Karakterisasi Yurisprudensi No : 1140 K Sip 1975

  • Post : 2024-10-11 19:59:04
  • Download (413)
Kaidah Yurisprudensi : 1140 K Sip 1975
"Surat gugatan yang tidak menyebut dengan jelas luas tanah dan batas-batas objek sengketa, berakibat gugatan kabur dan tidak dapat diterima; namun tidak semua gugatan yang tidak menyangkut luas dan batas-batas secara rinci langsung dinyatakan kabur, misalnya dalam gugatan hanya menyebut nomor sertifikat. Bahwa dengan menyebut nomor sertifikat secara inklusif telah meliputi penjelasan secara terang dan jelas tentang letak batas dan luas tanah. "
Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi : "Surat gugatan yang tidak menyebut dengan jelas luas tanah dan batas-batas objek sengketa, tidak berakibat gugatan kabur dan tidak dapat diterima sepanjang telah menyebutkan nomor sertifikat. Surat gugatan yang hanya menyebutkan nomor sertifikat dianggap telah meliputi penjelasan secara terang dan jelas tentang letak batas dan luas tanah tersebut, sehingga tidak berakibat gugatan kabur dan tidak dapat diterima."
Pertimbangan Hukum

Anotasi Oleh : Imelda Martinelli
KETIADAAN RINCIAN OBJEK SENGKETA TIDAK MENGAKIBATKAN GUGATAN KABUR DAN TIDAK DAPAT DITERIMA Setidaknya ada dua putusan dari Pengadilan Negeri Amuntai dengan susunan majelis hakim yang sama, yang mengutip putusan Nomor 1140K/Sip/1975 ini sebagai yurisprudensi. Dua putusan yang dimaksud adalah putusan 04/Pdt.G/2017/PN.Amt dan Nomor 8/Pdt/G/2017/PN.Amt., dipimpin oleh tiga orang majelis hakim dengan susunan yang persis sama. Para hakim dari Pengadilan Negeri Amuntai tersebut menggunakan kata-kata sebagai berikut: "Menimbang, bahwa Mahkamah Agung RI dalam banyak putusannya tentang gugatan yang tidak menyebut secara jelas batas- batas obyek sengketa, putusan-putusan mana telah menjadi yurisprudensi tetap antara lain Putusan No. 1140 K/Sip/1975 tanggal 17 April 1979, Putusan No. 1559 K/Pdt/1983 tanggal 23 Oktober 1984 telah memberikan abstrak hukum bahwa surat gugatan yang tidak menyebut dengan jelas luas tanah dan batas-batas obyek sengketa, berakibat gugatan kabur dan tidak dapat diterima, selain itu ada pendapat bahwa tidak semua gugatan yang tidak menyangkut luas dan batas-batas secara rinci, langsung dinyatakan kabur, misalnya dalam gugatan hanya menyebut nomor sertifikat. Bahwa pendapat demikian berdasarkan alasan bahwa dengan menyebut nomor sertifikat secara inklusif telah meliputi penjelasan secara terang dan jelas tentang letak batas dan luas tanah." Sebenarnya putusan PN Amuntai ini layak diapresiasi karena mengutip cukup banyak yurisprudensi di dalam putusannya. Namun, khusus untuk konteks anotasi ini, putusan MA Nomor 1140K/SIP/1975 memiliki relevansi karena sama-sama berkaitan dengan sengketa waris dan yang dipersoalkan adalah keterangan yang ada di dalam surat gugatan yang tidak mencantumkan ukuran tanah yang menjadi objek sengketa, sehingga gugatan ini dipandang sebagai gugatan yang obscuur libel (tidak sempurna) dan menjadi alasan yang cukup untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Untuk membantah pandangan ini, majelis hakim lalu menunjuk putusan MA Nomor 1140K/SIP/1975 tersebut. Sayangnya, di dalam putusan MA yang dimaksud, tidak ditemukan kata-kata yang mengacu pada acuan tersebut. Jadi, dapat diduga, redaksi itu memang hanya ada di putusan MA Nomor 1559 K/Pdt/1983. Putusan nomor terakhir ini, sayangnya tidak dapat dilacak di dalam direktori putusan MA (kategori yurisprudensi). Uraian yang mengarah kepada kaidah yurisprudensi di dalam rangkaian pertimbangan yang panjang lebar tersebut, sebenarnya dapat dikerucutkan menjadi sebagai berikut: "Surat gugatan yang tidak menyebut dengan jelas luas tanah dan batas-batas objek sengketa, tidak berakibat gugatan kabur dan tidak dapat diterima sepanjang telah menyebutkan nomor sertifikat" atau dengan perkataan lain: "Surat gugatan yang hanya menyebutkan nomor sertifikat dianggap telah meliputi penjelasan secara terang dan jelas tentang letak batas dan luas tanah tersebut, sehingga tidak berakibat gugatan kabur dan tidak dapat diterima." Dalam teori penalaran hukum, penafsiran seperti ini sejalan dengan asas-asas kontekstualitasi penafsiran, yaitu: (1) asas "noscitur a sociis"; (2) asas "ejusdem generis"; dan (3) asas "expressio unius exclusio alterius". Asas pertama mengatakan bahwa suatu istilah kata/istilah harus dikaitkan dengan rangkaiannya. Kata "nomor sertifikat" di sini harus dibaca sebagai satu kesatuan. Asas kedua berarti suatu kata/istilah dibatasi secara khusus dalam kelompoknya, bahwa "nomor sertifikat" itu adalah nomor sertifikat tanah, bukan sertifikat lain-lain yang bukan untuk tanah. Selanjutnya asas ketiga menegaskan bahwa jika suatu konsep digunakan untuk satu hal, maka ia tidak berlaku untuk hal lain. Dengan penggunaan kata-kata "nomor sertifikat" yang diikuti dengan kode tertentu, berarti hanya ada satu persil tanah saja yang mengacu pada nomor itu, tidak ada persil tanah lain dengan kode yang sama. Di dalam sertifikat itu dapat ditemukan rincian panjang, lebar, dan batas-batasnya. Artinya, apabila nomor sertifikat ini sudah disebutkan, pengadilan menganggap sudah cukup jelaslah deskripsi tentang suatu objek sengketa, tanpa perlu secara eksplisit menyebutkannya lagi di dalam surat gugatan. Cara pandang para hakim untuk mendukung kaidah ini sudah sangat tepat. Problematikanya hanya pada ketidakhati-hatian penulisan putusan Nomor 1140K/SIP/1975 tersebut karena di dalam putusan kasasi itu tidak ditemukan sama sekali bunyi pertimbangan yang mengacu pada hal ini. Putusan MA yang dibacakan pada tanggal 24 Mei 1978 ini menolak permohonan kasasi Pemohon Moch Chojim, tetapi tidak dengan alasan bahwa gugatannya obscuur libel. Penolakan diberikan dengan pertimbangan bahwa keberatan dari pemohon atas putusan Pengadilan Tinggi Surbaya tidak dapat dibenarkan karena keberatan itu pada hakikatnya berkenaan dengan penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan; juga putusan judex-facti dalam perkara itu tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang.
