Karakterisasi Yurisprudensi No : 122 K/AG/1995

  • Post : 2024-08-07 13:42:00
  • Download ()
Kaidah Yurisprudensi : 122 K/AG/1995
Seorang Pewaris yang meninggalkan seorang anak perempuan (anak tunggal), maka saudara-saudara dari Pewaris haknya menjadi terhijab atau tertutup.

Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi:
Seorang Pewaris yang meninggalkan anak perempuan, maka saudara-saudara Pewaris terhijab untuk mendapat haknya.
Pertimbangan Hukum
  • Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Bandung telah salah menerapkan hukum, sebab pemberian kuasa tidak selalu harus diberikan bersama-sama; 
  • Bahwa dalam perkara ini: Pewaris meninggalkan anak perempuan yaitu Tergugat asal I sehingga saudara-saudara dari Pewaris haknya menjadi terhijab atau tertutup.

Anotasi Oleh : Ramdani Wahyu Sururie
Seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

Pasal 182:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat dua per tiga bagian.

Dari kedua pasal tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa jika seorang meninggal dengan tidak meninggalkan anak dan ayah maka saudara mendapat bagian dari harta waris pewaris. Namun dalam perkara ini, pewaris meninggalkan anak, sehingga saudara tertutup atau terhalang oleh anak pewaris dalam mendapat bagian warisnya. Kemudian dalam pasal tersebut tidak disebutkan arti “anak” itu apakah anak laki-laki atau anak perempuan. Hingga sudah benarlah majelis kasasi menimbang bahwa anak perempuan pewaris dapat menghijab saudara-saudara kandung pewaris. Ketentuan mengenai kesetaraan anak laki-laki Hak Waris Saudara Terhijab dalam Memperoleh Waris dari Seorang Anak Perempuan Tunggal Isi dari amar putusan dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan ini tentu tidak perlu untuk diragukan. Namun, jika ditelaah kembali, ada persoalan dalam pertimbangan hukumnya. Dalam pertimbangan hukum sama sekali tidak dicantumkan dasar hukum yang berhubungan dengan pokok perkara ataupun di luar pokok perkara atau bisa dikatakan tidak secara eksplisit tertuang dasar hukum dalam pertimbangan putusan ini. Dalam pertimbangan hukum majelis kasasi menimbang bahwa jika seorang pewaris mempunyai anak perempuan maka saudara pewaris haknya menjadi terhijab atau tertutup. Sebelumnya mengenai hal kewarisan Islam yang bersangkutan dengan saudara ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada Pasal 181 dan 182 yang menyatakan bahwa:

Pasal 181:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat dan anak perempuan yang dapat menghijab saudara pewaris memang tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi dapat dipahami secara a contrario berdasarkan Pasal 181 dan 182 KHI.

Selain itu, hal tersebut juga sudah tertuang dalam kaidah putusan Mahkamah Agung Nomor 86 K/AG/1994 tanggal 27 Juli 1994, yaitu “Selama masih ada anak laki-laki maupun anak perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami dan isteri menjadi tertutup (terhijab)”. Pada putusan tersebut mengambil pertimbangannya itu menggunakan pendapat dari Ibnu Abbas dalam tafsirannya terhadap kata “al-walaad” dalam ayat 176 QS. An-Nisa. Di mana Ibnu Abbas berpendapat bahwa kata “al-walaad” diartikan untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Dengan alasan bahwa Ibu bagiannya menjadi seperenam yang awalnya sepertiga, suami mendapat setengah menjadi seperempat dan istri mendapat seperempat jadi seperdelapan jika ada anak tanpa disebutkan bahwa itu anak laki-laki atau anak perempuan. Sehingga menurutnya, anak laki-laki dan anak perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam menghijab hirman saudara-saudara kandung pewaris. Kemudian jika ditelaah kembali sebetulnya hukum waris islam tidak membedakan kedudukan anak perempuan dan anak laki-laki. Hanya saja, hukum waris Islam ini membedakan dari segi hal besaran bagian yang diterima oleh laki-laki dan perempuan itu berbeda.

