Karakterisasi Yurisprudensi No : 1600 K/PID/2009

  • Post : 2024-10-21 11:58:16
  • Download ()
Kaidah Yurisprudensi : 1600 K/PID/2009
Bahwa walaupun perkara ini perkara pidana, tetapi perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar daripada bila dilanjutkan.
Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi
Hakim dapat menghentikan proses peradilan perkara pidana berdasarkan perdamaian para pihak yang berkepentingan demi mewujudkan keadilan restoratif.
Pertimbangan Hukum
1. Bahwa, pencabutan pengaduan yang dilakukan oleh pelapor yang notabene adalah mertua Terdakwa merupakan tindakan untuk memaafkan menantu yang dengan demikian pihak yang dirugikan merasa tidak perlu lagi perkara ini diteruskan;
2. Bahwa, walaupun perkara ini perkara pidana, tetapi perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada dilanjutkan;
3. Bahwa ajaran keadilan restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik juga merepresentasikan terganggunya, bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih;

Anotasi Oleh : Johanna G. S. D. Poerba
Penerapan Keadilan Restoratif Melalui Perdamaian dalam Perkara Pidana

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung untuk permohonan kasasi dengan nomor register 1600 K/Pid/2009, perdamaian antara pihak pelapor dan terlapor dipandang sebagai suatu alasan yang sah untuk menghentikan proses peradilan pidana yang berlangsung. Dalam perkara ini, Emiwati yang merupakan pelapor sekaligus mertua dari Ismayawati telah mengajukan permohonan pencabutan tuntutan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun pencabutan permohonan telah melewati ketentuan waktu yang terdapat dalam Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penghentian perkara ini memiliki manfaat yang lebih besar ketimbang dilanjutkan. 

Oleh karena itulah, Majelis Hakim Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Yogkarta yang dinilai bersifat formalistik. Kaidah yurisprudensi ini diikuti oleh dua putusan untuk mempertimbangkan apakah perdamaian antara pihak yang berkepentingan dapat menjadi dasar untuk menghentikan proses peradilan perkara. Pertimbangan yang menjadi kaidah yurisprudensi tersebut adalah sebagai berikut: Bahwa, walaupun perkara ini perkara pidana, namun perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan. Menurut pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung, penghentian perkara dengan alasan perdamaian ini merupakan perwujudan keadilan restoratif. Hal ini karena perkara pidana yang terjadi bukan semata pelanggaran terhadap kepentingan umum tetapi juga merepresentasikan terganggunya hubungan antara dua atau lebih individu. Oleh karena itu, Hakim harus memfasilitasi penyelesaian perkara yang dapat memulihkan hubungan antara pihak yang terlibat. 

Untuk memahami pertimbangan Mahkamah Agung, penting untuk mengetahui terlebih dulu kronologis dari perkara terkait. Dalam dakwaan penuntut umum, sekitar April sampai Oktober 2007, Ismayawati membujuk Emiwati, mertuanya, untuk berinvestasi pada usaha dagang alat-alat elektronik miliknya. Setelah Emiwati memberikan sejumlah uang, Ismayawati memberikan beberapa cek dan bilyet giro sebagai bentuk barter dengan cek serta bilyet giro yang telah diserahkan Emiwati sebelumnya. Namun, cek dan bilyet giro tersebut tidak dapat dicairkan karena beberapa alasan seperti: 1) Nomor rekening yang tertera keliru; 2) Rekening telah dibekukan dan masuk ke dalam daftar hitam Bank Indonesia; 3) Identitas yang tertera dalam cek dan/atau bilyet giro tidak sesuai; 4) Tanda tangan yang dibubuhkan pada cek dan/atau bilyet giro menggunakan pensil. Akibatnya, Emiwati mengalami kerugian sekitar 3,9 miliar rupiah. 

