Karakterisasi Yurisprudensi No : 1974 K/Pdt/2001
Peralihan hak atas tanah dinatakan cacat hukum karena pemalsuan tanda tangan shingga batal demi hukum jual beli tanah harus dibuktikan melalui pemeriksaan dari laboratorium kriminologi tau ada putusan pidana yang menyatakan tanda tangan dipalsukan.
• Bahwa PT Bandung menyatakan Tergugat I s/d V dan turut tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyatakan cacat hukum, sehingga batal demi hukum seluruh jual beli atas tanah-tanah sengketa yang di buat oleh tergugat III dan IV, sehingga batal demi hukum peralihan hak milik atas tanah milik penggugat kepada tergugat I dengan alas an tanda tangan dipalsukan.
• Bahwa putusan demikian itu tidak dapat dibenarkan, karena tanda tangan palsu atau tidaknya ada pemeriksaan dari laboratorium Kriminologi, dan atau ada putusan yang menyatakan tanda tangan palsu hal ini tidak dapat dibuktikan oleh penggugat, oleh sebab itu gugatan penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima.
PERALIHAN HAK ATAS
TANAH KARENA PEMALSUAN TANDA TANGAN HARUS DIBUKTIKAN DAN ADA PUTUSAN PIDANANYA
Perkara
dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1974 K/Pdt/2001 menyelesaikan sengketa terkait
kasus perdata terkait peralihan ha katas tanah, lebih khusus lagi pemalsuan
tanda tangan di Akta Jual Beli yang mengakibatkan cacad hukum.
Kasus bermula
dari Tahun 1996 Penggugat melihat tanah nya dalam kondisi gundul diratakan dan
sekelilingnya di pagari tembok beton setinggi 2 (dua) meter dan hilangnya 2
(dua) buah rumah tinggal permanen milik penggugat. Penggugat memiliki sebidang
Tanah seluas 97.501 m2 yang seluruhnya terletak di desa Buaran dan Pondok
Benda, Kecamatan Serpong, Tangerang, Jawa Barat. Obyeknya terdiri dari 12
Sertifikat Hak Milik, 24 AJB, dan 1 Tanah Adat, yang di lokasi terdapat 2 rumah
dan 1 lapangan tenis. Bahwa penggugat belum pernah menjual, menggadaikan
ataupun melakukan perbuatan hukum lainnya dengan tujuan mengalihkan hak milik
penggugat. Tetapi dalam kenyataannya kondisi objek tanahnya sudah dikuasai oleh
developer PT Puri Ayu Lestari atau Tergugat V. Bahwa sekitar tahun 1990 dan
1992 tergugat I, II memalsukan tanda tangan penggugat untuk membuat akta jual
beli dihadapan PPAT tergugat III dan IV. Bahwa Badan Pertanahan Nasional Kab.
Tangerang telah menerbitkan sertifikat tahan atas nama tergugat I kemudian
dialihkan tergugat I kepada tergugat V dan tergugat V membangun pperumahan Bumi
Eksekutif diatas tanah milik penggugat. Meskipun penggugat membuat somasi agar
pembangunan perumahan dihentikan namun tidak ditanggapi tergugat V bahkan
menjualnya kepada orang lain. Penggugat kemudian menggugat Para Tergugat ke
PEngadilan Negeri Tangerang menjatuhkan putusan menolak Eksepsi Tergugat 1 s/d
4, menyatakan gugatan penggugat tidak diterima, menghukum penggugat untuk
membayar biaya perkara, dalam perkara No. 107/Pdt.G/1998/PN.Tgr. Di Tingkat
Banding atas permohonan Penggugat/Pembanding, putusan tersebut adalah
mengabulkan gugatan penggugat/pembanding untuk Sebagian. Menyatakan tergugat I
s/d IV atau Para Terbanding telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang
merugikan Penggugat/Pembanding, menyatakan cacad hukum sehingga batal demi
hukum seluruh jual beli atas tanah-tanah sengketa tersebut, menghukum untuk
membaliknamakan dan mengembalikan tanah-tanah sengketa tersebut, menghukum
Tergugat I, II dan V secara tanggung renteng membayar ganti rugi Rp. 2 Milyard,
dan membayar uang paksa (dwangsoom) Rp. 500.000 dan biaya perkara Rp. 75.000.
dalam perkara No. 445/Pdt/1999/PT. Bdg. Selanjutnya Para Tergugat/Pemohon
Kasasi mengajukan permohonan Kasasi. Atas putusan PN dan PT tersebut kemudian
dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung mengadili sendiri, bahwa membatalkan
putusan PT Bandung yang membatalkan Putusan PN Tangerang, dan putusannya tidak
dibenarkan, karena tanda tangan palsu atau tidaknya harus ada pemeriksaan dari
Laboratorium Kriminologi, dan atau ada putusan pidana yang menyatakan tanda
tangan palsu, hal ini tidak dapat dibuktikan oleh Penggugat/ termohon Kasasi,
oleh sebab itu gugatan penggugat/termohon Kasasi harus dinyatakan tidak dapat
diterima.
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 1974 K/Pdt/2001 dalam
amarnya :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi
- Membatalkan putusan PT tanggal
29 Juni 2000 No. 445/Pdt.G/1999/PT.Bdg, yang membatalkan putusan PN Tangerang
tanggal 24 Maret 1999 No. 107/Pdt.G/1998/PN.Tgr.
Analisis :
Memalsukan tanda
tangan Penggugat, kewenangan absolut untuk memeriksa dan mengadili perkara
adalah kewenangan peradilan pidana yang sudah lebih dahulu melaporkan ke pihak
kepolisian. Setelah adanya Putusan pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan tergugat I dan tergugat II bersalah, barulah penggugat
mengajukan gugatan a quo dengan dalil tergugat “memalsukan tandatangan
penggugat”. Jadi uraian dan dalil penggugat adalah premature (belum saatnya
diajukan gugatan a quo), karena menurut ketentuan hukumnya bila ada perkara
pidana yang mengakibatkan hak keperdataan timbul, maka haruslah ditempuh atau
dibuktikan terlebih dahulu melalui proses peradilan pidana.
Kejahatan tindak
pidana pemalsuan surat dan pemalsuan tanda tangan diatur dalam Pasal 263 ayat
(1) KUHP dan termasuk dalam delik dolus atau delik yang memuat unsur
kesengajaan. Tindak Pidana pemalsuan surat dan tanda tangan atau yang biasa
disebut dengan forgery merupakan salah satu kejahatan yang sulit diungkap dan
dibuktikan bahwa telah terjadi pemalsuan, hal ini dikarenakan tulis tangan dan
tanda tangan identik dengan kepribadian seseorang, sehingga dalam proses
pembuktiaanya diperlukan ilmu bantu (ilmu forensik). Ilmu Forensik adalah ilmu
untuk melakukan pemeriksaan dan pengumpulan bukti-bukti fisik yang ditemukan di
tempat kejadian perkara dan kemudian dihadirkan di dalam sidang pengadilan.
