Karakterisasi Yurisprudensi No : 394K/Pdt/1984

  • Post : 2024-07-25 09:20:28
  • Download (282)
Kaidah Yurisprudensi : 394K/Pdt/1984
Barang-barang yang sudah dijadikan jaminan hutang ke Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik tidak dapat dikenakan Conservatoir Beslag
Pertimbangan Hukum
  • Bahwa "terhadap barang-barang yang sudah dijadikan jaminan hutang, maka terhadap barang-barang tersebut tidak dapat dikenakan sita jaminan"
  • Pada amar dinyatakan bahwa "menyatakan sah dan berharga conservatoir beslag sekedar mengenai barang-barang yang tidak dijaminkan kepada BRI cabang Gresik" Berdasarkan alasan tersebut menurut Mahkamah Agung tidak perlu mempertimbangkan keberatan-keberatan kasasi lainnya karena cukup alasan untuk menerima permohonan kasasi yang diajukan pemohon kasasi (Poerjadi Hadi Soemarno) dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya serta putusan Pengadilan Negeri Gresik.

Anotasi Oleh : Herwastoeti

BARANG-BARANG YANG SUDAH DIJADIKAN JAMINAN HUTANG DAPAT DIKENAKAN CONSERVATOIR BESLAG (SITA JAMINAN) JIKA ADA PERSANGKAAN YANG CUKUP BERALASAN MERUGIKAN PIHAK-PIHAK YANG BERKEPENTINGAN ATAS OBYEK BENDA JAMINAN

Putusan Mahkamah Agung No.394 K/Pdt/1984 merupakan putusan yang memutus perkara di tingkat kasasi untuk perkara utang piutang antara kreditur dan debitur yang melibatkan pihak Bank yang menguasai obyek benda jaminan sebagai jaminan hutang dan Pihak Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang/KPKNL).

Perkara ini diawali adanya utang piutang antara Poerjadi Hadi Soemarno sebagai pemberi pinjaman (kreditur) dan pihak Soekemi Saleh dan Imam Sukarno Adiwidjojo sebagai pihak penerima pinjaman (debitur). Namun pihak debitur tidak dapat memenuhi perjanjian/prestasinya maka dilanjutkan gugatan di Pengadilan Negeri Gresik yang dilakukan oleh Penggugat asli, Poerjadi Hadi Soemarno (kreditur) mengajukan gugatan kepada Soekemi Saleh (debitur) sebagai Tergugat I, Imam Sukarno Adiwidjojo sebagai tergugat II, Kepala Kantor BRI Cabang Gresik sebagai tergugat III, Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Surabaya, Cabang Jawa Timur, sebagai tergugat IV.

Gugatan tersebut menuntut agar: (1). Pengadilan Negeri Gresik menyatakan bahwa tergugat asli I dan tergugat asli II melakukan perbuatan wanprestasi ; (2). menyatakan sah dan berharga atas conservatoir beslag atas barang-barang milik tergugat I dan tergugat II baik bergerak maupun tidak bergerak ; (3). menghukum tergugat I dan tergugat II secara tanggung renteng mengembalikan kepada penggugat emas 24 karat sebanyak 1000 gram dengan bunga 5 % x Rp 2.500.000 = Rp 125.000 ; (4). menghukum tergugat III dan tergugat IV mencabut pengumuman lelang atas barang-barang tersebut..

Pengadilan Negeri Gresik dalam putusannya, memutuskan : (1) mengabulkan gugatan penggugat sebagian; (2) menyatakan tergugat I dan tergugat II melakukan wanprestasi; (3) menyatakan sah dan berharga atas conservatoir beslag atas barang-barang milik tergugat I dan tergugat II yang tersebut dalam berita acara pensitaan lebih dahulu Pengadilan Negeri Gresik; (4) menghukum tergugat I dan II sesudah pelunasan kepada Bank BRI sebesar Rp. 7.000.000 (tujuh juta rupiah) secara tanggung renteng mengembalikan hutang sebesar Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ditambah bunga 3 % setiap bulan kepada penggugat sejak oktober 1976 sampai keputusan dapat dijalankan lebih dulu.

Kemudian dalam putusan banding yang diajukan oleh penggugat , Pengadilan Tinggi Surabaya memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Gresik sebagai berikut : mengabulkan gugatan penggugat-pembanding sebagian; tergugat I dan tergugat II melakukan wanprestasi; menyatakan sah dan berharga atas conservatoir beslag atas barang-barang milik tergugat I dan tergugat II yang tersebut dalam berita acara pensitaan lebih dahulu Pengadilan Negeri Gresik tanggal 26 Juli 1979 No.40/1979/Pdt ; menghukum Tergugat I terbanding dan tergugat II terbanding sesudah pelunasan hutang kepada Bank BRI sebesar Rp. 7.000.000 ditambah bunga secara tanggung renteng mengembalikan kepada penggugat uang sebesar Rp 2.500.000 ditambah bunga 6 % setiap bulan.

