Karakterisasi Yurisprudensi No : 314 K/TUN/1996
Pembeli tanah lelang eksekusi pengadilan yang dilaksanakan oleh kantor lelang negara harus mendapat perlindungan hukum, karena itu penguasaan sertifikat atas tanah tersebut oleh pemerintah daerah adalah tidak sah dan sertifikat hak miliknya harus dinyatakan batal demi hukum.
Judex factie telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sbb:
- Pembeli tanah melalui Lelang Eksekusi Pengadilan yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara harus mendapat perlindungan hukum, meskipun pada saat lelang berlangsung sertifikat tanah yang di jual lelang tersebut di kuasai oleh pihak ketiga (PEMDA); dan
- Sertifikat tanah No. 816/Kauman yang dikuasai oleh PEMDA Kabupaten Tingkat II Nganjuk tersebut harus dibatalkan dan selanjutnya dengan menggunakan Risalah Lelang yang dianggap sebagai “Surat ROYA”, maka kantor pertanahan wajib menerbitkan Sertifikat Hak Milik yang baru atas nama pembeli lelang tersebut.
Substansi kasus ini berkenaan dengan kepastian hukum hak bagi pembeli/ pemenang lelang atas objek lelang sebagai bentuk perlindungan hukum. Artinya, pemenang lelang harus dipastikan dapat menguasai objek lelang baik secara yuridis formal maupun secara meteriil. Perkara ini telah disidangkan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara melalui Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya No. 08/PUT.TUN/1996/PTUN.SBY tertanggal 3 April 1996 dan dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya tanggal 19 Juli 1996 No. 29/B/TUN/1996/PT.TUN.SBY, yang pada intinya menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Penggugat pada perkara ini meminta agar pengadilan membatalkan Sertifikat Hak Milik No. 816/Kauman yang telah dijual melalui lelang, dan meminta Tergugat (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Nganjuk) untuk menerbitkan sertifikat baru atas tanah tersebut.
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpandangan lain dengan menerbitkan Putusan No. 314/K/TUN/1996 yang pada pokoknya membatalkan putusan Judex Facti dengan alasan bahwa putusan Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum. Dalam putusan ini, setidaknya ada dua isu hukum yang penting untuk dikedepankan. Pertama, aspek perlindungan hukum bagi pemenang lelang; dan kedua, perihal kedudukan hukum risalah lelang dalam penguasaan hak atas benda lelang.
Putusan Mahkamah Agung No. 314/K/TUN/1996 menegaskan pentingnya perlindungan hukum bagi pembeli/ pemenang lelang. Proses lelang merupakan bagian dari mekanisme jual beli yang sah menurut hukum, dan berakibat pada peralihan hak objek lelang dari penjual kepada pemenang lelang. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang didahului dengan Pengumuman Lelang. Secara teoretik setidaknya terdapat empat unsur yang harus terpenuhi dalam mekanisme lelang, yaitu:
(i) unsur kontrol publik, yakni lelang harus diumumkan terlebih dahulu dan dilaksanakan di depan umum;
(ii) unsur objektif, dimana lelang harus dilaksanakan secara terbuka dan tidak ada prioritas di antara pembeli lelang atau pemohon lelang;
(iii) unsur kompetitif, dengan menciptakan suatu mekanisme penawaran yang kompetitif; dan
(iv) unsur autentik, yakni setiap pelaksanaan lelang harus menghasilkan risalah lelang yang merupakan akta autentik untuk dapat digunakan oleh pihak penjual sebagai bukti bahwa telah dilaksanakan penjualan sesuai prosedur lelang, dan bagi pembeli dapat digunakan sebagai bukti pembelian sebagai dasar untuk balik nama.
Berbagai unsur di atas telah dielaborasi dalam mekanisme pelaksanaan lelang di Indonesia. Terkini, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Artinya, pelaksanaan lelang yang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan adalah sah menurut hukum, dan pemenang lelang tersebut harus mendapat perlindungan hukum, berupa jaminan kepastian hukum atas hak penguasaan objek lelang. Namun pada sisi lain, peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengatur secara eksplisit mengenai perlindungan hukum atas hak penguasaan objek lelang bagi pemenang lelang. Di sinilah letak urgensi putusan pengadilan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemenang lelang.
Pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Agung No. 314/K/TUN/1996 secara eksplisit menyatakan:
1) Pembeli tanah melalui Lelang Eksekusi Pengadilan yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara harus mendapat perlindungan hukum, meskipun pada saat lelang berlangsung sertifikat tanah yang di jual lelang tersebut di kuasai oleh pihak ketiga.