Tanda tangan erat kaitannya dengan tulisan tangan seseorang, dari tulisan
tangan dapat mengungkapkan kepribadian sejati termasuk emosi, ketakutan,
kejujuran, pertahanan dan banyak hal lainnya. Bentuk tulisan tangan merupakan
alat ukur yang tidak dapat berbohong karena berasal dari alam bawah sadar. Bila
seseorang berusaha untuk mengubah tulisan tangannya, hal tersebut dapat
diidentifikasi sebagai ketidakjujuran. Menurut R. Soesilo (hlm 195), untuk
dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHP, surat yang
dipalsu itu harus suatu surat yang: 1) dapat menerbitkan hak, misalnya ijazah,
karcis tanda masuk, surat andil dan lainnya; 2) dapat menerbitkan suatu
perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian
sewa, dan sebagainya; 3) dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya
kwitansi atau surat semacam itu; atau 4) suatu surat yang boleh dipergunakan
sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat
tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, dan masih banyak lagi. Alat bukti
yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah: Keterangan saksi, Keterangan
ahli, Surat Petunjuk, dan Keterangan terdakwa. Alat bukti yang sah adalah
alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat
tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan
keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan
oleh terdakwa. Oleh karena itu jika seseorang “melanggar hukum” oleh pengadilan
harus dapat membuktikan terlebih dahulu, dan selama pengadilan belum dapat
membuktikannya dan memutuskannya sebagai orang yang bersalah, maka orang yang
telah melanggar hukum belum dapat dianggap bersalah. Karena dalam hal ini
dikenal dengan asas “praduga tidak bersalah”. Laboratorium Forensik sebagai
bagian dari POLRI yang bertugas untuk menyelidiki terjadinya pemalsuan surat
pada suatu perkara, sehingga dengan terbuktinya terjadi tindak pidana, maka
pelakunya dapat diseret ke pengadilan. Tidak dimohon pada requisitoir penuntut
umum, maka dalam keputusan hakim sendiri akan membebaskan si terdakwa dari
semua tuntutan hukum. Peranan Laboratorium Forensik untuk menentukan seseorang
didepan pengadilan ialah terhadap seseorang terdakwa yang didakwakan melakukan
tindak pidana pemalsuan tanda tangan dapat dipersalahkan atau tidak.
Laboratorium Forensik mengungkap secara pasti suatu alat bukti yang diragukan
keasliannya, maka dengan sendirinya memberi jaminan terhadap kepastian hukum.
Konsekuensi perbuatan setiap orang mendapat timbangan hukum sesuai dngan
proposri hak dan kewajibannya. Hukum merupakan separangkat peraturan yang
mengatur dan bertujuan menciptkan ketertiban dalam masyarakat, oleh sebab itu
hukum bersifat memaksa dan mengatur apabila dilanggar menimbulkan sanksi. Agar
tercapai ketertiban dalam masyarakat, maka diusahakan untuk mengadakan
kepastian hukum di dalam pergaulan masyarakat. Kepastian hukum disini diartikan
sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum.
Putusan yang
menjadikan Putusan MA RI Nomor 1974 K/Pdt/2001 tersebut sebagai yurisprudensi
antara lain putusan Putusan MA No. 1726 K/Pdt/2010. Putusan ini mengambil
kaidah hukum dengan menyimpulkan bahwa judex facti tidak keliru menerapkan
hukum, penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya, objek sengketa
telah dijual kepada tergugat guna membayar hutangnya. Hutangnya dengan jaminan
2 (dua) sertifikat tanah, karena tidak dapat membayar maka jaminan dilepas
pemiliknya. Para tergugat dapat dalil-dalil bantahannya. dengan demikian objek
sengketa adalah sah dan mempunyai nilai pembuktian yang sempurna. Sehingga
penggunaan kaidah yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 1974 K/Pdt/2001
tepat dan relevan.
Selain itu Putusan yang menjadikan Putusan MA RI Nomor 1974
K/Pdt/2001 tersebut sebagai yurisprudensi antara lain putusan Putusan Nomor
9/Pdt.G/2020/Enr. Putusan ini berdasarkan pertimbangan Hakim, keseluruhan bukti
Penggugat bukan merupakan alat bukti yang mampu menunjukan kepemilikan sebidang
tanah yang menjadi pokok sengketa dalam perkara a quo dan tidak pula dapat
mengurangi keberadaan dari Akta Otentik Jual Beli yang diajukan tergugat I dan
III, maka pada bukti Akta Jual Beli melekat kekuatan pembuktiannya yang
sempurna dan mengikat kepada para pihak. Sehingga penggunaan kaidah
yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 1974 K/Pdt/2001 tidak tepat dan
tidak relevan.
PERALIHAN HAK ATAS
TANAH KARENA PEMALSUAN TANDA TANGAN HARUS DIBUKTIKAN DAN ADA PUTUSAN PIDANANYA
Perkara
dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1974 K/Pdt/2001 menyelesaikan sengketa terkait
kasus perdata terkait peralihan ha katas tanah, lebih khusus lagi pemalsuan
tanda tangan di Akta Jual Beli yang mengakibatkan cacad hukum.
Kasus bermula
dari Tahun 1996 Penggugat melihat tanah nya dalam kondisi gundul diratakan dan
sekelilingnya di pagari tembok beton setinggi 2 (dua) meter dan hilangnya 2
(dua) buah rumah tinggal permanen milik penggugat. Penggugat memiliki sebidang
Tanah seluas 97.501 m2 yang seluruhnya terletak di desa Buaran dan Pondok
Benda, Kecamatan Serpong, Tangerang, Jawa Barat. Obyeknya terdiri dari 12
Sertifikat Hak Milik, 24 AJB, dan 1 Tanah Adat, yang di lokasi terdapat 2 rumah
dan 1 lapangan tenis. Bahwa penggugat belum pernah menjual, menggadaikan
ataupun melakukan perbuatan hukum lainnya dengan tujuan mengalihkan hak milik
penggugat. Tetapi dalam kenyataannya kondisi objek tanahnya sudah dikuasai oleh
developer PT Puri Ayu Lestari atau Tergugat V. Bahwa sekitar tahun 1990 dan
1992 tergugat I, II memalsukan tanda tangan penggugat untuk membuat akta jual
beli dihadapan PPAT tergugat III dan IV. Bahwa Badan Pertanahan Nasional Kab.
