Karakterisasi Yurisprudensi No : 2356 K/PDT/2008
Perjanjian jual beli yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa adalah merupakan misbruik van omstandigheiden yang dapat dibatalkan karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur pasal 1320 KUHPerdata
Bahwa pada saat dibuatnya perjanjian, salah satu pihak tidak boleh dalam keadaan ditahan oleh Polisi karena laporan yang dibuat oleh pihak lainnya yang membuat perjanjian dengan tujuan menekan pihak yang ditahan agar mau membuat atau menyetujui perjanjian. Maka Perjanjian yang dibuat merupakan “Misbruik van Ostandigheiden” yang dapat mengakibatkan perjanjian dibatalkan karena tidak terpenuhinya unsur-unsur keabsahan perjanjian.
Misbruik van
Ostandigheiden Merupakan Salah Satu Keadaan yang Dapat Membatalkan Perjanjian
Karena Tidak Sesuai Asas dan Syarat Perjanjian Menurut KUHPerdata
Kaidah Yurisprudensi dalam Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008 ini menarik untuk dianalisis, karena Putusan ini memperkuat temuan hukum yang telah ada sebelumnya yaitu dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3641 K/Pdt.G/2001 tanggal 11 September 2001 yang memutuskan kasus terkait penyalahgunaan keadaan atau misbruik van ostandigheiden/undue influence. Kesamaan keduanya adalah sama-sama menafsirkan bahwa salah satu pihak pembuat perjanjian yang sedang berada di tahanan kepolisian dianggap sebagai pihak yang membuat perjanjian dalam keadaan dibawah tekanan dan keadaan terpaksa oleh pihak lainnya. Keadaan ini berbeda dengan rumusan kekhilafan (dwang), atau paksaan (dwaling), atau penipuan (bedrog) dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Sehingga kaidah yurisprudensi pada Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008 ini sedikit banyak memperjelas konsep penyalahgunaan keadaan (misbruik van ostandigheiden) dalam suatu perjanjian, yang memang pengaturan dalam KUHPerdata maupun peraturan lainnya belum jelas terperinci. Perbedaan kedua putusan tersebut adalah pada obyek perjanjian dan sebab salah satu pihak berada di tahanan. Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3641 K/Pdt.G/2001, pihak Penggugat/Pemohon Kasasi berada dalam tahanan untuk kasus tindak pidana korupsi yang kemudian para tergugat/Termohon Kasasi mengajukan perjanjian jual beli atau pengalihan obyek berupa tanah dan properti. Sedangkan pada kasus posisi dalam Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008, pihak Penggugat/Pemohon Kasasi berada dalam tahanan atas laporan pihak tergugat atas tuduhan melakukan tindak pidana menyebarluaskan merek secara melawan hukum. Sehingga dapat dikatakan pada Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008 para tergugat secara sadar menciptakan keadaan yang menekan penggugat untuk mengalihkan merek miliknya.
Pada Putusan tersebut, Majelis Hakim tetap mendasarkan pada acuan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat dan unsur keabsahan perjanjian. Pada Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan, bahwa salah satu unsur dalam perjanjian yang esensial adalah adanya kesepakatan. Unsur kesepakatan diatur lebih lanjut dalam Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata. Kesepakatan sendiri merupakan kesesuaian pernyataan dengan kehendak dalam diri masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian, sehingga para pihak yang menyatakan setuju mengenai hal-hal pokok dari isi perjanjian yang dibuat memang didasarkan atas kehendak para pihak. Tampak dari rumusan tersebut maka memang wajar jika kesepakatan merupakan representasi dari asas konsensualisme. Asas konsensualisme diartikan sebagai kesepakatan. Oleh karenanya suatu perjanjian dianggap sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat yang dibuat oleh para pihak. Berdasarkan asas konsensualisme itu dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat perjanjian.
2. Karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara jelas dan terperinci mengatur mengenai penyalahgunaan keadaan, maka untuk perjanjian yang bersifat terbuka, Majelis Hakim perlu melihat atau merujuk pada nilaii-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan kepatutan, keadilan, perikemanusiaan dapat dipakai sebagai upaya perubahan terhadap ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam perjanjian.
3. Penilaian ada tidaknya penyalahgunaan keadaan harus dilakukan secara kasuistis. Berhubung hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara limitatif menyebutkan kriteria penyalahgunaan keadaan. Oleh karena itu, terhadap setiap kasus harus dilihat secara obyektif-rasional mengenai situasi dan kondisi pada saat ditutupnya perjanjian dan formulasi prestasi maupun kontra prestasi pada penjanjian itu sendiri. Kesimpulan adanya penyalahgunaan keadaan secara subyektif semata tanpa melihat kriteria obyektif dapat menyebabkan ketidakpastian hukum yang mencenderai keadilan.
