Karakterisasi Yurisprudensi No : 1600 K/PID/2009
Bahwa walaupun perkara ini perkara pidana, tetapi perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar daripada bila dilanjutkan.
Usulan Perbaikan
Kaidah Yurisprudensi
Hakim dapat menghentikan proses peradilan perkara pidana berdasarkan perdamaian para pihak yang berkepentingan demi mewujudkan keadilan restoratif.
Hakim dapat menghentikan proses peradilan perkara pidana berdasarkan perdamaian para pihak yang berkepentingan demi mewujudkan keadilan restoratif.
1. Bahwa, pencabutan pengaduan yang dilakukan oleh pelapor yang notabene adalah mertua Terdakwa merupakan tindakan untuk memaafkan menantu yang dengan demikian pihak yang dirugikan merasa tidak perlu lagi perkara ini diteruskan;
2. Bahwa, walaupun perkara ini perkara pidana, tetapi perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada dilanjutkan;
3. Bahwa ajaran keadilan restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik juga merepresentasikan terganggunya, bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih;
Penerapan Keadilan
Restoratif Melalui Perdamaian dalam Perkara Pidana
Berdasarkan
pertimbangan Mahkamah Agung untuk permohonan kasasi dengan nomor register 1600
K/Pid/2009, perdamaian antara pihak pelapor dan terlapor dipandang sebagai
suatu alasan yang sah untuk menghentikan proses peradilan pidana yang
berlangsung. Dalam perkara ini, Emiwati yang merupakan pelapor sekaligus mertua
dari Ismayawati telah mengajukan permohonan pencabutan tuntutan dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dalam pertimbangannya, Majelis
Hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun pencabutan permohonan telah
melewati ketentuan waktu yang terdapat dalam Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, penghentian perkara ini memiliki manfaat yang lebih besar ketimbang
dilanjutkan.
Oleh karena itulah, Majelis Hakim Mahkamah Agung kemudian membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Yogkarta yang dinilai bersifat formalistik. Kaidah
yurisprudensi ini diikuti oleh dua putusan untuk mempertimbangkan apakah
perdamaian antara pihak yang berkepentingan dapat menjadi dasar untuk
menghentikan proses peradilan perkara. Pertimbangan yang menjadi kaidah
yurisprudensi tersebut adalah sebagai berikut: Bahwa, walaupun perkara ini
perkara pidana, namun perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor
mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui karena bagaimanapun juga bila
perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan.
Menurut pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung, penghentian perkara dengan
alasan perdamaian ini merupakan perwujudan keadilan restoratif. Hal ini karena
perkara pidana yang terjadi bukan semata pelanggaran terhadap kepentingan umum
tetapi juga merepresentasikan terganggunya hubungan antara dua atau lebih
individu. Oleh karena itu, Hakim harus memfasilitasi penyelesaian perkara yang
dapat memulihkan hubungan antara pihak yang terlibat.
Untuk memahami
pertimbangan Mahkamah Agung, penting untuk mengetahui terlebih dulu kronologis
dari perkara terkait. Dalam dakwaan penuntut umum, sekitar April sampai Oktober
2007, Ismayawati membujuk Emiwati, mertuanya, untuk berinvestasi pada usaha
dagang alat-alat elektronik miliknya. Setelah Emiwati memberikan sejumlah uang,
Ismayawati memberikan beberapa cek dan bilyet giro sebagai bentuk barter dengan
cek serta bilyet giro yang telah diserahkan Emiwati sebelumnya. Namun, cek dan
bilyet giro tersebut tidak dapat dicairkan karena beberapa alasan seperti: 1)
Nomor rekening yang tertera keliru; 2) Rekening telah dibekukan dan masuk ke
dalam daftar hitam Bank Indonesia; 3) Identitas yang tertera dalam cek dan/atau
bilyet giro tidak sesuai; 4) Tanda tangan yang dibubuhkan pada cek dan/atau
bilyet giro menggunakan pensil. Akibatnya, Emiwati mengalami kerugian sekitar
3,9 miliar rupiah.
Berdasarkan kronologis ini, Jaksa Penuntut Umum kemudian
menuntut Ismayawati dengan dakwaan alternatif menggunakan Pasal 378 tentang
Penipuan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan. Namun, pada 28 Oktober 2008,
Emiwati selaku korban mengajukan surat permohonan pencabutan tuntutan hukum
terhadap Ismayawati dengan alasan telah memaafkan Ismayawati dan bahwa menantunya
ini memiliki anak-anak yang masih kecil. Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Yogyakarta kemudian mengabulkan permohonan Emiwati tersebut. Akan tetapi, di
tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta membatalkan putusan
tingkat pertama tersebut sehingga Penasihat Hukum korban mengajukan kasasi.