Tangerang telah menerbitkan sertifikat tahan atas nama tergugat I kemudian
dialihkan tergugat I kepada tergugat V dan tergugat V membangun pperumahan Bumi
Eksekutif diatas tanah milik penggugat. Meskipun penggugat membuat somasi agar
pembangunan perumahan dihentikan namun tidak ditanggapi tergugat V bahkan
menjualnya kepada orang lain. Penggugat kemudian menggugat Para Tergugat ke
PEngadilan Negeri Tangerang menjatuhkan putusan menolak Eksepsi Tergugat 1 s/d
4, menyatakan gugatan penggugat tidak diterima, menghukum penggugat untuk
membayar biaya perkara, dalam perkara No. 107/Pdt.G/1998/PN.Tgr. Di Tingkat
Banding atas permohonan Penggugat/Pembanding, putusan tersebut adalah
mengabulkan gugatan penggugat/pembanding untuk Sebagian. Menyatakan tergugat I
s/d IV atau Para Terbanding telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang
merugikan Penggugat/Pembanding, menyatakan cacad hukum sehingga batal demi
hukum seluruh jual beli atas tanah-tanah sengketa tersebut, menghukum untuk
membaliknamakan dan mengembalikan tanah-tanah sengketa tersebut, menghukum
Tergugat I, II dan V secara tanggung renteng membayar ganti rugi Rp. 2 Milyard,
dan membayar uang paksa (dwangsoom) Rp. 500.000 dan biaya perkara Rp. 75.000.
dalam perkara No. 445/Pdt/1999/PT. Bdg. Selanjutnya Para Tergugat/Pemohon
Kasasi mengajukan permohonan Kasasi. Atas putusan PN dan PT tersebut kemudian
dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung mengadili sendiri, bahwa membatalkan
putusan PT Bandung yang membatalkan Putusan PN Tangerang, dan putusannya tidak
dibenarkan, karena tanda tangan palsu atau tidaknya harus ada pemeriksaan dari
Laboratorium Kriminologi, dan atau ada putusan pidana yang menyatakan tanda
tangan palsu, hal ini tidak dapat dibuktikan oleh Penggugat/ termohon Kasasi,
oleh sebab itu gugatan penggugat/termohon Kasasi harus dinyatakan tidak dapat
diterima.
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 1974 K/Pdt/2001 dalam
amarnya :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi
- Membatalkan putusan PT tanggal
29 Juni 2000 No. 445/Pdt.G/1999/PT.Bdg, yang membatalkan putusan PN Tangerang
tanggal 24 Maret 1999 No. 107/Pdt.G/1998/PN.Tgr.
Analisis :
Memalsukan tanda
tangan Penggugat, kewenangan absolut untuk memeriksa dan mengadili perkara
adalah kewenangan peradilan pidana yang sudah lebih dahulu melaporkan ke pihak
kepolisian. Setelah adanya Putusan pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan tergugat I dan tergugat II bersalah, barulah penggugat
mengajukan gugatan a quo dengan dalil tergugat “memalsukan tandatangan
penggugat”. Jadi uraian dan dalil penggugat adalah premature (belum saatnya
diajukan gugatan a quo), karena menurut ketentuan hukumnya bila ada perkara
pidana yang mengakibatkan hak keperdataan timbul, maka haruslah ditempuh atau
dibuktikan terlebih dahulu melalui proses peradilan pidana.
Kejahatan tindak
pidana pemalsuan surat dan pemalsuan tanda tangan diatur dalam Pasal 263 ayat
(1) KUHP dan termasuk dalam delik dolus atau delik yang memuat unsur
kesengajaan. Tindak Pidana pemalsuan surat dan tanda tangan atau yang biasa
disebut dengan forgery merupakan salah satu kejahatan yang sulit diungkap dan
dibuktikan bahwa telah terjadi pemalsuan, hal ini dikarenakan tulis tangan dan
tanda tangan identik dengan kepribadian seseorang, sehingga dalam proses
pembuktiaanya diperlukan ilmu bantu (ilmu forensik). Ilmu Forensik adalah ilmu
untuk melakukan pemeriksaan dan pengumpulan bukti-bukti fisik yang ditemukan di
tempat kejadian perkara dan kemudian dihadirkan di dalam sidang pengadilan.
Tanda tangan erat kaitannya dengan tulisan tangan seseorang, dari tulisan
tangan dapat mengungkapkan kepribadian sejati termasuk emosi, ketakutan,
kejujuran, pertahanan dan banyak hal lainnya. Bentuk tulisan tangan merupakan
alat ukur yang tidak dapat berbohong karena berasal dari alam bawah sadar. Bila
seseorang berusaha untuk mengubah tulisan tangannya, hal tersebut dapat
diidentifikasi sebagai ketidakjujuran. Menurut R. Soesilo (hlm 195), untuk
dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHP, surat yang
dipalsu itu harus suatu surat yang: 1) dapat menerbitkan hak, misalnya ijazah,
karcis tanda masuk, surat andil dan lainnya; 2) dapat menerbitkan suatu
perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian
sewa, dan sebagainya; 3) dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya
kwitansi atau surat semacam itu; atau 4) suatu surat yang boleh dipergunakan
sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat
tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, dan masih banyak lagi. Alat bukti
yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah: Keterangan saksi, Keterangan
ahli, Surat Petunjuk, dan Keterangan terdakwa. Alat bukti yang sah adalah
alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat
tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan
keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan
oleh terdakwa. Oleh karena itu jika seseorang “melanggar hukum” oleh pengadilan
harus dapat membuktikan terlebih dahulu, dan selama pengadilan belum dapat
membuktikannya dan memutuskannya sebagai orang yang bersalah, maka orang yang
telah melanggar hukum belum dapat dianggap bersalah. Karena dalam hal ini
dikenal dengan asas “praduga tidak bersalah”. Laboratorium Forensik sebagai
bagian dari POLRI yang bertugas untuk menyelidiki terjadinya pemalsuan surat
pada suatu perkara, sehingga dengan terbuktinya terjadi tindak pidana, maka
pelakunya dapat diseret ke pengadilan. Tidak dimohon pada requisitoir penuntut
umum, maka dalam keputusan hakim sendiri akan membebaskan si terdakwa dari
semua tuntutan hukum. Peranan Laboratorium Forensik untuk menentukan seseorang
didepan pengadilan ialah terhadap seseorang terdakwa yang didakwakan melakukan
tindak pidana pemalsuan tanda tangan dapat dipersalahkan atau tidak.
Laboratorium Forensik mengungkap secara pasti suatu alat bukti yang diragukan
keasliannya, maka dengan sendirinya memberi jaminan terhadap kepastian hukum.
