Karakterisasi Yurisprudensi No : 140 K/Sip/1971

  • Post : 2024-07-25 12:08:09
  • Download (956)
Kaidah Yurisprudensi : 140 K/Sip/1971
Kaidah 1: Janda Cerai mempunyai hak yang sama dengan Janda Mati terhadap barang-barang peninggalan suaminya yang telah meninggal dunia, yang belum dibagi. Kaidah 2: Keputusan judex facti yang didasarkan kepada petitum subsidair yaitu permoonan mengadili menurut kebijaksanaan pengadilan, hingga karenanya tidak terikat kepada rumusan petitum primari, dapat dibenarkan, karena dengan demikian lebih diperoleh suatu keputusan yang lebih mendekati rasa keadilan, asalkan masih dalam kerangka yang serasi dengan inti petitum primair. Perbaikan kaidah yurisprudensi 1:
  1. Janda Cerai yang memiliki harta peninggalan yang belum dibagi [setelah perceraian sampai bekas suami/pewaris meninggal dunia] adalah ahli waris yang berhak menerima pembagian atas barang-barang warisan (harta peninggalan) tersebut, sama besarnya dengan bagian yang diterima oleh Janda Mati.
  2. Anak Angkat dari pasangan Janda Cerai yang memiliki harta peninggalan yang belum dibagi [setelah perceraian sampai ayah angkatnya/pewaris meninggal dunia] adalah ahli waris yang berhak menerima pembagian atas barang-barang warisan (harta peninggalan) tersebut, sama besarnya dengan bagian yang diterima Janda Cerai dan Janda Mati.
Pertimbangan Hukum

Pertimbangan 1:

  • bahwa sesuai dengan pertimbangan judex facti... tidak terang terbukti, bahwa barang-barang tersebut adalah barang-barang gono gini tetap jelas ternyata bahwa barang-barang yang dipersengketakan adalah harta peninggalan alamarhum Mertodurjo nk Ramidjan;
  • . . .
  • bahwa mengingat akan kenyataan-kenyataan di atas, maka adalah adil jika harta peninggalan yang dipersengketakan itu diserahkan kepada kedua janda almarhum Mertodurjo nk Ramidjan, yaitu penggugat-asli 1 (tergugat dalam kasasi) dan tergugat asli 1 sebagai turut tergugat dalam kasasi dan penggugat asli II sebagai anak angkat;
  • bahwa dalam pada itu Mahkamah Agung lebih menyetujui pendapat Pengadilan Negeri yang memberikan kepada ketiga orang tersebut di atas masing-masing 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan tersebut, sehingga putusan Pengadilan Tinggi tersebut harus diperbaiki sepanjang mengenai hal itu;

Pertimbangan 2:

  • bahwa ... tampakya judex mendasarkan putusan itu atas gugatan subsidair yaitu permintaan mengadili menurut kebijaksanaan Pengadilan yang dalam petitum disebut gugatan kedua, sehingga judex facti merasa tidak terikat pada rumusan gugatan primair, yang disebut dalam petitum gugatan pertama;
  • bahwa Mahkamah Agung pada azasnya dapat menyetujui pandangan judex facti tersebut, karena menurut hemat Mahkamah Agung akhirnya ternyata, bahwa dengan mengetrapkan tuntutan subsidair (kedua) tersebut lebih diperoleh suatu putusan yang lebih mendekati pada rasa keadilan, namun demikian tetap dalam kerangka yang serasi dengan inti yang terbanding dalam tuntutan-tuntuan pertama 1 s/d 6 hingga oleh karenanya tidak melanggar ketentuan pasal 178 (2) HIR;

Anotasi Oleh : Dr. Shidarta

Perkara ini disidangkan di lingkungan peradilan umum, yang menunjukkan bahwa para pihak tidak menggunakan dasar hukum Islam sebagai acuan pembagian warisan (dalam putusan tidak disebutkan agama para pihak). Pilihan hukum yang digunakan juga bukan hukum waris Barat, melainkan hukum waris adat.