Berdasarkan kronologis ini, Jaksa Penuntut Umum kemudian menuntut Ismayawati dengan dakwaan alternatif menggunakan Pasal 378 tentang Penipuan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan. Namun, pada 28 Oktober 2008, Emiwati selaku korban mengajukan surat permohonan pencabutan tuntutan hukum terhadap Ismayawati dengan alasan telah memaafkan Ismayawati dan bahwa menantunya ini memiliki anak-anak yang masih kecil. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta kemudian mengabulkan permohonan Emiwati tersebut. Akan tetapi, di tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta membatalkan putusan tingkat pertama tersebut sehingga Penasihat Hukum korban mengajukan kasasi. Dalam permohonan kasasinya, Penasihat Hukum korban menyatakan bahwa dasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini awalnya adalah laporan bukan pengaduan. Surat aduan perkara dibuat menyusul pada April 2008 namun menggunakan tanggal 20 September 2007. Hal ini penting mengingat Pasal 378 dan Pasal 372 KUHP merupakan delik biasa/bukan delik aduan dengan pengecualian yang terdapat dalam Pasal 394 dan Pasal 376 KUHP. Kedua pasal ini mengatur bahwa ketentuan Pasal 367 KUHP berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam Bab XXV dan Bab XXIV KUHP. Secara spesifik, ketentuan yang berkaitan dengan perkara ini adalah ketentuan dalam Pasal 367 ayat (2) KUHP: Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan. 

Melalui Pasal 295 dan 296 KUH Perdata, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hubungan keluarga semenda terbentuk dari perkawinan yakni pertalian antara suami dan istri serta keluarga sedarah dari pihak lain. Dalam perkara ini, hubungan Ismayawati dan Emiwati dapat dikategorikan sebagai keluarga semenda derajat pertama oleh karena itu ketentuan Pasal 367 ayat (2) berlaku. Ini berarti, sejak awal, perkara ini seharusnya diproses melalui pengaduan bukan laporan. 
Perbedaan delik ini memiliki dampak hukum atau cara penuntutan yang berbeda pula. Sebagaimana dijelaskan oleh Kanter dan Sianturi bahwa delik aduan hanya dapat dituntut karena adanya aduan oleh pihak yang diatur dalam peraturan perundangan terkait sedangkan delik biasa dapat dilakukan penuntutan oleh petugas (tanpa aduan) oleh karena kewajiban petugas untuk melakukan penuntutan. Selain itu, Kanter dan Sianturi menuliskan bahwa dalam beberapa ketentuan tindak pidana yang berdasarkan delik aduan dapat diselesaikan secara “damai” di luar pengadilan, terutama bila tindak pidana dilakukan oleh anggota keluarga. 

Selanjutnya, Pasal 74 dan Pasal 75 KUHP mengatur tentang kadaluarsa pengaduan dapat dilakukan dan pencabutannya. Menurut ketentuan dalam Pasal 74 KUHP, pengaduan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berhak mengadu dalam jangka waktu 6 bulan bila pihak tersebut berada di Indonesia. Pengaduan yang telah diajukan dapat dicabut dalam jangka waktu 3 bulan oleh pihak yang mengajukan sesuai ketentuan dalam Pasal 75 KUHP. Pasal terakhir inilah yang kemudian disebutkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam pertimbangannya. Mahkamah Agung, dalam pertimbangannya, menyebutkan bahwa pencabutan pengaduan telah lewat tenggat waktu berdasarkan Pasal 75 KUHP. Meskipun Majelis Hakim menyadari bahwa secara normatif pengaduan seharusnya tidak dapat dicabut setelah lewat tiga bulan, tetapi permohonan pencabutan tuntutan berdasarkan perdamaian kedua belah pihak dipandang memiliki nilai dan manfaat yang penting. Manfaat penting yang dimaksud adalah mewujudkan keadilan restoratif. Pada pertimbangannya, Majelis Hakim berpandangan bahwa ajaran keadilan restoratif memandang pelanggaran yang terjadi sebagai gangguan atau terputusnya hubungan antara individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus memfasilitasi penyelesaian konflik di antara individu yang berselisih tersebut. 

Pandangan ini sejalan dengan diskursus terkait justifikasi pemidanaan yang berkembang. Margarita Zernova mengutip pandangan para ahli hukum yang sejalan dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung, yakni keadilan restoratif tidak memandang tindak pidana hanya sebagai pelanggaran terhadap Negara tetapi juga pada manusia dan hubungan sosialnya. Selain itu, dalam bukunya "Sentencing and Criminal Justice", Andrew Ashworth mengutip pandangan Christie bahwa seringkali pemidanaan dipandang semata sebagai aspek dari negara modern yang berdaulat. Pandangan ini kemudian disanggah oleh kelompok yang berpendapat bahwa pemidanaan seharusnya berfokus pada korban dan keluarganya atau korban dan komunitasnya melalui keadilan restoratif. Teori dan diskursus terkait keadilan restoratif muncul dan berkembang dalam setengah abad terakhir ini dengan kemunculan Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims and Abuse of Power pada 1985. Ashworth menuliskan bahwa, pada dasarnya, keadilan restoratif mendalilkan korban sebagai inti dari sistem peradilan pidana dan pemidanaan. Ini berarti seluruh pihak yang terlibat dalam suatu perkara pidana, baik itu pelaku; korban; keluarga; maupun komunitas yang terdampak, harus terlibat dalam penyelesaian perkara. Pelibatan ini penting untuk memastikan pelaku menyesal dan meminta maaf, memberikan ganti rugi kepada korban, dan tidak mengulangi tindak pidana. 