2) Sertifikat tanah No. 816/Kauman yang dikuasai oleh PEMDA Kabupaten Tingkat II Nganjuk tersebut harus dibatalkan dan selanjutnya dengan menggunakan Risalah Lelang yang dianggap sebagai “surat ROYA”, maka kantor pertanahan wajib menerbitkan Sertifikat Hak Milik yang baru atas nama pembeli lelang tersebut.
Putusan Mahkamah Agung ini membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya No. 29/B/TUN/1996/PT.TUN.SBY, jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya No. 08/PUT.TUN/1996/PTUN.SBY dan menyatakan Sertifikat Hak Milik No. 816/Kelurahan Kauman tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta memerintahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Nganjuk (Tergugat) untuk menerbitkan sertifikat baru berdasarkan pada risalah lelang. Mahkamah Agung berpandangan, bahwa tindakan Tergugat yang tidak memproses permohonan Penggugat dengan alasan Sertifikat Hak Milik No. 816/Kelurahan Kauman harus disertakan sebagai syarat untuk mengajukan permohonan penerbitan sertifikat baru, dianggap telah mempersulit Penggugat karena secara yuridis formal dengan adanya eksekusi maupun pelelangan kepemilikan atas tanah tersebut telah beralih ke Penggugat.
Putusan Mahkamah Agung No. 314/K/TUN/1996 menunjukkan bahwa bentuk perlindungan hukum bagi pemenang lelang dapat berupa pembatalan terhadap tindakan-tindakan Pejabat Tata Usaha Negara yang mempersulit atau menghalang-halangi peralihan hak objek lelang kepada pemenang lelang, dengan mengenyampingkan prosedur administratif untuk mewujudkan keadilan substantif. Termasuk, tindakan apapun dari Pejabat Tata Usaha Negara yang dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang mempersulit atau menghalang-halangi peralihan hak objek lelang adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Mahkamah Agung mendasarkan pada kedudukan risalah lelang yang dapat dipersamakan dengan Akta Jual Beli. Hal ini linier dengan ketentuan pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 41 ayat (1) menyatakan, bahwa peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang. Artinya, pemerintah mengakui bahwa risalah lelang dapat dijadikan dasar peralihan hak yang berkedudukan seperti halnya Akta Jual Beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 42 Vendu Reglement, yang menyatakan bahwa pemenang lelang berhak memperoleh kutipan risalah lelang sebagai akta jual beli obyek lelang. Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang turut mempertegas kedudukan risalah lelang dengan menyatakan, bahwa risalah lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta autentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.
Pada dasarnya, hubungan hukum para pihak dalam lelang adalah hubungan jual beli. Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan, bahwa jual beli adalah perjanjian antara penjual dan pembeli dimana penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan hak miliknya atas suatu barang kepada pembeli, dan pembeli mengikatkan diri untuk membayar barang tersebut. Pemenang lelang sebagai pembeli yang sah memiliki kewajiban terkait pembayaran lelang dan pajak/pungutan sah lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila dihubungkan dengan Pasal 584 KUHPerdata jo Pasal 531 KUHPerdata maka, seorang pembeli dapat dikatakan beritikad baik apabila telah melaksanakan sesuai dengan prosedur, menuhi persyaratan sebagai pembeli, serta sesuai dengan asas-asas dalam penjualan melalui lelang. Apabila segala kewajiban itu telah dipenuhi, pemenang lelang sudah sepenuhnya menjadi pemilik dan sudah berhak untuk menguasai dan menikmati barang hasil lelang tersebut, serta sejak saat itu pula pemenang lelang dapat meminta penyerahan barang secara fisik maupun menuntut penyerahan akta-akta yang bersangkutan atau untuk dibalik nama.
Pemenang lelang yang sudah memperoleh risalah lelang mempunyai hak untuk mendaftarkan tanahnya pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam rangka balik nama dari pemilik lama ke pemilik baru. Karena pada dasarnya risalah lelang mempunyai kedudukan yang sama dengan Akta Jual Beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mendaftar peralihan hak atas tanah pada kantor pertanahan. Atas dasar itu, penolakan yang dilakukan oleh Tergugat (Kantor Pertanahan Kabupaten Nganjuk) merupakan tindakan hukum yang tidak tepat.
