Karakterisasi Yurisprudensi No : 102 K/Sip/1973

  • Post : 2024-10-11 19:46:56
  • Download (224592)
Kaidah Yurisprudensi : 102 K/Sip/1973

Kaidah : Ibu kandung yang diutamakan khususnya bagi anak yang masih kecil karena kepentingan anak menjadi kreterium, kecuali terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anak-anaknya.

Re-statement Kaidah Yurisprudensi: Tindakan judex facti yang mendengar para keluarga sedarah dan semenda terdekat dari anak tentang siapa sebaiknya yang akan ditunjuk sebagai pengampu adalah prosedur yang memenuhi persyaratan untuk penetapan siapa yang berhak menjadi pengampu anak dalam perkara perceraian.

Pertimbangan Hukum

Anotasi Oleh : Dr. Shidarta

PENETAPAN PENGAMPU ANAK DALAM PERCERAIAN HARUS MENDENGAR
KETERANGAN KELUARGA SEDARAH DAN SEMENDA

Putusan ini berangkat dari kasus perdata terkait perceraian. Lebih khusus lagi, dalam rngka memperebutkan hak pengampuan atas anak (belum dewasa).

Kasus bermula dari perceraian antara Dr. Frans Leslie Jusuf dan Jenae Natalia Tanuwidjaya. Putusan Nomor 102 K/Sip/1973 ini memuat data yang tidak akurat tentang kapan perkawinan di antara mereka terjadi. Semula disebutkan bahwa perkawinan keduanya dilangsungkan di hadapan Catatan Sipil Makassar pada tanggal 11 Juni 1970 dengan akta Nomor 213. Sementara pada bagian lain dari putusan ini, Mahkamah Agung mengutip diktum dari Pengadilan Negeri Makassar yang menyatakan bahwa perkawinan itu terjadi tanggal 16 September 1967. Tanggal yang terakhir inilah yang dikutip berkali-kali, sehingga diasumsikan ini adalah tanggal yang lebih dapat dipegang.

Dalam perkawinan mereka, telah lahir seorang anak bernama Jhon Erphing Jusuf. Karena kehidupan perkawinan ini tidak lagi dapat dipertahankan, maka sang isteri (Jenae Natalia Tanuwidjaya) lalu menggugat cerai. Di sini yang menjadi inti persoalan adalah siapa di antara keduanya yang diberikan hak pengampuan terhadap anak mereka yang masih belum dewasa tersebut.

Di tingkat Pengadlan Negeri Makassar, yang diminta oleh penggugat adalah:

  1. menyatakan bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat yang dilangsungkan di hadapan Catatan Sipil Makassar pada tanggal 16 September 1967, telah terurai oleh perceraian;
  2. menunjuk penggugat sebagai ibu pengampu (moeder voogdes [?]) dari anaknya benama Jhon Erphing Jusuf sesudah perceraian;
  3. menghukum tergugat mengadakan dengan penggugat pembagian dari semua barang dan uang-uang yang menjadi pendapatan bersama dalam perkawinan kedua belah pihak ...., sehingga masing-masing mendapat seperdua bagian;
  4. menghukum tergugat memabyar pada penggugat uang sejumlah Rp30.000 sebulan, yaitu Rp20.000 untuk penggugat dan Rp10.000 unuk anak Jhon Erphing Jusuf untuk tiap-tiap bulan sebagai allimentatie;
  5. menghukum tergugat membayar segala ongkos dalam perkara ini.

Pada tanggal 1 Oktober 1970, Pengadilan Negeri Makassar telah mengambil putusan (Nomor 179/1970/Pdt.) dengan amar mengabulkan gugatan sebagian, yaitu:

  1. menyatakan bahwa perkawinan antara penggugat Jeane Natalie Tanuwidjaja dan tergugat Dr. Frans Leslie Jusuf tersebut yang dilangsungkan pada tanggal 16 September 1967 di Makassar telah putus karena perceraian;
  2. menunjuk dan menetapkan tergugat Dr. Frans Leslie Jusuf sebagai pengampu atas anaknya Jhon Erphing Jusuf tersebut dengan ketentuan anak tersebut oleh pengugat harus diserahkan oleh penggugat kepada tergugat setelah perceraian tersebut mempunyai kekuatan tetap;
  3. menghukum kedua belah pihak membayar biaya perkara dalam perakara ini masing-masing seperdua bagian yang hingga kini (maksudnya sampai saat putusan dbacakan) dirancang Rp730;
  4. menolak dan tidak dapat menerima gugatan selebihnya.