Pemohon kasasi dalam memori kasasinya mengajukan keberatan yang pada pokoknya sebagai berikut: bahwa putusan Pengadilan Negeri Gresik dan Pengadilan Tinggi Surabaya melanggar pasal 173 (3) HIR karena dalam amarnya menambah hal-hal yang tidak dimohonkan oleh pemohon kasasi, dalam amarnya berbunyi : menghukum tergugat I dan tergugat II/ terbanding sesudah pelunasan hutang kepada Bank Rakyat Indonesia… dst ); dan bunga yang ditetapkan Pengadilan Tinggi Gresik melanggar hukum yang berlaku karena pemohon kasasi memohon 5 % sebulan, sedang Pengadilan Tinggi telah menetapkan 6% sebulan.

Kemudian Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi pemohon kasasi Poerjadi Hadi yang mana dalam Putusannya Mahkamah Agung melakukan koreksi dan membatalkan putusan baik atas putusan Pengadilan Negeri Gresik maupun putusan Pengadilan Tinggi Surabaya; menyatakan sah dan berharga conservatoir beslag sekedar barang-barang yang tidak dijaminkan kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik; dan menghukum tergugat I dan tergugat II secara tanggung renteng membayar hutangnya kepada penggugat sebesar Rp 2.500.000 ( dua juta lima ratus ribu rupiah) ditambah bunga 6 % setahun sejak Oktober 1976 sampai hutangnya dibayar lunas ; menolak gugatan penggugat untuk selebihnya.

Putusan MA No. 394 K/Pdt/1984 kemudian diikuti oleh putusan-putusan sejenis yang memeriksa perkara utang piutang yang melibatkan obyek jaminan barang , sehingga putusan MA No. 394 K/Pdt/1984 menjadi Yurisprudensi bagi hakim dalam memutus perkara. Putusan yang mengikuti antara lain: Putusan No. 05/Pdt.G/2013/PN.Pkl., Putusan 08/Pdt.G./2012/PN.Pkl, Putusan No. 38/Pdt.G/2012/PN.PKL, Putusan No. 18/Pdt.G/2014/PN.TGL, Putusan 6/Pdt.G/2015/PN.TGL. Kaidah Yurisprudensi yang digunakan dalam putusan pengikut yaitu bahwa : " terhadap barang-barang yang sudah dijadikan jaminan hutang, maka terhadap barang-barang tersebut tidak dapat dikenakan sita jaminan /conservatoir beslag."

Meski dalam perkara - perkara sejenis yang mengikuti ada perbedaan dengan perkara No. 394 K/Pdt/1984 sebagai dasar yurisprudensi, karena dalam perkara No. 394 K/Pdt/1984, pihak penggugat yang mengajukan sita jaminan adalah pihak kreditur (pemberi utang) terhadap barang milik debitur yang dikuasai /dijaminkan pada pihak ketiga ( Bank). Namun dalam perkara-perkara yang mengikuti putusan No. 394 K/Pdt/1984 berbeda karena dalam perkara-perkara utang piutang yang mengikuti Kaidah Yurisprudensi No. 394 K/Pdt/1984 , pihak penggugat/ pihak yang mengajukan sita jaminan atas barang jaminan adalah pemilik barang jaminan itu sendiri (debitur) karena ada alasan kepentingan debitur dirugikan oleh pihak kreditur ( Bank) maupun pihak lain (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang/KPKNL).

Dengan adanya Kaidah Yurisprudensi No. 394 K/Pdt/1984 ini yang kemudian diikuti perkara-perkara sejenis dimaksud maka akan menutup atau setidaknya merugikan pihak debitur atau pihak lain yang berkepentingan atas obyek benda jaminan utang dimaksud untuk mengajukan sita jamina/conservatoir beslag atas barang jaminan utang tersebut sehingga hak seseorang untuk mengajukan sita jaminan tertutup yang dapat dimaknai hak untuk mendapatkan keadilan terampas.

