Karakterisasi Yurisprudensi No : 334 K/AG/2005
Karena ahli waris pengganti maupun ahli waris yang digantikan telah sama-sama meninggal, maka waktu meninggalnya masing-masing harus disebutkan dengan jelas, baik dalam surat gugatan maupun dalam konstatering hakim. Apabila tidak, maka gugatan tidak dapat diterima (NO) karena kabur.
Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi
1. Penulisan tahun kematian ahli waris yang digantikan oleh ahli waris pengganti harus tertuang dalam surat gugatan maupun konstatering hakim. Apabila tidak, maka gugatan tidak dapat diterima (NO) karena gugatan kabur (Obscuur Libel).
2. Surat gugatan yang tidak menyebut dengan jelas tentang kapan seorang dinyatakan meninggal dan tanpa alat bukti yang sah konsekuensinya adalah apakah ia ahli waris ataukah anak-anaknya sebagai ahli waris pengganti, hal yang demikian berakibat gugatan kabur dan tidak dapat diterima sepanjang telah menyebutkan nomor sertifikat.
3. Pada prinsipnya Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena : Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris).
Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi
1. Penulisan tahun kematian ahli waris yang digantikan oleh ahli waris pengganti harus tertuang dalam surat gugatan maupun konstatering hakim. Apabila tidak, maka gugatan tidak dapat diterima (NO) karena gugatan kabur (Obscuur Libel).
2. Surat gugatan yang tidak menyebut dengan jelas tentang kapan seorang dinyatakan meninggal dan tanpa alat bukti yang sah konsekuensinya adalah apakah ia ahli waris ataukah anak-anaknya sebagai ahli waris pengganti, hal yang demikian berakibat gugatan kabur dan tidak dapat diterima sepanjang telah menyebutkan nomor sertifikat.
3. Pada prinsipnya Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena : Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris).
Dalam posita surat gugat maupun konstatering hakim (Judex Factie / Pengadilan Agama dan Pengadian Tinggi Agama) tidak terungkap tahun berpaa Naping bin Tibu meninggal; bila meninggalnya lebih dahulu dari pewaris Tibu bin Tallasa (yaitu sebelum tahun 1976), maka mendudukkan anak-anak Naping (Penggugat II dan III) sebagai ahli waris pengganti adalah benar (bagiannya 21/240 bagian);
Sebaliknya jika (pada saat pewaris Tibu bin Tallasa meninggal dunia tahun 1976) almarhum Naping masih hidup, maka Naping adalah ahli waris (bagian Naping yang kemudian diwarisi oleh anak-anaknya bukan 21/240, tetapi 42/240);
Judex Factie keliru memutus atas dasar hal yang tidak jelas status Naping bin Tibu, apakah ia ahli waris ataukah anak-anaknya sebagai ahli waris pengganti; yang menentukan hal tersebut adalah pada saat meningglanya pewaris Tibu bin Tallasa tahun 1976 apakah Naping masih hidup atau sudah meninggal terlebih dahulu.
GUGATAN DIANGGAP TIDAK MEMENUHI SYARAT DAN TIDAK SEMPURNA ADALAH APABILA HAK PENGGUGAT TIDAK MENYEBUTKAN TANGGAL DAN MENYERTAKAN ALAT BUKTI KEMATIAN PENGGUGAT SEHINGGA TIDAK JELAS SIAPA YANG SESUNGGUHNYA SEBAGAI AHLI WARIS ATAU SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI DAN BERAPA BAGIANNYA, OLEH KARENYA GUGATAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA KABUR
Perkara dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 334 K/AG/2005 menyelesaikan sengketa terkait kasus perdata terkait hukum warisan, Lebih khusus lagi, dalam rangka memperebutkan hak waris.
Kasus bermula dari Telah meninggal dunia Almarhum Tibu bin Tallasa telah mcninggal pada tahun 1976, dan semasa hidupnya almarhum telah menikah tiga kali; istri pertama bernama: Dg. Tija, istri kedua bernama: Dg. Lu’mu, dan istri ketiga bernama: Dg. Puji. Almarhum Tibu bin Tallasa bersama almarhum Dg. Tija dikaruniai seorang anak bernama Naping, yang juga telah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri bernama: Reha dan 2 (dua) orang anak bernama a: Sarifuddiin dan Rodiah, semuanya rnasih hidup.
Bersama almarhum Dg. Lu’inu, almarhum Tibu bin Tallasa meninggalkan seorang anak bersama: Daming (Tergugat), sedang bersama Dg. Puji meninggakan empat orang anak bernama :
1. Bahar
2. Sugi,
3. Haris,
4. Said.
Almarhum Tibu bin Tallasa telah mcninggalkan harta warisan berupa banyak tanah. Sebagian besar harta-harta tersebut telah dikuasai/dijual oleh Tergugat (Daming) sejak meninggalnya almarhum Tibu bin Tallasa. Harta-harta tersebut belum pernah dibagi secara kekeluargaan maupun secara hukum waris.