Dalam permohonan kasasinya, Penasihat Hukum korban menyatakan bahwa dasar
dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini awalnya adalah laporan bukan
pengaduan. Surat aduan perkara dibuat menyusul pada April 2008 namun
menggunakan tanggal 20 September 2007. Hal ini penting mengingat Pasal 378 dan
Pasal 372 KUHP merupakan delik biasa/bukan delik aduan dengan pengecualian yang
terdapat dalam Pasal 394 dan Pasal 376 KUHP. Kedua pasal ini mengatur bahwa
ketentuan Pasal 367 KUHP berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam
Bab XXV dan Bab XXIV KUHP. Secara spesifik, ketentuan yang berkaitan dengan
perkara ini adalah ketentuan dalam Pasal 367 ayat (2) KUHP: Jika dia adalah
suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau
jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun
garis menyimpang derajat kedua maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan
penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
Melalui Pasal 295 dan 296
KUH Perdata, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hubungan keluarga
semenda terbentuk dari perkawinan yakni pertalian antara suami dan istri serta
keluarga sedarah dari pihak lain. Dalam perkara ini, hubungan Ismayawati dan
Emiwati dapat dikategorikan sebagai keluarga semenda derajat pertama oleh
karena itu ketentuan Pasal 367 ayat (2) berlaku. Ini berarti, sejak awal,
perkara ini seharusnya diproses melalui pengaduan bukan laporan.
Perbedaan
delik ini memiliki dampak hukum atau cara penuntutan yang berbeda pula.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kanter dan Sianturi bahwa delik aduan hanya dapat
dituntut karena adanya aduan oleh pihak yang diatur dalam peraturan perundangan
terkait sedangkan delik biasa dapat dilakukan penuntutan oleh petugas (tanpa
aduan) oleh karena kewajiban petugas untuk melakukan penuntutan. Selain itu,
Kanter dan Sianturi menuliskan bahwa dalam beberapa ketentuan tindak pidana
yang berdasarkan delik aduan dapat diselesaikan secara “damai” di luar pengadilan,
terutama bila tindak pidana dilakukan oleh anggota keluarga.
Selanjutnya, Pasal
74 dan Pasal 75 KUHP mengatur tentang kadaluarsa pengaduan dapat dilakukan dan
pencabutannya. Menurut ketentuan dalam Pasal 74 KUHP, pengaduan hanya dapat
dilakukan oleh pihak yang berhak mengadu dalam jangka waktu 6 bulan bila pihak
tersebut berada di Indonesia. Pengaduan yang telah diajukan dapat dicabut dalam
jangka waktu 3 bulan oleh pihak yang mengajukan sesuai ketentuan dalam Pasal 75
KUHP. Pasal terakhir inilah yang kemudian disebutkan oleh Majelis Hakim
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya. Mahkamah Agung, dalam pertimbangannya,
menyebutkan bahwa pencabutan pengaduan telah lewat tenggat waktu berdasarkan
Pasal 75 KUHP. Meskipun Majelis Hakim menyadari bahwa secara normatif pengaduan
seharusnya tidak dapat dicabut setelah lewat tiga bulan, tetapi permohonan
pencabutan tuntutan berdasarkan perdamaian kedua belah pihak dipandang memiliki
nilai dan manfaat yang penting. Manfaat penting yang dimaksud adalah mewujudkan
keadilan restoratif. Pada pertimbangannya, Majelis Hakim berpandangan bahwa
ajaran keadilan restoratif memandang pelanggaran yang terjadi sebagai gangguan
atau terputusnya hubungan antara individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan
Hakim harus memfasilitasi penyelesaian konflik di antara individu yang
berselisih tersebut.
Pandangan ini sejalan dengan diskursus terkait justifikasi
pemidanaan yang berkembang. Margarita Zernova mengutip pandangan para ahli
hukum yang sejalan dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung, yakni
keadilan restoratif tidak memandang tindak pidana hanya sebagai pelanggaran
terhadap Negara tetapi juga pada manusia dan hubungan sosialnya. Selain itu,
dalam bukunya "Sentencing and Criminal Justice", Andrew Ashworth mengutip
pandangan Christie bahwa seringkali pemidanaan dipandang semata sebagai aspek
dari negara modern yang berdaulat. Pandangan ini kemudian disanggah oleh
kelompok yang berpendapat bahwa pemidanaan seharusnya berfokus pada korban dan
keluarganya atau korban dan komunitasnya melalui keadilan restoratif. Teori dan
diskursus terkait keadilan restoratif muncul dan berkembang dalam setengah abad
terakhir ini dengan kemunculan Declaration on the Basic Principles of
Justice for Victims and Abuse of Power pada 1985. Ashworth menuliskan
bahwa, pada dasarnya, keadilan restoratif mendalilkan korban sebagai inti dari
sistem peradilan pidana dan pemidanaan. Ini berarti seluruh pihak yang terlibat
dalam suatu perkara pidana, baik itu pelaku; korban; keluarga; maupun komunitas
yang terdampak, harus terlibat dalam penyelesaian perkara. Pelibatan ini
penting untuk memastikan pelaku menyesal dan meminta maaf, memberikan ganti
rugi kepada korban, dan tidak mengulangi tindak pidana.