Sebagaimana dipahami bersama salah satu tujuan hukum adalah mendapatkan keadilan dan untuk mendapatkan keadilan maka seseorang yang dirugikan oleh pihak lain dapat memilih penyelesaian perkaranya melalui proses hukum di Pengadilan, Maka dapat dimaknai bahwa setiap warganegara berhak untuk mendapat hak-haknya dalam suatu proses peradilan yang bertujuan untuk melindungi individu warga negara atas adanya suatu perbuatan pihak lain yang merugikan. Salah satu prinsip keadilan dari John Rawls adalah " memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas bagi setiap orang ". Dengan demikian perlu ada perbaikan konstruksi kaidah hukum baru terhadap kaidah yurisprudensi yang sudah ada yaitu : "Barang-barang yang sudah dijadikan jaminan hutang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik tidak dapat dikenakan conservatoir beslag."
Dengan membuat kaidah yurisprudensi baru dapat memberikan hak dan tidak menutup upaya/merampas hak bagi pihak siapapun baik debitur atau kreditur atau pihak lain yang berkepentingan jika ada persangkaan yang beralasan yang merugikan kepentingannya atas barang jaminan utang untuk dapat mengajukan sita jaminan/conservatoir beslag. Dengan demikian tujuan hukum untuk memberikan keadilan bagi semua orang dapat diwujudkan tanpa menghalangi/membatasi dengan adanya kaidah yurisprudensi yang selama ini diikuti hakim dalam memutus perkara sejenis. Maka dengan demikian seseorang dapat saja mengajukan sita jamianan atas obyek benda yang dijaminkan jika memang ada persangkaan yang beralasan yang merugikan kepentingannya atas obyek barang yang dijadikan jaminan hutang.

Anotasi Oleh : Dewi Sukma Kristianti

BARANG-BARANG YANG SUDAH MENJADI JAMINAN HUTANG DI BANK TIDAK DAPAT DIKENAKAN CONSERVATOIR BESLAG

Isu hukum atau permasalahan hukum yang diangkat dalam perkara ini adalah adanya wanprestasi perjanjian utang piutang dengan menjaminkan barang tidak bergerak berupa 2 (dua) bidang tanah yang ternyata telah menjadi jaminan di Bank BRI Cabang Gresik, sehingga terhadap objek yang sama ingin dikenakan sita jaminan melalui Pengadilan.

Kasus posisi dalam perkara tersebut memperlihatkan bahwa penggugat (Poerjadi Hadi Soemarno) dan para tergugat (Soekemi Saleh tergugat I, Imam Sukarno Adiwidjojo tergugat II, Kepala Kantor BRI Cabang Gresik tergugat III, dan Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Cabang Jawa Timur tergugat IV), bermula dari hubungan perjanjian utang piutang tergugat I dan II dengan penggugat yang ternyata tergugat I dan II melewati batas waktu pembayaran utang sehingga dianggap wanprestasi. Dikarenakan tergugat I dan II wanprestasi sesuai dengan perjanjian utang piutang yang telah dibuat pihak penggugat dapat menarik jaminan berupa sebidang tanah dan sebuah rumah. Namun ternyata objek jaminan tersebut tidak dapat ditarik oleh penggugat, karena objek jaminan tersebut telah menjadi salah satu jaminan tergugat I dan II ke tergugat III. Hal ini diketahui dari adanya pengumuman lelang oleh pihak tergugat III dan IV.