4. Maka untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan, indikator yang dapat menjadi patokan adalah : a. dari aspek formulasi perjanjian, prestasi dan kontra prestasi yang dibebankan kepada para pihak tidak berimbang secara mencolok dan bahkan tidak patut, dan b. dari aspek proses ditutupnya perjanjian, hal itu terjadi dikarenakan adanya pihak yang menyalahgunakan keadaan sebagai akibat memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, baik berupa kelebihan secara ekonomi ataupun psikologis.
5. Kemudian sebagaimana lazimnya dalam gugatan pembatalan perjanjian atas dasar cacat kehendak, maka tidak diperlukan unsur kerugian. Sudah cukup apabila dapat dibuktikan bahwasanya tanpa adanya penyalahgunaan keadaan, perjanjian tidak mungkin ada.
Kaidah Yurisprudensi dalam Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008 ini menarik untuk dianalisis, karena Putusan ini memperkuat temuan hukum yang telah ada sebelumnya yaitu dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3641 K/Pdt.G/2001 tanggal 11 September 2001 yang memutuskan kasus terkait penyalahgunaan keadaan atau misbruik van ostandigheiden/undue influence. Kesamaan keduanya adalah sama-sama menafsirkan bahwa salah satu pihak pembuat perjanjian yang sedang berada di tahanan kepolisian dianggap sebagai pihak yang membuat perjanjian dalam keadaan dibawah tekanan dan keadaan terpaksa oleh pihak lainnya. Keadaan ini berbeda dengan rumusan kekhilafan (dwang), atau paksaan (dwaling), atau penipuan (bedrog) dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Sehingga kaidah yurisprudensi pada Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008 ini sedikit banyak memperjelas konsep penyalahgunaan keadaan (misbruik van ostandigheiden) dalam suatu perjanjian, yang memang pengaturan dalam KUHPerdata maupun peraturan lainnya belum jelas terperinci. Perbedaan kedua putusan tersebut adalah pada obyek perjanjian dan sebab salah satu pihak berada di tahanan. Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3641 K/Pdt.G/2001, pihak Penggugat/Pemohon Kasasi berada dalam tahanan untuk kasus tindak pidana korupsi yang kemudian para tergugat/Termohon Kasasi mengajukan perjanjian jual beli atau pengalihan obyek berupa tanah dan properti. Sedangkan pada kasus posisi dalam Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008, pihak Penggugat/Pemohon Kasasi berada dalam tahanan atas laporan pihak tergugat atas tuduhan melakukan tindak pidana menyebarluaskan merek secara melawan hukum. Sehingga dapat dikatakan pada Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008 para tergugat secara sadar menciptakan keadaan yang menekan penggugat untuk mengalihkan merek miliknya.
Pada Putusan tersebut, Majelis Hakim tetap mendasarkan pada acuan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat dan unsur keabsahan perjanjian. Pada Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan, bahwa salah satu unsur dalam perjanjian yang esensial adalah adanya kesepakatan. Unsur kesepakatan diatur lebih lanjut dalam Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata. Kesepakatan sendiri merupakan kesesuaian pernyataan dengan kehendak dalam diri masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian, sehingga para pihak yang menyatakan setuju mengenai hal-hal pokok dari isi perjanjian yang dibuat memang didasarkan atas kehendak para pihak. Tampak dari rumusan tersebut maka memang wajar jika kesepakatan merupakan representasi dari asas konsensualisme. Asas konsensualisme diartikan sebagai kesepakatan. Oleh karenanya suatu perjanjian dianggap sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat yang dibuat oleh para pihak. Berdasarkan asas konsensualisme itu dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat perjanjian.