Konsekuensi perbuatan setiap orang mendapat timbangan hukum sesuai dngan
proposri hak dan kewajibannya. Hukum merupakan separangkat peraturan yang
mengatur dan bertujuan menciptkan ketertiban dalam masyarakat, oleh sebab itu
hukum bersifat memaksa dan mengatur apabila dilanggar menimbulkan sanksi. Agar
tercapai ketertiban dalam masyarakat, maka diusahakan untuk mengadakan
kepastian hukum di dalam pergaulan masyarakat. Kepastian hukum disini diartikan
sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum.
Putusan yang
menjadikan Putusan MA RI Nomor 1974 K/Pdt/2001 tersebut sebagai yurisprudensi
antara lain putusan Putusan MA No. 1726 K/Pdt/2010. Putusan ini mengambil
kaidah hukum dengan menyimpulkan bahwa judex facti tidak keliru menerapkan
hukum, penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya, objek sengketa
telah dijual kepada tergugat guna membayar hutangnya. Hutangnya dengan jaminan
2 (dua) sertifikat tanah, karena tidak dapat membayar maka jaminan dilepas
pemiliknya. Para tergugat dapat dalil-dalil bantahannya. dengan demikian objek
sengketa adalah sah dan mempunyai nilai pembuktian yang sempurna. Sehingga
penggunaan kaidah yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 1974 K/Pdt/2001
tepat dan relevan.
Selain itu Putusan yang menjadikan Putusan MA RI Nomor 1974
K/Pdt/2001 tersebut sebagai yurisprudensi antara lain putusan Putusan Nomor
9/Pdt.G/2020/Enr. Putusan ini berdasarkan pertimbangan Hakim, keseluruhan bukti
Penggugat bukan merupakan alat bukti yang mampu menunjukan kepemilikan sebidang
tanah yang menjadi pokok sengketa dalam perkara a quo dan tidak pula dapat
mengurangi keberadaan dari Akta Otentik Jual Beli yang diajukan tergugat I dan
III, maka pada bukti Akta Jual Beli melekat kekuatan pembuktiannya yang
sempurna dan mengikat kepada para pihak. Sehingga penggunaan kaidah
yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 1974 K/Pdt/2001 tidak tepat dan
tidak relevan.
PERALIHAN HAK ATAS
TANAH KARENA PEMALSUAN TANDA TANGAN HARUS DIBUKTIKAN DAN ADA PUTUSAN PIDANANYA
Perkara
dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1974 K/Pdt/2001 menyelesaikan sengketa terkait
kasus perdata terkait peralihan ha katas tanah, lebih khusus lagi pemalsuan
tanda tangan di Akta Jual Beli yang mengakibatkan cacad hukum.
Kasus bermula
dari Tahun 1996 Penggugat melihat tanah nya dalam kondisi gundul diratakan dan
sekelilingnya di pagari tembok beton setinggi 2 (dua) meter dan hilangnya 2
(dua) buah rumah tinggal permanen milik penggugat. Penggugat memiliki sebidang
Tanah seluas 97.501 m2 yang seluruhnya terletak di desa Buaran dan Pondok
Benda, Kecamatan Serpong, Tangerang, Jawa Barat. Obyeknya terdiri dari 12
Sertifikat Hak Milik, 24 AJB, dan 1 Tanah Adat, yang di lokasi terdapat 2 rumah
dan 1 lapangan tenis. Bahwa penggugat belum pernah menjual, menggadaikan
ataupun melakukan perbuatan hukum lainnya dengan tujuan mengalihkan hak milik
penggugat. Tetapi dalam kenyataannya kondisi objek tanahnya sudah dikuasai oleh
developer PT Puri Ayu Lestari atau Tergugat V. Bahwa sekitar tahun 1990 dan
1992 tergugat I, II memalsukan tanda tangan penggugat untuk membuat akta jual
beli dihadapan PPAT tergugat III dan IV. Bahwa Badan Pertanahan Nasional Kab.
Tangerang telah menerbitkan sertifikat tahan atas nama tergugat I kemudian
dialihkan tergugat I kepada tergugat V dan tergugat V membangun pperumahan Bumi
Eksekutif diatas tanah milik penggugat. Meskipun penggugat membuat somasi agar
pembangunan perumahan dihentikan namun tidak ditanggapi tergugat V bahkan
menjualnya kepada orang lain. Penggugat kemudian menggugat Para Tergugat ke
PEngadilan Negeri Tangerang menjatuhkan putusan menolak Eksepsi Tergugat 1 s/d
4, menyatakan gugatan penggugat tidak diterima, menghukum penggugat untuk
membayar biaya perkara, dalam perkara No. 107/Pdt.G/1998/PN.Tgr. Di Tingkat
Banding atas permohonan Penggugat/Pembanding, putusan tersebut adalah
mengabulkan gugatan penggugat/pembanding untuk Sebagian. Menyatakan tergugat I
s/d IV atau Para Terbanding telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang
merugikan Penggugat/Pembanding, menyatakan cacad hukum sehingga batal demi
hukum seluruh jual beli atas tanah-tanah sengketa tersebut, menghukum untuk
membaliknamakan dan mengembalikan tanah-tanah sengketa tersebut, menghukum
Tergugat I, II dan V secara tanggung renteng membayar ganti rugi Rp. 2 Milyard,
dan membayar uang paksa (dwangsoom) Rp. 500.000 dan biaya perkara Rp. 75.000.
dalam perkara No. 445/Pdt/1999/PT. Bdg. Selanjutnya Para Tergugat/Pemohon
Kasasi mengajukan permohonan Kasasi. Atas putusan PN dan PT tersebut kemudian
dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung mengadili sendiri, bahwa membatalkan
putusan PT Bandung yang membatalkan Putusan PN Tangerang, dan putusannya tidak
dibenarkan, karena tanda tangan palsu atau tidaknya harus ada pemeriksaan dari
Laboratorium Kriminologi, dan atau ada putusan pidana yang menyatakan tanda
tangan palsu, hal ini tidak dapat dibuktikan oleh Penggugat/ termohon Kasasi,
oleh sebab itu gugatan penggugat/termohon Kasasi harus dinyatakan tidak dapat
diterima.
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 1974 K/Pdt/2001 dalam
amarnya :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi
- Membatalkan putusan PT tanggal
29 Juni 2000 No. 445/Pdt.G/1999/PT.Bdg, yang membatalkan putusan PN Tangerang
tanggal 24 Maret 1999 No. 107/Pdt.G/1998/PN.Tgr.
