Karakterisasi Yurisprudensi No : 213 K/TUN/2007

  • Post : 2024-08-07 14:26:50
  • Download ()
Kaidah Yurisprudensi : 213 K/TUN/2007
Tergugat seharusnya berhati-hati dan mempertimbangkan secara cermat pada waktu mempersiapkan Keputusan TUN tersebut dengan terlebih dahulu mencari gambaran yang jelas mengenai semua fakta yang relevan maupun kepentingan pihak ketiga.
Pertimbangan Hukum
  1. Mengenai pembatasan upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 45 UU 5/2004, Dari ketentuan PP No. 75 Tahun 2001, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan usaha Kuasa Pertambangan dilakukan/dilaksanakan bersifat lintas sektoral antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian, terhadap obyek sengketa dalam perkara ini, yang merupakan penyelenggaraan usaha Kuasa Pertambangan, tidak dapat diterapkan Ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, dan Mahkamah Agung berwenang memeriksa upaya hukum kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi.
  2. Mengenai alasan Duplikasi Gugatan, Dari ketentuan UU 1111976 dan PP 75/ 2001 dapat disimpulkan bahwa Eksplorasi dan Eksploitasi adalahjenis usaha di bidang pertambangan yang berbeda, dan tidak berkaitan satu sama Iainnya. Dengan demikian, antara gugatan Penggugat atas obyek sengketa dalam perkara No. 02/G/2006/ PTUN.BJM. (Keputusan Bupati Tanah Laut No. 545.2.012.l!PUIPDE. Tanggal 17 Juni 2004) dan dalam gugatan PerkaraNo.15/G/20061PTUN.BJM.jo. No. l 76/B/2006/-PT.TUN.JKT.jo. No. 213 K/TUN/2007 (Keputusan Bupati Tanah Laut No. 545.3.006/PU/PDE/2004 tanggal 27 September 2004) tidak terjadi Duplikasi Gugatan dan bukan merupakan Ne bis in Idem.

Anotasi Oleh : Lutfil Ansori
ASPEK KECERMATAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN BATASAN UPAYA HUKUM KASASI TERHADAP KEPUTUSAN PEJABAT DAERAH 
Objek sengketa Putusan Mahkamah Agung No. 213/K/TUN/2017 ialah Keputusan Bupati Tanah Laut No. 545.3.006/PU/DPE/2004 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi Batubara (KW.106.TW.1) tertanggal 27 September 2004. Putusan a quo hadir terhadap permohonan dari Penggugat (PT. Arutmin Indonesia) melawan Tergugat (Bupati Tanah Laut sebagai Tergugat I dan PT Surya Kencana Jorong Mandiri sebagai Tergugat II). Perkara ini bermula ketika Bupati Tanah Laut menerbitkan izin pertambangan kepada PT Surya Kencana Jorong Mandiri, padahal di wilayah tersebut (Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan) telah ada areal pertambangan Penggugat, PT Arutmin Indonesia, sehingga menyebabkan tumpang tindih areal Kuasa Pertambangan yang berakibat pada kerugian hak Penggugat.
Berkenaan kasus tersebut, ada dua isu hukum penting untuk dapat diberikan catatan kritis. Pertama, implementasi asas kecermatan dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara; dan kedua, batasan upaya hukum kasasi dalam putusan terkait otonomi daerah.

Asas kecermatan atau bertindak cermat (principle of carefulness) merupakan bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Asas kecermatan menghendaki agar pemerintah bertindak cermat dalam melaksanakan berbagai aktifitas penyelenggaraan pemerintahan, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Dalam konteks penerbitan keputusan, pemerintah harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua faktor dan keadaan yang berkaitan dengan materi keputusan, termasuk mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan mempertimbangkan akibat-akibat hukum yang muncul dari keputusan tata usaha negara tersebut.

Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin yang mengadili perkara ini melalui Putusan No. 15/G/2006-PT.TUN.BJM tertanggal 1 September 2006, berpandangan bahwa Keputusan Tergugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, karena tidak berhati-hati dan tidak mempertimbangkan secara cermat dalam menerbitkan sebuah keputusan, termasuk berkaitan kepentingan pihak ketiga. Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin mengabulkan gugatan Tergugat dan menyatakan batal Keputusan Bupati Tanah Laut No. 545.3.006/PU/DPE/2004 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi Batubara tertanggal 27 September 2004, serta memerintahkan Tergugat untuk mencabut keputusan tersebut.