Maka dalam hal ini, majelis kasasi sudah tepat mengambil pertimbangan mengenai terhijabnya saudara kandung pewaris oleh anak perempuan pewaris karena sudah jelas terdapat yurisprudensi sebelumnya yang kaidahnya itu hampir sama dengan perkara pada putusan ini. Sepanjang yang dapat dilacak sementara ini, Putusan Mahkamah Agung Nomor 122 K/AG/1995 telah diikuti oleh putusan-putusan setelahnya. Terdapat sembilan putusan yang mengikuti kaidah putusan Mahkamah Agung ini yang terdiri dari empat putusan gugatan sengketa waris dan lima putusan permohonan penetapan ahli waris. Keempat putusan mengenai gugatan sengketa waris tersebut berisi sengketa antara anak pewaris dengan saudara pewaris, yang kemudian Majelis Hakim dalam pertimbangannya memakai kaidah putusan Mahkamah Agung No. 122 K/AG/1995, yaitu seorang pewaris yang meninggalkan seorang anak perempuan (anak tunggal), maka saudara-saudara dari pewaris haknya menjadi terhijab atau tertutup. Kemudian, kelima putusan mengenai permohonan penetapan ahli waris ini datang dari anak pewaris yang ingin ditetapkan menjadi ahli waris dan memang terbukti tidak ada ahli waris lain. Namun, Majelis Hakim dalam pertimbangannya tetap mencantumkan kaidah putusan Mahkamah Agung No. 122 K/AG/1995 dengan diikuti pula yurisprudensi No. 86 K/AG/1994 dan No. 184 K/AG/1995. Namun, dalam putusan-putusan tersebut ditemukan bahwa anak pewarisnya itu tidak tunggal/terdapat dua atau lebih anak pewaris sehingga putusan MA No. 122 K/AG/1995 ini kaidahnya sedikit memang tidak sama.

Anotasi ini hanya menegaskan bahwa kaidah putusan Mahkamah Agung Nomor 122 K/AG/1995 dirasa sudah cukup relevan dengan perkara-perkara waris saat ini karena terbukti masih dipakainya kaidah putusan ini oleh hakim dalam pertimbangan putusan. Namun, alangkah lebih baiknya juga untuk sedikit dilakukan perbaikan menjadi “Seorang pewaris yang meninggalkan anak perempuan, maka saudara-saudara pewaris terhijab untuk mendapat haknya” karena boleh jadi ada pewaris yang meninggalkan dua atau lebih anak perempuan. Sedang dalam kaidah putusan ini dituliskan “anak perempuan (anak tunggal)”, perbaikan kaidah ini ditujukan agar dapat menjadi suatu rujukan untuk perkara-perkara waris Islam yang lainnya.
Anotasi Oleh : Sofia Nurfajriati
Anak Perempuan Tunggal Menghijab Suadara dalam Hak Waris
 
Isu hukum yang diangkat dalam perkara ini yaitu mengenai sengketa gugatan waris, yang diajukan oleh suadara-saudara kandung Pewaris sebagai Penggugat/Pemohon kasasi terhadap anak pewaris sebagai Tergugat/termohon kasasi.

Di dalam putusan ini majelis kasasi menyimpulkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penerapan hukum pada tingkat peradilan sebelumnya yaitu di tingkat banding. Di mana pada tingkat banding, Hakim meragukan keabsahan dari pemberian kuasa pada pemeriksaan tingkat pertama. Sehingga, menimbang bahwa tidak terdapat bukti prosedur pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa sesuai dengan ketentuan hukum acara. Namun, menurut majelis kasasi pemberian kuasa tidak selalu harus diberikan bersama-sama. Dalam hal tersebut, majelis kasasi tidak secara jelas menjelaskan alasan mengenai pemberian kuasa tidak selalu harus diberikan bersama-sama itu. Mengenai pemberian kuasa terdapat dalam Pasal 123 ayat (1) Het Herzein Inlandsch (HIR) yang berbunyi: "Jika dikehendaki, para pihak dapat didampingi atau menunjuk seorang kuasa sebagai wakilnya, untuk ini harus diberikan kuasa khusus untuk itu, kecuali jika si pemberi kuasa hadir. Penggugat juga dapat memberi kuasa yang dicantumkan dalam surat gugatan, atau dalam gugatan lisan dengan lisan, dalam hal demikian harus dicantumkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini".