Putusan Mahkamah Agung No. 314/K/TUN/1996 telah menjadi yurisprudensi di Indonesia yang sampai saat ini masih relevan untuk menjadi rujukan berkenaan pentingnya perlindungan hukum bagi pemenang lelang dan penegasan kedudukan risalah lelang dalam spektrum jual beli di Indonesia. Putusan ini telah diikuti oleh beberapa putusan-putusan berikutnya, antara lain:
(i) Putusan Pengadilan Negeri Tasik Malaya No. 22/pdt.bth/2016/pn.tsm;
(ii) Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 165/pdt/2016/pt.dps;
(iii) Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 191/pdt/2018/pt.mdn; dan
(iv) Putusan Mahkamah Agung No. 1343/K/PDT/2015.
Dalam pertimbangan hukumnya, keempat putusan tersebut secara terang menyatakan bahwa pembeli lelang tanah eksekusi pengadilan yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara harus mendapatkan perlindungan hukum.
a. Akibat hukum Putusan MA No. 314 K/TUN/1996 bagi para pihak
Akibat hukum merupakan konsekuensi hukum yang timbul dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum. Konsekuensi atau akibat yang dimaksud adalah akibat yang secara yuridis diatur dalam hukum positif, pun dengan tindakan yang dilakukan yaitu berupa tindakan yang sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Pada kasus ini, MA pada amar putusan Nomor 314 K/TUN/1996 menyatakan mengabulkan permohonan gugatan penggugat untuk membatalkan Sertifikat Hak Milik Nomor 816/Kelurahan Kauman dengan objek tanah seluas 2.575 M2 yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Nganjuk, atas nama Soenardjo, yang secara praktis dikuasai oleh Pemda Kabupaten Nganjuk. Akibat hukum yang harus diterima oleh Pemda Nganjuk, dalam hal ini Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Nganjuk selaku tertugat yaitu:
1) Membayar biaya persidangan
Pada amar putusan kasasi Nomor 314 K/TUN/1996, Majelis Hakim menghukum tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara, baik dalam peradilan tingkat pertama, banding, maupun kasasi. Putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sehingga mengikat para pihak dan harus diakui kebenarannya. Dengan demikian, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Nganjuk terikat dan harus melaksanakan pembayaran biaya perkara sebagaimana mandat amar putusan a quo.
2) Penguasaan atas objek sengketa tidak memiliki kekuatan hukum
Dalam salah satu amar Putusan Nomor 314 K/TUN/1996, MA menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik atas objek sengketa yang dikuasai oleh tertugat tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Hal tersebut secara umum dikarenakan penguasaan sertifikat a quo oleh Pemkab Nganjuk ditengah fakta telah dilelangnya objek sengketa dan telah beralih haknya kepada penggugat dengan adanya risalah lelang, tidak dapat dibenarkan secara hukum. Selain itu, tindakan Pemkab Nganjuk melalui Kantor Pertanahan yang tidak bersedia menerbitkan tidak bersedia menerbitkan sertifikat baru atas nama Oei Ng Tiong Kheng telah secara nyata mencederai kepastian hukum bagi penggugat serta mendegradasi jaminan perlindungan hukum yang seharusnya didapatkan oleh pemenang lelang. Oleh karenanya, menurut Penulis, putusan MA yang menyatakan batal demi hukumnya sertifikat objek sengketa dibawah penguasaan tertugat sudahlah tepat.
3) Berkewajiban menerbitkan sertifikat baru
Dampak beruntun dari tidak berkekuatan hukumnya sertifikat hak milik atas objek sengketa yang dikuasai tertugat adalah lahirnya kewajiban hukum baru bagi tergugat untuk menerbitkan sertifikat baru atas nama Oei Ng Tiong Kheng. Hal ini tidak lain merupakan konkretisasi pemenuhan hak Oei Ng Tiong Kheng selaku pemenang lelang atas objek sengketa.
4) Mengajukan upaya hukum peninjauan kembali
Pasal 24 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memuat ketentuan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, pihak-pihak terkait dapat mengajukan peninjauan kembali kepada MA, apabila terdapat keadaan tertentu yang ditentukan oleh undang-undang, yakni ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kehilafan atau kekeliruan Majelis Hakim dalam menerapkan hukum. Sementara di bidang tata usaha negara, peninjauan kembali diatur dalam Pasal 132 UU Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada pokoknya berbunyi bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada MA. Dengan demikian, terang bahwa tertugat pada asasnya memiliki hak untuk mengajukan permohonan kembali atas hukum Putusan MA Nomor 314 K/TUN/1996.