Atas dasar putusan ini, Penggugat lalu mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Ujung Pandang pada tanggal 31 Maret 1972 melalui putusan No. 3/1971/PT/Pdt menerima permohonan banding dari penggugat pembanding tersebut dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Makassar, dengan perbaikan amar putusan yang berbunyi sebagai berikut:

  1. mengabulkan gugatan penggugat-pembanding sebagian;
  2. menyatakan bahwa perkawinan antara penggugat-pembanding Jeane Natalia Tanuwidjaja dan tergugat-terbanding Dr. Frans Leslie Jusuf tersebut, .... telah putus karena perkawinan;
  3. menunjuk dan menetapkan penggugat-pembanding menjadi pengampu anaknya John Erphing Jusuf;
  4. mewajibkan tergugat-terbanding untuk membayar tiap bulan biaya hidup anak tersebut sebesar Rp10.000;
  5. menolak dan tidak menerima gugatan penggugat-pembanding untuk yang selebihnya;
  6. menghukum penggugat-pembanding maupun tergugat-terbanding supaya membayar biaya perkara ini dalam tingkat banding maupun dalam tingkat pertama masing-masing separuh, ang dalam tingkat banding jumlahnya Rp705.

Atas putusan Pengadilan Tinggi Ujung Pandang ini, Dr. Frans Leslie Jusuf kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di sini Mahkamah Agung memberi perhatian pada sanggahan pihak pemohon kasasi yang dalam memori kasasinya menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi telah salah menafsirkan soal ''moederliefde'' (maksudnya, ''kasih sayang Ibu''). Menurut pemohon kaaasi, ternyata si ibu, yiatu Jeane Natalia Tanuwidjaja telah kawin lagi dan berada di Jakarta, sedangkan anaknya Jhon Erphing Jusuf diserahkan kepada orang lain. Anaknya kini berada dalam keadaan sakit paru-paru.

Mahkamah Agung menilai judex facti, yaitu Pengadilan Negeri Ujung Pandang (tidak ditulis ''Makassar'') dan Pengadilan Tinggi Ujung Pandang, dalam konteks pengampuan atas anak Jhon Erphing Jusuf ini tidak telah (maksudnya "belum") mendengar terlebih dulu para keluarga sedarah dan semenda yang terdekat dari anak yang belum dewasa tersebut, sebagaimana diharuskan oleh Pasal 63 Ordonantie Perkawinan Orang Indonesia Kristen (Stbl 1933-74) maupun oleh Pasal 229 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung tidak membuat kutipan terhadap kedua dasar hukum ini.

Amar putusan yang diambil oleh Mahkamah Agung, pada tanggal 15 Oktober 1973, adalah memerintahkan kepada Pengadilan Negeri Ujung Pandang untuk membuka kembali pemeriksaan di muka sidang untuk mendengar para keluarga sedarah dan semenda yang terdekat dari anak [bernama] Jhon Erphing Jusuf, tentang siapa sebaiknya yang akan ditunjuk sebagai pengampu atas anak tersebut. Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 ini sama sekali tidak menyentuh pokok perkara.

Analisis:

Esensi dari amar putusan dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan ini tentu tidak ada yang perlu dipemasalahkan. Akan tetapi, jika ditelaah lebih jauh, ada persoalan pada dasar hukum yang digunakan oleh majelis kasasi di Mahkamah Agung ini. Majelis kaasasi tidak tepat menggunakan dasar hukum Pasal 63 Ordonantie Perkawinan Orang Indonesia Kristen (Stbl 1933-74) dan Pasal 226 KUH Perdata.

Pasal 63:

  1. Die uitkeering wordt bepaald naar het inkomen van den man (pembayaran itu ditentukan menurut penghasilan suami).
  2. De landraad kan op verzoek van een der partijen na verhoor of behoorlijke oproeping van de andere partij de beslissing over de uitkeering wijzigen of intrekken (pengadilan negeri, atas permintaan salah satu pihak, dapat mengubah atau menarik kembali putusannya tentang pembayaran setelah mendengar atau memberi tahu pihak lain) (Pasal 226 KUH Perdata).