Hanya saja memang unsur kesepakatan dalam rumusan Pasal 1320 KUHPerdata tidak terdapat ketentuan lebih lanjut ataupun syarat formal apapun, sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila sudah terjadi kata sepakat, maka sahlah perjanjian itu. Sepakat dapat juga diartikan sebagai penawaran (aanbod) yang diterima oleh lawan janjinya (Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992). Kendati dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak diatur syarat formal unsur kesepakatan, namun pada Pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa kesepakatan dapat dikatakan tidak sah apabila dilakukan atas dasar kekhilafan (dwang), atau paksaan (dwaling), atau penipuan (bedrog). Maka suatu perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau paksaan atau penipuan akan menyebabkan atau menjadikan kesepakatan para pihak sebagai salah satu unsur esensial dalam perjanjian tidak sempurna, atau dengan kata lain terdapat cacat kehendak (willsgebreken). Perjanjian yang terdapat cacat kehendak akan menyebabkan atau memberikan konsekuensi perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Persoalannya adalah apakah ketentuan dalam Pasal 1321 KUHPerdata mengenai unsur kekhilafan, atau paksaan, dan/atau penipuan dalam membentuk kesepakatan dapat memenuhi semu keaadaan yang menjadi dorongan atau sebab dibuatnya kesepakatan para pihak yang merupakan cacat kehendak? Nyatanya dalam perkembangan transaksi para pihak terdapat keadaan lainnya diluar dari ketiga hal yang disebutkan pada Pasal 1321 KUHPerdata, yaitu “Penyalahgunaan Keadaan” atau misbruik van omstandigheden / undue influence. Penyalahgunaan kedaan terjadi apabila satu pihak mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, kondisi yang sedang sakit atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum meskipun ia tahu atau seharusnya ia harus mencegahnya. Lebih lanjut lagi penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian sebenarnya terdiri dari 2 (dua) kategori, yaitu: Pertama, Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomi (economische overwicht) dari satu pihak terhadap pihak lain; dan Kedua, Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologis/kejiwaan (geestelijke overwicht). Jika dikaitkan dengan kasus posisi Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008, maka Penggugat berada dalam keadaan terpaksa dalam kedua kategori. Mengapa demikian? Karena terpenuhinya syarat-syarat kategori penyaahgunaan keduanya. Prasyarat penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis adalah sebagai berikut: a. salah satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain; dan b. pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian. Sedangkan prasyarat adanya penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologis adalah sebagai berikut: a. salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, atasan dan bawahan, suami dan isteri, dokter dan pasien, pengacara dan klien dan lain sebagainnya; dan b. salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lain seperti adanya keadaan sakit, tidak berpengalaman, kurang pengetahuan, dan sebagainya.
Perjanjian menjadi batal/dapat dibatalkan karena alasan penyalahgunaan keadaan selain merupakan perwujudan asas konsensualisme, juga merupakan perwujudan asas kontemporer dalam hukum perdata yaitu asas “iustum pretium”. Asas iustum pretium mengatakan bahwa pada dasarnya perikatan yang membawa akibat kerugian finansial dari salah satu pihak adalah harus dibatalkan karena adanya penyalahgunaan keadaan.
Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008 diikuti oleh beberapa putusan hakim lain di bawahnya, antara lain: Putusan Nomor 345 K/Pdt.G/2014/PN. JKT.SEL., Putusan Nomor 36 K/Pdt.G/2019/PN. Blt., Putusan Nomor 29/Pdt.G/2019/PT. KDI., Putusan Nomor 112 K/Pdt.G/2019/PN. Tjk., dan Putusan Nomor 93 K/Pdt.G/2021/PN.Ptk. Pada Putusan Nomor 345 K/Pdt.G/2014/PN. JKT.SEL, sebenarnya tidak terlalu sesuai mendasarkan Yurisprudensi Nomor 2356 K/Pdt.G/2008, karena sebenarnya cacat perjanjiannya tidak didasarkan pada cacat kehendak karena adanya penyalahgunaan keadaan, tetapi lebih dikarenakan tidak adanya kuasa jual terhadap obyek yang diperjualbelikan. Sehingga seharusnya Putusan Nomor 345 K/Pdt.G/2014/PN. JKT.SEL., mengeluarkan dari Yurisprudensi Nomor 2356 K/Pdt.G/2008. Begitu pula untuk Putusan Nomor 29/Pdt.G/2019/PT. KDI., seharusnya tidak tepat menggunakan Yuriprudensi Nomor 2356 K/Pdt.G/2008, karena keadaan terpaksa penggugat disebabkan karena dalam keadaan berbeda daerah yang membutuhkan jarak yang jauh untuk hadir dalam membuat perjanjian. Sama halnya dengan Putusan Nomor 36 K/Pdt.G/2019/PN. Blt., Putusan Nomor 112 K/Pdt.G/2019/PN. Tjk, dan Putusan Nomor 93 K/Pdt.G/2021/PN.Ptk tidak dapat menggunakan Yurisprudensi Nomor 2356 K/Pdt.G/2008 karena Penggugat membuat perjanjian bukan karena dalam keadaan dibawah tekanan, melainkan karena kelalaian, sehingga ini sebenarnya lebih merujuk pada kasus dan yurisprudensi perbuatan melawan hukum akibat kelalaian pihak tergugat.