Para Penggugaf kemudian menggugat Tergugat (Daming) dan terhadap gugatan tersebut Pengadilan Agama Makassar menjatuhkan putusan yang mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian dalam perkara No. 261/Pdt.G/2003/PA.Mks. Di tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Makassar dalam perkara Nomor 114/Pdt.G/2003/PTA.Mks. Selanjutnya Tergugat/Pembanding mengajukan permohonan kasasi.
Dalam harta warisan tersebut, Istri dan anak mempunyai hak waris dari Almarhum Tibu bin Tallasa. Di sini yang menjadi inti persoalan adalah salah satu anaknya dengan almarhum istrinya yang bernama Dg. Tija yang bernama Naping dan telah pula meninggal dengan meninggalkan dua orang anak yang bernama Sarifuddin dan Rodiah sebagai alhli waris pengganti dari orang tuanya (Naping alm) yang juga meninggalkan Seorang istri bernama Reha.
Atas putusan PA dan PTA tersebut kemudian dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung menilai judex facti keliru memutus atas dasar hal yang tidak jelas status Naping bin Tibu, apakah ia ahli waris ataukah anak-anaknya sebagai ahli waris pengganti, yang menentukan hal tersebut adalah pada saat meninggalnya pewaris Tibu bin Taslla tahun 1976 apakah Naping masih hidup atau sudah meninggal (meninggal lebih dulu). Hal yang demikian itu menimbulkan konsekuensi tentang kedudukan hukum seseorang sebagai ahli waris atau kedudukannya sebagai ahli waris pengganti yang selanjutnya akan memepengaruhi pula tentang berapa bagian masing-masing. Hal ini bersesuaian dengan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 157 K/Sip/1974 tanggal 10 Juli 1974 yang memuat kaidah bahwa suatu gugatan yang tidak menyebutkan pihak-pihak yang berperkara secara jelas, maka putusannya dianggap kurang tepat oleh karenanya putusannya tidak dapat diterima.
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 334 K/AG/2005 dalam amarnya:
- Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima;
- Menghukum Para Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi sebanyak Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Analisis :
Dalam menganalisis putusan ini dapat didasarkan kepada pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain (hlm. 811):
1. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR;
2. Gugatan yang tidak memiliki dasar hukum;
3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
4. Gugatan mengandung cacat osbcuur libel, ne bis in idem, atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif.
Suatu gugatan dapat diputus NO apabila terhadap kekurangjelasan kedudukan hukum seseorang dalam suatu gugatan hal ini dapat dianalogkan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 157 K/Sip/1974 tanggal 10 Juli 1974 yang memuat kaidah bahwa suatu gugatan yang tidak menyebutkan pihak-pihak yang berperkara secara jelas jo. Putusan MA nomor 221 K/AG/1993 tentang ahli waris pengganti.
Sebenarnya putusan MA ini layak diberikan apresiasi, karena memberikan pandangan baru kepada hukum acara perdata yang berkaitan dengan kedudukan hukum seseorang yang tidak jelas menjadi alasan Mahkamah Agung Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima. Artinya bahwa Mahkamah agung telah membuat suatu kaidah yang berkaitan dengan Diskualifikasi in person yakni didasarkan kepada ketidakjelasan kedudukan seseorang sebagai ahli waris dan sekaligus kedudukan ahli waris pengganti (Penggugat), tujuannya memberikan kepastian hukum terhadap hak ahli waris (sebagai ahli waris langsung atau sebagai ahli waris pengganti) Karena yang banyak ditemukan dalam berbagai yurisprudensi kalau tidak kekurangan pihak, error in persona, atau tentang objek gugatan yang tidak jelas sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya Harahap tersebut diatas.
Dengan meminjam istilah Diskualifikasi in person maka dapat dipahami bahwa Gugatan penggugat yang posita gugatan nya tidak menerangkan dalam positanya (fundamentum petendi) secara jelas kedudukan Penggugat sebagai pihak yang berhak mengajukan gugatan dalam hal ini berkaitan dengan gugatan pembagian harta warisan. Namun menurut pendapat kami apabila hal yang demikian itu kemudian Penggugat dapat membuktikan dalil positanya dengan alat bukti surat kematian maka kami berfikir putusan tersebut akan berbeda. Pendapat kami yang demikian itu hanya bersifat dugaan saja, karena kami tidak dapat melacak putusan PA dan PTA Makassar terkait dalam direktori putusan.