Jadi, Pasal 63 Ordonantie Perkawinan Orang Indonesia Kristen pada hakikatnya tidak berkaitan dengan persoalan hak pengampuan anak, melainkan tentang alimentasi, sebagaimana mengacu pada pasal sebelumnya, yakni Pasal 62. Dalam Pasal 62 ini dinyatakan bahwa apabila isteri tidak mempunyai pendapatan yang mencukupi untuk pemeliharaan hidupnya, maka pengadilan negeri akan memberikan pembayaran kepadanya dari harta suaminya untuk pemeliharaan hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal 225 KUH Perdata.

Pasal 225 KUH Perdata sendiri menyatakan: ''Jika pihak suami atau isteri, atas kewenangan siapa perceraian itu dinyatakan, tak mempunyai penghasilan yang cukup guna membelanjai nafkahnya, maka pengadilan negeri boleh menentukan sejumlah tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak yang lain.'' Dalam bahasa aslinya, pasal ini berbunyi: ''Indien de echgenoot, op wiens verzoek de echtscheiding is uitgesproken, geene genoegzame inkomsten heeft tot zijn levensonderhoud, zal de raad van justitie hem uit de goederen van den anderen echtgenoot eene uitkeering tot oderhoud mogen toeleggen.''

Pasal 225 ini menggunakan perspektif kesetaraan gender antara suami dan isteri. Dalam pasal itu, digunakan kata-kata ''pasangan'' (suami atau isteri). Artinya, yang memberikan tunjangan itu bisa dari pihak suami atau isteri. Namun, Pasal 226 menyatakan pembayarannya ditentukan menurut penghasilan suami. Hal ini berarti, tunjangan tadi hanya mungkin datang dari pihak suami kepada sang isteri, bukan sebaliknya.

Atas permintaan salah satu pihak (suami atau isteri), pengadilan negeri dapat mengubah atau menarik kembali putusannya tentang besaran pembayaran tersebut setelah mendengar atau memberi tahu pihak lain. Kata ''pihak lain'' di sini tentu adalah pihak lawan (suami terhadap isteri, atau sebaliknya). Jadi, tidak ditemukan di sini secara eskplisit disebutkan pihak lain tersebut adalah keluarga sedarah atau semenda terdekat.

Uniknya, bahwa R. Subekti yang menjadi hakim ketua dalam kasus ini di Mahkamah Agung, masih mengutip Pasal 226 KUH Perdata, padahal berdasarkan Stbl 1938-622, ketentuan Pasal 226 ini telah dihapus. Hal ini juga dinyatakan secara tegas dalam KUH Perdata terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.

Kekeliruan terjadi justru pada penyebutan Pasal 62 Ordonantie Perkawinan Orang Indonesia Kristen karena pasal yang lebih relevan sebenarnya adalah Pasal 60. Hal ini karena Pasal 60 benar-benar menyinggung tentang hak pengampuan terhadap anak.

Pasal 60:

  1. De landraad kan zoodanige maatregelen ten aanzien van de verzorging van de kinderen en tot bewaring van de rechten der echtgenooten op hunne goederen of die gemeenschap bevelen als hij noodig zal achten om hangende het geding van kracht te zijn (BW 214v). (Pengadilan negeri dapat memerintahkan dilakukan tindakan-tindakan yang perlu guna pemeliharaan anak-anak dan untuk pengamananan hak-hak pasangan suami/isteri atas barang-barang mereka, selama persidangan berlangsung).
  2. Alvorens die beschikking te nemen, raadpleegt hij zoo mogelijk de daarvoor in aanmerking komende verwanten van de echtgenooten en hun dorpshoofd (Sebelum mengambil keputusan itu, pengadilan negeri harus, jika mungkin, berkonsultasi dengan kerabat yang relevan dari pasangan dan kepala desa mereka).

