Karakterisasi Yurisprudensi No : 278 K/AG/1997

  • Post : 2024-08-07 11:11:49
  • Download ()
Kaidah Yurisprudensi : 278 K/AG/1997
Setiap perceraian yang terjadi dan istri tidak terbukti nusyuz yang menimbulkan rumah tangga cekcok terus menerus, maka suami dibebani kewajiban untuk membayar nafkah iddah, maskan, kiswah, dan mut’ah kepada istri yang dibayarkan sebelum sidang pengucapan ikrar talak, serta biaya hadhonah untuk anak.

Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi
Setiap perceraian yang terjadi dan istri tidak terbukti nusyuz yang menimbulkan rumah tangga cekcok terus menerus, maka suami dibebani kewajiban untuk membayar nafkah iddah, maskan, kiswah, dan mut’ah kepada istri yang dibayarkan sebelum sidang pengucapan ikrar talak, serta biaya hadhonah untuk anak.
Pertimbangan Hukum
Bahwa Mahkamah Agung berpendapat putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta harus diperbaiki dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa permohonan cerai yang diajukan oleh Pemohon, sedangkan Termohon tidak terbukti berbuat nusyuz, yang menimbulkan rumah tangga cekcok terus menerus, oleh sebab itu, maka pemohon harus dibebani kewajiban untuk membayar nafkah iddah, maskan dan kiswah serta mut’ah kepada termohon; di samping itu pula pemohon harus dibebani untuk membayar nafkah hadhonah untuk dua orang anak.
Anotasi Oleh : Ramdani Wahyu Sururie
Kewajiban Suami Membayar Nafkah Iddah, Maskan, Kiswah dan Mut’ah kpd Istri yang Tidak Tebukti Nusyuz
Isu hukum yang diangkat dalam perkara ini adalah cerai yang diajukan suami yang terbukti istri tidak nusyuz menimbulkan kewajiban suami dalam memberikan nafkah iddah, maskan, kiswah, dan mut’ah kepada istri serta biaya hadhonah untuk anak. Di dalam putusan ini majelis kasasi menyimpulkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penerapan hukum pada tingkat peradilan sebelumnya yaitu di tingkat banding. Di mana pada tingkat banding, majelis banding hanya menguatkan dari putusan pada tingkat pertama. Namun, dalam putusan Mahkamah Agung ini tidak disebutkan di mana letak kesalahan penerapan hukum pada putusan tingkat banding tersebut.
Selanjutnya, terhadap keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon kasasi, majelis kasasi tidak dapat membenarkan hal tersebut. Karena sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, tingkat kasasi hanya memeriksa mengenai tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan hukum atau pelanggaran yang berlaku. Keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon kasasi tersebut sepatutnya diajukan pada saat pembuktian di tingkat pertama atau banding mengenai sangkalan bahwa tidak terbukti istri nusyuz.
Pada tingkat peradilan sebelumnya, pengadilan agama mengabulkan permohonan Pemohon. Namun, hakim tidak secara ex-officio menetapkan mengenai kewajiban suami dalam memberikan nafkah kepada istri setelah perceraian. Selanjutnya, pengadilan tinggi agama pada tingkat banding pun menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama tersebut yang seharusnya pada tingkat banding ini Majelis Hakim banding bisa secara ex-officio menetapkan mengenai kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri setelah perceraian karena kewajiban suami dalam memberi nafkah setelah percerain ini telah diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yaitu pada Pasal 149:
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
  1. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul; 
  2. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi thalak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; 
  3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al-dukhul; dan 
  4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan ini Majelis kasasi kurang dalam menggunakan dasar hukum yang dapat menjadi penguat untuk merubah putusan pengadilan sebelumnya. Majelis kasasi tidak mencantumkan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam yang berisi mengenai kewajiban suami dalam memberikan hak-hak istri setelah perceraian. Karena jika dilihat, Kompilasi Hukum Islam ini lahir pada tahun 1991, sebelum adanya perkara ini.