Diskualifikasi in person tersebut menurut pendapat kami didasarkan pada Pasal 49 huruf b Undang-Undang Peradilan Agamayang menyebutkan : “...Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Uraian kaidah yurisprudensi tersebut di atas apabila kita kaitkan dengan teori tentang Pembuatan surat gugatan waris pada prinsipnya sama dengan pembuatan surat gugatan lainnya. Pengajuan gugatan ke Pengadilan ada dua syarat yang harus dipenuhi, yakni syarat formil dan syarat materiil. Selain itu pengajuan gugatan waris disertai dengan logika kewajaran yang patut, yakni berdasarkan dengan alat bukti kematian pewaris/alhli waris yang telah meninggal dari Lurah atau Kepala Desa dan silsilah ahli warisnya dan dipersiapkan pula dokumen bukti-bukti kepemilikan objek warisannya.
Setelah melusuri beberapa putusan yang kami temukan, ternyata Putusan 334 K/AG/2005 ini diikuti oleh putusan hakim yunior yang tertuang dalam putusan nomor 686/PDT.G/2014/PN.JKT.Sel, Putusan Nomor 345 K/Pdt. G/2018/PTA.Sby, Putusan Nomor 11/Pdt.G/2013/PA.Pst. dan mengikuti Putusan yang terhadulu yakni Putusan MARI nomor 332 K/AG/2000 tanggal 3 Agustus 2005, Putusan Mahkamah Agung Nomor 157 K/Sip/1974 dan Putusan MA nomor 221 K/AG/1993
GUGATAN DIANGGAP TIDAK MEMENUHI SYARAT DAN TIDAK SEMPURNA
ADALAH APABILA HAK PENGGUGAT TIDAK MENYEBUTKAN TANGGAL DAN MENYERTAKAN
ALAT BUKTI KEMATIAN PENGGUGAT SEHINGGA TIDAK JELAS SIAPA YANG
SESUNGGUHNYA SEBAGAI AHLI WARIS ATAU SEBAGAI AHLI WARIS PENGGANTI DAN
BERAPA BAGIANNYA, OLEH KARENYA GUGATAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA
KABUR
Perkara dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 334 K/AG/2005 menyelesaikan sengketa
terkait kasus perdata terkait hukum warisan, Lebih khusus lagi, dalam
rangka memperebutkan hak waris.
Kasus
bermula dari Telah meninggal dunia Almarhum Tibu bin Tallasa telah
mcninggal pada tahun 1976, dan semasa hidupnya almarhum telah menikah
tiga kali; istri pertama bernama: Dg. Tija, istri kedua bernama: Dg.
Lu’mu, dan istri ketiga bernama: Dg. Puji. Almarhum Tibu bin Tallasa
bersama almarhum Dg. Tija dikaruniai seorang anak bernama Naping, yang
juga telah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri bernama:
Reha dan 2 (dua) orang anak bernama a: Sarifuddiin dan Rodiah, semuanya
rnasih hidup.
Bersama almarhum Dg. Lu’inu, almarhum Tibu bin
Tallasa meninggalkan seorang anak bersama: Daming (Tergugat), sedang
bersama Dg. Puji meninggakan empat orang anak bernama :
1. Bahar
2. Sugi,
3. Haris,
4. Said.
Almarhum
Tibu bin Tallasa telah mcninggalkan harta warisan berupa banyak tanah.
Sebagian besar harta-harta tersebut telah dikuasai/dijual oleh Tergugat
(Daming) sejak meninggalnya almarhum Tibu bin Tallasa. Harta-harta
tersebut belum pernah dibagi secara kekeluargaan maupun secara hukum
waris.
Para Penggugaf kemudian menggugat Tergugat (Daming) dan
terhadap gugatan tersebut Pengadilan Agama Makassar menjatuhkan putusan
yang mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian dalam perkara
No. 261/Pdt.G/2003/PA.Mks. Di tingkat banding atas permohonan Tergugat,
putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Makassar dalam
perkara Nomor 114/Pdt.G/2003/PTA.Mks. Selanjutnya Tergugat/Pembanding
mengajukan permohonan kasasi.
Dalam harta warisan tersebut,
Istri dan anak mempunyai hak waris dari Almarhum Tibu bin Tallasa. Di
sini yang menjadi inti persoalan adalah salah satu anaknya dengan
almarhum istrinya yang bernama Dg. Tija yang bernama Naping dan telah
pula meninggal dengan meninggalkan dua orang anak yang bernama
Sarifuddin dan Rodiah sebagai alhli waris pengganti dari orang tuanya
(Naping alm) yang juga meninggalkan Seorang istri bernama Reha.
Atas
putusan PA dan PTA tersebut kemudian dalam tingkat kasasi Mahkamah
Agung menilai judex facti keliru memutus atas dasar hal yang tidak jelas
status Naping bin Tibu, apakah ia ahli waris ataukah anak-anaknya
sebagai ahli waris pengganti, yang menentukan hal tersebut adalah pada
saat meninggalnya pewaris Tibu bin Taslla tahun 1976 apakah Naping masih
hidup atau sudah meninggal (meninggal lebih dulu). Hal yang demikian
itu menimbulkan konsekuensi tentang kedudukan hukum seseorang sebagai
ahli waris atau kedudukannya sebagai ahli waris pengganti yang
selanjutnya akan memepengaruhi pula tentang berapa bagian masing-masing.