Terkait dengan kasus posisi tersebut, maka Majelis Hakim Mahkamah Agung melalui Putusan No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985 menggunakan dasar hukum Pasal 178 ayat (3) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 50 Reglement op de Rechtsvordering (RV), yang menyatakan bahwa, "Hakim dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut". Dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung ini adalah hanya sebagai dasar diterima permohonan kasasi oleh pihak pemonon/penggugat asli atas putusan dari PN Gresik dan PT Surabaya yang keduanya memutuskan melebihi dari apa yang tidak dimohonkan penggugat. Pelanggaran tergadap Pasal 178 ayat (3) HIR dn Pasal 50 RV yang dilakukan oleh Majelis Hakim PN Gresik dan PT Surabaya, adalah menjadi kewenangang Majelis Hakim Mahkamah Agung untuk memeriksa kasasi, berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan Dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan bahwa "Alasan yang dapat dipakai untuk melakukan kasasi ialah 1. apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada melaksanakannya; 2. apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harus diturut menurut Undang-undang." Ketentuan-ketentuan tersebut hanyalah merupakan dasar hukum bagi Hakim Mahkamah Agung untuk berwenang tidaknya memeriksa kasasi dan menjadi jalan atau alat bantu untuk memeriksa apakah pemohon kasasi atau penggugat asli dapat dikabulkan permohonan barang-barang sebagai jaminan di Bank BRI dapat dikenakan atau menjadi sita jaminan (conservatoir beslag).
Conservatoir beslag atau sita jaminan diatur pada Pasal 227 ayat (1) HIR, yang mneyatakan bahwa, "Jika ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang debitur, sebelum keputusan hakim yang mengalahkannya dijatuhkan atau boleh dijalankan, mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya, baik yang tak bergerak maupun yang bergerak, dengan maksud untuk menjatuhkan barang itu dari kreditur atas surat permintaan orang yang berkepentingan, ketua pengadilan boleh memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang membutuhkan permintaan itu, kepada si peminta harus diberitahukan bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan menguatkan gugatannya." Maksud dan tujuan dari Pasal 227 ayat (1) HIR adalah mengenai perintah sita jaminan untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan. Namun siapakah pihak yang dianggap memasukkan permintaan, tentunya adalah pihak yang memiliki piutang atau kreditur. Dalam kasus posisi terlihat bahwa penggugat asli atau pemohon kasasi (Poerjadi) adalah pihak yang memiliki piutang atau kreditur dari tergugat I dan II, namun secara bersamaan tergugat I dan II tampaknya juga berhutang pada pihak Bank BRI Cabang Gresik (selaku tergugat III) yang menjaminkan objek yang sama denga barang-barang yang dijaminkan tergugat I dan II kepada penggugat. Maka terdapat beberapa pihak yang berhak atas jaminan barang tersebut. Oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan
Menurut penulis dari Putusan No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985 yang menolak permohonan sita jaminan atas barang-barang yang telah menjadi jaminan di Bank BRI Cabang Gresik, merupakan suatu putusan yang bersifat visioner dan futuristik. Hal ini dikarenakan saat itu belum terdapat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT). Sebab sebelum adanya UUHT maka pengaturan mengenai sita jaminan sebagaimana yang diatur pada Pasal 227 HIR hanya mengatur mengenai maksud dan tujuan sita jaminan sebagai upaya memberikan perlindungan hak dari pihak yang memintakan, namun tidak mengatur sama sekali mengenai boleh tidaknya sita jaminan atas yang diletakkan pada tanah yang telah dibebankan hak tanggungan pada pihak lain. Ketentuan pada saat itu yang mengatur secara tegas mengenai penyitaan atau penjagaan sita atas harta adalah mengenai benda bergerak yang diatur pada Pasal 197 ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBg. Sedangkan terhadap benda tetap atau tidak bergerak hanya ketentuan mengenai penyitaan atas benda tidak bergerak, tidak boleh mengurangi hak tersita untuk memakai, menguasai, dan menikmatinya. Tanah dan rumah yang ada diatasnya yang disita, tetap berada di bawah penjagaan dan penguasaan tersita dan tersita tidak boleh dilarang untuk menguasai, memakai dan menikmatinya. Larangan yang diberikan adalah untuk menjual atau meindahkannya kepada orang lain sebagaimana yang diatur pada Pasal 199 HIR atau 214 RBg. Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung melalui Putusan No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985 seperti meletakkan dasar baru pada saat itu, bahwa barang-barang yang telah menjadi jaminan di Bank merupakan hak tanggungan yang dijadikan hak jamiman untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan kreditur yang memegang hak tanggungan tersebut menjadi pihak kreditur yang lebih diutamakan daripada kreditur lainnya, sehingga permohonan sita jaminan atas hak tanggungan tersebut merupaka sia-sia. Disamping itu tampaknya Putusan Mhakamah Agung No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985 mendasarkan dari Putusan Mahkamah Agung lainnya yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 1326 K/Sip/1981 tanggal 19 Agustus 1982 yang telah menetapakan bahwa, "jika barang yang hendak disitajaminkan telah disita dalam perkara lain, atau telah dijaminkan kepada orang lain atau telah dieksekusi maka Pengadilan hanya boleh memberi dan melakukan sita penyesuaian (vergelijkende beslag)."

Putusan Mahkamah Agung No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985 merupakan prinsip yang menegaskan bahwa barang yang telah menjadi jaminan kredit kepada bank tidak dapat dikenakan sita jaminan. Oleh karenanya dari Putusan Mahkaamah Agung No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985 ini terdapat patokan penerapan prinsip sita jaminan terhadap barang jaminan kredit:

  1. Pengadilan atau hakim dilarang mengabulkan dan meletakkan sita jaminan terhadap barang yang diagunkan dan dijaminkan pada waktu yang bersamaan;
  2. Permohonan sita terhadap barang yang sedang diagunkan harus ditolak demi melindungi kepentingan pihak pemegang agunan; dan
  3. Yang dapat diberikan pengadilan atas permintaan sita tersebut hanya sebatas sita penyesuaian.