Selain itu, kurangnya pertimbangan majelis kasasi terhadap nusyuz tidaknya si Pemohon kasasi/Termohon. Dalam pertimbangannya, majelis kasasi hanya menyebutkan bahwa keberatan yang diajukan Pemohon kasasi bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Sepatutnya, dalam pertimbangan juga dijelaskan mengenai siapa yang berhak untuk menilai hasil pembuktian atau bisa juga dalam putusan kasasi ini dibuka kembali pemeriksaan di tingkat pertama untuk memeriksa dan menilai pembuktian dari Pemohon kasasi/Termohon mengenai telah terjadinya fitnah nusyuz dari Termohon kasasi/Pemohon kepada Pemohon kasasi/Termohon. Kemudian, dalam membuktikan masalah istri melakukan nusyuz atau tidak, seharusnya dalam penilaian pembuktian judex facti dapat menyimpulkan bahwa tidak terjadi nusyuz. Sehingga, apabila istri tidak nusyuz, maka suami berkewajiban untuk memberikan biaya-biaya atau nafkah setelah terjadinya perceraian dengan merujuk pada Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam. Majelis Hakim pada tingkat sebelumnya sepatutnya lebih teliti lagi dalam menentukan putusan terhadap perceraian dengan alasan istri nusyuz karena istri dikatakan nusyuz apabila tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri dan pada pembuktian pun harus benar-benar teliti apakah ada yang melatarbelakangi seorang istri melakukan perbuatan yang dianggap nusyuz tersebut. Sehinggaa, apabila terbukti istri tidak melakukan nusyuz, maka Majelis Hakim harus memperhatikan hak-hak istri yang didapat setelah perceraian dan dapat secara ex-officio menetapkan mengenai hak-hak istri tersebut.
Pada putusan Mahkamah Agung ini pun, tidak secara jelas mengatur mengenai ketentuan besaran nafkah iddah, maskan, kiswah dan mut’ah yang wajib dikeluarkan oleh suami. Namun, kaidah putusan Mahkamah Agung Nomor 278 K/AG/1997 ini banyak diikuti oleh putusan-putusan setelahnya.
  1. Pertama, putusan Pengadilan Tinggi Agama Samarinda Nomor 30/Pdt.G/2010/PTA.Smd yang mengadili perkara cerai talak pada tingkat banding di mana Pemohon banding semula Termohon tidak merasa puas terhadap putusan tingkat pertama. Sehingga selanjutnya majelis banding dalam pertimbangannya menggunakan dasar hukum Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam dan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 278 K/AG/1997, yang besaran nafkah iddah dan mut’ah yang harus dibayar oleh suaminya itu disesuaikan dengan penghasilan suami dan tidak memberatkan pihak terbanding/suami. 
  2. Kedua, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor 4/Pdt.G/2014/PTA.Smg yang mengadili perkara cerai talak di tingkat banding di mana Pemohon banding semula Termohon menuntut hak-haknya setelah perceraian. Sehingga dalam pertimbangan hukum majelis banding menimbang bahwa tuntutan yang diajukan oleh Pembanding seharusnya diajukan di tingkat pertama karena itu merupakan gugatan rekonvensi. Namun, majelis banding juga dalam pertimbangannya sependapat dengan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 278 K/AG/1997 yang kaidahnya apabila terjadi permohonan cerai yang diajukan suami sedang istri tidak nusyuz maka suami diwajibkan untuk membayar uang kepada istri berupa nafkah, mut’ah, maskan, kiswah, iddah dan hadhonah. Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk emmbayar biaya penghidupan bagi bekas istri, dan juga sesuai dengan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pertimbangannya juga, majelis banding menerapkan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 117 K/AG/2002 yang menyatakan bahwa pemberian nafkah, maskan, kiswah dan nafkah anak harus dapat memenuhi kebutuhan minimum sesuai dengan kepatutan dan keadilan dan juga memenuhi kebutuhan Pemohon/Terbanding. 
  3. Ketiga, putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 2750/Pdt.G/2012/PA.JS yang memeriksa dan mengadili perkara cerai talak, di mana dalam perkara tersebut terdapat gugatan rekonvensi dari Termohon/Penggugat rekonvensi yang menuntut hak-haknya yaitu nafkah idda dan mut’ah. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menimbang tidak terbukti adanya nusyuz dan berdasarkan kaidah hukum dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 278 K/AG/1997 mewaijbkan Tergugat rekonvensi/Pemohon membayar nafkah iddah dan mut’ah yang besarannya memperhatikan keadaan ekonomi tergugat rekonvensi/Pemohon.
Melihat ketiga putusan yang telah menggunakan kaidah yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Nomor 278 K/AG/1997, dapat ditarik kesimpulan bahwa besaran yang wajib dibayar oleh bekas suami setelah bercerai kepada bekas istri ini, yaitu dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri tersebut atau ditentukan oleh Majelis Hakim dengan menyesuaikan kemampuan, kepatutan dan keadilan bekas suami.