Hal ini bersesuaian dengan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor
157 K/Sip/1974 tanggal 10 Juli 1974 yang memuat kaidah bahwa suatu
gugatan yang tidak menyebutkan pihak-pihak yang berperkara secara jelas,
maka putusannya dianggap kurang tepat oleh karenanya putusannya tidak
dapat diterima.
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 334 K/AG/2005 dalam amarnya:
- Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima;
-
Menghukum Para Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara
dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi sebanyak
Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Analisis :
Dalam
menganalisis putusan ini dapat didasarkan kepada pendapat M. Yahya
Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai
macam cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain (hlm.
811):
1. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan
surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat
(1) HIR;
2. Gugatan yang tidak memiliki dasar hukum;
3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
4. Gugatan mengandung cacat osbcuur libel, ne bis in idem, atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif.
Suatu
gugatan dapat diputus NO apabila terhadap kekurangjelasan kedudukan
hukum seseorang dalam suatu gugatan hal ini dapat dianalogkan dengan
putusan Mahkamah Agung Nomor 157 K/Sip/1974 tanggal 10 Juli 1974 yang
memuat kaidah bahwa suatu gugatan yang tidak menyebutkan pihak-pihak
yang berperkara secara jelas jo. Putusan MA nomor 221 K/AG/1993 tentang
ahli waris pengganti.
Sebenarnya putusan MA ini layak diberikan apresiasi, karena memberikan
pandangan baru kepada hukum acara perdata yang berkaitan dengan
kedudukan hukum seseorang yang tidak jelas menjadi alasan Mahkamah Agung
Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima. Artinya bahwa
Mahkamah agung telah membuat suatu kaidah yang berkaitan dengan
Diskualifikasi in person yakni didasarkan kepada ketidakjelasan
kedudukan seseorang sebagai ahli waris dan sekaligus kedudukan ahli
waris pengganti (Penggugat), tujuannya memberikan kepastian hukum
terhadap hak ahli waris (sebagai ahli waris langsung atau sebagai ahli
waris pengganti) Karena yang banyak ditemukan dalam berbagai
yurisprudensi kalau tidak kekurangan pihak, error in persona, atau
tentang objek gugatan yang tidak jelas sebagaimana dikemukakan oleh M.
Yahya Harahap tersebut diatas.
Dengan meminjam
istilah Diskualifikasi in person maka dapat dipahami bahwa Gugatan
penggugat yang posita gugatan nya tidak menerangkan dalam positanya
(fundamentum petendi) secara jelas kedudukan Penggugat sebagai pihak
yang berhak mengajukan gugatan dalam hal ini berkaitan dengan gugatan
pembagian harta warisan. Namun menurut pendapat kami apabila hal yang
demikian itu kemudian Penggugat dapat membuktikan dalil positanya dengan
alat bukti surat kematian maka kami berfikir putusan tersebut akan
berbeda. Pendapat kami yang demikian itu hanya bersifat dugaan saja,
karena kami tidak dapat melacak putusan PA dan PTA Makassar terkait
dalam direktori putusan.
Diskualifikasi in person tersebut
menurut pendapat kami didasarkan pada Pasal 49 huruf b Undang-Undang
Peradilan Agamayang menyebutkan : “...Yang dimaksud dengan "waris"
adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Uraian
kaidah yurisprudensi tersebut di atas apabila kita kaitkan dengan teori
tentang Pembuatan surat gugatan waris pada prinsipnya sama dengan
pembuatan surat gugatan lainnya. Pengajuan gugatan ke Pengadilan ada dua
syarat yang harus dipenuhi, yakni syarat formil dan syarat materiil.
Selain itu pengajuan gugatan waris disertai dengan logika kewajaran yang
patut, yakni berdasarkan dengan alat bukti kematian pewaris/alhli waris
yang telah meninggal dari Lurah atau Kepala Desa dan silsilah ahli
warisnya dan dipersiapkan pula dokumen bukti-bukti kepemilikan objek
warisannya.