Alasan di atas diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung No. 213/K/TUN/2017 dengan menegaskan kembali bahwa, meskipun Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara berwenang menerbitkan keputusan Kuasa Pertambangan di wilayahnya, akan tetapi di wilayah tersebut telah menjadi areal pertambangan PT Arutmin Indonesia. Tergugat seharusnya berhati-hati dan mempertimbangkan secara cermat dalam menerbitan Keputusan TUN tersebut dengan terlebih dahulu mencari gambaran yang jelas mengenai semua fakta yang relevan maupun kepentingan pihak ketiga. Secara terang, Putusan Mahkamah Agung No. 213/K/TUN/2017 menyatakan bahwa Pejabat TUN yang bersangkutan terbukti melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas kecermatan dan kehati-hatian.

Keputusan Bupati Tanah Laut No. 545.3.006/PU/DPE/2004 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi Batubara dianggap melanggar asas kecermatan karena didapati fakta, bahwa Penggugat adalah pemegang hak yang sah atas wilayah penambangan di wilayah Kabupaten Tanah Laut berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum No. 198/K/2014/DDJP/1995 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi, dengan masa berlaku 30 tahun. Penggugat pihak yang sah menurut hukum memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan aktifitas penambangan batubara pada wilayah tersebut. Keputusan Tergugat telah menimbulkan akibat hukum yang merugikan kepentingan Penggugat.

Putusan Mahkamah Agung No. 213/K/TUN/2017 menggambarkan bahwa pejabat TUN perlu berhati-hati dan bertindak cermat dalam membuat suatu keputusan, dengan cara mempertimbangkan secara komprehensif mengenai segenap aspek dari materi keputusan, agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Tindakan kehati-hatian itu setidaknya berupa: 
(i) meneliti semua fakta yang relevan, dan 
(ii) mempertimbangkan semua kepentingan pihak ketiga yang relevan sebelum mengambil keputusan atau pada saat mempersiapkan keputusan. Apabila fakta-fakta penting atau kepentingan pihak ketiga tersebut kurang diteliti atau diabaikan, berarti pemerintah bertindak tidak cermat.

Putusan Mahkamah Agung di atas sejalan dengan doktrin AUPB dalam hukum administrasi negara. Artinya, putusan tersebut relevan dan signifikan sebagai yurisprudensi untuk melengkapi doktrin AUPB berkenaan dengan asas kecermatan. Berdasarkan doktrin AUPB dan Putusan Mahkamah Agung No. 213/K/TUN/2017 itu dapat ditemukan beberapa indikator asas kecermatan, antara lain: 
(i) Keputusan TUN harus didasarkan pada dokumen yang lengkap; 
(ii) Keputusan TUN harus mempertimbangkan secara komprehensif segenap aspek dari materi keputusan; 
(iii) Keputusan TUN harus didasarkan pada penelitian atas semua fakta yang relevan; dan 
(iv) Keputusan TUN harus mempertimbangkan semua kepentingan pihak yang tersangkut, termasuk kepentingan pihak ketiga.

Putusan Mahkamah Agung No. 213/K/TUN/2017 ini telah menjadi yurisprudensi dengan diikuti beberapa putusan, antara lain 
(i) Putusan Mahkamah Agung No. 126 K/TUN/2016; dan 
(ii) Putusan Mahkamah Agung No. 397 K/TUN/2015. Dua putusan tersebut secara tegas merujuk Putusan Mahkamah Agung No. 213/K/TUN/2017 dalam memaknai asas kecermatan.

Secara teoretik, asas kecermatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas kecermatan formil dan asas kecermatan materiil. Asas kecermatan formil berarti ada persiapan yang cermat. Artinya, pejabat TUN pada waktu menyiapkan keputusan harus memperoleh pengetahuan tentang semua fakta yang relevan dari semua kepentingan yang terkait, termasuk kepentingan pihak ketiga. Asas kecermatan formil menekankan pada kecermatan dalam penyiapan keputusan, dengan memperhatikan aspek-aspek yang relevan. Asas kecermatan materiil berhubungan dengan substansi dari pertimbangan pejabat TUN atas penerbitan suatu keputusan. Asas ini menghendaki agar perbuatan-perbuatan pejabat TUN tidak merugikan warga masyarakat.