Selain dari ketiga putusan tersebut di atas, terdapat satu putusan, yaitu Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor 114/Pdt.G/2008/PTA.Sby yang mengadili perkara cerai talak. Dalam putusan ini menggunakan banyak kaidah-kaidah hukum dari berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung. Salah satunya yaitu kaidah hukum dari putusan Mahkamah Agung Nomor 278 K/AG/1997. Di mana dalam pertimbangan hukumnya, majelis banding memandang pertimbangan yang diambil majelis tingkat pertama tentang pemberian nafkah iddah dan mut’ah itu sudah tepat dan benar. Namun, majelis banding memandang besaran nominal mut’ah yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama kurang mencerminkan kepatutan dan kewajaran, sehingga majelis banding menambah nominal biaya mut’ah dengan mengembalikan pada kepatutan dan kelayakan dikaitkan dengan kemampuan suami dan lamanya mereka berumah tangga.
Dalam pelaksanaannya sebenarnya masih didapat bekas suami tidak secara sukarela menjalankan isi putusan di mana bekas suami ini dalam putusan sudah diwajibkan untuk membayar nafkah iddah, maskan, kiswan dan mut’ah kepada bekas istri tetapi dia tidak membayarnya. Karena dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 278 K/AG/1997 ini tidak ditekankan mengenai batasan atau tenggang waktu untuk bekas suami membayar nafkah iddah, maskan, kiswah dan mut’ah kepada bekas istri. Penekanan ini dipandang perlu agar bekas suami ini tidak lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar nafkah iddah, maskan, kiswah dan mut’ah kepada bekas istri. Jika bekas suami ini tidak membayar atau melaksanakan putusan secara sukarela, maka bekas ini bisa mengajukan permohonan eksekusi dengan menjadilan aset bekas suami untuk disita. Dan selanjutnya pihak pengadilan akan melakukan aanmaning dan memberikan waktu delapan hari untuk bekas suami melaksanakan isi putusan secara sukarela. Namun, jika tetap tidak melaksanakan isi putusan secara sukarela, terpaksa akan dilakukan sita eksekusi terhadap aset atau barang bekas suami yang dijadikan sebagai jaminan. Kemudian objek atau aset tersebut akan dilelang dan hasil lelang ini akan digunakan untuk membayar nafkah iddah, maskan, kiswah dan / kepada bekas istrinya tersebut.


Sehingga, patutlah kaidah yurisprudensi ini sedikit diperbaiki, yang mana hak-hak istri setelah perceraian itu didapat bukan hanya apabila istri di talak saja melainkan saat istri yang mengajukan gugatanpun dapat sekaligus menuntut hak-haknya. Dan sepatutnya lebih ditekankan lagi mengenai kewajiban suami dalam membayar nafkah iddah, maskan, kiswah dan mut’ah agar putusan tersebut dapat dilaksanakan secara sukarela tanpa adanya eksekusi. Contohnya dengan menekankan dalam amar putusan yaitu bekas suami diwajibkan untuk membayar nafkah iddah, maskan, kiswah, dan mut’ah tersebut sebelum sidang pengucapan ikrar talak. Penekanan tersebut bertujuan agar bekas suami tidak kabur dari kewajibannya untuk membayar nafkah iddah, maskan, kiswah, mut’ah, serta hadhonah.