Di lingkungan pengadilan saat ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum pada Desember 2020. Pedoman ini pada penerapannya hanya berlaku bagi tindak pidana ringan, perkara anak berhadapan dengan hukum, perkara perempuan berhadapan dengan hukum, serta narkotika. Pasal 372 dan 378 KUHP tidak termasuk ke dalam pedoman ini, akan tetapi penting juga untuk melihat pemahaman terkait keadilan restoratif dalam pedoman ini. Berdasarkan pedoman ini, keadilan restoratif dimaknai sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. Lebih lanjut, dalam pedoman keadilan restoratif, pelaku diberikan kesempatan untuk terlibat dalam upaya memulihkan keadaan, masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum. 

Kembali pada perkara dalam Putusan 1600 K/Pid/2009, majelis hakim di Pengadilan Tinggi Yogyakarta mungkin menitikberatkan putusannya pada asas kepastian hukum. Bagaimana pun juga, masa pencabutan pengaduan telah diatur secara tegas dalam Pasal 75 KUHP. Akan tetapi, bukan suatu hal yang janggal ketika terjadi benturan asas dan nilai dalam suatu perkara pidana. Oleh karenanya, merujuk pada konsep dasar keadilan restorasi, penyelesaian yang berfokus pada korban yakni Emiwati harus diutamakan. Memang pertimbangan dari Majelis Hakim dalam putusan kasasi banyak berfokus pada pencabutan tuntutan oleh Emiwati, fakta bahwa Emiwati dan Ismayawat memiliki hubungan keluarga, dan fakta bahwa Ismayawati memiliki anak-anak yang masih kecil. Namun, kembali lagi bila perdamaian dan permohonan pencabutan tuntutan dari Emiwati betul-betul diinginkan oleh Emiwati sebagai korban dan rusaknya hubungan antara keduanya telah dipulihkan maka sekiranya putusan ini telah memenuhi rasa keadilan. Memastikan fokus keadilan restorasi tidak bergeser menjadi penting karena, sebagaimana dikemukakan oleh Zernova maupun Ashworth, penafsiran dan perkembangan pembahasan terkait keadilan restoratif semakin meluas seiring berjalannya waktu. Tidak jarang penafsiran tersebut menjadi bermasalah dan memengaruhi implementasi. Mengingat hal tersebut, implementasi keadilan restoratif harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan hak dan pemulihan korban terpenuhi bukan semata hanya untuk menyelesaikan perkara secara cepat dan/atau di luar pengadilan. Tujuan dan niat Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan 1600 K/Pid/2009 ini mulia namun bila akan diterapkan dalam putusan-putusan lain, harus memperhatikan kekhususan setiap perkara (case by case). Tidak dipungkiri, ada kekhawatiran bahwa terjadi perdamaian-perdamaian semu yang tidak betul-betul mengakomodasi kepentingan korban dan malah dijadikan landasan untuk penghentian proses peradilan pidana. 

Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan ini sempat dikutip pula dalam memori banding Pendamping Hukum pada dua perkara berbeda yakni dalam Putusan Nomor: 176/PID.B/2017/PT. PBR dengan Terdakwa atas nama Yusri Kandar dan Putusan Nomor: 109/PID/2020/PT SMR atas nama Bayu Raka Siwi. Para terdakwa dalam kedua putusan ini dikenakan pasal yang sama yakni Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. Dalam putusan Yusri Kandar, Majelis Hakim Tingkat Banding memperkuat putusan tingkat pertama dan mengesampingkan keberatan dari pendamping hukum Yusri yang memuat pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan 1600 K/Pid/2009. Putusan tersebut didasari dengan alasan bahwa Yusri terbukti melakukan penganiayaan terhadap seorang PNS yang tengah melakukan tugas jabatannya. Sedangkan dalam putusan Bayu Raka Siwi, perdamaian antara Bayu dengan korban menjadi salah satu faktor yang meringankan dan Majelis Hakim Tingkat Banding pun mengurangi masa pemidanaan Bayu. 