Setelah melusuri beberapa putusan
yang kami temukan, ternyata Putusan 334 K/AG/2005 ini diikuti oleh
putusan hakim yunior yang tertuang dalam putusan nomor
686/PDT.G/2014/PN.JKT.Sel, Putusan Nomor 345 K/Pdt. G/2018/PTA.Sby,
Putusan Nomor 11/Pdt.G/2013/PA.Pst. dan mengikuti Putusan yang terhadulu
yakni Putusan MARI nomor 332 K/AG/2000 tanggal 3 Agustus 2005, Putusan
Mahkamah Agung Nomor 157 K/Sip/1974 dan Putusan MA nomor 221 K/AG/1993
Tentang harta warisan, putusan MA yang mengabulkan permohonan Pemohon kasasi dengan membatalkan putusan Judex Facti (Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama) karena dianggap telah salah menerapkan hukum sehingga membuat putusan tidak berkekuatan hukum. Dalam putusan tingkat pertama maupun banding terdapat suatu hal yang penting namun telah terlewatkan oleh majelis hakim tingkat pertama maupun banding. Hal tersebut adalah tahun meninggalnya Naping bin Tibu yang akan mempengaruhi apakah Naping muncul sebagai ahli waris atau anak dari Naping muncul sebagai ahli waris pengganti dari Naping sendiri. Jika tahun meninggalnya Naping bin Tibu diketahui sebelum Tibu bin Tallasa meninggal, maka anak dari Naping bin Tibu kedudukannya menjadi ahli waris pengganti. Sedangkan apabila Naping bin Tibu meninggal setelah Tibu bin Tallasa meninggal, maka Naping bin Tibu kedudukannya adalah sebagai ahli waris yang bagiannya diserahkan kepada anak dari Naping bin Tibu.
Mahkamah Agung dalam putusannya tidak mempertimbangkan dengan mengutip dari sumber hukum tertulis khususnya hukum Islam di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam. Hukum Islam sendiri telah mengatur mengenai hal ahli waris pengganti yang muncul karena ahli waris yang digantikan telah meninggal dunia setelah pewaris meninggal dan harta waris pewaris belum dibagikan. Sumber hukum mengenai ahli waris pengganti sendiri telah diatur dalam Kompilasi Huku Islam yaitu dalam Pasal 185 yang menyatakan bahwa:
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti
Kata “dapat digantikan” dalam Pasal 185 ayat 1 tersebut memunculkan ketidak pastian atau menjadi bentuk tentatif dan bersifat fakultatif dari kedudukan ahli waris pengganti itu sendiri. Kata tersebut dapat ditafsirkan jika ahli waris meninggal lebih dahulu maka muncul ahli waris pengganti yaitu anak dari ahli waris yang meninggal tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tahun kematian seseorang disini sangat penting karena hal itu berguna untuk mengetahui kedudukannya sebagai ahli waris atau digantikan oleh ahli waris pengganti. Dan begitupun akan berpengaruh kepada bagian yang diterimanya.
Pasal 185 KHI ini merupakan satu-satunya dasar mengenai ahli waris pengganti dalam memperoleh harta waris menggantikan ahli waris yang meninggal setelah pewaris. Tercantumnya penyebutan ahli waris pengganti dalam pasal 185 ini telah memberikan pemahaman yang tegas bahwa dakam pembagian Islam mengenal istilah ahli waris pengganti namun dikembalikan lagi kepada keadaan ahli waris yang digantikan yang memunculkan ahli waris pengganti ini. Kandungan Pasal 185 KHI yang terdiri dari 2 (dua) ayat tersebut didalamnya mempunyai bentuk uraian, tujuan dan deskripsi yang memberikan ketentuan mengenai kedudukan ahli waris pengganti dalam memperoleh harta waris. Dalam pasal 185 KHI ini yang dapat menggantikan atau menjadi ahli waris pengganti adalah keturunan dari anak laki-laki maupun perempuan dari ahli waris yang digantikan itu memiliki kedudukan yang sama.
Selain dalam KHI, mengenai ahli waris pengganti ini dijelaskan pula dalam KUH Perdata. Istilah dalam KUH Perdata yaitu plaatsvervulling yang pada dasarnya menggantikan kedudukan ahli waris yang telah lebih dahulu meninggal dari pewaris yang diatur dalam Pasal 841-848 KUH Perdata. Dari konteksnya, sama seperti dalam KHI dimana ahli waris pengganti ini muncul apabila ahli waris yang digantikan telah meninggal lebih dahulu dari pewaris. Sehingga tahun kematian seseorang itu menjadi penting untuk dituliskan dan disebutkan dalam meneyelesaikan pembagian waris ini.
Dalam kaidah yurisprudensi nomor 344 K/AG/2005 ini disebutkan bahwa karena ahli waris pengganti maupun ahli waris yang digantikan telah sama-sama meninggal, maka waktu meninggalnya masing-masing harus disebutkan dengan jelas, baik dalam surat gugat maupun dalam konstatering hakim. Apabila tidak, maka gugatan tidak dapat diterima (NO) karena kabur. Jika ditelaah kembali kaidah tersebut kurang tepat jika dihubungkan dengan perkara ini. Karena dalam perkara ini, ahli waris pengganti yaitu anak dari Naping bin Tibu belum meninggal dunia, mereka adalah Para Penggugat/Termohon Kasasi yang menuntut bagiannya sebagai ahli waris pengganti. Dalam hal ini yang meninggal adalah ahli waris yang digantikan yaitu Naping bin Tibu yang tidak disebutkan tahun kematiannya.