Dapat disimpulkan dari Putusan Mahkamah Agung No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985, maka pihak penggugat atau pemohon kasasi yang apabila mengetahui atau ditemukan fakta bahwa barang-barang tersebut telah menjadi jaminan di pihak lain, maka permohonan sita yang dapat diajukan adalah sita penyesuaian (vergelijkende beslag) bukan sita jaminan (conservatoir beslag).
Kedudukan hukum pemegang sita penyesuaian terhadap barang yang disita atau diagunkan kepada orang lain adalah:

  1. Berada setingkat di bawah pemegang sita jaminan.
  2. Pengambilan pemenuhan atas pembayaran tuntutan dari barang tersebut, diberikan prioritas utama kepada pemegang sita atau agunan, baru menyusul pemegang sita penyesuaian dengan acuan penerapan:
    1. Apabila hasil penjualan hanya mencukupi untuk melunasi tuntutan pemegang sita jaminan, sepenuhnya jumlah itu menjadi hak pemegang sita atau agunan, tanpa mengurangi pembagian hasil penjualan secara berimbang dalam eksekusi serentak berdasarkan Pasal 202 HIR atau Pasal 220 RBg dan pemegang sita jaminan tidak berkedudukan sebagai kreditur yang mempunyai hak privilege atas barang tersebut;
    2. Sekiranya hasil penjualan barang melebihi tuntutan pemegang sita atau agunan, maka sisa kelebihan itu menjadi hak pemegang sita penyesuaian.
  3. Selama sita jaminan atau agunan terdahulu belum diangkat atau dicabut, kedudukannya tetap berstatus sebagai pemegang sita penyesuaian.
  4. Apabila sita jaminan atau agunan terdahulu diangkat, maka hak dan kedudukan pemegang sita penyesuaian dengan sendirinya menurut hukum berubah menjadi pemegang sita jaminan.

Terdapat beberapa putusan hakim yang mengikuti yurisprudensi tersebut. Putusan-putusan yang mengikuti Putusan No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985, antara lain: 3 (tiga) putusan berasal dari Pengadilan Negeri Pekalongan (Provinsi Jawa Tengah), antara lain: Putusan No. 08/Pdt.G/2012/PN.Pkl dengan Majelis Hakim terdiri dari H. Sutiyono, S.H., M.H selaku Hakim Ketua serta Luluk Winarko, S.H. dan Bambang Setyo Widjonarko, S.H selaku para Hakim Anggota, Putusan No. 38/Pdt.G/2012/PN.Pkl dengan Majelis Hakim terdiri dari Luluk Winarko, S.H selaku Hakim Ketua, beserta para Hakim Anggota yaitu: Masduki S.H., dan Indriani S.H., M.Kn, dan Putusan No. 05/Pdt.G/2013/PN.Pkl dengan Majelis Hakim terdiri dari Ninik Hendra Susilowati, S.H., M.H selaku Hakim Ketua, dan beserta para Hakim Anggota yaitu: Bambang Setyo Widjonarko, S.H dan Indriani S.H., M.Kn. Dan 1 (satu) putusan yang mengikuti yaitu Putusan dari Pengadilan Negeri Tegal (Provinsi Jawa Tengah), yaitu Putusan No. 18/Pdt.G/2014/PN.Tgl dengan Majelis Hakim terdiri dari: Ratriningsih Ariani, S.H., selaku Hakim Ketua, dan beserta para Hakim Anggota yaitu: Dian Kurniawati S.H., M.H dan Guntoro Eka Sekti, S.H., M.H.

Kutipan kaidah yurisprudensi yang dirumuskan oleh putusan-putusan yang mengikuti ini, apabila ditelaah dengan saksama, maka kaidah yang dikutip oleh hakim-hakim selanjutnya telah sama persis (kecuali nama Bank BRI pada kaidah yurisprudensi telah disesuaikan dnegan pihak bank yang ada) dengan kaidah yurisprudensi yang ada di dalam putusan Mahkamah Agung No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985. Dimana semua penggugat dalam perkara-perkara tersebut seharusnya mengajukan sita penyesuaian (vergelijkende beslag) bukan sita jaminan (conservatoir beslag). Tampaknya dari putusan-putusan tersebut para hakim melihat kondisi yang sama yaitu barang-barang yang dijaminkan telah menjadi jaminan di bank, sehingga para hakim mendasarkan pertimbangan yang sama. Seharusnya para hakim dari pengadilan yang mengikuti Putusan No. 394 K/SIP/1984 tertanggal 31 Mei 1985 juga harus menggunakan kaidah yurisprudensi lain yanga ada dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1829 K/Pdt/1992 tanggal 2 Juni 1994, dimana pertimbangannya adalah menerapkan asas sita penyesuaian (vergelijkende beslag). Serta melihat pula tata cara pemberian sita penyesuaian pada Putusan Mahkamah Agung No. 1326 K/Sip/1981 tanggal 19 Agustus 1982.

Anotasi Oleh : Imelda Martinelli

AGUNAN YANG TIDAK DAPAT DIKENAKAN SITA JAMINAN

Re-statement kaidah yurisprudensi :
Barang-barang yang sudah [terlebih dulu] dijadikan jaminan hutang kepada pemegang hak jaminan kebendaan, tidak dapat dikenakan sita jaminan (conservatoir beslag).