Jika melihat bunyi ayat tersebut memang tidak ada ketentuan yang mengharuskan pemberian kuasa dari Para Penggugat harus bersama-sama. Sehingga, boleh saja majelis kasasi itu melihat dari bunyi ayat pasal tersebut karena Para Penggugat mungkin tidak dapat ditemui secara bersama yang mengakibatkan pemberian surat kuasa antara Para Penggugat berbeda atau tidak secara bersama-sama.

Selanjutnya, terhadap keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon kasasi, majelis kasasi tidak memberikan tanggapan apapun. Majelis kasasi memberikan pertimbangan terlepas dari keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi. Sepatutnya majelis kasasi dalam pertimbangannya juga memberikan keterangan bahwa keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon Kasasi itu merupakan kewenangan judex factie dan menambahkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, yang menyatakan bahwa tingkat kasasi hanya memeriksa mengenai tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan hukum atau pelanggaran yang berlaku. Sehingga, keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon Kasasi pun terlihat posisinya dipertimbangan hukum tingkat kasasi.

Pada tingkat peradilan sebelumnya, pengadilan agama mengabulkan gugatan pernggugat sebagian. Di mana Pengadilan Agama Cibadak menyatakan menetapkan 1/3 bagian dari tanah dan uang tunai menjadi milik Tergugat sebagai hibah, dan 2/3 bagian dari tanah dan uang menjadi tirkah (harta peninggalan) yang bagian-bagiannya sudah ditetapkan dalam amar putusan pengadilan agama tingkat pertama tersebut.

Selanjutnya, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung ini dinyatakn bahwa dalam perkara ini pewaris meninggalkan anak perempuan yaitu Tergugat asal I sehingga, saudara-saudara dari pewaris haknya menjadi terhijab atau tertutup. Pertimbangan tersebut tidak diikuti oleh dasar hukum untuk menguatkan. Sepatutnya majelis kasasi menyantumkan juga alasan mengenai hal terhijabnya saudara-saudara kandung oleh anak perempuan Pewaris. Di mana majelis kasasi dapat mengutip Pasal 174 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa: Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Kemudian dalam Pasal 182 KHI pun menyatakan bahwa: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat dua per tiga bagian. Dari kedua pasal tersebut dapat dilihat bahwa jika masih ada ahli waris anak, ayah, ibu, janda atau duda maka saudara ini akan tertutup untuk mendapat haknya. Dalam perkara ini pewaris meninggalkan anak dan saudara, maka saudara akan terhalang haknya oleh anak pewaris karena sesuai dengan kedua pasal tersebut. Anak dalam hal ini diartikan anak laki-laki ataupun anak perempuan.

Diperkuat juga dengan yurisprudensi Nomor 86 K/AG/1994 dan Nomor 184 K/AG/1995 yang bunyi kaidahnya yaitu: Kaidah yuridprudensi 86 K/AG/1994: Selama masih ada anak laki-laki maupun anak perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami dan isteri menjadi tertutup (terhijab). Kaidah yurisprudensi 184 K/AG/1995: Dengan adanya anak perempuan dari pewaris, maka saudara-saudara kandung pewaris tertutup oleh Tergugat Asal I oleh karenanya Penggugat-Penggugat Asal tidak berhak atas harta warisan.

Dari kedua kaidah yurisprudensi tersebut maka sudah jelaslah bahwa anak perempuan dapat menghijab saudara kandung pewaris. Sehingga, dalam perkara ini anak perempuan pewaris (termohon kasasi) menjadi satu-satunya ahli waris dari pewaris yang bagiannya sudah ditentukan. Namun, karena pasti ada sisa maka diterapkan sistem Radd, di mana harta warisan dibagi kembali ke ahli waris sehingga, dapat dikatakan bahwa anak perempuan dalam perkara ini mendapatkan seluruh harta warisan si pewaris.