Apabila disilogismekan, maka argumentasi Mahkamah Agung adalah seperti dalam tabel berikut yang terdiri dari susunan premis mayor, minor, dan konklusi:
Karena ahli waris pengganti maupun ahli waris yang digantikan telah sama-sama meninggal, maka waktu meninggalnya masing-masing harus disebutkan dengan jelas, baik dalam surat gugatan maupun dalam konstatering hakim. Apabila tidak, maka gugatan tidak dapat diterima (NO) karena kabur
Premis mayor Penulisan tahun kematian ahli waris yang digantikan oleh ahli waris pengganti harus tertuang dalam surat gugatan maupun konstatering hakim. Apabila tidak, maka gugatan tidak dapat diterima karena (NO) karena gugatan kabur (Obscuur Libel).
Premis minor Tindakan Judex Facti yang tidak menuliskan tahun kematian ahli waris yang digantikan oleh ahli waris pengganti adalah tidak memenuhi aturan yang membuat gugatan kabur dan tidak dapat diterima.
Konklusi Penulisan tahun kematian ahli waris yang digantikan oleh ahli waris pengganti harus tertuang dalam surat gugatan dan konstatering hakim agar gugatan dapat diterima dan tidak kabur.
Kaidah yurisprudensi yang muncul dari putusan ini adalah proposisi yang muncul di dalam premis mayor di atas, yaitu: “Penulisan tahun kematian ahli waris yang digantikan oleh ahli waris pengganti harus tertuang dalam surat gugatan maupun konstatering hakim. Apabila tidak, maka gugatan tidak dapat diterima (NO) karena gugatan kabur (Obscuur Libel).”
Sepanjang yang dapat dilacak, putusan Mahkamah Agung Nomor 334 K/AG/2005 ini telah diikuti oleh beberapa putusan, yaitu:
1. Putusan Nomor 345/Pdt.G/2018/PTA.Sby
2. Putusan Nomor 11/Pdt.G/2013/PA.Pst
Kedua putusan tersebut telah mengikuti kaidah yurisprudensi Nomor 344 K/AG/2005, dimana kedua putusan memiliki kasus yang sama dengan perkara ini yaitu tidak disebutkannya tahun kematian ahli waris yang digantikan oleh ahli waris pengganti. Pertama, putusan Nomor 345/Pdt.G/2018/PTA.Sby yang mengadili perkara waris pada tingkat banding dimana dalam gugatannya Para Pembanding/Para Penggugat tidak menyebutkan dengan jelas kapan ayah dari pewaris meninggal dunia apakah setelah kematian pewaris atau sebelum sehingga mengakibatkan gugatannya tidak jelas dan kabur. Kedua, putusan Nomor 11/Pdt.G/2013/PA.Pst yang mengadili perkara waris di tingkat pertama dimana dalam gugatannya tidak dijelaskan secara tegas mengenai keadaan ahli waris yang ada pada saat pewaris meninggal dunia, hanya menyatakan telah meninggal dunia tanpa menuliskan tahun kematiannya. Hal itu membuat gugatan Penggugat kabur dan tidak dapat diterima.
Melihat kedua putusan yang telah menggunakan kaidah yurisprudensi Nomor 334 K/AG/2005 dapat ditarik kesimpulan bahwa kutipan kaidah yurisprudensi Nomor 344 K/AG/2005 tidak sejalan dengan keadaan dari kedua putusan tersebut. Kedua putusan tersebut memanglah sama dengan kasus putusan MA ini mengenai tidak disebutkannya tahun kematian ahli waris yang digantikan. Namun yang menjadi masalah adalah kaidah yurisprudensi yang mengalami kekeliruan.
Anotasi ini ingin menegaskan bahwa putusan Nomor 344 K/AG/2005 ini berkaitan dengan kasus kedudukan ahli waris pengganti yang menggantikan ahli waris yang telah meninggal namun tidak dituliskan tahun meninggalnya sehingga gugatan tidak dapat diterima karena kabur. Bunyi kaidah tersebut tidak sama dengan isi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 344 K/AG/2005 ini. Karena dalam putusanyya yang meninggal adalah ahli waris yang digantikan saja bukan dengan ahli waris pengganti. Sehingga apabila putusan Nomor 344 K/AG/2005 ini tetap ingin relevan dan digunakan sebagai dasar hukum yurisprudensi, maka kaidah yang dianjurkan adalah seperti tercantum dalam proposisi premis mayor pada silogisme di atas.