Di tingkat Pengadilan Negeri Gresik, yang diminta oleh penggugat adalah:

  1. Menyatakan bahwa P tidak dapat mengambil manfaat dari surat-surat Notaris tersebut karena adanya pengumuman lelang atas barang-barang milik T1 atas permintaan T3 yang dilakukan oleh T2.
  2. P dirugikan atas perjanjian seharga emas tahun 1976 sebesar 1000 gram emas murni ditambah bunga 5% sebulan terhitung sejak bulan Maret 1976
  3. Menghukum tergugat membayar segala ongkos dalam perkara ini.

Pada tanggal 4 Maret 1981, Pengadilan Negeri Gresik putusan No. 40/1979/Pdt, yang intinya adalah mengabulkan gugatan sebagian, yaitu:

  1. Perbuatan wanprestasi;
  2. Menyatakan sah atas consevatoir beslag atas barang-barang T1 dan T2 dalam berita acara pensitaan lebih dahulu Pengadilan Negeri Gresik tanggal 26 Juli 1979 N0. 40/1979/Pdt;
  3. Pelunasan hutang T1 dan T2 kepada BRI cabang Gresik sebesar Rp. 7.000.000,- ditambah bunga secara tangung renteng mengembalikan uang sebesar Rp. 2.500.000,- ditambah 3% bunga setiap bulan sejak bulan Oktober 1976;
  4. menghukum kedua belah pihak membayar biaya perkara. Atas putusan ini, Poerjadi Hadi Soemarno melakukan upaya banding.

Atas dasar putusan ini, Penggugat lalu mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Surabaya No. 771/1982 Perdata memperbaiki amar putusan sebelumnya dengan:

  1. Menerima permohonan banding dari penggugat pembanding;
  2. Mengabulkan gugatan penggugat-pembanding untuk sebagian;
  3. Menyatakan sah atas consevatoir beslag atas barang-barang T1 dan T2 dalam berita acara pensitaan lebih dahulu Pengadilan Negeri Gresik tanggal 26 Juli 1979 No. 40/1979/Pdt;
  4. Pelunasan hutang T1 dan T2 kepada BRI cabang Gresik sebesar Rp. 7.000.000,- ditambah bunga secara tangung renteng mengembalikan uang sebesar Rp. 2.500.000,- ditambah 6% bunga setiap bulan;
  5. Menghukum kedua belah pihak membayar biaya perkara. Atas putusan ini, Poerjadi Hadi Soemarno melakukan upaya kasasi.

    Atas putusan Pengadilan Tinggi Surabaya ini, Poerjadi Hadi Soemarno kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam memori kasasinya menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi tidak sesuai dalam pertimbangan patut besarnya bunga ditentukan 6% setahun.

Amar putusan yang diambil oleh Mahkamah Agung, pada tanggal 28 Desember 1983, adalah menyatakan barang-barang yang sudah dijadikan jaminan hutang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik tidak dapat dikenakan conservatoir beslag. Menghukum T1 dan T2 secara tanggung renteng membayar hutangnya kepada penggugat sebesar Rp. 2.500.000 ditambah bunga 6% setahun sejak bulan Oktober 1976 sampai dibayar lunas.

Analisis:
Kaidah penemuan hukum di dalam putusan ini, apabila mengikuti buku yurisprudensi MA berbunyi: "Barang-barang yang sudah dijadikan jaminan hutang kepada Bank Rakyat Indonesia cabang Gresik tidak dapat dikenakan conservatoir beslag." Terhadap putusan ini, paling tidak dapat ditelusuri ada empat putusan yang telah mengikutinya, yaitu:

  1. Putusan Nomor: 08/Pdt.G/2012/PN. Pkl.
  2. Putusan Nomor: 38/Pdt.G/2012/PN. Pkl.
  3. Putusan Nomor : 05/Pdt.G/2013/PN. Pkl.
  4. Putusan Nomor: 18/Pdt.G/2014/PN. Tgl.