Anotasi ini menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 278 K/AG/1997 berkaitan dengan cerai talak yang terbukti istri tidak nusyuz dan yang menimbulkan rumah tangga cekcok terus menerus, oleh sebab itu maka Pemohon harus dibebani kewajiban untuk membayar nafkah iddah, maskan dan kiswah serta mut’ah kepada Termohon dan nafkah hadhonah untuk anak. Namun, bunyi kaidah yurisprudensi ini sedikit ada ketidak samaan dengan apa yang dikutip pada putusan-putusan pengadilan. Di mana pada putusan-putusan pengadilan, Majelis Hakim mempunyai dasar dalam menentukan besaran hak-hak yang mesti dibayar dari bekas suami kepada bekas istri. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat yurisprudensi lain yang telah melengkapi putusan Nomor 278 K/AG/1997. Namun, putusan Mahkamah Agung Nomor 278 K/AG/1997 ini juga dipandang masih relevan jika dijadikan sebagai rujukan pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara perceraian baik itu perceraian karena talak ataupun perceraian karena gugatan dari pihak istri karena istri berhak mendapat hak-haknya setelah perceraian yaitu hak mendapat nafkah iddah, mut’ah, maskan, serta kiswah. Hal ini karena telah didapat beberapa putusan-putusan yang menjadikan putusan Mahkamah Agung Nomor 278 K/AG/1997 sebagai dasar hukum dalam pertimbangan hukumnya.
  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • Drs. H. Taufiq, S.H. -
  • Drs. H. Moh. Muhaimin, S.H. -
  • H. Chabib Sjarbini, S.H. -

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 1987-08-14  
  • Termohon kasasi sebagai Pemohon adalah suami sah dari Pemohon kasasi sebagai termohon yang menikah tanggal 14 Agustus 1987, tercatat di KUA Kec. Pasar Rebo dengan akta nikah Nomor 501/131/VIII/1987 dengan mempunyai 2 (dua) orang anak yang masing-masing berumur 8 tahun dan 5 tahun.
  •    Tanggal : 1996-06-26  
  • Termohon kasasi sebagai Pemohon mengajukan permohonan cerai talak ke PA Jakarta Timur, lalu PA Jakarta Timur mengabulkan permohonan Pemohon dengan putusan Nomor 219/Pdt.G/1996/PA.JT.
  •    Tanggal : 1997-07-01  
  • Pemohon kasasi sebagai Termohon mengajukan banding ke PTA Jakarta, lalu putusan tersebut dikuatkan oleh PTA Jakarta dengan putusan Nomor 67/Pdt.G/1996/PTA.Jk.
  •    Tanggal : 1997-04-26  
  • Pemberitahuan putusan teraKompilasi Hukum Islam kepada Termohon/Pembanding.
  •    Tanggal : 1997-09-05  
  • Pengajuan permohonan pemeriksaan kasasi secara lisan oleh Termohon/Pembanding dari putusan Nomor 67/Pdt.G/1996/PTA.Jk.
  •    Tanggal : 1997-12-05  
  • Memori kasasi yang memuat alasan-alasan pengajuan permohonan kasasi diterima oleh kepaniteraan PA Jakarta Timur.
  •    Tanggal : 1997-12-31  
    • Memori kasasi diberitahukan kepada pihak lawan (Pemohon/Terbanding) dengan cara yang seksama.
    • Permohonan kasasi dalam perkara a quo beserta alasan-alasannya secara formil dapat diterima.
  •    Tanggal : 1998-07-08  
  • Putusan MA Nomor 278 K/AG/1997: 
    1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (Siti Damayanti binti Usman Abdul Latif) disertai dengan perbaikan amar putusan PTA Jakarta Nomor 67/Pdt.G/1996/PTA.Jk; dan
    2. Menghukum Pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sebanyak Rp50.000 (lima puluh ribu rupiah).
  •    Tanggal : 1998-08-26  
  • Pembacaan putusan sidang secara terbuka oleh Ketua Majelis Hakim, dihadiri oleh Majelis Hakim anggota dan juga panitera pengganti tanpa dihadiri oleh kedua belah pihak.

Author Info