Tentang harta warisan, putusan MA yang mengabulkan
permohonan Pemohon kasasi dengan membatalkan putusan Judex Facti
(Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama) karena dianggap telah
salah menerapkan hukum sehingga membuat putusan tidak berkekuatan hukum.
Dalam putusan tingkat pertama maupun banding terdapat suatu hal yang
penting namun telah terlewatkan oleh majelis hakim tingkat pertama
maupun banding. Hal tersebut adalah tahun meninggalnya Naping bin Tibu
yang akan mempengaruhi apakah Naping muncul sebagai ahli waris atau anak
dari Naping muncul sebagai ahli waris pengganti dari Naping sendiri.
Jika tahun meninggalnya Naping bin Tibu diketahui sebelum Tibu bin
Tallasa meninggal, maka anak dari Naping bin Tibu kedudukannya menjadi
ahli waris pengganti. Sedangkan apabila Naping bin Tibu meninggal
setelah Tibu bin Tallasa meninggal, maka Naping bin Tibu kedudukannya
adalah sebagai ahli waris yang bagiannya diserahkan kepada anak dari
Naping bin Tibu.
Mahkamah
Agung dalam putusannya tidak mempertimbangkan dengan mengutip dari
sumber hukum tertulis khususnya hukum Islam di Indonesia yaitu Kompilasi
Hukum Islam. Hukum Islam sendiri telah mengatur mengenai hal ahli waris
pengganti yang muncul karena ahli waris yang digantikan telah meninggal
dunia setelah pewaris meninggal dan harta waris pewaris belum
dibagikan. Sumber hukum mengenai ahli waris pengganti sendiri telah
diatur dalam Kompilasi Huku Islam yaitu dalam Pasal 185 yang menyatakan
bahwa:
(1) Ahli waris yang meninggal lebih
dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti
Kata
“dapat digantikan” dalam Pasal 185 ayat 1 tersebut memunculkan ketidak
pastian atau menjadi bentuk tentatif dan bersifat fakultatif dari
kedudukan ahli waris pengganti itu sendiri. Kata tersebut dapat
ditafsirkan jika ahli waris meninggal lebih dahulu maka muncul ahli
waris pengganti yaitu anak dari ahli waris yang meninggal tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tahun kematian seseorang disini sangat
penting karena hal itu berguna untuk mengetahui kedudukannya sebagai
ahli waris atau digantikan oleh ahli waris pengganti. Dan begitupun akan
berpengaruh kepada bagian yang diterimanya.
Pasal
185 KHI ini merupakan satu-satunya dasar mengenai ahli waris pengganti
dalam memperoleh harta waris menggantikan ahli waris yang meninggal
setelah pewaris. Tercantumnya penyebutan ahli waris pengganti dalam
pasal 185 ini telah memberikan pemahaman yang tegas bahwa dakam
pembagian Islam mengenal istilah ahli waris pengganti namun dikembalikan
lagi kepada keadaan ahli waris yang digantikan yang memunculkan ahli
waris pengganti ini. Kandungan Pasal 185 KHI yang terdiri dari 2 (dua)
ayat tersebut didalamnya mempunyai bentuk uraian, tujuan dan deskripsi
yang memberikan ketentuan mengenai kedudukan ahli waris pengganti dalam
memperoleh harta waris. Dalam pasal 185 KHI ini yang dapat menggantikan
atau menjadi ahli waris pengganti adalah keturunan dari anak laki-laki
maupun perempuan dari ahli waris yang digantikan itu memiliki kedudukan
yang sama.
Selain dalam KHI, mengenai ahli
waris pengganti ini dijelaskan pula dalam KUH Perdata. Istilah dalam KUH
Perdata yaitu plaatsvervulling yang pada dasarnya menggantikan
kedudukan ahli waris yang telah lebih dahulu meninggal dari pewaris yang
diatur dalam Pasal 841-848 KUH Perdata. Dari konteksnya, sama seperti
dalam KHI dimana ahli waris pengganti ini muncul apabila ahli waris yang
digantikan telah meninggal lebih dahulu dari pewaris. Sehingga tahun
kematian seseorang itu menjadi penting untuk dituliskan dan disebutkan
dalam meneyelesaikan pembagian waris ini.
Dalam
kaidah yurisprudensi nomor 344 K/AG/2005 ini disebutkan bahwa karena
ahli waris pengganti maupun ahli waris yang digantikan telah sama-sama
meninggal, maka waktu meninggalnya masing-masing harus disebutkan dengan
jelas, baik dalam surat gugat maupun dalam konstatering hakim. Apabila
tidak, maka gugatan tidak dapat diterima (NO) karena kabur. Jika
ditelaah kembali kaidah tersebut kurang tepat jika dihubungkan dengan
perkara ini. Karena dalam perkara ini, ahli waris pengganti yaitu anak
dari Naping bin Tibu belum meninggal dunia, mereka adalah Para
Penggugat/Termohon Kasasi yang menuntut bagiannya sebagai ahli waris
pengganti. Dalam hal ini yang meninggal adalah ahli waris yang
digantikan yaitu Naping bin Tibu yang tidak disebutkan tahun
kematiannya.