Selanjutnya, akibat hukum dari putusan a quo yang diterima oleh pihak penggugat adalah adanya hak untuk disegerakan pemenuhannya berupa penerbitan sertifikat baru atas objek sengketa dengan nama Oei Ng Tiong Kheng. Dengan begitu, maka Oei Ng Tiong Kheng dapat segera menikmati haknya dengan menguasai tanah seluas 2.575 m2 yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Nganjuk.
b. Pertimbangan hakim dalam Putusan MA Nomor 314 K/TUN/1996 ditinjau dari tujuan hukum yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan
Peningkatan kualitas putusan hakim serta profesionalisme lembaga peradilan dapat dinilai salah satunya dari kemampuan hakim untuk menjatuhkan putusan yang mengakomodir keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Dalam kerangka putusan hakim, keadilan yang dimaksud terletak pada ketidakberpihakan hakim serta dijunjung tingginya persamaan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perkara. Di sisi lain, putusan hakim dikatakan mencerminkan kepastian hukum ketika didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis. Artinya, landasan yuridis yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara harus sesuai dengan kasus yang terjadi sehingga konstruksi proses peradilan menjadi objektif. Adapun putusan hakim menggambarkan kemanfaatan hukum ketika hakim tidak terbatas menerapkan hukum secara tekstual saja, namun juga implementatif sehingga dapat dieksekusi untuk memberikan manfaat secara nyata, baik bagi pihak-pihak terkait maupun bagi masyarakat luas.
Dalam konteks Putusan MA Nomor 314 K/TUN/1996, keadilan tercermin ketika Majelis Hakim berpendapat bahwa penggugat sebagai pemenang lelang atas objek sengketa harus dilindungi hingga pada akhirnya Majelis Hakim memutuskan untuk menyatakan bahwa sertifikat hak milik atas objek sengketa yang dikuasai tertugat tidak memiliki kekuatan hukum. Dalam hal ini, Majelis Hakim dalam perkara kasasi bersifat tidak memihak dan memberikan kesempatan serta perlakuan yang sama bagi para pihak yang bersengketa. Lebih lanjut, tergambar bahwa Majelis Hakim di tingkat kasasi mampu menangani perkara yang diajukan kepadanya dengan seobjektif mungkin, bahkan ketika pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding memberikan pendapat hingga putusan yang sangat berbeda darinya. Selain itu, terdapat fakta bahwa ketika lelang dilaksanakan, sertifikat hak milik objek sengketa dikuasasi oleh Pemkab Nganjuk dan penggugat tidak mengetahui hal tersebut. Terlebih, pejabat lelang yang seharusnya telah melakukan penelitian atas seluruh dokumen objek yang akan dilelang serta memberitahukannya kepada calon pembeli lelang pun tidak menyampaikan informasi penguasaan objek lelang tersebut.
Terlepas apakah pejabat lelang memiliki pengetahuan atau tidak atas penguasaan objek lelang oleh Pemkab Nganjuk, kelalaian pejabat lelang karena tidak memberitahukan status penguasaan objek lelang kepada calon pembeli ataupun adanya kekurangan dokumen objek lelang menurut Penulis tetap tidak dapat dibenarkan dan patut menjadi pertimbangan hakim. Pun apabila Pemkab Nganjuk merasa berhak atas tanah objek lelang dan mengetahui bahwa kepemilikan objek lelang telah beralih kepada pemenang lelang, seharusnya diajukan mengajukan upaya hukum verzet terhadap eksekusi lelang. Namun, yang dilakukan oleh Pemkab Nganjuk justru mengajukan surat keberatan yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah. Ketidakcermatan dan ketidaksesuaian tindakan yang dilakukan oleh pejabat lelang dan Pemkab Nganjuk memberikan dampak negatif bagi penggugat sehingga tidak sepatutnya justru penggugat selaku pembeli lelang yang merugi. Oleh karenanya, hak-hak penggugat selaku pemenang lelang harus ditegakkan, dilindungi, dan dipenuhi secara utuh. Selanjutnya, perihal kepastian hukum tercermin dalam pertimbangan hakim mengenai persyaratan balik nama sertifikat atas dasar keterangan lelang, yang mana diatur secara limitatif dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, diantaranya harus menyerahkan sertifikat asli yang dimohon balik nama. Apabila sertifikat asli tersebut tidak dapat disampaikan kepada Kepala Kantor Lelang, maka menurut Menteri Negara Agraria/Kepala BPN dalam Surat Nomor S.329/PN/1994 Nomor 4 angka b pendaftaran perolehan hak ditempuh melalui prosedur pembatalan sertifikat terlebih dahulu atau konversi melalui pengakuan hak. Dalam kasus ini, pada saat pelaksanaan lelang penggugat tidak mengetahui bahwa sertifikat hak milik atas objek sengketa dikuasai oleh Pemkab Nganjuk. Oleh karenanya, ketika penggugat dinyatakan telah memenangkan lelang dan telah melakukan pelunasan pembayaran sehingga diperoleh risalah lelang sebagai akta otentik atas peralihan objek lelang, merujuk pada Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, maka pelaksanaan lelang tidak dapat dibatalkan dan hak pembeli lelang harus dilindungi. Dengan demikian, terang bahwa secara yuridis dasar hukum yang digunakan hakim dalam memberikan pertimbangan hukum telah relevan dengan kasus yang ada.