Kaidah Putusan Mahkamah Agung Nomor 122 K/AG/1995 ini banyak diikuti oleh putusan-putusan setelahnya. Pertama, Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor 21/Pdt.G/2021/MS.Aceh yang mengadili perkara gugatan waris pada tingkat banding di mana Pemohon banding semula para Tergugat tidak merasa puas terhadap putusan tingkat pertama. Sehingga, selanjutnya majelis banding dalam pertimbangannya menggunakan dasar hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 122 K/AG/1995, dan diikuti juga oleh pendapat Ibnu Abbas, Yurisprudensi Nomor 86 K/AG/1994 dan Nomor 184 K/AG/1995 yang kaidahnya semua sama dengan kaidah Putusan Mahkamah Agung Nomor 122 K/AG/1995. Kedua, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Palembang Nomor 31/Pdt.G/2018/PTA.Plg yang mengadili perkara waris di tingkat banding di mana Pemohon banding semula Para Penggugat yang tidak menerima putusan pengadilan agama tingkat pertama yang menolak gugatan dari Para Penggugat.

Kemudian, dalam pertimbangan hukum majelis banding menambah pertimbangan dalam konvensi yaitu dengan menyantumkan dasar hukum mengutip kaidah Putusan Nomor 122 K/AG/1995. Sehingga, pada tingkat banding menguatkan putusan tingkat pertama karena pada tingkat pertama sudah dirasa sukup dalam menerapkan hukum. Ketiga, Putusan Pengadilan Agama Lumajang Nomor 1982/Pdt.G/2020/PA.Lmj yang memeriksa dan mengadili perkara waris, di mana dalam perkara tersebut anak pewaris sebagai Penggugat dan istri pewaris sebagai Tergugat, karena hanya meninggalkan 2 orang ahli waris saja yang bagiannya sudah ditentukan maka akan terdapat sisa sehingga, Majelis Hakim menimbang dengan menggunakan kaidah yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 86 K/AG/1994, 184 K/AG/1995 dan No. 122 K/AG/1995 mengabulkan gugatan Penggugat dengan menetapkan bagian Penggugat adalah ashobah atau sisa. Keempat, Putusan Pengadilan Agama Tulungagung Nomor 2263/Pdt.G/2019/PA.TA yang memeriksa dan mengadili perkara waris, di mana dalam perkara tersebut Penggugat (mantan istri pewaris) menggugat saudara pewaris karena menguasai harta pewaris yang padahal pewaris ini masih mempunyai anak perempuan meskipun antara Penggugat dan pewaris sudang bercerai. Kemudian, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menggunakan kaidah Putusan Mahkamah Agung Nomor 122 K/AG/1995 di mana saudara perempuan itu terhijab oleh adanya anak perempuan pewaris. Kelima, Putusan Pengadilan Agama Jepara Nomor 102/Pdt.P/2015/PA.Jp yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu. Di mana Pemohon merupakan anak tunggal dari pewaris dan memohon untuk ditetapkan sebagai ahli waris. Yang kemudian Majelis Hakim dalam pertimbangannya mengutip Putusan No. 122 K/AG/1995. Keenam, Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 390/Pdt.P/2009/PA.Sby yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu di mana Pemohon sebagai anak tunggal pewaris memohon untuk ditetapkan menjadi ahli waris. Hingga kemudian Majelis Hakim menimbang dengan mengutip kaidah hukum Putusan No. 122 K/AG/1995 dan terbukti pewaris tidak meninggalkan ahli waris lain selain anak nya (Pemohon). Ketujuh, Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 565/Pdt.P/2010/PA.Sby yang perkaranya sama dengan putusan sebelumnya. Kedelapan, Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 593/Pdt.P/2015/PA.Bks yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu di mana para Pemohon sebagai anak-anak dari pewaris memohon untuk ditetapkan sebagai ahli waris. Kemudian, Majelis Hakim menimbang dengan mengutip kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung No. 122 K/AG/1995. Kesembilan, putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 771/Pdt.P/2015/PA.Sby yang pada pokoknya sama dengan putusan sebelumnya.