Hal penting lain dari Putusan Mahkamah Agung No. 213/K/TUN/2017 adalah berkenaan dengan batasan upaya hukum kasasi putusan pengadilan terkait otonomi daerah. Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 telah memberikan batasan upaya hukum kasasi terhadap perkara tata usaha negara, dengan menyatakan bahwa, perkara yang dikecualikan untuk tidak dapat diajukan kasasi adalah perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. Secara normatif, ketentuan tersebut tampak kurang jelas dalam mengklasifikasi karakteristik objek gugatan yang dikenai pembatasan tersebut. Klausul “keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan” terasa sumir karena tidak disertai indikator kualifikasi ketentuan tersebut.

Putusan Mahkamah Agung No. 213/K/TUN/2017 memperjelas kualifikasi tersebut. Mahkamah Agung berpendapat bahwa untuk menentukan apakah suatu keputusan pejabat daerah jangkauannya berlaku hanya di wilayah daerah yang bersangkutan atau tidak, harus dilihat secara cermat melalui kasus demi kasus. Apabila kewenangan Pejabat yang bersangkutan memang didasarkan pada suatu peraturan yang murni bersifat regional atas dasar desentralisasi dan otonomi daerah yang secara atributif memberikan kewenangan pada daerah yang bersangkutan, misalnya mendasarkan pada suatu Peraturan Daerah, maka keputusan pejabat daerah tersebut memang hanya menjangkau daerahnya, sehingga dalam kasus demikian Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dapat diterapkan.

Namun sebaliknya, apabila kewenangan pejabat yang bersangkutan itu bersifat derivatif (turunan) dari peraturan yang berlaku secara nasional, tidak hanya bersifat regional maka jangkauannya tidak hanya bersifat terbatas dalam daerahnya saja, tetapi juga bersifat keluar melampaui batas-batas wilayah daerahnya. Maka dalam hal demikian, Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan. Singkatnya, untuk menentukan jangkauan suatu keputusan pejabat daerah harus dilihat dari sumber kewenangan lahirnya keputusan tersebut.

Hal di atas kemudian menjadi rumusan dalam menentukan jangkauan suatu keputusan pejabat daerah untuk memperjelas Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 2004. Rumusan di atas kemudian diperjelas kembali dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2016, di mana salah satu materinya adalah mengatur karakteristik pembatasan upaya hukum kasasi. Dalam SEMA tersebut, dijelaskan bahwa kriteria pembatasan upaya hukum kasasi dalam Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 adalah bagi keputusan pejabat daerah yang berasal dari sumber kewenangan desentralisasi. Tetapi terhadap keputusan pejabat daerah yang bersumber dari kewenangan dekonsentrasi ataupun bersumber dari kewenangan perbantuan terhadap pemerintah pusat (medebewin) tetap bisa dilakukan upaya hukum kasasi.

Uraian di atas memperlihatkan keberadaan Putusan Mahkamah Agung No. 213/K/TUN/2017 membawa perubahan dan dampak signifikan dalam dua hal yaitu memperjelas implementasi asas kecermatan sebagai batu uji terhadap Keputusan TUN, dan memperjelas rumusan pembatasan upaya hukum kasasi yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah dengan memberi rumusan penting dalam melihat jangkauan keputusan pejabat daerah, yakni mendasarkan pada sumber kewenangan lahirnya keputusan.















Anotasi Oleh : Dr. Sri Warjiyati
Kaidah yurisprudensi nomor putusan 213 K/TUN/2007 menjelaskan dalam perkara ini Pejabat TUN yang bersangkutan terbukti melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas kecermatan dan kehati-hatian. Penggugat mengajukan kasasi dengan alasan putusan PT TUN tersebut telah salah dalam pembuktian, khususnya tentang kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa permohonan kasasi dari Penggugat dan tentang adanya duplikasi dalam gugatan Penggugat.