Amar Mahkamah Agung yang memerintahkan agar judex facti memeriksa kembali persidangan untuk mendengar keluarga semenda dan sedarah, tentu dalam rangka memenuhi Pasal 60 ayat (2) Ordonantie Perkawinan Orang Indonesia Kristen. Perlu dicatat di sini, dengan penyebutan ''keluarga sedarah dan semenda'' ini, majelis kasasi sesungguhnya tidak memperluas makna Pasal 60 ayat (2), tetapi justru mempersempit. Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) yang perlu didengar (dikonsultasikan) adalah kerabat (verwanten) yang relevan atau memenuhi syarat. Kerabat yang relevan tentu saja bisa dimaknai adalah kerabat yang masih memiliki hubungan sedarah dan semenda. Namun, jika majelis hakim ingin mengetahui tentang ''moederliefde'' dari si ibu yang telah diberikan hak pengampuan, boleh jadi akan sia-sia mendengar keterangan dari orang-orang yang tidak tinggal sehari-hari dengan si ibu. Justru yang dikhawatirkan terjadi adalah potensi perseturuan antara keluarga, bahwa para saksi itu akan membela keluarganya masing-masing. Penafsiran terhadap "kerabat yang relevan" di sini akan menghasilkan makna yang diperluas apabila diartikan sebagai semua orang yang bergaul sehari-hari dengan si anak, seperti tetangga, guru sekolah dari anak itu, dan asisten rumah tangga mereka (jika ada). Kiranya, demikianlah maksud dari pembentuk ordonantie ini, karena di dalam Pasal 60 ayat (2) ini disebut kata kepala desa (dorpshoofd). Kata sambung yang dipakai adalah "dan" (en) bukan "atau" (of). Ironisnya, majelis kasasi tidak meletakkan keperluan untuk berkonsultasi dengan kepala desa ini, sekalipun sudah diamanatkan di dalam Pasal 60 ayat (2).

Sangat mungkin pertimbangannya adalah karena dalam konteks ini, para kepala desa sudah tidak mungkin lagi mengenal kehidupan warganya seintens puluhan tahun lalu. Itulah sebabnya, akan sangat berguna seandainya makna kata ''kepala desa'' ini dapat diartikan sebagai ''orang-orang yang tinggal di desa atau lokasi perumahannya''. Keperluan ini tidak sampai pada derajat kewajiban karena Pasal 60 ayat (2) menyatakan ''jika memungkinkan'' (zoo mogelijk). Judex facti sebenarnya adalah institusi yang paling dapat menilai seberapa mungkin permintaan keterangan tersebut perlu dilakukan. Apabila judex facti, khususnya di tingkat pertama, saat itu tidak meminta keterangan mereka, boleh jadi karena hal itu memang tidak diajukan oleh penggugat dan/atau tergugat. Oleh sebab itu, untuk kasus-kasus yang menyangkut tuntutan hak pengampuan atas anak, sangat penting bagi judex facti untuk menambahkan pertimbangan tentang seberapa memungkinkan amanat Pasal 60 ayat (2) tersebut dijalankan.

Apabila disilogismekan, maka argumentasi dari Mahkamah Agung adalah sebagaimana tampak dari tabel berikut di bawah ini. Untuk keperluan penyusunan silogisme yang sesuai dengan tata cara penyusunan yang baku, maka sejumlah kata dari bunyi pertimbangan majelis kasasi sengaja disesuaikan (tanpa mengubah makna kalimat). Argumentasi tersebut terdiri dari susunan premis mayor, minor, dan konklusi sebagai berikut:

Premis mayor Tindakan judex facti yang mendengar para keluarga sedarah dan semenda terdekat dari anak tentang siapa sebaiknya yang akan ditunjuk sebagai pengampu adalah prosedur yang memenuhi persyaratan untuk penetapan siapa yang berhak menjadi pengampu anak dalam perkara perceraian.
Premis minor Perbuatan majelis PN Makassar/PT Ujung Pandang yang hanya mendengar pendapat suami dan isteri yang berperkara adalah tindakan judex facti yang TIDAK mendengar para keluarga sedarah dan semenda yang terdekat dari anak tentang siapa sebaiknya yang akan ditunjuk sebagai pengampu.
Konklusi Perbuatan majelis PN Makassar/PT Ujung Pandang yang hanya mendengar pendapat suami dan isteri yang berperkara adalah prosedur yang TIDAK memenuhi persyaratan untuk penetapan siapa yang berhak menjadi pengampu anak dalam perkara perceraian.

Lalu, apa yang seharusnya dijadikan sebagai kaidah yurisprudensi? Kaidah yurisprudensi yang muncul dari putusan ini adalah proposisi yang muncul di dalam premis mayor di atas, yakni: ''Tindakan judex facti yang mendengar para keluarga sedarah dan semenda terdekat dari anak tentang siapa sebaiknya yang akan ditunjuk sebagai pengampu adalah prosedur yang memenuhi persyaratan untuk penetapan siapa yang berhak menjadi pengampu anak dalam perkara perceraian.''