Meski tindak pidana yang didakwakan dalam kedua putusan ini berbeda dengan putusan Terdakwa Ismayawati, keduanya menunjukkan bahwa yurisprudensi Putusan 1600 K/Pid/2009 tidak dapat diimplementasikan mentah-mentah atau secara rata dalam semua perkara pidana. Keberadaan perdamaian antara terdakwa dengan korban tidak serta merta menjanjikan penghentian proses peradilan pidana dan meniadakan pemidanaan terhadap terdakwa. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, penerapan dan penyelesaian melalui keadilan restoratif harus memerhatikan detail perkara dan tetap meletakkan kepentingan korban sebagai fokus penyelesaian perkara pidana yang utama.
  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • Dr. Harifin A. Tumpa, SH. MH. -
  • Prof. Dr. H. Muchsin, SH. -
  • I Made Tara, SH. -

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 2007-04-18  
  • Ismayawati mengajak Emiwati, mertuanya, untuk berinvestasi pada bisnis alat elektronik miliknya. Emiwati kemudian memberikan uang kontan, bilyet giro, dan cek pada Ismayawati dengan total sekitar Rp3.910.000.00.
    Setelah Emiwati menyerahkan uang tersebut, Ismayawati menyerahkan Bilyet Giro dan check pada Emiwati sebagai wujud barter. Namun, beberapa di antaranya tidak dapat dicairkan karena ternyata saldo di bank terkait tidak mencukupi, nomor rekening yang tertera keliru, tanda tangan tidak sah, dan/atau rekening dinyatakan masuk ke dalam daftar hitam Bank Indonesia. Emiwati mengetahui keadaan bilyet giro dan cek tersebut sebelum menyerahkannya pada Ismayawati, tetapi tidak memberitahukannya.
    Berdasarkan hal tersebut, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Ismayawati dengan dakwaan alternatif yakni Pasal 378 jo Pasal 64 ayat (1) tentang Penipuan atau Pasal 372 jo Pasal 64 ayat (1) tentang Penggelapan.
  •    Tanggal : 2008-11-05  
  • Emiwati membacakan surat permohonan pencabutan tuntutan terhadap Ismayawati di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
  •    Tanggal : 2008-12-03  
  • Pengadilan Negeri Yogyakarta memutus perkara dengan nomor register 317/Pid.B/2008/PN.YK., dengan amar putusan sebagai berikut:
    1. Mengabulkan permohonan pencabutan pengaduan yang diajukan oleh saksi EMIWATI;
    2. Menyatakan penuntutan Perkara Nomor 317/Pid.B/2008 atas nama Terdakwa ISMAYAWATI tidak dapat diterima;
    3. Membebankan biaya perkara kepada negara.
  •    Tanggal : 2009-03-02  
  • Pengadilan Tinggi Yogyakarta mengadili permohonan banding dari terdakwa dengan nomor register 01/PID/PLW/2009/PT.Y dengan amar sebagai berikut:
    1. Menyatakan pemeriksaan persidangan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara tersebut batal demi hukum;
    2. Memerintahkan Pengadilan Negeri Yogyakarta untk memeriksa kembali perkara Terdakwa ISMAYAWATI / No. 317/Pid.B/2008/PN.YK;
    3. Membebankan biaya perkara kepada negara.
  •    Tanggal : 2009-04-23  
  • Terdakwa mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung melalui akta permohonan kasasi No. 08 KS/Akta. Pid/2009/PN.YK. jo. No. 317/Pid.B/2008/PN.YK. jo. No. 01/Pid/PLW/2009/PT.Y yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Yogyakarta
  •    Tanggal : 2009-04-30  
  • Memori kasasi Terdakwa sebagai Pemohon Kasasi diterima oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri Yogyakarta.
  •    Tanggal : 2009-11-24  
  •  Rapat Permusyawaratan Mahkamah Agung mengadili perkara dan memutus dengan amar sebagai berikut:

    MENGADILI:
    Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa ISMAYAWATI tersebut;
    Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 01/Pid/PLW/2009/PT.Y tanggal 2 Maret 2009 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No 317/PID.B/2008/PN.YK tanggal 3 Desember 2008;

     MENGADILI SENDIRI:
    1. Mengabulkan permohonan pencabutan pengaduan yang diajukan oleh EMIWATI;
    2. Menyatakan Penuntutan Perkara Nomor: 317/Pid.B/2008 atas nama Terdakwa ISMAYAWATI tidak dapat diterima;
    3. Membebankan biaya perkara kepada negara. Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum di hari yang sama.

Author Info