Perkara ini disidangkan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan sengketa hak atas tanah. Secara jelas, tergugat (Bupati Tanah Laut) menerbitkan keputusan Kuasa Pertambangan di wilayahnya, padahal telah diketahuinya bahwa di wilayahnya (Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan) telah ada areal pertambangan Penggugat, PT Arutmin Indonesia. Sehingga, sengketa atas kepemilikan areal pertambangan ini membuat PT Arutmin kemudian mengajukan gugatan terhadap keputusan pejabat TUN tersebut.

Hal ini masuk dalam rana pertimbangan hukum yang dihadapkan atas dua perkara yang sudah dijelaskan diatas. Yang pertama bahwa mengenai pembatasan upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 45 UU 5/2004, dari ketentuan PP No. 75 Tahun 2001, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan usaha Kuasa Pertambangan dilakukan/dilaksanakan bersifat lintas sektoral antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian, terhadap objek sengketa dalam perkara ini. Dalam perkara ini tidak dapat diterapkan Ketentuan Pasal 45 A ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Mahkamah Agung berwenang memeriksa upaya hukum kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi. Maka jelas, dalam perkara tergugat (Bupati Tanah Laut dengan Penggugat (PT Arutmin Indonesia) telah adanya penyelenggaraan usaha Kuasa Pertambangan yang dilakukan antara kedua pihak. Sehingga, yang mempunyai kewenangan berhak memeriksa gugatan yang dilayangkan oleh penggugat kepada tergugat untuk diepriksa terlebih dahulu tentang upaya hukum kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi. Yang kedua bahwa mengenai alasan duplikasi gugatan. Dari ketentuan UU 11/1976 dan PP 75/2001 dapat disimpulkan bahwa eksplorasi dan eksploitasi adalah jenis usaha di bidang pertambangan yang berbeda. Hal ini sangat jelas, eksplorasi sendiri yakni kegiatan yang dilakukan guna mempelajari suatu wilayah yang berpotensi menghasilkan sumber daya alam tertentu atau dalam konsep ini adalah pertambagan, sedangkan eksploitasi adalah kegiatan penambangan yang meliputi pekerjaan-pekerjaan pengambilan dan pengangkutan endapan bahan galian atau mineral berharga sampai ke tempat penimbunan dan pengolahan, kadang juga sampai ke tempat pemasaran, hal ini mengarah ke bentuk negatif dalam industri pertambangan.

Dari pertimbangan hukum tersebut, yurisprudensi juga berkaitan dengan putusan yang mengikuti kaidah yurisprudensi baik relevan atau tidak. Menurut penulis, putusan tersebut masih relevan dijadikan yurisprudensi. Pasalnya, peraturan perundang-undangan dalam perkara ini tidak pernah mengatur secara lengkap dan detail bagaimana pemenuhan aturan hukum dalam setiap peristiwa hukum, sehingga putusan yurisprudensi dalam perkara ini sangat melengkapi kekosongan hukum. Putusan yurisprudensi ini juga menjadi bagian instrument hukum dalam rangka menjaga kepastian hukum yang menyatakan bahwa harus jelas dan tidak sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaan baik hakim maupun yang bersangkutan dalam gugatan perkara ini. Bayangkan saja, jika perkara dalam putusan ini tidak berinstrumen pada putusan yurisprudensi maka hakim akan sulit menetapkan keputusan-keputusan untuk mengahadapi perkara ini.

Perkara yang dihadapi hakim dalam sengketa hak atas tanah berdasarkan pada kekuasaan kewilayahan industri pertambangan perlu mendapat perhatian dan dikaji secara keseluruhan. Hal ini disebabkan, banyaknya gugatan yang dilayangkan oleh penggugat ke tergugat kurang mengetahui prosedur gugatan sehingga ketika mempersiapkan Keputusan TUN tergugat kurang mempertimbangkan secara cermat ketika mencari gambaran yang jelas mengenai semua fakta yang relevan. Jika hal ini tidak menjadi kacamata terang bagi penggugat/tergugat maupun keputusan yang diambil oleh hakim ditakutkan akan adanya bentuk sewenang-wenangan terhadap hukum.