Di lingkungan
pengadilan saat ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Pedoman Penerapan
Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum pada Desember 2020. Pedoman
ini pada penerapannya hanya berlaku bagi tindak pidana ringan, perkara anak
berhadapan dengan hukum, perkara perempuan berhadapan dengan hukum, serta
narkotika. Pasal 372 dan 378 KUHP tidak termasuk ke dalam pedoman ini, akan
tetapi penting juga untuk melihat pemahaman terkait keadilan restoratif dalam
pedoman ini. Berdasarkan pedoman ini, keadilan restoratif dimaknai sebagai alternatif
penyelesaian perkara tindak pidana dalam mekanisme tata cara peradilan pidana
berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana
yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik
dalam masyarakat. Lebih lanjut, dalam pedoman keadilan restoratif, pelaku
diberikan kesempatan untuk terlibat dalam upaya memulihkan keadaan, masyarakat
berperan untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan untuk menjaga
ketertiban umum.
Kembali pada perkara dalam Putusan 1600 K/Pid/2009, majelis
hakim di Pengadilan Tinggi Yogyakarta mungkin menitikberatkan putusannya pada
asas kepastian hukum. Bagaimana pun juga, masa pencabutan pengaduan telah
diatur secara tegas dalam Pasal 75 KUHP. Akan tetapi, bukan suatu hal yang
janggal ketika terjadi benturan asas dan nilai dalam suatu perkara pidana. Oleh
karenanya, merujuk pada konsep dasar keadilan restorasi, penyelesaian yang
berfokus pada korban yakni Emiwati harus diutamakan. Memang pertimbangan dari
Majelis Hakim dalam putusan kasasi banyak berfokus pada pencabutan tuntutan
oleh Emiwati, fakta bahwa Emiwati dan Ismayawat memiliki hubungan keluarga, dan
fakta bahwa Ismayawati memiliki anak-anak yang masih kecil. Namun, kembali lagi
bila perdamaian dan permohonan pencabutan tuntutan dari Emiwati betul-betul
diinginkan oleh Emiwati sebagai korban dan rusaknya hubungan antara keduanya
telah dipulihkan maka sekiranya putusan ini telah memenuhi rasa keadilan.
Memastikan fokus keadilan restorasi tidak bergeser menjadi penting karena,
sebagaimana dikemukakan oleh Zernova maupun Ashworth, penafsiran dan
perkembangan pembahasan terkait keadilan restoratif semakin meluas seiring
berjalannya waktu. Tidak jarang penafsiran tersebut menjadi bermasalah dan
memengaruhi implementasi. Mengingat hal tersebut, implementasi keadilan
restoratif harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan hak dan pemulihan
korban terpenuhi bukan semata hanya untuk menyelesaikan perkara secara cepat
dan/atau di luar pengadilan. Tujuan dan niat Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam
Putusan 1600 K/Pid/2009 ini mulia namun bila akan diterapkan dalam
putusan-putusan lain, harus memperhatikan kekhususan setiap perkara (case by
case). Tidak dipungkiri, ada kekhawatiran bahwa terjadi
perdamaian-perdamaian semu yang tidak betul-betul mengakomodasi kepentingan
korban dan malah dijadikan landasan untuk penghentian proses peradilan pidana.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan ini sempat dikutip pula dalam memori
banding Pendamping Hukum pada dua perkara berbeda yakni dalam Putusan Nomor:
176/PID.B/2017/PT. PBR dengan Terdakwa atas nama Yusri Kandar dan Putusan
Nomor: 109/PID/2020/PT SMR atas nama Bayu Raka Siwi. Para terdakwa dalam kedua
putusan ini dikenakan pasal yang sama yakni Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang
Penganiayaan. Dalam putusan Yusri Kandar, Majelis Hakim Tingkat Banding
memperkuat putusan tingkat pertama dan mengesampingkan keberatan dari
pendamping hukum Yusri yang memuat pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan
1600 K/Pid/2009. Putusan tersebut didasari dengan alasan bahwa Yusri terbukti
melakukan penganiayaan terhadap seorang PNS yang tengah melakukan tugas
jabatannya. Sedangkan dalam putusan Bayu Raka Siwi, perdamaian antara Bayu
dengan korban menjadi salah satu faktor yang meringankan dan Majelis Hakim
Tingkat Banding pun mengurangi masa pemidanaan Bayu.
Meski tindak pidana yang
didakwakan dalam kedua putusan ini berbeda dengan putusan Terdakwa Ismayawati,
keduanya menunjukkan bahwa yurisprudensi Putusan 1600 K/Pid/2009 tidak dapat
diimplementasikan mentah-mentah atau secara rata dalam semua perkara pidana.
Keberadaan perdamaian antara terdakwa dengan korban tidak serta merta
menjanjikan penghentian proses peradilan pidana dan meniadakan pemidanaan
terhadap terdakwa. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, penerapan dan
penyelesaian melalui keadilan restoratif harus memerhatikan detail perkara dan
tetap meletakkan kepentingan korban sebagai fokus penyelesaian perkara pidana
yang utama.