Satu sama lain, putusan-putusan tersebut memiliki kesamaan satu atau beberapa anggota majelis hakim. Formulasi dari kaidah yurisprudensi yang dikutip mereka berbunyi sebagai berikut: "Barang-barang yang sudah dijadikan jaminan hutang kepada bank, tidak dapat dikenakan sita jaminan/conservatoir beslag."
Penghilangan kata-kata "Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik" di atas sudah tepat karena dengan demikian kaidah tersebut menjadi berlaku umum sebagaimana seharusnya karakteristik suatu kaidah. Persoalannya yang muncul kemudian adalah: apakah jika jaminan hutang itu tidak dilakukan kepada bank, maka sita jaminan (conservatoir beslag) itu menjadi boleh dikenakan? Dengan perkataan lain, faktor yang menjadi penentu di sini apakah karena dipengaruhi oleh kedudukan kreditur (dalam hal ini preferen atau separatis) atau karena kreditur tersebut adalah sebuah institusi perbankan? Misalnya, apakah jika institusi perbankan dalam kaidah itu diganti dengan institusi lain, seperti perusahaan leasing, maka kaidah itu masih dapat diterapkan? Tampaknya, hal-hal di atas adalah pertanyaan kunci yang menjadi sorotan anotasi untuk putusan ini.
Sangat disayangkan, putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor 40/1979/Pdt dan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 771/1982/Perdata tidak dapat ditemukan, sehingga duduk perkara dari kasus ini hanya dapat ditelusuri seadanya dari bunyi putusan Mahkamah Agung Nomor 394K/Pdt/1984. Di dalam putusan MA ini dapat diasumsikan bahwa terdapat perbedaan kualifikasi kreditur antara Penggugat/Pembanding/Pemohon Kasasi dan BRI Cabang Gresik. Jelas, keduanya bukan kreditur konkuren. Dan jelas pula, bahwa posisi BRI di sini adalah sebagai kreditur separatis karena ia merupakan pemegang hak jaminan kebendaan berupa benda tetap.

Apakah Penggugat/Pembanding/Pemohon Kasasi juga seorang kreditur separatis sama seperti halnya pihak BRI? Dalam duduk perkara tidak ada penegasan demikian. Kata-kata kunci yang ditemukan justru ada pada kata-kata "Menimbang, bahwa disamping alasan-alasan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa barang-barang yang SUDAH (huruf kapital dari penulis) dijadikan jaminan hutang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik tidak dapat dikenakan conservatoir beslag." Dari perkataan ini, dapat diketahui bahwa sekalipun posisi Penggugat/Pembanding/Pemohon Kasasi adalah sama-sama kreditur separatis, di sini ternyata ada dua pemegang hak jaminan kebendaan dengan status yang sama untuk barang jaminan yang sama. Untuk itulah maka yang dilihat adalah siapa yang terlebih dulu menduduki posisi kreditur separatis itu. Kata-kata "sudah dijadikan hutang kepada Bank Rakyat Indonesia" itu merupakan frasa kunci untuk memperlihatkan bahwa BRI harus diberi prioritas dalam konteks ini.

Konsekuensi dari posisi BRI yang lebih tinggi inilah yang tidak memungkinkan Penggugat/Pembanding/Pemohon Kasasi mengajukan permintaan sita jaminan (conservatoir beslag) atas benda-benda yang sudah terlebih dulu dijadikan jaminan hutang tersebut. Dalam hal ini, pihak Tergugat I dan II dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah menyerahkan benda-benda yang sebenarnya sudah dijadikan jaminan terlebih dulu ke pihak kreditur yang lain.

Perkara ini menjadi kompleks karena kunci dan surat-surat rumah sudah diserahkan ke Penggugat/Pembanding/Pemohon Kasasi. Bahkan secara fisik rumah itu sudah ditempati dan dikuasai oleh Pengugat/Pembanding/Pemohon Kasasi.

Di sini terlihat bahwa Mahkamah Agung tidak memperhatikan iktikad baik yang ada pada pihak Penggugat/Pembanding/Pemohon Kasasi sebagai kreditur yang sudah sejak awal meminta perjanjian peminjaman uang ini dibuat dengan akta otentik. Harus diduga bahwa ia sama sekali tidak diberi informasi yang cukup, baik dari pihak Tergugat I dan II/Terbanding/Termohon Kasasi, maupun dari pihak notaris bahwa benda-benda yang dijaminkan itu sudah terlebih dulu dijaminkan kepada pihak lain.

Pokok permasalahan dari gugatan yang berujung ke permohonan kasasi ini adalah tentang sita jaminan. Oleh sebab itu, dari kaca mata hukum acara perdata, sikap Mahkamah Agung sudah tepat untuk mengamankan posisi hukum dari kreditur separatis yang sudah terlebih dulu menjadi pemegang hak jaminan. Kecenderungan pendekatan hukum acara perdata yang lebih mencari kebenaran formal, "terpaksa" diambil oleh Mahkamah Agung karena jika penyitaan diizinkan, berarti ada pihak lain yang sama-sama beriktikad baik, juga akan tercederai. Di sini, majelis hakim kasasi sebenarnya melokalisasi para pihak cukup pada sengketa antara Penggugat dan Tergugat I dan II, dan mencegah berdampak pada Tergugat III dan IV.