Anotasi Oleh : Dewi Sukma Kristianti
PENOLAKAN PENGAJUAN GUGATAN AKIBAT TIDAK JELAS OBJEK SENGKETA Permasalahan hukum yang diangkat adalah adanya sengketa penguasaan harta gono gini almarhum orang tua yang dikuasai oleh beberapa anak kandung sehingga salah satu anak kandung yang tidak mendapat bagian harta gono gini almarhum orang tuanya mengajukan gugatan pembagian harta gono gini almarhun orang tua mereka. Kasus posisi dalam perkara tersebut memperlihatkan bahwa penggugat dan para tergugat adalah anak-anak kandung yang sah dari perkawinan Haji Rabin Abdulkarim dan Mbok Kasidah yang memperebutkan harta gono gini berupa benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak milik almarhum suami istri Haji Rabin Abdulkarim dan Mbok Kasidah. Harta-harta gono gini tersebut dikuasai oleh kedua anak suami istri tersebut yang bernama Mbok Ngadinah dan Mbok Soetijah, sehingga harta-harta gono gini tersebut tidak dapat dibagi menjadi harta warisan.Sehingga Moch. Chojim mengajukan gugatan untuk membagi benda-benda yang menjadi harta gono gini tersebut menjadi harta warisan yang dibagi secara bersama-sama dengan ketiga anak kandung Haji Rabin Abdulkarim dan Mbok Kasidah. Namun,` dalam surat gugatan yang diajukan Penggugat (Moch. Chojim) tidak menyebutkan dengan jelas mengenai benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak harta gono gini yang menjadi objek sengketa. Dari kasus posisi tersebut perkara diajukan ke Pengadilan Negeri Demak No. 14/1969 Pdt.Dmk tanggal 2 Juli 1969 dan kemudian diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang No.27/1971 Pdt./PT. Smg tanggal 17 April 1975. Kedua putusan hakim di tingkat PN Demak dan PT Semarang menolak gugatan yang diajukan penggugat (Moch. Chojim), karena hakim menilai kurangnya keterangan secara jelas mengenai jenis, luas, dan batas-batas objek yang menjadi sengketa. Kemudian, Moch. Chojim mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Terkait kasus posisi dan gugatan yang diajukan kepada Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1140 K/SIP/1975 tanggal 24 Mei 1978 memutuskan menolak kasasi Moch. Chojim. Majelis Hakim Mahkamah Agung menggunakan dasar hukum Pasal 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan Dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan bahwa ?Alasan yang dapat dipakai untuk melakukan kasasi ialah 1. Apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada melaksanakannya; 2. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harus diturut menurut Undang-undang.? Konsekuensi dari adanya hukum acara kasasi tersebut, maka Majelis Hakim melakukan pemeriksaan pertimbangan dan putusan dari pengadilan sebelumnya yang menolak gugatan karena petitum yang diajukan mengenai objek gugatan yang tidak jelas keterangannya, atau dengan kata lain ditolaknya gugatan karena surat gugatan yang memuat objek sengketa atau gugatan yang tidak jelas atau tidak terang, sehingga gugatan yang tidak jelas keterangan mengenai objek gugatan tidak memenuhi syarat formil dalil gugatan yang harus jelas dan tegas (duidelijk). Berdasarkan dasar hukum tersebut Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak melihat kesalahan dari putusan di PN Demak dan PT Semarang atau tidak terdapat pelanggaran peraturan hukum yang dilakukan oleh kedua tingkat pengadilan sebelumnya. Menurut pandangan penulis, Majelis Hakim Mahkamah Agung secara tidak langsung menggunakan titik tolak dalam perkara ini adalah ketentuan pada Pasal 118 ayat (1), Pasal 120, dan Pasal 121 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau yang diterjemahkan sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata) serta Pasal 8 Reglement op de Rechtsvordering (RV). Walaupun di ketentuan-ketentuan tersebut tidak secara tegas mengatakan bahwa gugatan harus terang dan jelas, namun ketentuan-ketentuan tersebut sebagai rujukan berdasarkan asas process doelmatigheid (demi kepentingan beracara pokok-pokok gugatan disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu (een duidelijk en bepaalde conclusie)). Sehingga dengan dasar ketentuan-ketentuan tersebut Majelis Hakim Mahkamah Agung mengembangkan objek sengketa yang diajukan gugatan adalah kabur atau obscuur libel. Dalam buku Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. dalam buku ?Hukum Acara Perdata Indonesia?, menyatakan yang dimaksud dengan obscuur libel adalah tulisan tidak terang, sehingga gugatan yang obscuur libel adalah gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain. oleh karenanya penggugat harus merumuskan gugatan dengan jelas dan terang (een duidelijke en bepaalde conclusie), termasuk juga gugatan yang obscuur libel adalah yang berisi pernyataan yang bertentangan satu sama lain. Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung No. 1140 K/SIP/1975 tanggal 24 Mei 1978 memang tidak secara tegas menyatakan mengenai objek gugatan tidak jelas, karena memang Majelis Hakim Mahkamah Agung hanya memeriksa kesesuaian dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim di tingkat pengadilan sebelumnya. Namun, dari Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung No. 1140 K/SIP/1975 tanggal 24 Mei 1978 menegaskan dan menguatkan dari putusan-putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara yang serupa yang menyatakan bahwa elemen-elemen gugatan yang dapat menjadi obscuur libel selain tidak jelasnya dasar gugatan penggugat, tidak relevannyanya posita dan petitum gugatan penggugat, maka hal lain yang dapat menjadikan gugatan itu obscuur libel adalah tidak jelasnya objek yang disengketakan oleh penggugat dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Pasal 8 RV, Pasal 118 ayat (1), Pasal 120 dan Pasal 121 KUHAPerdata. Terdapat 2 (dua) putusan hakim yang mengikuti Putusan Mahkamah Agung No. 1140 K/SIP/1975 tanggal 24 Mei 1978. Semua putusan tersebut berasal dari majelis hakim pada Pengadilan Negeri Amuntai (Provinsi Kalimantan Selatan). Kedua putusan tersebut, yaitu Putusan No. 04/Pdt.G/2017/PN.Amt dan Putusan No. 08/Pdt.G/2017/PN.Amt, terdiri dari Majelis Hakim yang sama, yaitu: Ita Widyaningsih, S. H., M.H. sebagai Hakim Ketua Majelis, Muhammad Dzulhaq, S.H., dan Hendra Novryandie, S.H., M.H., masing-masing selaku Hakim Anggota. Kutipan kaidah yurisprudensi yang dirumuskan oleh putusan-putusan yang mengikuti ini, apabila ditelaah dengan saksama, maka kaidah yang dikutip oleh hakim-hakim selanjutnya tersebut tidak secara langsung mengutip dari Putusan Mahkamah Agung No. 1140 K/SIP/1975 tanggal 24 Mei 1978 melainkan mengutip langsung dari kaidah Putusan Mahkamah Agung No. 1559 K/Pdt/1983 tanggal 23 Oktober 1984. Sebab dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1559 K/Pdt/1983 tanggal 23 Oktober 1984 memberikan abstrak hukum bahwa, ?Surat gugatan yang tidak menyebut dengan jelas luas tanah dan batas-batas objek sengketa, berakibat gugatan kabur dan tidak dapat diterima.? Artinya putusan-putusan hakim yang mengikuti Putusan Mahkamah Agung No. 1140 K/SIP/1975 tanggal 24 Mei 1978 hanya sebatas menjadi penguat pertimbangan hakim yang serupa dengan PN Demak dan PT. Semarang yang dikuatkan oleh Putusan Hakim Mahkamah Agung No. 1140 K/SIP/1975 tanggal 24 Mei 1978. Perlu dicermati pula dalam kedua Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Amuntai tersebut adalah objek sengketa yang diajukan gugatan yang diajukan merupakan objek berupa tanah, sedangkan dalam Putusan Hakim Mahkamah Agung No. 1140 K/SIP/1975 tanggal 24 Mei 1978 objek gugatan tidak jelas berupa apa, hanya disebutkan berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak yang dikuasai oleh ahli waris lain. Sehingga memang tidak keliru jika kedua Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Amuntai menggunakan abstrak hukum dari Putusan Mahkamah Agung No. 1559 K/Pdt/1983 tanggal 23 Oktober 1984. Hanya memang kesamaan yang terdapat dari kesemua kasus posisi dari kedua Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Amuntai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 1140 K/SIP/1975 tanggal 24 Mei 1978 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1559 K/Pdt/1983 tanggal 23 Oktober 1984 adalah sama-sama merupakan kasus sengketa penguasaan harta warisan oleh ahli waris lainnya. Dengan demikian dari yurisprudensi tersebut di atas didapat beberapa kaidah yurisprudensi yang dapat dijadikan pegangan bagi perkara sejenis, yaitu perkara mengenai objek sengketa yang diajukan gugatan adalah mengenai penguasaan harta warisan secara melawan hukum oleh ahli waris. Gugatan ditolak karena terdapat ketidakjelasan keterangan mengenai objek sengketa yang diajukan gugatan sehingga gugatan menjadi tidak jelas atau kabur atau tidak memenuhi syarat formil yang berakibat gugatan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim.