Sepanjang yang dapat dilacak sementara ini, putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 102 K/Sip/1973 telah diikuti oleh beberapa putusan, antara lain:

  1. Putusan Nomor: 63/Pdt.G/2016/PN.Amp
  2. Putusan Nomor: 65/Pdt.G/2016/PN.Amp
  3. Putusan Nomor : 37/Pdt.G/2017/PN.Amp
  4. Putusan Nomor: 48/Pdt.G/2017/PN.Amp

Semua putusan yang sementara ini terlacak berasal dari majelis hakim pada Pengadilan Negeri Amlapura (Provinsi Bali), yang terdiri dari: (1) I Gede Adhi Gadha Wijaya, S.H., M.H, (2) Putu Ayu Sudariasih, S.H., M.H., dan (3) Ni Made Kushandari, S.H. Ada satu putusan, yaitu putusan Nomor 48/Pdt.G/2017/PN.Amp yang ditambah dengan nama lain sebagai hakim anggota, yaitu I Gusti Ayu Kharina Yuli Astiti, S.H. Dapat diduga, bahwa ketidakcermatan majelis hakim dalam menggunakan referensi putusan, lebih karena mereka tidak sempat membaca langsung putusan Mahkamah Agung yang dijadikan acuan, sehingga kesalahan dalam penulisan nomor putusan, tanggal putusan, bahkan isi putusan, tidak terkoreksi. Kesalahan itu direplikasi terus-menerus tatkala hakim-hakim yang sama tersebut mengadili kasus-kasus serupa.

Kutipan kaidah yurisprudensi yang dirumuskan oleh putusan-putusan yang mengikuti ini, apabila ditelaah dengan saksama, tidak sama dengan pernyataan yang ada di dalam putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 102 K/Sip/1973, bahkan cenderung tidak sejalan. Kaidah yurisprudensi yang menurut putusan-putusan yang mengikuti itu tertulis dalam pertimbangan majelis hakim tingkat pertama dari Pengadilan Negeri Amlapura adalah sebagai berikut:

''Menimbang bahwa sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No: 1.K/Sip/1977, tanggal 26 Nopember 1977 dalam amarnya berbunyi: Memutuskan/menyatakan bahwa anak yang masih dibawah umur dipelihara/dirawat ibunya, dan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 102.K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 yang pada pokoknya menyatakan bahwa ibu kandung yang diutamakan khususnya bagi anak yang masih kecil karena kepentingan anak menjadi kreterium, kecuali terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anak-anaknya.''

Di sini terjadi kesalahan yang cukup fundamental. Pertama, putusan Mahkamah Agung No. 1.K/Sip/1977 sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan perceraian dan hak pengampuan anak. Tanggal putusan juga dicantumkan secara keliru. Putusan No. 1.K/Sip/1977 adalah putusan kasus sengketa jual beli bangunan tempat tinggal di jalan Trunojoyo No. 53 Kediri. Putusan ini diucapkan pada sidang terbuka tanggal 5 September 1979 (bukan tanggal 26 November 1977). Sementara itu putusan Mahkamah Agung Nomor 102/K/Sip/1973 adalah putusan yang diucapkan pada sidang tanggal 15 Oktober 1973 (bukan tanggal 24 April 1975). Dengan demikian, terlihat ada kesalahan yang kasatmata dalam pengutipan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Amalpura tersebut.

Perlu dicatat, bahwa ''keyakinan'' tentang adanya bunyi kaidah yurisprudensi dari putusan Nomor 102K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 seperti kutipan di atas, bukan hanya muncul dalam putusan di Pengadilan Negeri Amlapura. Dasar hukum yurisprudensi ini dikemukakan oleh para pihak dan dikutip oleh majelis hakim pengadilan lain tanpa catatan sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Misalnya, dalam putusan Nomor 1568 K/Pdt/2014 yang juga mengadili kasus perceraian. Hanya saja, dalam putusan ini, perkara Nomor 1K/Sip/1977 tidak disinggung sama sekali, tetapi hanya putusan Nomor 102K/Sip/1973 dengan juncto putusan Nomor 906 K/Sip/1973. Ada lagi fenomena berbeda, misalnya dalam putusan Nomor 906/Pdt.G/2012/PN.SBY yang tidak menyinggung putusan Nomor 102K/Sip/1973, tetapi hanya putusan Nomor 906 K/Sip/1973 saja. Dari segi penomoran, seharusnya putusan Nomor 906 K/Sip/1973 ini lebih belakangan, tetapi dinyatakan telah diputus lebih awal karena dibacakan tanggal 25 Juni 1974 (artinya mendahului putusan Nomor 102K/Sip/1973 yang dibacakan tanggal 24 April 1975).