Melihat kesembilan putusan yang telah menggunakan kaidah putusan Mahkamah Agung Nomor 122 K/AG/1995 dapat ditarik kesimpulan bahwa memang masih relevannya kaidah putusan ini digunakan dalam perkara waris hingga saat ini. Sehingga, anotasi ini menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 122 K/AG/1995 dianggap cukup dalam kaidahnya karena mengenai kewarisan anak perempuan yang dapat menghijab saudara pewaris itu sebelumnya memang sudah diatur, yaitu oleh yurisprudensi Nomor 86 K/AG/1994 dan Nomor 184 K/AG/1995. Karena dalam putusan-putusan pengadilan agama ataupun pengadilan tinggi agama yang dijadikan rujukan itu ketiga putusan Mahkamah Agung ini. Putusan Mahkamah Agung ini No. 86 K/AG/1994, 184 K/AG/1995, dan 122 K/AG/1995, ketiganya saling melengkapi dalam hal kaidah. Sehingga, apabila terdapat perkara yang serupa dengan perkara waris ini, dapat menjadikan ketiga putusan MA tersebut sebagai rujukan. Namun,, meskipun mereka sudah saling melengkapi, tidak menutup kemungkinan untuk sedikit dilakukan perbaikan dalam kaidahnya. Perbaikan kaidah yang dapat diusulkan yaitu menjadi “Pewaris yang meninggalkan anak dan saudara, maka saudara akan terhijab untuk mendapat haknya”.

  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • H. Yahya, S.H. -
  • Drs. H. Taufiq, S.H. -
  • H. Chaeroeddin Siregar, S.H. -

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 1991-04-25  
  • Pemohon kasasi sebagai Penggugat dan Termohon kasasi sebagai tergugat, keduanya adalah orang yang ditinggalkan oleh Pewaris (Ny.Titi binti R.Icak) yang meninggal pada tanggal 25 April 1989. 
  •    Tanggal : 1994-01-17  
  • Pemohon kasasi sebagai Penggugat menggugat Termohon Kasasi/Tergugat untuk pembagian harta warisan Pewaris (Ny.Titi) ke Pengadilan Agama Cibadak, lalu Pengadilan Agama Cibadak mengabulkan sebagian gugatan penggugat dengan putusan Nomor 316/Pdt.G/1993/PA.Cbd.
  •    Tanggal : 1995-01-11  
  • Tergugat I mengajukan banding ke PTA Bandung, lalu amar putusan bandingnya, yaitu diterimanya permohonan banding dan membatalkan putusan PA Cibadak oleh PTA Bandung dengan putusan Nomor 64/Pdt.G/1994/PTA.Bdg.
  •    Tanggal : 1995-01-26  
  • Pemberitahuan putusan terakhir kepada Penggugat-Penggugat/Terbanding.
  •    Tanggal : 1995-03-02  
  • Pengajuan permohonan pemeriksaan kasasi secara lisan oleh Para Penggugat dari Putusan Nomor 64/Pdt.G/1994/PTA.Bdg.
  •    Tanggal : 1995-02-16  
  • Memori kasasi yang memuat alasan-alasan pengajuan permohonan kasasi diterima oleh kepaniteraan PA Cibadak.
  •    Tanggal : 1995-02-17  
    • Memori kasasi diberitahukan kepada pihak lawan (Tergugat) dengan cara yang seksama.
    • Permohonan kasasi dalam perkara a quo beserta alasan-alasannya secara formil dapat diterima.
  •    Tanggal : 1996-04-11  
  • Putusan MA Nomor 122 K/AG/1995: 
    1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi;
    2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung tanggal 11 Januari 1995 M, bertepatan dengan tanggal 9 Sya’ban 1415 H, No. 64/Pdt.G/1994/PTA.Bdg dan Putusan Pengadilan Agama Cibadak tanggal 17 Januari 1994 M bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1414 H, No. 316/Pdt.G/1993/PA.Cbd.
    Mengadili sendiri:
    1. Menolak gugatan Penggugat-penggugat;
    2. Menyatakan sita jaminan (Conservatoir Beslaag) yang diletakan oleh Pengadilan Agama Cibadak tanggal 23 Desember 1993 Berita Acara No. 316/Pdt.G/1993/PA.Cbd tidak sah dan tidak berharga;
    3. Memerintahkan Pengadilan Agama Cibadak untuk mengangkat sita jaminan tersebut; dan
    4. Menghukum Pemohon kasasi/Penggugat-penggugat asal untuk membayar biaya perkara baik dalam tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp50.000(lima puluh ribu rupiah).
  •    Tanggal : 1998-08-01  
  • Pembacaan putusan sidang secara terbuka oleh Ketua Majelis Hakim, dihadiri oleh Majelis Hakim Anggota dan juga Panitera Pengganti tanpa dihadiri oleh kedua belah pihak.

Frasa Terkait Karakterisasi

Author Info