Anotasi Oleh : Isdian Anggraeny
KAIDAH YURISPRUDENSI TENTANG PEMBERLAKUAN HUKUM ACARA KASASI UNTUK MENGISI KEKOSONGAN HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG BARU Putusan Mahkamah Agung Nomor 1140/K/Sip/ 1975 merupakan putusan yang menyelesaikan perkara wari yang melibatkan tiga ahli waris terhadap objek waris yang dikuasasi oleh dua dari tiga ahli waris tersebut. Perkara ini dimulai dengan adanya gugatan oleh salah satu ahli waris yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Demak. Gugatan tersebut mencakup beberapa hal, yaitu 1) menyatakan bahwa penggugat dan tergugat ke-I adalah ahliwaris syah dari Alm. Haji Rabin Abdul Karim; 2) menyatakan syah pula bahwa penggugat adalah anak keturunan dari almarhum suami isteri Haji Rabin Abdul Karim dan Mbok Kasidah; 3) menyatakan syah bahwa barang gono-gini adalah asal dari gono-gini almarhum Haji Rabin Abdulkarim dan Mbok Kasidah; dan 4) menggugat kepada Tergugat 1 untuk mengadakan pemecahan/pembagian objek waris sebesar ? bagian atau sebesar Rp525.000. Keempat gugatan ini ditolak oleh Pengadilan Negeri Demak dan putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Negeri Semarang. Selanjutnya, Pihak Penggugat-asli mengajukan keberatan kasasi dengan beberapa hal, yaitu Pengadilan Tinggi tidak melaksanakan cara untuk melakukan peradilan yang harus diturut menurut undang-undang; dan menyatakan benar bahwa Penggugat untuk kasasi merupakan anak dalam perkawinan antara Alm. Haji Rabin Abdulkarim dengan Mbok Kasidah dan lahirnya Penggugat untuk kasasi sesuai dengan ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata. Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara tersebut mempertimbangkan terlebih dahulu terkait hukum acara kasasi yang berlaku setelah berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman. Terkait hal ini, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan bahwa dengan berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman yang mencabut UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman (yang lama). Pertimbangan ini sejalan dengan asas lex posteriori derogate lex priori yang memiliki arti bahwa jika ada undang-undang baru maka undang-undang lama dikesampingkan /tidak berlaku lagi. Hal ini pun di dalam pasal 40 UU Nomor 14 Tahun 1970. Dengan demikian, sudah secara tegas bahwa UU Nomor 19 Tahun 1964 sudah tidak berlaku lagi. Namun, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (seperti pada Undang-Undang Nomro 19 Tahun 1964) tidak menunjukan perkembangan pengaturan Mahkamah Agung yang lebih baik dibandingkan undang-undang sebelumnya. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tidak mengakomodir perintah untuk mengatur Hukum Acara Kasasi secara utuh dalam satu undang-undang tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa hukum acara kasasi diperintahkan oleh Pasal 49 ayat (4) UU No. 13 Tahun 1965 untuk diatur secara khusus di dalam undang-undang di masing-masing peradilan. Hukum acara kasasi pada dasarnya telah diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan-Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. Meskipun lahirnya UU ini 20 tahun sebelum dibentuknya UU Nomor 14 tahun 1970, UU Nomor 1 Tahun 1950 dinyatakan tetap dapat diberlakukan terkait Hukum Acara Kasasi. Terkait hal tersebut. pertimbangan Hakim Mahkamah Agung pada perkara ini berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang membuat Mahkamah Agung menafsirkan lebih lanjut ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965. Penafsiran Mahkamah Agung terhadap ketentuan Pasal 70 UU Nomor 13 Tahun 1965 yaitu UU Nomor 1 Tahun 1950 masih berlaku, kecuali yang telah diatur di dalam UU Nomor 13 Tahun 1965 dan bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970. Jika ditelaah lebih rinci, hal ini dapat disimpulkan di dalam Pasal 70 UU 13 Tahun 1965 yang menyatakan bahwa aturan di dalam Undang-undang Mahkamah Agung (Lembaran-Negara tahun 1950 No. 30) dan peraturan-peraturan lain tentang pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum, pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan adanya UU 13 Tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut, pengadilan Mahkamah Agung tidaklah merupakan bagian yang sudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian sangat jelas bahwa ketentuan terkait