggunakan kekerasan terhadap barang dan dihukum selama 6
bulan penjara. Ia menghancurkan plang sablon tersebut karena marah tanah dan rumahnya
dieksekusi pengadilan menjadi milik Maruli Nababan.
Padahal, pada saat proses
penyelidikan dan penyidikan perkara Kartini Sihombing karena menghancurkan
plang sablon perintah eksekusi tanah, Kartini juga mengajukan gugatan
perlawanan terhadap sita eksekusi tersebut dengan perkara perkara nomor
138/Pdt.G/PLW/2016/PN.Lbp tanggal 19 September 2016 di saat yang sama. Pada
tahap eksepsi perkara pidananya, ia pun telah mengajukan eksepsi prajudisial
(pertangguhan penuntutan) yang menentukan adanya dua perkara yakni perkara
pidana dan perkara perdata yang diperiksa dalam rentang waktu yang bersamaan,
yang ada kaitannya satu dengan lainnya. Dengan demikian, menurut Pasal 81 KUHP
yang berbunyi “Mempertangguhkan penuntutan untuk sementara karena ada
perselisihan tentang hukum yang harus diputuskan lebih dahulu oleh suatu
mahkamah lain, mempertangguhkan gugurnya penuntutan untuk sementara”, maka
seharusnya perkara pidana Kartini Sihombing ditangguhkan hingga gugatan
perlawanan terhadap sita eksekusi tanahnya untuk menentukan siapa yang berhak
atas tanah tersebut berkekuatan hukum tetap.
Putusan lain yang senada terdapat
pada perkara No. 35/Pdt/2020/PT.Mdn di mana Rahmad Mulia Hasibuan menggugat
kepemilikan sebidang tanah Jalan Menteng VII, Lingkungan III, Kecamatan Medan
Denai, Kota Medan yang diklaim milik keluarga Daulay sesuai plang merk
bertuliskan “Tanah ini milik Adlin Daulay”. Atas perbuatan pemasangan plang
merk tersebut, Rahmad Mulia Hasibuan telah membuat laporan di Kepolisian Resor
Kota Medan sesuai dengan Surat Tanda Terima Laporan Polisi No.
STTLP/2446/K/IX/2015/Resta Medan tanggal 7 September 2015 dengan dugaan telah
melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a prp No.51 Tahun 1960, dan hingga saat ini
masih dalam proses penyelidikan. Sementara itu, Pengadilan Negeri Medan yang
kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan menolak gugatan Rahmad Mulia
Hasibuan dengan alasan pemalsuan tanda tangan dan penggelapan hak atas tanah
yang dilakukan Mr. Hasibuan, Ayah Rahmad, atas tanah Jalan Menteng VII,
Lingkungan III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan tersebut. Dengan kata lain,
keluarga Daulay menuduh ayah Rahmad (Mr. Hasibuan) memalsukan tanda tangan pada
akta jual beli tanah tersebut. Padahal, sama seperti putusan sebelumnya,
seharusnya pengadilan dapat dengan bijak menyatakan gugatan terdakwa ditolak
dengan alasan perlu kejelasan status kepemilikan tanah yang bersengketa
tersebut. Selain itu, pertimbangan menolak gugatan penggugat karena alasan
pemalsuan tanda tangan tidak dapat dibenarkan karena majelis hakim dianggap
memihak salah satu pihak di mana belum ada putusan pengadilan pula tentang
tanda tangan tersebut palsu atau tidak.
Terhadap perkara serupa, Majelis Hakim
perlu merujuk Putusan No. 219/Pid.B/2021/PN.Kdi terkait sengketa tanah antara
Terdakwa Sadrack Tengkano dengan keluarga H. Daeng Patanga. Dakwaan Pasal 167
ayat (1) KUHP terkhusus unsur melawan hak orang lain, menurut Majelis Hakim
belum bisa dibuktikan karena masing-masing pihak masih merasa memiliki tanah
dan bangunan tersebut. Oleh karena itu, merujuk Putusan No. 628K/Pid/1984 yang
sudah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung, Majelis Hakim menyatakan perbuatan
terdakwa terbukti akan tetapi perkaranya mengandung sengketa perdata sehingga
terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum. Dengan demikian, Majelis Hakim
menangguhkan perkara ini hingga adanya putusan perdata No. 13/Pdt.F/2021/PN.Kdi
yang berkekuatan hukum tetap terkait gugatan sengketa tanah tesebut.