Dengan demikian dari analisis terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam kaidah yurisprudensi Putusan Nomor 2356 K/Pdt.G/2008 tersebut didapat beberapa kaidah yurisprudensi yang dapat dijadikan pegangan bagi perkara sejenis, yaitu:
1. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka dalam kasus adanya penyalahgunaan keadaan ini, Majelis Hakim harus mengkaji dan melihat ada atau tidaknya kedudukan para pihak berada dalam keadaan yang tidak seimbang akibat adanya kategori dan syarat penyalahgunaan keadaan, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas menyatakan kehendaknya.2. Karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara jelas dan terperinci mengatur mengenai penyalahgunaan keadaan, maka untuk perjanjian yang bersifat terbuka, Majelis Hakim perlu melihat atau merujuk pada nilaii-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan kepatutan, keadilan, perikemanusiaan dapat dipakai sebagai upaya perubahan terhadap ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam perjanjian.
3. Penilaian ada tidaknya penyalahgunaan keadaan harus dilakukan secara kasuistis. Berhubung hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara limitatif menyebutkan kriteria penyalahgunaan keadaan. Oleh karena itu, terhadap setiap kasus harus dilihat secara obyektif-rasional mengenai situasi dan kondisi pada saat ditutupnya perjanjian dan formulasi prestasi maupun kontra prestasi pada penjanjian itu sendiri. Kesimpulan adanya penyalahgunaan keadaan secara subyektif semata tanpa melihat kriteria obyektif dapat menyebabkan ketidakpastian hukum yang mencenderai keadilan.
4. Maka untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan, indikator yang dapat menjadi patokan adalah : a. dari aspek formulasi perjanjian, prestasi dan kontra prestasi yang dibebankan kepada para pihak tidak berimbang secara mencolok dan bahkan tidak patut, dan b. dari aspek proses ditutupnya perjanjian, hal itu terjadi dikarenakan adanya pihak yang menyalahgunakan keadaan sebagai akibat memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, baik berupa kelebihan secara ekonomi ataupun psikologis.
5. Kemudian sebagaimana lazimnya dalam gugatan pembatalan perjanjian atas dasar cacat kehendak, maka tidak diperlukan unsur kerugian. Sudah cukup apabila dapat dibuktikan bahwasanya tanpa adanya penyalahgunaan keadaan, perjanjian tidak mungkin ada.
PENETAPAN KEADAAN
TERPAKSA “MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN” DALAM MEMBUAT PERJANJIAN HARUS MEMENUHI
SYARAT KEADAAN MEMAKSA
Hal
yang penting dibahas dalam perkara ini adalah pandangan Mahkamah Agung bahwa
dalam hal terjadi sengketa perjanjian jual beli, maka harus mempertimbangkan
keadaan para pihak pada saat membuat perjanjian jual beli. Keadaan para pihak
harus memenuhi unsur Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian jual beli tidak boleh
dibuat dibawah tekanan dalam keadaan terpaksa.
Dalam kasus ini Budi Haliman
Halim adalah pemilik sah satu-satunya sertifikat merek dari Etiket merek ARISE
SHINE CES dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cq. Direktorat
Merek, dengan nomor pendaftaran 477275 tanggal 22 Mei 2001 dan sejak
mendaftarkan dan menggunakan merek tersebut tidak pernah ada keberatan. Budi
Haliman Halim dilaporkan ke Polwiltabes Semarang oleh Yayasan HWA ING FONDS dan
Lo Iwan Setia Dharma atas pelanggaran Hak Cipta Penggunaan Logo ARISE SHINE
CES. Selama dalam tahanan, Yayasan HWA ING FONDS telah memaksa Budi Haliman
Halim mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli yaitu mengalihkan merek
miliknya dengan cara menjual merek ARISE SHINE CES kepada Yayasan HWA ING FONDS
sebesar Rp.150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah), walaupun uang itu pada
kenyataannya tidak pernah diterima oleh Budi Haliman Halim. Budi Haliman Halim
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Semarang yang telah mengambil putusan
dalam perkara no.237/Pdt.G/2006 yang pada pokoknya mengabulkan gugatan Budi
Haliman Halim sebagian, diantaranya menyatakan perjanjian perdamaian dan
perjanjian jula beli merek yang dibuat dan ditandatangani oleh Lo Iwan Setia
Dharma dengan Budi Haliman Halim pada tanggal 6 Oktober 2006, batal demi hukum.