dengan Hukum acara kasasi dalam UU Nomor 1 Tahun 1950 tetap berlaku dan kaidah yurisprudensi di dalam putusan sudahlah tepat. Oleh karena itu, Hukum Acara Kasasi yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1950 masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970. Penegasan kaidah hukum dari Mahkamah Agung ini berdampak pada perkara dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1140/K/Sip/ 1975. Mahkamah Agung dalam perkara pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1140/K/Sip/1975 memberikan pertimbangan lebih lanjut bahwa keberatan yang diajukan Penggugat pada hakikatnya merupakan penilaian terhadap hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 18 UU Nomor 1 Tahun 1950 yang mengatur bahwa pemeriksaan dalam tingkat Kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum. Terkait hal ini, Mahkamah Agung pun menilai bahwa keputusan Judex-Factie dalam perkara waris tersebut tidak terbukti bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang. Berdasarkan dua pertimbangan haim tersebut maka keberatan Penggugat untuk Kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan pertimbangan hakim Mahkamah Agung tersebut dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hakim dalam perkara ini bukanlah pada bagian materiil perkara (waris), Namun, pada hukum acara kasasi, terkhusus pada Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara. Meskipun Mahkamah Agung membuat kaidah Yurisprudensi di Putusan Mahkamah Agung Nomor 1140/K/Sip/ 1975 terkait Hukum Acara Kasasi, namun alasan penolakan Mahkamah Agung terkait Pembenaran bahwa Penggugat untuk kasasi merupakan anak dalam perkawinan tidak diuraikan secara jelas. Melihat aturan yang menjadi dasar hukum dalam kaidah yurisprudensi yaitu Pasal 18 UU Nomor 1 Tahun 1950 yang mengatur bahwa alasan yang dapat dipakai untuk melakukan kasasi adalah 1) Apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada melaksanakannya; dan 2) Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harus diturut menurut UU, maka tentu saja dalam hal menilai penerapan hukum yang dilaksanakan dalam peradilan tingkat judex factie harus menilai pula alat bukti yang diajukan oleh Penggugat untuk Kasasi. Dengan kata lain, Mahkamah seharusnya memeriksa kualitas pembuktian yang selama ini telah diajukan oleh para pihak di dalam peradilan tingkat Judex-Factie. Dengan demikian, Mahkamah Agung dapat menguraikan lebih detail alasan penolakanya berkenaan degan keberatan yang diajukan oleh Penggugat-asli dan tidak sebatas menguraikan pertimbangakan hakim secara normatif. Begitu juga pada pertimbangan hakim Mahkamah Agung yang kedua terkait tidak terbuktinya keputusan judex factie yang bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang. Berdasarkan pertimbangan yang ada, tidak terurai secara jelas apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim sehingga menyatakan bahwa perkara telah diperiksa secara benar dalam tingkat judex factie. Dengan demikian, pertimbangan hakim dalam putusan ini terlihat begitu tergesa-gesa, tidak mendalam ke pokok perkara, dan alasannya bersifat normatif saja. Selain itu, perlu diingat pula bahwa kaidah yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1140/K/Sip/ 1975 tidak dapat diberlakukan lagi. Mengingat bahwa UU Kekuasaan Kehakiman ini telah berubah beberapa kali sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum di Indonesia. Kekuasaan kehakiman saat ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, setelah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak berlaku lagi. Selanjutnya, terkait Hukum Acara Mahkamah Agung diatur tersendiri di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang selanjutnya dirubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tetang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Terkait ketentuan perkara yang dapat diajukan kasasi tercantum di dalam pasal 45A UU Nomor 5 Tahun 2004. Dengan demikian, jelaslah bahwa kaidah yurisprudensi terkait Hukum Acara Kasasi di dalam Putusan ini sudah tidak dapat digunakan kembali.
  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • BRM. Hanindyopoetro Sostropranoto, S.H - Ketua
  • Palti Radja Siregar, S.H - Anggota
  • A. Asikin Kusumah Atmadja, S.H - Anggota

Ringkasan Putusan

Frasa Terkait Karakterisasi

    Tidak Ada

Author Info