Apabila disilogismekan, maka
argumentasi Mahkamah Agung adalah seperti dalam tabel berikut yang
terdiri dari susunan premis mayor, minor, dan konklusi:
Karena ahli waris pengganti maupun ahli waris yang digantikan telah
sama-sama meninggal, maka waktu meninggalnya masing-masing harus
disebutkan dengan jelas, baik dalam surat gugatan maupun dalam
konstatering hakim. Apabila tidak, maka gugatan tidak dapat diterima
(NO) karena kabur
Premis mayor Penulisan tahun kematian ahli waris yang digantikan
oleh ahli waris pengganti harus tertuang dalam surat gugatan maupun
konstatering hakim. Apabila tidak, maka gugatan tidak dapat diterima
karena (NO) karena gugatan kabur (Obscuur Libel).
Premis
minor Tindakan Judex Facti yang tidak menuliskan tahun kematian
ahli waris yang digantikan oleh ahli waris pengganti adalah tidak
memenuhi aturan yang membuat gugatan kabur dan tidak dapat diterima.
Konklusi Penulisan tahun kematian ahli waris yang digantikan oleh
ahli waris pengganti harus tertuang dalam surat gugatan dan
konstatering hakim agar gugatan dapat diterima dan tidak kabur.
Kaidah yurisprudensi yang muncul dari putusan ini adalah proposisi yang
muncul di dalam premis mayor di atas, yaitu: “Penulisan tahun kematian
ahli waris yang digantikan oleh ahli waris pengganti harus tertuang
dalam surat gugatan maupun konstatering hakim. Apabila tidak, maka
gugatan tidak dapat diterima (NO) karena gugatan kabur (Obscuur Libel).”
Sepanjang yang dapat dilacak, putusan Mahkamah Agung Nomor 334 K/AG/2005 ini telah diikuti oleh beberapa putusan, yaitu:
1. Putusan Nomor 345/Pdt.G/2018/PTA.Sby
2. Putusan Nomor 11/Pdt.G/2013/PA.Pst
Kedua
putusan tersebut telah mengikuti kaidah yurisprudensi Nomor 344
K/AG/2005, dimana kedua putusan memiliki kasus yang sama dengan perkara
ini yaitu tidak disebutkannya tahun kematian ahli waris yang digantikan
oleh ahli waris pengganti. Pertama, putusan Nomor 345/Pdt.G/2018/PTA.Sby
yang mengadili perkara waris pada tingkat banding dimana dalam
gugatannya Para Pembanding/Para Penggugat tidak menyebutkan dengan jelas
kapan ayah dari pewaris meninggal dunia apakah setelah kematian pewaris
atau sebelum sehingga mengakibatkan gugatannya tidak jelas dan kabur.
Kedua, putusan Nomor 11/Pdt.G/2013/PA.Pst yang mengadili perkara waris
di tingkat pertama dimana dalam gugatannya tidak dijelaskan secara tegas
mengenai keadaan ahli waris yang ada pada saat pewaris meninggal dunia,
hanya menyatakan telah meninggal dunia tanpa menuliskan tahun
kematiannya. Hal itu membuat gugatan Penggugat kabur dan tidak dapat
diterima.
Melihat kedua putusan yang telah
menggunakan kaidah yurisprudensi Nomor 334 K/AG/2005 dapat ditarik
kesimpulan bahwa kutipan kaidah yurisprudensi Nomor 344 K/AG/2005 tidak
sejalan dengan keadaan dari kedua putusan tersebut. Kedua putusan
tersebut memanglah sama dengan kasus putusan MA ini mengenai tidak
disebutkannya tahun kematian ahli waris yang digantikan. Namun yang
menjadi masalah adalah kaidah yurisprudensi yang mengalami kekeliruan.
Anotasi
ini ingin menegaskan bahwa putusan Nomor 344 K/AG/2005 ini berkaitan
dengan kasus kedudukan ahli waris pengganti yang menggantikan ahli waris
yang telah meninggal namun tidak dituliskan tahun meninggalnya sehingga
gugatan tidak dapat diterima karena kabur. Bunyi kaidah tersebut tidak
sama dengan isi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 344 K/AG/2005 ini.
Karena dalam putusanyya yang meninggal adalah ahli waris yang digantikan
saja bukan dengan ahli waris pengganti. Sehingga apabila putusan Nomor
344 K/AG/2005 ini tetap ingin relevan dan digunakan sebagai dasar hukum
yurisprudensi, maka kaidah yang dianjurkan adalah seperti tercantum
dalam proposisi premis mayor pada silogisme di atas.