Terakhir, perwujudan kemanfaatan hukum dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim pada perkara a quo tergambar dengan serangkaian argumen kontekstual, praktikal, dan yuridis oleh Majelis Hakim yang diakhiri dengan penjatuhan putusan. Amar putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim yang pada pokoknya mengabulkan gugatan Oei Ng Tiong Kheng, menyatakan batal demi hukum sertifikat kepemilikan objek sengketa yang dikuasai Pemkab Nganjuk, serta memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Nganjuk untuk menerbitkan sertifikat baru atas objek sengketa dengan nama Oei Ng Tiong Kheng. Seluruh pertimbangan hukum Majelis Hakim yang ditutup dengan amar putusan yang demikian menjadikan putusan dalam kasus ini pada dasarnya dapat dengan “mudah” dieksekusi sehingga dapat memberikan manfaat bagi pihak yang berperkara, khususnya penggugat selaku pemenang lelang yang seyogyanya memang dilindungi hak-haknya.
Berdasarkan seluruh pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hukum hakim yang disampaikan dalam perkara a quo secara holistik telah menggambarkan perwujudan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Oleh karenanya, kaidah yurisprudensi yang lahir dari pertimbangan hukum hakim di perkara ini telah dan masih relevan untuk digunakan sebagai sumber hukum, baik bagi masyarakat secara umum maupun bagi para hakim secara khusus, dalam menyelesaian masalah hukum yang ada.
4. Kesimpulan
a. Terdapat beberapa akibat hukum Putusan MA Nomor 314 K/TUN/1996 bagi para pihak yang bersengketa. Akibat hukum Akibat hukum yang harus diterima oleh Pemda Nganjuk, dalam hal ini Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Nganjuk selaku tertugat diantaranya adalah membayar biaya persidangan, penguasaan atas objek sengketa berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 816/Kelurahan Kauman dengan objek tanah seluas 2.575 M2 yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Nganjuk, atas nama Soenardjo, tidak memiliki kekuatan hukum, berkewajiban menerbitkan sertifikat baru atas nama Oei Ng Tiong Kheng selaku penggugat, dan dapat mengajukan upaya hukum peninjauan Kembali. Sementara akibat hukum bagi penggugat adalah adanya hak untuk disegerakan pemenuhannya berupa penerbitan sertifikat baru atas objek sengketa dengan nama Oei Ng Tiong Kheng.
b. Pertimbangan hukum hakim dalam Putusan MA Nomor 314 K/TUN/1996 telah mencerminkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Keadilan ketika Majelis Hakim menangani perkara dengan penuh objektifitas, imparsialitas, memberikan perlakuan yang sama kepada para pihak, serta menggali dan mempertimbangkan fakta-fakta penunjang pembuktian dengan secermat-cermatnya. Sedangkan kepastian hukum tercermin pada penggunaan dasar hukum yang relevan terhadap sengketa yang sedang berlangsung, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor S.329/PN/1994. Sementara kemanfaatan hukum diejawantahkan dengan serangkaian pertimbangan hukum Majelis Hakim yang diakhiri dengan amar putusan hingga memiliki kekuatan eksekutroial. Dengan demikian, maka putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dapat memberikan manfaat bagi pihak yang berperkara, khususnya penggugat selaku pemenang lelang yang sepatutnya memang dilindungi hak-haknya.