Anotasi ini ingin menegaskan bahwa putuan Nomor 102K/Sip/1973 memang berkaitan dengan kasus penetapan orang tua pengampu bagi anak yang belum dewasa, namun bunyi kaidah yurisprudensinya tidaklah sama seperti yang selama ini dikutip dalam putusan-putusan pengadilan. Boleh jadi, ada putusan nomor lain yang telah melengkapi putusan Nomor 102K/Sip/1973 tersebut, sekaligus dengan pertimbangan yang lebih sesuai dengan kaidah yurisprudensi yang selama ini beredar, sehingga putusan itulah yang sebenarnya lebih layak dijadikan sebagai dasar rujukan. Apabila putusan Nomor 102K/Sip/1973 ini tetap ingin digunakan sebagai dasar hukum yurisprudensi, maka kaidah yang dianjurkan adalah seperti tercantum dalam proposisi premis minor pada silogisme di atas.

  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • Prof. R. Subekti, S.H. - Ketua
  • Hakim Anggota: Indroharto, S.H. - Anggota
  • R.Z. Asikin Kusumah Atmadja, S.H. - Anggota

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 1967-09-16  
  • Dr. Frans Leslie Jusuf dan Jeane Natalia Tanuwijaya menikah di hadapan Catatan Sipil Makassar. Dalam putusan MA ini ada dua versi tanggal karena semula disebutkan menikah pada tanggal 11 Juni 1970.
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Perkawinan ini melahirkan anak bernama Jhon Erphing Jusuf dan sejumlah harta bersama.
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Jeane Natalia Tanuwidjaja (isteri) menggugat Dr. Frans Leslie Jusuf suami) di Pengadilan Negeri Makassar yang intinya menuntut: (1) perceraian; (2) penunjukan dirinya sebagai ibu pengampu; (3) pembagian pendapatan [harta] bersama; (4) pembayaran uang bulanan untuk dirinya dan anaknya; (5) pembayaran ongkos perkara.
  •    Tanggal : 1970-10-01  
  • Pengadilan Negeri Makassar mengeluarkan putusan Nomor 179/1970/Pdt., yang intinya adalah mengabulkan gugatan sebagian, yaitu: (1) perkawinan dinyatkaan putus karena perceraian; (2) menetapkan Dr. Frans Leslie Jusuf sebagai pegampu anaknya; (3) menghukum kedua belah phak membayar biaya perkara. Atas putusan ini, Jeane Natalia Tanuwdjaja melakukan upaya banding.
  •    Tanggal : 1972-03-31  
  • Pengadilan Tinggi Ujung Pandang dalam putusan Nomor 3/1971/PT/Pdt., memperbaiki amar putusan sebelumnya dengan: (1) menerima permohonan banding; (2) mengabulkan gugatan penggugat-pembanding sebagian; (3) menunjuk Jeane Natalia Tanuwidjaja sebagai pengampu anaknya; (4) mewajibkan Dr. Frans Leslie Jusuf membayar uang bulanan untuk biaya hidup anak tersebut; (5) menolak dan tidak menerima gugatan pembanding selebihnya; (6) menghukum kedua belah phak membayar biaya perkara. Atas putusan ini, Dr. Frans Leslie Jusuf mengajukan upaya kasasi.
  •    Tanggal : 0000-00-00  
  • Dalam memori kasasi Dr. Frans Leslie Jusuf menyampaikan keterangan tentang penafsiran "moederliefe" dari Jeane Natalia Tanuwidjaja. Dinyatakan bahwa wanita tersebut sudah menikah lagi dengan orang lain dan tinggal di Jakarta. Anaknya bernama Jhon Erphing Jusuf dititipkan ke orang lain dan dalam keadaan sakit paru-paru.

Frasa Terkait Karakterisasi

Author Info

  • Dr. Shidarta :
    adalah dosen senior pada Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara. Ia adalah penulis sejumlah buku dalam bidang filsafat hukum, penalaran hukum dan metode penelitisan hukum. Ia tercatat menjadi pendiri beberapa sosiasi ilmiah, seperti Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Forum Dosen Persaingan Usaha, dan Asosiasi Dosen Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi. Selain di BINUS, ia adalah dosen di Program Pascasarjana (magister dan doktor) pada Universitas Diponegoro (Semarang), Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta), dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Beliau tercatat pernah menjadi dosen tamu di Universitas Kozminski (Polandia) dan Universitas Chengshiu (Taiwan)