Analisis :
Memalsukan tanda
tangan Penggugat, kewenangan absolut untuk memeriksa dan mengadili perkara
adalah kewenangan peradilan pidana yang sudah lebih dahulu melaporkan ke pihak
kepolisian. Setelah adanya Putusan pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan tergugat I dan tergugat II bersalah, barulah penggugat
mengajukan gugatan a quo dengan dalil tergugat “memalsukan tandatangan
penggugat”. Jadi uraian dan dalil penggugat adalah premature (belum saatnya
diajukan gugatan a quo), karena menurut ketentuan hukumnya bila ada perkara
pidana yang mengakibatkan hak keperdataan timbul, maka haruslah ditempuh atau
dibuktikan terlebih dahulu melalui proses peradilan pidana.
Kejahatan tindak
pidana pemalsuan surat dan pemalsuan tanda tangan diatur dalam Pasal 263 ayat
(1) KUHP dan termasuk dalam delik dolus atau delik yang memuat unsur
kesengajaan. Tindak Pidana pemalsuan surat dan tanda tangan atau yang biasa
disebut dengan forgery merupakan salah satu kejahatan yang sulit diungkap dan
dibuktikan bahwa telah terjadi pemalsuan, hal ini dikarenakan tulis tangan dan
tanda tangan identik dengan kepribadian seseorang, sehingga dalam proses
pembuktiaanya diperlukan ilmu bantu (ilmu forensik). Ilmu Forensik adalah ilmu
untuk melakukan pemeriksaan dan pengumpulan bukti-bukti fisik yang ditemukan di
tempat kejadian perkara dan kemudian dihadirkan di dalam sidang pengadilan.
Tanda tangan erat kaitannya dengan tulisan tangan seseorang, dari tulisan
tangan dapat mengungkapkan kepribadian sejati termasuk emosi, ketakutan,
kejujuran, pertahanan dan banyak hal lainnya. Bentuk tulisan tangan merupakan
alat ukur yang tidak dapat berbohong karena berasal dari alam bawah sadar. Bila
seseorang berusaha untuk mengubah tulisan tangannya, hal tersebut dapat
diidentifikasi sebagai ketidakjujuran. Menurut R. Soesilo (hlm 195), untuk
dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHP, surat yang
dipalsu itu harus suatu surat yang: 1) dapat menerbitkan hak, misalnya ijazah,
karcis tanda masuk, surat andil dan lainnya; 2) dapat menerbitkan suatu
perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian
sewa, dan sebagainya; 3) dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya
kwitansi atau surat semacam itu; atau 4) suatu surat yang boleh dipergunakan
sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat
tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, dan masih banyak lagi. Alat bukti
yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah: Keterangan saksi, Keterangan
ahli, Surat Petunjuk, dan Keterangan terdakwa. Alat bukti yang sah adalah
alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat
tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan
keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan
oleh terdakwa. Oleh karena itu jika seseorang “melanggar hukum” oleh pengadilan
harus dapat membuktikan terlebih dahulu, dan selama pengadilan belum dapat
membuktikannya dan memutuskannya sebagai orang yang bersalah, maka orang yang
telah melanggar hukum belum dapat dianggap bersalah. Karena dalam hal ini
dikenal dengan asas “praduga tidak bersalah”. Laboratorium Forensik sebagai
bagian dari POLRI yang bertugas untuk menyelidiki terjadinya pemalsuan surat
pada suatu perkara, sehingga dengan terbuktinya terjadi tindak pidana, maka
pelakunya dapat diseret ke pengadilan. Tidak dimohon pada requisitoir penuntut
umum, maka dalam keputusan hakim sendiri akan membebaskan si terdakwa dari
semua tuntutan hukum. Peranan Laboratorium Forensik untuk menentukan seseorang
didepan pengadilan ialah terhadap seseorang terdakwa yang didakwakan melakukan
tindak pidana pemalsuan tanda tangan dapat dipersalahkan atau tidak.
Laboratorium Forensik mengungkap secara pasti suatu alat bukti yang diragukan
keasliannya, maka dengan sendirinya memberi jaminan terhadap kepastian hukum.
Konsekuensi perbuatan setiap orang mendapat timbangan hukum sesuai dngan
proposri hak dan kewajibannya. Hukum merupakan separangkat peraturan yang
mengatur dan bertujuan menciptkan ketertiban dalam masyarakat, oleh sebab itu
hukum bersifat memaksa dan mengatur apabila dilanggar menimbulkan sanksi. Agar
tercapai ketertiban dalam masyarakat, maka diusahakan untuk mengadakan
kepastian hukum di dalam pergaulan masyarakat. Kepastian hukum disini diartikan
sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum.
Putusan yang
menjadikan Putusan MA RI Nomor 1974 K/Pdt/2001 tersebut sebagai yurisprudensi
antara lain putusan Putusan MA No. 1726 K/Pdt/2010. Putusan ini mengambil
kaidah hukum dengan menyimpulkan bahwa judex facti tidak keliru menerapkan
hukum, penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya, objek sengketa
telah dijual kepada tergugat guna membayar hutangnya. Hutangnya dengan jaminan
2 (dua) sertifikat tanah, karena tidak dapat membayar maka jaminan dilepas
pemiliknya. Para tergugat dapat dalil-dalil bantahannya. dengan demikian objek
sengketa adalah sah dan mempunyai nilai pembuktian yang sempurna. Sehingga
penggunaan kaidah yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 1974 K/Pdt/2001
tepat dan relevan.
Selain itu Putusan yang menjadikan Putusan MA RI Nomor 1974
K/Pdt/2001 tersebut sebagai yurisprudensi antara lain putusan Putusan Nomor
9/Pdt.G/2020/Enr. Putusan ini berdasarkan pertimbangan Hakim, keseluruhan bukti
Penggugat bukan merupakan alat bukti yang mampu menunjukan kepemilikan sebidang
tanah yang menjadi pokok sengketa dalam perkara a quo dan tidak pula dapat
mengurangi keberadaan dari Akta Otentik Jual Beli yang diajukan tergugat I dan
III, maka pada bukti Akta Jual Beli melekat kekuatan pembuktiannya yang
sempurna dan mengikat kepada para pihak. Sehingga penggunaan kaidah
yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 1974 K/Pdt/2001 tidak tepat dan
tidak relevan.
PEMBUKTIAN CACAT
HUKUM KARENA PEMALSUAN TANDA TANGAN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI
Hal
yang penting dibahas dalam perkara ini adalah pandangan Mahkamah Agung bahwa
dalam hal terjadi dugaan pemalsuan tanda tangan dalam perjanjian jual beli yang
berakibat pada perjanjian dapat dibatalkan. Untuk membuktikan adanya pemalsuan
diperlukan bukti dari laboratorium kriminologi atau ada putusan pidana yang
menyatakan tanda tangan telah dipalsukan.