Atas putusan Pengadilan Negeri Semarang tersebut Yayasan HWA ING FONDS dan Lo
Iwan Setia Dharma mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang yang
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Semarang dengan putusan
No.45/Pdt/2008/Pt.Smg. dengan amar putusan menolak gugatan untuk seluruhnya.
Putusan ini dinaikkan ke tingkat kasasi dalam perkara No.2356 K/Pdt/2008,
Mahkamah Agung RI mengadili memberi pendapat bahwa Judex Factie (Pengadilan
Tinggi Semarang) telah salah menerapkan hukum. Bunyi amar putusannya:
“MENGADILI: Mengabulkan permohonan kasasi dan Pemohon Kasasi: Budi Haliman
Halim tersebut: membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang
No.45/Pdt/2008/PT.Semarang tanggal 17 Maret 2008 yang membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Semarang No.237/Pdt.G/2006/PN.Semarang tanggal 28 Juni 2008
tersebut; MENGADILI SENDIRI: DALAM KONSEPSI, DALAM EKSEPSI: Menolak Eksepsi
Tegugat I dan Tergugat II; DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan Gugatan
Penggugat untuk sebagaian;
2. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah
melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menyatakan Penggugat Pemilik Merek Sah
dan berkekuatan hukum atas Sertifikat Merek ARISE SHINE CES Nomor Pendaftaran
477275 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Cq.
Direktorat Merek tanggal pendaftaran 22 Mei 2001;
4. Menyatakan Perjanjian
Perdamaian dan Perjanjian Jual Beli Merek yang dibuat dan ditanda tangani oleh
Tergugat II dengan Penggugat pada tanggal 6 Oktober 2006 batal demi hukum;
5.
Menghukum dan memerintahkan Tergugat I dan Tergugat II untuk mengembalikan
Sertifikat Merek ARISE SHINE CES Nomor Pendaftaran 477275 tanggal pendaftaran
22 Mei 2001 kepada Penggugat;
6. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk
membayar uang paksa sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) dalam setiap hari
keterlambatan dalam memenuhi isi putusan saat ini mempunyai kekuatan hukum yang
tetap;
7. Menyatakan Turut Tergugat tunduk pada putusan ini;
8. Menolak gugatan
Penggugat untuk selebihnya;
9. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar
biaya perkara;
DALAM REKONPENSI:
-
Menolak gugatan para Pengguggat Dalam Rekonpensi (dahulu Tergugat I dan
Tergugat II Dalam Konpensi) untuk seluruhnya;
-
Menghukum para Penggugat Dalam Rekonpensi membayar biaya perkara; Menghukum
para Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan
yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.500.000,-(lima ratus ribu
rupiah).”
Sebuah perjanjian adalah sah Ketika memenuhi syarat yang tertuang
dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, antarlain:
1. kesepakatan mereka yang
mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok
persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Syarat pertama dan
kedua, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat
suatu perikatan disebut syarat subjektif. Hal ini karena kedua syarat ini
berkaitan dengan subjek dari perjanjian. Sayarat ketiga dan keempat, suatu
pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang disebut syarat
objektif karena berkaitan dengan objek dari perjanjian. Tidak dipenuhinya
syarat subjektif berakibat perjanjian dapat dibatalkan (voidable). Apabila
syarat objektif yang tidak terpenuhi, berakibat perjanjian batal demi hukum
(null and void).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Judex
Factie (Pengadilan Tinggi) telah salah menerapkan hukum: bahwa Pengadilan
Tinggi tidak mempertimbangkan keadaan Penggugat pada saat dibuatnya perjanjian
jual beli, yakni Penggugat ditahan oleh Polisi karena laporan dari Tergugat I
dan Tergugat II untuk menekan Penggugat agar mau membuat atau menyetujui
perjanjian jual beli tersebut. Hal ini adalah merupakan Misbruik van
Omstandigheden yang dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan karena
tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUHPerdata yaitu tidak ada kehendak
yang bebas dari pihak Penggugat.