Isu hukum yang diangkat dalam perkara ini adalah kejelasan tentang: (1) pembedaan antara harta peninggalan dan harta gono gini sebagai harta warisan; (2) status janda cerai; dan (3) status anak angkat sebagai ahli waris. Oleh karena perkara ini dalam ranah hukum adat, maka pertimbangan dasar hukum positif sama sekali tidak ditemukan. Majelis hakim membuat pertimbangan berdasarkan keterangan saksi dan penafsiran sosiologis.

Tentang harta warisan, putusan MA yang memperkuat putusan judex facti menyakini harta ini adalah harta peninggalan Pewaris yang belum dibagi. Di sini tidak disebutkan kata "gono gini" antara Penggugat I (isteri pertama; janda cerai) dan Pewaris. Penegasan yang sama juga tidak ditemukan dalam diktum putusan PT dan MA. Kebimbangan pengadilan seperti ini sangat disayangkan karena jika barang sengketa ini bukan harta gono gini, maka berarti tidak ada kepastian kapan harta ini diperoleh. Apabila tidak dapat dipastikan kapan diperoleh, maka berarti juga tidak dapat dipastikan bahwa Penggugat I, Penggugat II, dan Tergugat I benar mempunyai hak atas seluruh harta peninggalan itu. Ketiadaan kata-kata ini di dalam diktum (padahal diminta oleh pengugat) menimbulkan tanda tanya, karena ada saksi yang menyatakan bahwa harta itu diperoleh dalam lima tahun pertama perkawinan Pewaris dengan Penggugat I. Namun, secara tersirat, dengan putusan yang memenangkan Penggugat I dan Penggugat II, dapat disimpulkan bahwa pengadilan memang membenarkan barang-barang sengketa adalah harta gono gini yang diperoleh selama perkawinan Penggugat I dengan Pewaris.

Status janda cerai yang dimaksud dalam putusan ini ternyata mengalami penafsiran yang restriktif, yaitu hanya menyangkut diri Penggugat I. Padahal, Pewaris tidak hanya menikah dan menceraikan satu wanita. Setelah menceraikan Penggugat I pada tahun 1948, Pewaris menikah lagi. Saksi Sudihardjo nk Supar sebagai Kepala Desa Balesari sejak tahun 1945, menyatakan selama hidupnya Pewaris pernah menikah sampai delapan kali. Artinya di antara Penggugat I sampai isteri yang terakhir (janda mati), sebenarnya ada janda cerai-janda cerai lainnya.

Dengan demikian, kaidah yurisprudensi yang muncul dalam putusan perkara ini sebenarnya dapat diperbaiki di kemudian hari oleh putusan hakim yang lain, karena ahli waris yang dimaksud adalah janda cerai yang memiliki harta gono gini (tidak sekadar ''harta peninggalan'') yang belum dibagi, dan janda mati. Janda-janda cerai yang tidak memiliki harta gono gini tidak termasuk di dalam kategori ahli waris.

Lagi pula, diktum kedua dari putusan MA ini juga inkonsisten karena terdapat kata ''satu-satunya'' ahli waris almarhum Mertodurjo adalah Soedar (anak angkat) dan Bok Parsini (janda mati). Dua orang ini jelas bukan ''satu-satunya''. Tiba-tiba pada diktum berikutnya, muncul pula tambahan ahli waris ketiga yaitu Bok Gandik, sehingga "satu-satunya" itu lalu berubah menjadi tiga orang ahli waris.