Dalam kasus ini Mustafa Djuang
Harahap, S.H. memiliki sebidang tanah seluas 97.501m2 terletak di Desa Buaran
dan Pondok Beda, kecamatan Serpong Tangerang, Jawa Barat. Sekitar tahun
1990-1992 Rony Harunsyah Gunawan, S.H. dan Ny. Umi Suskandi Sutamto, S.H.
memalsukan tanda tangan untuk membuat akta jual beli dihadapan notaris. Atas
terbitnya akta jual beli tersebut, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tengerang
telah menerbitkan sertifikat tanah atas nama Rony Harunsyah Gunawan, S.H.
Sertifikat tanah tersebut kemudian dialihkan oleh Rony Harunsyah Gunawan, S.H.
kepada PT.Puri Ayu Lestari. Oleh PT. Puri Ayu Lestari diatas tanah tersebut
dibangun Perumahan Bumi Eksekutif. Atas peristiwa tersebut, Mustafa Djuang
Harahap, S.H. melayangkan somasi kepada PT.Puri Ayu Lestari untuk menghentikan
pembangunan rumah, namun tidak ditanggapi bahkan melanjutkan menjual rumah
kepada pihak lain. Mustafa Djuang Harahap, S.H. menderita kerugian karena
perbuatan tersebut. Perkara ini telah di putus oleh Pengadilan Negeri Tangerang
dengan Nomor Putusan 107/Pdt.G/1998/PN.Tgr tanggal 24 Maret 1999. Atas putusan
itu telah ditempuh upaya banding yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Tangerang. Putusan Pengadilan Tinggi tanggal 29 Juni 2000 Nomor:
445/Pdt/1999/PT.Bdg. Atas Putusan Pengadilan Tinggi Bandung, dilakukan upaya
kasasi. Terhadap perkara tersebut, Mahkamah Agung RI mengadili dengan amar
putusan berbunyi:
AMAR PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG:
-
Mengabulkan permohonan kasasi dari:
1. Rony Harunsyah Gunawan, S.H.
2. Ny. Umi
Suskandi Sutamto, S.H.
3. P.T. Puri Ayu Lestari
4. Sedjono Wibowo
Membatalkan
putusan PT. Bandung tanggal 29 Juni 2000 No.445/Pdt/1999/PT.Bandung, yang
membatalkan putusan PN. Tangerang tanggal 24 Maret 1999 No.
107/Pdt.G/1998/PN.Tgr.:
MENGADILI SENDIRI:
Dalam eksepsi:
- menolak eksepsi tergugat
I dan IV
-
Dalam konsepsi: Menyatakan gugatan penggugat tidak dapa diterima;
- Dalam rekonpensi
Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima;
Menghukum termohon
kasasi/penggugat asal untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat
peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp.200.000,- (dua
ratus ribu rupiah).
Majelis Hakim Kasasi Putusan Nomor 1974 K/Pdt/2001:
Hakim
Ketua: Ny.Chairani A. Wani,S.H.
Hakim Anggota: Titi Nurmala Siagian,S.H. dan
Prof. Dr. Valerine J.L.K.,S.H.,M.A.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1974
K/Pdt/2001 telah diikuti oleh beberapa putusan, antara lain:
1. Putusan Nomor
9/Pdt.G/2020/PN Enr
2. Putusan Nomor 12/Pdt.G/2020/PN Spn
3. Putusan Nomor
49/Pdt.G/2017/PN Gpr
4. Putusan Nomor 379 K/Pdt/2017
Keempat putusan diatas
secara jelas menjadikan kaidah “peralihan hak atas tanah dinyatakan cacat hukum
karena pemalsuan tanda tangan sehingga batal demi hukum jual beli tanah harus
dibuktikan melalui pemeriksaan dari laboratorium kriminoligi atau ada putusan
pidana yang menyatakan tanda tangan dipalsukan”. Tanpa adanya pembuktian
melalui pemeriksaan laboratorium kriminologi atau ada putusan pidana yang
menyatakan tanda tangan palsu, maka peralihan hak atas tanah melalui jual beli
dinyatakan sah. Penegasan dalam penerapan kaidah ini adalah terdapat dua
pilihan cara pembuktian. Pembuktian tanda tangan palu dapat dilakukan melalui
pemeriksaan laboratorium kromonologi. Pembutktian tanda tangan palsu juga dapat
dilakukan jika ada putusan pidana yang menyatakan tanda tangan tersebut palsu.
Jual beli pada pokoknya merupakan kesepakatan para pihak. Para pihak dengan
sukarela menyepakati unsur jual beli yaitu objek dan harga. Salah satu unsur
untuk mencapai sepakat adalah “sukarela”. Wujud pemenuhan sikap sukarela ini
dapat berupa tindakan para pihak membubuhkan tanda tangan pada akta jual beli.
Persoalan timbul ketika salah satu pihak menyangkal telah membubuhkan tanda
tangan pada akta jual beli. Persoalan berikutnya adalah tuduhan dari salah satu
pihak bahwa akta jual beli dibuat dengan tanda tangan palu. Persoalan
berikutnya adalah tuduhan kepada Noratis/PPAT telah mengesahkan akta jual beli
yang diduga dibubuhi tanda tangan paslu. Persoalan-persoalan ini kemudian
menjadi relevan dengan kaidah yurisprudensi yang tertuang pada Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1974 K/Pdt/2001 yaitu “peralihan hak atas tanah dinyatakan cacat
hukum karena pemalsuan tanda tangan sehingga batal demi hukum jual beli tanah
harus dibuktikan melalui pemeriksaan dari laboratorium kriminoligi atau ada
putusan pidana yang menyatakan tanda tangan dipalsukan”. Kaidah ini memberikan
ruang kepada pihak yang merasa dirugikan (dipalsukan tanda tangannya) untuk
melakukan pembuktian, karena tanpa dapat membuktikan, maka akta jual beli
adalah sah. Beberapa tulisan terkait dengan kaidah yurisprodensi yang tertuang
pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1974 K/Pdt/2001 antara lain:
1. Penelitian
karya Priski Athaya Fatimah dengan judul "Akibat Hukum Pemalsuan Tanda
Tangan Dalam Akta Jual Beli (Studi Kasus Putusan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 898K/PID/2018)." tahun 2020. Penelitian ini
membahas tentang pemalsuan tada tangan dalam akta jual beli yang spesifik
diputus dengan Putusan Mahkamah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
898K/PID/2018.
2. Penelitian karya Khanza Inas Az-Zahra Fikry dan Shinta
Andriyani dengan judul “Pertanggungjawaban Ppat Yang Melakukan Pemalsuan Tanda
Tangan Akta Jual Beli (Studi Kasus Putusan Nomor412/Pdt/2018/Pt Dki)” yang
terbit pada Jurnal Private Law Fakultas Hukum Universitas Mataram tahun 2021.