Catatan yang perlu diajukan atas putusan No. 394 K/Pdt/1984 ini justru terletak pada kaidah yurisprudensi yang dikutip berkali-kali di dalam berbagai putusan yang mengikuti. Dari analisis di atas, dapat dipahami bahwa kata-kata "bank" di dalam kaidah tersebut sama sekali tidak relevan. Artinya, status institusional perbankan dalam kasus ini bukan merupakan faktor penentu (determinan) karena sebenarnya siapapun yang menjadi pemegang hak jaminan kebendaan (kreditur separatis) yang lebih dulu ada, maka haknya itu harus diberi prioritas oleh hakim. Dalam konteks ini, benda-benda yang dijaminkan tidak boleh dimintakan sita jaminan. Bunyi kaidah yurisprudensi yang lebih tepat selayaknya berbunyi atau ditafsirkan maknanya sebagai berikut: "Barang-barang yang sudah [terlebih dulu] dijadikan jaminan hutang kepada pemegang hak jaminan kebendaan, tidak dapat dikenakan sita jaminan (conservatoir beslag)." Artinya, siapapun pemegang hak jaminan kebendaan yang sah itu, terlepas apakah bank atau bukan bank, tidak relevan untuk dipersoalkan.

  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • A. Soedjadi, SH -
  • R Soenarto, SH -
  • Drs. IGN. Gde Djaksa SH -

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 1976-02-25  
  • Poerjadi Hadi Soemarno (Penggugat/P) melalui isterinya, meminjamkan uang kepada Soekemi Saleh (Tergugat 1/T1) sebesar Rp. 2.500.000 atau senilai 1000 gram emas murni. Atas peminjaman uang tersebut dijanjikan akan diikat jaminan berupa barang tidak bergerak. Semua perjanjian itu dibuat di bawah tangan.
  •    Tanggal : 1976-06-01  
  • Lewat waktu 3 bulan T1 belum melaksanakan penjaminan tersebut, sehingga P berinisiatif mengajak T1 mengadakan perjanjian di muka Notaris.
  •    Tanggal : 1976-10-16  
  • Para pihak menghadap Notraris Imam Sukarno Adiwidjojo (T2) untuk membuat akta notaris terkait perjanjian mereka. Objek perjanjian penjaminan adalah dua bidang tanah perkarangan dan sebuah rumah. Benda-benda yang dijaminkan itu tercatat atas nama pemilik T1 dan Imam Sukarno Adiwidjojo (T2). T1 dan T2 membuat surat kuasa bersifat umum kepada P. Catatan: dalam putusan MA tidak dapat ditelusuri hubungan antara T1 dan T2, sementara putusan judex factie PN No. 40/1979/Pdt. tidak dapat diakses. Ternyata benda-benda tersebut sudah dijaminkan pula oleh T1 dan T2 ke BRI Cabang Gresik, sehingga P tidak dapat mengambil manfaat dari surat-surat Notaris tersebut, khususnya ketika BRI diketahui telah membuat pengumuman lelang atas barang-barang milik T1 atas permintaan Kepala Kantor BRI Cabang Gresik (T3). yang dilakukan oleh T2. P dirugikan atas perjanjian seharga emas tahun 1976 sebesar 1000 gram emas murni ditambah bunga 5% sebulan terhitung sejak bulan Maret 1976
  •    Tanggal : 1981-03-04  
  • Pengadilan Negeri Gresik putusan No. 40/1979/Pdt, yang intinya adalah mengabulkan gugatan sebagian, yaitu: (1) perbuatan wanprestasi; (2) menyatakan sah atas consevatoir beslag atas barang-barang T1 dan T2; dan (3) Pelunasan hutang T1 dan T2 kepada BRI cabang Gresik sebesar Rp. 7.000.000,-. Ditambah bunga tangung renteng, mengembalikan uang sebesar Rp. 2.500.000,-. Ditambah 3% bunga setiap bulan, sejak bulan Oktober 1976; (4) menghukum kedua belah pihak membayar biaya perkara. Atas putusan ini, Poerjadi Hadi Soemarno melakukan upaya banding.
  •    Tanggal : 1983-06-17  
  • Pengadilan Tinggi Surabaya No. 771/1982 Perdata memperbaiki amar putusan sebelumnya dengan: Ditambah 6% bunga setiap bulan. Kemudian, Poerjadi Hadi Soemarno melakukan upaya kasasi.
  •    Tanggal : 1983-12-28  
  • Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 394K/Pdt/1984 yang dalam amarnya menyatakan: "Barang-barang yang sudah dijadikan jaminan hutang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik tidak dapat dikenakan conservatoir beslag."
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Putusan Pengadilan Negeri: No. 40/1979/Pdt Putusan Pengadilan Tinggi: 771/1982 Putusan Kasasi: 394K/Pdt/1984

Frasa Terkait Karakterisasi

    Tidak Ada

Author Info