Hal ini mengakibatkan tergugat (Bupati Tanah Laut) mengambil keputusan untuk memberikan Kuasa Pertambangan di wilayah Tanah Laut sehingga tanpa berpikir dengan cermat tergugat mengambil keputusan yang salah yang berdampak pada semua kepentingan pihak ketiga yang akan berakibat menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari, karena adanya tumpang tindih areal Kuasa Pertambangan. Dalam perkara ini pejabat TUN yang bersangkutan terbukti melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas kecermatan dan kehati-hatian.
Dalam asas kecermatan terkait perkara ini, merupakan keputusan dan atau tindakan Pejabat TUN yang harus didasarkan pada informasi atau dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas suatu ketetapan dan atau tindakan atau pelaksanaan suatu keputusan. Sedangkan, dalam asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menegaskan bahwa ketetapan atau keputusan harus berhati-hati dan menimbang segala seuatu atas keputusan yang dibuat.

Oleh sebab itu, perlu hal ini menjadi perhatian penting saat memutuskan keputusan TUN ketika menemukan suatu bukti-bukti yang kurang kuat, bukti-bukti baru yang kurang relevan, sifat sewenang-wenang tergugat atau penggugat, maka hakim atau PT TUN berhak untuk menolak suatu gugatan yang cacat bukti, tidak cermat, tidak sesuai fakta. Yang mana hal demikian, untuk memberikan kesadaran kepada tergugat atau penggugat yang gugatannya ditolak oleh PT TUN karena supaya tidak menimbulkan kerugian kepada pihak lain yang seharusnya pihak tersebut tidak ikut dalam kerugian tersebut hanya karena ketidakcermatan, ketidaktahuan tergugat atau penggugat yang melakukan kesalahan saat mempersiapkan keputusan TUN.

SIMPULAN Dalam kaidah Yurisprudensi pada Nomor Putusan 213 K/TUN/2007 menjelaskan bahwa tergugat seharusnya berhati-hati dan mempertimbangkan secara cermat pada waktu mempersiapkan Keputusan TUN tersebut terlebih dahulu mencari gambaran yang jelas mengenai semua fakta yang relevan maupun kepentingan pihak ketiga. Sehingga, hal ini berkaitan pada keputusan pejabat TUN terhadap tergugat namun sayangnya tergugat dalam perkara ini melanggar asas-asas yang berkaitan dengan kepentingan hukum, misalnya asas legalitas, asas kecermatan, dan asas kehati-hatian. Asas ini menjadi rujukan pondasi keputusan pejabat TUN kepada tergugat, yang mana tergugat tidak mempertimbangkan dan berhati-hati dalam mengambil keputusan tanpa melihat bagaimana keputusan tersebut benar atau salah, relevan atau tidak.


  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • Prof. Dr. Paulus E. Lotululung, S.H. -
  • H. Imam Soebechi, S.H., M.H. -
  • Titi Nurmala Siagian, S.H., M.H. -

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 2004-09-27  
    • Tergugat (Bupati Tanah Laut) menerbitkan keputusan Kuasa Pertambangan di wilayahnya, padahal telah diketahuinya bahwa di wilayahnya (Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan) telah ada areal pertambangan Penggugat PT Arutmin Indonesia. PT Arutmin kemudian mengajukan gugatan terhadap keputusan pejabat Tata Usaha Negara tersebut.
    • PT Arutmin kemundian mengajukan gugatan terhadap keputusan pejabat Tata Usaha Negara Tersebut.
  •    Tanggal : 2007-11-06  
    • (PTUN) Banjarmasin mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan batal Keputusan Bupati Tanah Laut No. 545 .3 .006/PU/DPE/2004 tanggal 27 September 2004, tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi Batubara (KW. l 06 TW.I) kepada PT Surya Kencana Jorong Mandiri yang diterbitkan Tergugat, dan memerintahkan Tergugat untuk mencabut keputusannya tersebut. Akan tetapi di tingkat banding atas permohonan Tergugat dan Tergugat II Intervensi, putusan PTUN tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang memutuskan menolak gugatan Penggugat/Terbanding untuk seluruhnya.
    • Penggugat mengajukan kasasi dengan alasan putusan PT TUN tersebut telah salah dalam penerapan hukum dan cacat dalam pembuktian, khususnya tentang kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa permohonan kasasi dari Penggugat dan tentang adanya duplikasi dalam gugatan Penggugat.

Frasa Terkait Karakterisasi

Author Info