Penelitian ini membahas tentang keabsahan akta jual beli yang memiliki cacat
yuridis, sanksi hukum terhadap PPAT atas pemalsuan akta jual beli yang
ditandatangani, dan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam
putusan Nomor 412/PDT/2018/PT D.
3. Penelitian oleh Viona Ansila Domini,
Mohamad Fajri Mekka Putra, Widodo Suryandono dengan judul “Tanggung Jawab Notaris/Ppat
Terhadap Keabsahan Tanda Tangan Dan Identitas Penghadap Dalam Akta Jual Beli
(Studi Putusan Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor:
10/Pid/2018/Pt.Dki)” tahun 2019. Penelitian ini berfokus pada pembahasan
tentang pemalsuan identitas dan tanda tangan dalam pembuatan Akta Jual Beli di
Jakarta Selatan dengan menghadirkan orang lain yang seolah-olah adalah pihak
dan memberi persetujuan, sebagaimana dimuat dalam Putusan Pengadilan Tinggi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10/PID/2018/PT.DKI.
Ketiga penelitian
tersebut diatas, dirasa cukup memberi urgensi bagi pembahasan tentang kaidah
hukum “Peralihan hak atas tanah dinyatakan cacat hukum karena pemalsuan tanda
tangan sehingga batal demi hukum jual beli tanah harus dibuktikan melalui
pemeriksaan dari laboratorium kriminoligi atau ada putusan pidana yang
menyatakan tanda tangan dipalsukan”. Ketiga penelitian diatas memberi gambaran
bahwa kasus pemalsuan tanda tangan pada akta jual beli sering terjadi.
Membahas
tentang perjanjian, tidak bisa lepas dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal
1320 KUHPerdata. Sebuah perjanjian adalah sah Ketika memenuhi syarat antar
lain:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk
membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang
tidak terlarang.
Syarat pertama dan kedua, kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut syarat subjektif.
Hal ini karena kedua syarat ini berkaitan dengan subjek dari perjanjian. Syarat
ketiga dan keempat, suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak
terlarang disebut syarat objektif karena berkaitan dengan objek dari
perjanjian. Tidak dipenuhinya syarat subjektif berakibat perjanjian dapat
dibatalkan (voidable). Apabila syarat objektif yang tidak terpenuhi, berakibat
perjanjian batal demi hukum (null and void).
Berkaitan dengan syarat sah
perjanjian yang pertama yaitu syarat kesepakatan bahwa yang dimaksud dengan
kesepakatan ialah adanya persesuaian pernyataan dengan kehendak dalam diri
masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian sehingga para pihak setuju
mengenai hal-hal pokok dari isi perjanjian yang dibuat. Syarat kesepakatan
merupakan representasi dari asas konsensualisme. Asas konsensualisme berarti
kesepakatan, yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya
kata sepakat. Berdasarkan asas konsensualisme itu dianut paham bahwa sumber
kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau
konsensus para pihak yang membuat perjanjian. Menurut Soebekti dalam bukunya
Aneka Perjanjian bahwa “dengan disebutkan hanya sepakat saja dalam Pasal 1320
KUHPerdata tanpa dituntut formalitas apapun, dapat disimpulkan bahwa apabila
sudah terjadi kata sepakat, maka sahlah perjanjian itu. Sepakat dapat juga
diartikan sebagai penawaran (aanbod) yang diterima oleh lawan janjinya.”
Konsesualisme berasal dari perkataan consensus yang berarti kesepakatan.
Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Persesuaian kehendak tersebut adalah
pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.
Pernyataan-pernyataan timbal baik dari kedua belah pihak merupakan sumber untuk
menetapkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Subekti yang dikutip oleh
Priska Athaya Fatima menyebutkan “sesuai dengan asas konsesualisme yang
menjiwai hukum perjanjian BW, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada
detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga, maka lahirlah perjanjian
jual beli yang sah. Sifat konsensual jual beli dijelaskan dalam Pasal 1458
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yang
berbunyi jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika
setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang
itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
Perjanjian jual beli
menurut KUHPerdata itu belum memindahkan hak milik. “Adapun hak milik baru
berpindah dengan dilakukannya “levering” atau penyerahan.”Hak milik atas tanah
baru beralih dari pemilik kepada penerima jika telah dilakukan dengan
penyerahan yuridis (juridische levering), yaitu penyerahan yang harus memenuhi
formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan syarat;“dilakukan melalui prosedur
yang telah ditetapkan; menggunakan dokumen; dibuat oleh/ dihadapan PPAT. Ketika
semua prosedur telah sesuai dengan undang-undang, maka sesuai ketentuan “Pasal
1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dengan demikian jual beli
yang terjadi adalah sah.
Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan “Tiada suatu
persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau
diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Perjanjian yang dilahirkan dengan
ketiga unsur ini didalamnya adalah cacat kehendak yang berakibat perjanjian
dapat dibatalkan. Terkait dengan kaidah “Peralihan hak atas tanah dinyatakan
cacat hukum karena pemalsuan tanda tangan sehingga batal demi hukum jual beli
tanah harus dibuktikan melalui pemeriksaan dari laboratorium kriminoligi atau
ada putusan pidana yang menyatakan tanda tangan dipalsukan”, Pasal 1328
KUHPerdata menyebutkan “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu
persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian
rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu
tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan
harus dibuktikan.” Perbuatan pemalsuan tanda tangan dalam akta jual beli
termasuk dalam tindakan mencapai sepakat dengan penipuan. Atas tindakan ini
Pasal 1378 jelas menetapkan adanya pembuktian, tidak boleh hanya tuduhan
semata.
Membubuhkan tanda tangan merupakan bentuk pernyataan kekendak para
pihak dalam sebuah perjanjian. Pernyataan kehendak untuk menyepakai isi
perjanjian secara bebas dan sukarela. Tindakan ini bentuk asas konsensualisme
dalam perjanjian. Terkait kaidah yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1974 K/Pdt/2001 tentang dalil pemalsuan tanda tangan dalam perjanjian
jual beli, maka sesuai ketentuan Pasal 1328, pihak yang mengajukan dalil
tersebut, harus membuktikan adanya tindakan pemalsuan tanda tangan.
Pasal 1865
KUHPerdata “setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu
peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
Ketentuan ini menguatkan bahwa apabila ada pihak yang mengaku menunjuk suatu
peristiwa untuk meneguhkan hakknya, maka orang tersebut wajib membuktikkan
adanya kejadian itu. Pihak yang merasa tanda tanganya dipalsukan, wajib
menjukkan bukti adanya pemalsuan.