Hal lain terkait status anak angkat bernama Sudar (Penggugat II). Oleh karena para pihak tidak tunduk pada hukum perdata Barat, maka pengangkatan anak di dalam perkara ini tidak menggunakan prosedur adopsi dalam KUH Perdata. Dalil yang digunakan untuk mengesahkan status anak angkat terhadap Penggugat II juga bersifat sosiologis, seperti momentum khitanan, perkawinan, dan kematian. Penggugat II ini dikhitankan oleh Penggugat I saat ia masih menjadi isteri Pewaris. Waktu Pengugat II menikah, yang membayar masa kawin adalah Pewaris. Penggugat II juga ikut mengurusi jenazah Pewaris saat ''ayah angkat''-nya itu meninggal dunia. Dalam kultur budaya setempat, hal ini memperlihatkan terus berlanjutnya ikatan batin yang kuat untuk tetap memposisikan Penggugat II sebagai anak angkat pasangan Penggugat I (Janda Cerai) dan Pewaris. Dengan status ini, berarti Penggugat II juga sah menjadi ahli waris, dengan menerima bagian yang sama besar dengan Janda Cerai dan Janda Mati.

Di luar hal-hal yang disebutkan di atas, putusan MA ini juga memperkuat pendirian judex facti untuk mengabulkan gugatan berangkat dari petitum subsidair, yang di dalam gugatan diungkapkan dengan kata-kata: ''mengadili perkara ini menurut kebjaksanaan (in goede justitie) Pengadilan Negeri di Temanggung''. Petitum subsidair seperti ini dipandang memberi kebebasan bagi hakim untuk merumuskan amar putusan, sepanjang: (1) lebih mendekati rasa keadilan; dan (2) masih dalam kerangka yang serasi dengan inti petitum primair. Jika mengacu pada kaidah ini, berarti petitum seperti ini bukanlah ultra petita.

Sayangnya, MA sendiri tidak cukup konsisten menggunakan kaidah yurisprudensi dalam hukum acara perdata ini. Hal ini misalnya tercermin dari Putusan No. 2263 K/Pdt/1991 tentang kasus Kedong Ombo yang diputuskan oleh majelis hakim di bawah ketua majelis Zaenal Asikin Kusumah Atmadja. Warga Kedung Ombo pada saat menggugat di Pengadilan Negeri Semarang (1990) menetapkan nilai ganti rugi yang diminta sebesar Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah) per meter persegi. Gugatan ini dikalahkan sampai akhirnya warga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Proses beracara yang demikian lama akhirnya membuahkan putusan tiga tahun kemudian (1993) berupa putusan kasasi yang memenangkan gugatan mereka. Putusan ini mengabulkan nilai gugatan jauh melebihi Rp10.000 per meter persegi, sehingga membuka peluang bagi pihak tergugat untuk mengajukan upaya peninjauan kembali. Dalih yang digunakan oleh Pemerintah untuk mengajukan peninjauan kembali adalah Pasal 178 HIR jo. Pasal 67 Huruf c Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menetapkan secara eksplisit bahwa hakim tidak dapat mengabulkan nilai gugatan lebih daripada yang diminta penggugat. Padahal, dalam petitum subsidair juga diminta agar hakim "...memberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan hukum dan keadilan." Putusan peninjauan kembali MA No. 650 PK/Pdt/1994 menjadi antiklimaks bagi warga Kedung Ombo karena menganulir putusan MA dengan menyatakan gugatan mereka tidak dapat diterima.

  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • Prof. R. Sardjono, S.H. - Ketua
  • D.H. Lumbanradja, S.H. - Anggota
  • Indroharto, S.H. - Anggota

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Bok Mertodurjo nk Gandik (Bok Gandik) menikah dengan Mertodurjo nk Ramidjan
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Pasangan tersebut selama menikah tidak dikaruniai anak, sehingga mengangkat Soedar (umur 7 bulan) sebagai anak angkat.
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Selama perkawinan Mertodurjo membeli tanah sawah, tanah pekarangan, bangunan rumah, yang di kemudian hari menjadi objek sengketa. Total harga beli Rp 236.500,-
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Bok Gandik bercerai dengan Mertodurjo nk Ramidjan. Tidak ada pembagian harta, semua masih dalam penguasaan Mertodurjo. Soedar tinggal bersama Bok Mertodurjo.
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Menurut keterangan saksi Kepala Desa dan Carik Balesari, Mertodurjo ini pernah beberapa kali kawin dan bercerai. Semua tidak dikaruniai anak. Urutan isteri-isterinya adalah:

    1. Bok Kemik (meninggal dunia)
    2. Bok Sini (dicerai)
    3. Bok Sumini (meniggal dunia)
    4. Bok Poni (dicerai)
    5. Bok Gandik (dicerai, yang kemudian menjadi Penggugat I)
    6. Bok Kutuk (dicerai)
    7. Bok Lamat (dicerai)
    8. Bok Parsini (isteri terakhir, menjadi Tergugat I)
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Mertodurjo menikah dengan Bok Parsini. Juga tidak dikaruniai anak.
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Mertodurjo meninggal dunia.
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Harta yang menjadi objek sengketa dikuasai secara fisik oleh saudara-saudara Mertodurjo dan Parsini. Kehidupan mereka cukup berada, sementara kehidupan Bok Gandik dan Soedar terbilang miskin.
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Bok Gandik dan Soedar (Penggugat I dan II) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Temanggung melawan: Bok Parsini (Tergugat I) dan enam orang lainnya.
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Putusan PN Temanggung No. 380/1061/PN.T antara lain intinya: (1) mengabulkan gugatan untuk sebagian; (2) menetapkan dan mengesahkan Penggugat I sebagai isteri janda, tergugat I sebagai isteri janda, dan Penggugat II sebagai anak angkat, yang ketiga-tiganya adalah ahli waris yang berhak mewarisi barang sengketa peninggalan almarhum Mertodurjo; (3) menetapkan dan mengesahkan barang-barang sengketa sebagai warisan; (4) menghukum para tergugat mengosongkan barang sengketa; (5) menetapkan bagian dari ahli waris masing-masing 1/3 (sepertiga); (6) dst....
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Salah seorang tergugat asli bernama Mertowidjojo (yang menguasai salah satu barang sengketa) mengajukan banding ke PT di Semarang.
  •    Tanggal : 1967-11-28  
  • Putusan PT di Semarang No.448/1963/Pdt/PTSmg.antara lain intinya: (1) memperbaiki putusan PN Temanggung sekadar mengenai keahli-warisan; (2) menyatakan bahwa satu-satunya ahli waris almarhum Mertodurjo adalah Soedar sebagai anak angkat dan Bok Parsini sebagai janda mati; (3) menentukan bagian masing-masing adalah 1/2 (separuh) harta peninggalan); (4) dst. ...
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Atas putusan PT ini, Mertowidjojo bersama dengan Partiwi dan Bok Manisi (semua adalah penguasa barang sengketa) mengajukan kasasi.
  •    Tanggal : 1972-08-12  
  • Putusan MA No. 150 K/Sip/1971 antara lain isinya: (1) menolak permohonan kasasi; (2) menyatakan bahwa ahli waris almarhum Merdodurdjo adalah Soedar, Bok Gandik, dan Bok Parsini; (3) menetapkan masing-masing bagiannya akan mendapat sepertga bagian; (4) dst....

Frasa Terkait Karakterisasi

Author Info

  • Dr. Shidarta :
    adalah dosen senior pada Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara. Ia adalah penulis sejumlah buku dalam bidang filsafat hukum, penalaran hukum dan metode penelitisan hukum. Ia tercatat menjadi pendiri beberapa sosiasi ilmiah, seperti Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Forum Dosen Persaingan Usaha, dan Asosiasi Dosen Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi. Selain di BINUS, ia adalah dosen di Program Pascasarjana (magister dan doktor) pada Universitas Diponegoro (Semarang), Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta), dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Beliau tercatat pernah menjadi dosen tamu di Universitas Kozminski (Polandia) dan Universitas Chengshiu (Taiwan)