Pemalsuan tanda tangan masuk dalam bentuk
pemalsuan surat yang dapat dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP. Pelakunya
diancam dengan pidana penjara selama enam tahun. Lebih jelas disebutkan dalam
Pasal 263 Ayat (1) “barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang
dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan
tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian,
karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Ketentuan Pasal 263 KUHP ini menjadi berkaitan dengan upaya pembuktian adanya
pemalsuan tanda tangan dalam perjanjian jual beli. Hal ini karena untuk
membuktikan tindakan pemalsuan tanda tangan, pihak yang mendalilkan dalam
gugatan harus menghadirkan hasil laboratorium kriminologi atau ada putusan
pidana yang menyatakan tanda tangan dipalsukan.
Menurut Moch Anwar dalam
Bassyarudin perbuatan pemalsuan dapat dikategorikan pertama-tama dalam kelompok
kejahatan penipuan, tetapi tidak semua perbuatan penipuan adalah pemalsuan.
Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang
memberikan gambaran tentang suatu keadaan atas sesuatu barang (surat)
seakan-akan itu asli atau kebenaran tersebut dimilikinya. Karena gambaran ini
orang lain menjadi terpedaya dan mempercayai bahwan keadaan yang digambarkan
atas barang (surat) tersebut adalah benar atau asli. Namun, untuk dapat dikenai
sanksi pidana Pasal 263 ayat (1) KUHP ini sebagaimana dijelaskan R. Soesilo,
surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:
a. Dapat menerbitkan hak,
misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil dan lainnya.
b. Dapat
menerbitkan suatu perjanjian, misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian
jual beli, perjanjian sewa dan sebagainya.
c. Dapat menerbitkan suatu
pembebasan utang, misalnya kwitansi atau surat semacam itu; atau
d. Suatu surat
yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau
peristiwa, misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, dan
masih banyak lagi.
Dalam perkara yang diputus Mahkamah Agung Nomor 1974
K/Pdt/2001, dalil pemalsuan tanda tangan yang tertera dalam gugatan kasasi
memenuhi unsur dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya: surat perjanjian
piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa dan sebagainya. Sehingga
tindakan ini dikategorikan sebagai tindakan penipuan.
Untuk membuktikan dalil
gugatannya, pihak yang mendalilkan harus menunjukkan hasil pemeriksaan
laboratorium kriminologi atau putusan pidana. Untuk memperoleh hasil
laboratorium kriminologi atau putusan pidana yang menyatakan adanya pemalsuan
tanda tangan diawali dengan tindakan laporan polisi. Pihak yang mendalilkan
pemalsuan tanda tangan harus membuat laporan polisi dengan dugaan pemalsuan
tanda tangan dengan menghadirkan bukti pembanding. Laporan polisi dibutuhkan untuk
mendapatkan pemeriksaan labotarorium kriminologi karena jika sudah masuk pada
ranah pemalsuan, merupakan ranah pidana dan yang berhak meminta pemeriksaan
adalah penyidik.
Berdasarkan uraian diatas, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1974
K/Pdt/2001telah tepat dengan tidak mengabulkan gugatan terkait pemalsuan tanda
tangan dalam perjanjian jual beli. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya tepat
menerapkan kaidah “Peralihan hak atas tanah dinyatakan cacat hukum karena
pemalsuan tanda tangan sehingga batal demi hukum jual beli tanah harus
dibuktikan melalui pemeriksaan dari laboratorium kriminoligi atau ada putusan
pidana yang menyatakan tanda tangan dipalsukan” karena pemohon kasasi tidak
membuktikan dalil gugatannya. Dengan demikian perjanjian jual beli adalah sah,
karena tidak dapat dibuktikan adanya pemalsuan tanda tangan dalam jual beli
tersebut. Dengan kata lain, syarat sahnya perjanjian tentang sepakat adalah
terpenuhi tanpa disertai dengan unsur kekhilafan, paksaan dan penipuan.
Penggunaan kaidah “Peralihan hak atas tanah dinyatakan cacat hukum karena
pemalsuan tanda tangan sehingga batal demi hukum jual beli tanah harus
dibuktikan melalui pemeriksaan dari laboratorium kriminoligi atau ada putusan
pidana yang menyatakan tanda tangan dipalsukan” dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1974 K/Pdt/2001 perlu penegasan mengenai bentuk pembuktiannya. Apakah
pembuktiaannya cukup dengan menyajikan hasil pemeriksaan laboratorium
kriminologi tanpa ada putusan pidana? Karena penormaan kaidah ini menggunakan
kata “atau” yang dapat diasumsikan adalah pilihan dalam pembuktian. Dapat
menggunakan hasil pemeriksaan laboratorium kriminologi saja, tanpa menunggu
putusan pengadilan terkait tindak pidana pemalsuan. Pilihan pembuktian yang
kedua adalah putusan pidana tindakan pemalsuan. Pada Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1974 K/Pdt/2001 menimbulkan persoalan tentang kekuatan pembuktian dari
hasil pemeriksaan laboratorium kriminologi dan putusan pidana. Hal ini dapat
ditemukan dalam dasar menimbang pada putusan ini. Mempertimbangkan keberatan
Pemohon Kasasi I dengan menunjuk tidak adanya hasil pemeriksaan laboratorium
kriminologi POLRI sebagai alat bukti. Sementara menimbang keberatan Pemohon
Kasasi IV dengan menunjuk pembuktian dengan tuntutan pidana. Yang mana yang
memiliki kekuatan pembuktian lebih kuat. Apakah hasil pemeriksaan laboratorium
kriminologi dan putusan pidana memiliki kekuatan pembuktian yang sama? Karena
jika kembali pada proses memperolehnya, hasil pemeriksaan laboratorium
kriminologi diperoleh selama proses tuntutan pidana berlangsung dan
dipergunakan sebagai bukti dalam persidangan tuntutan pemalsuan tanda tangan.
Sementara putusan pidana, merupakan putusan akhir setelah memperhatikan
bukti-bukti yang dihadirkan terkait pemalsuan tanda tangan.
Kesimpulan Kaidah
“Peralihan hak atas tanah dinyatakan cacat hukum karena pemalsuan tanda tangan
sehingga batal demi hukum jual beli tanah harus dibuktikan melalui pemeriksaan
dari laboratorium kriminoligi atau ada putusan pidana yang menyatakan tanda
tangan dipalsukan” merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata
dalam upaya untuk menghindari adanya tindakan yang tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata). Kaidah ini layak menjadi yurispridensi
dengan tetap memperhatikan pemenuhan unsur pemalsuan sesuai ketentuan Pasal 263
Ayat (1) KUHP. Kaidah ini ideal untuk dijadikan yurisprudensi dengan
memperhatikan penormaannya, kedudukan alat bukti dan kekuatan pembuktiannya.