Berkaitan dengan syarat sah perjanjian yang
pertama yaitu syarat kesepakatan bahwa yang dimaksud dengan kesepakatan ialah
adanya persesuaian pernyataan dengan kehendak dalam diri masing-masing pihak
yang terlibat dalam perjanjian sehingga para pihak setuju mengenai hal-hal
pokok dari isi perjanjian yang dibuat. Syarat kesepakatan merupakan
representasi dari asas konsensualisme. Asas konsensualisme berarti kesepakatan,
yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata
sepakat. Berdasarkan asas konsensualisme itu dianut paham bahwa sumber
kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau
konsensus para pihak yang membuat perjanjian. Menurut Soebekti dalam bukunya
Aneka Perjanjian bahwa “dengan disebutkan hanya sepakat saja dalam Pasal 1320
KUHPerdata tanpa dituntut formalitas apapun, dapat disimpulkan bahwa apabila
sudah terjadi kata sepakat, maka sahlah perjanjian itu. Sepakat dapat juga
diartikan sebagai penawaran (aanbod) yang diterima oleh lawan janjinya.”
Pasal
1321 KUHPerdata menyebutkan “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan
jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Perjanjian yang dilahirkan dengan ketiga unsur ini didalamnya adalah cacat
kehendak yang berakibat perjanjian dapat dibatalkan. Selain kekhilafan, paksaan
dan penipuan terdapat bentuk cacat kehendak yang tidak diatur dalam KUHPerdata,
tetapi diakui melalui yurisprudensi yaitu penyalahgunaan kehendak Misbruik van
Omstandigheden.
Menurut Ahmad Miru, sebagaimana dikutip oleh Fatmah Paparang
dalam tulisannya di Jurnal Hukum Unsrat “penyalahgunaan keadaan terjadi apabila
orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan
khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berfikir panjang,
keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan
suatu pebuatan hukum meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti sebenarnya ia
harus mencegahnya”.
Penerapan penyalahgunaan kehendak dalam menangi sengketa
perjanjian sifatnya sangat kasusitis. Terkait dengan doktrin penyalahgunaan
keadaan, maka ada beberapa syarat yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan
apakah suatu perjanjian yang telah dibuat mengandung penyalahgunaan keadaan di
dalamnya. Syarat yang pertama adalah salah satu pihak harus mempunyai
keunggulan baik secara ekonomi atau kejiwaan terhadap pihak yang lain. Sementara
syarat yang kedua adalah adanya pihak lain yang terpaksa karena keadaannya yang
lebih lemah dari pihak yang unggul pada saat mengadakan perjanjian dengan pihak
yang lebih unggul tersebut. Yang dimaksud dengan kata “terpaksa” bukan paksaan
sebagaimana yang dimaksud dalam cacat kehendak yang telah dikenal seperti
paksaan dari pihak luar/secara fisik, tetapi terpaksa karena adanya suatu
keadaan baik secara ekonomi ataupun kejiwaan. Untuk dapat dikategorikan sebagai
keadaan terpaksa dalam penyalahgunaan keadaan, ada kriteria yang harus
dipenuhi. Nieuwenhuis mengemukakan ada empat syarat untuk dapat dikatakan
terdapat penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian, yaitu:
1. Keadaan-keadaan
istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti keadaan darurat,
2. Ketergantungan,
ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak berpengalaman;
3. Suatu hal yang
nyata (kenbaarheid);
4. Penyalahgunaan (mibsruik);
5. Hubungan kausal (causal
verband).
Keadaan istimewa dimaksudkan keadaan seseorang yang memiliki
keunggulan dan kelebihan baik dari segi ekonomi maupun kekuasaan yang
menimbulkan ketergnatungan dari pihak yang lemah. Sehingga pihak yang lemah
terpaksa menyetujui isi perjanjian. Keadaan istimewa ini juga berlaku dalam
keadaan darurat, dimana pihak yang berada dalam keadaan darurat, untuk
mendapatkan bantuan segera, terpaksa menyetujui perjanjian. Keadaan yang nyata,
maksudnya pihak yang berada dalam posisi istimewa, mengetahui pihak yang lebih
lemah tidak berada dalam kehendak yang bebas untuk menyetujui perjanjian yang
dibuat. Misbruik dimaksudkan bahwa salah satu pihak melaksanakan perjanjian
meskipun mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa ia tidak seharusnya
menerima perjanjian itu. Hubungan kausal akan terpenuhi apabila ada hubungan
sebab akibat antara penyalahgunaan keadaan yang terjadi dengan persetujuan yang
diberikan.
Terdapat dua jenis penyalahgunaan keadaan antara lain:
penyalahgunaan keunggulan ekonomi dan penyalahgunaan keunggulan kejiwaan.
Adapun faktor-faktor yang memberikan petunjuk bahwa adanya penyalahgunaan
keunggulan ekonomi adalah:
1. Adanya syarat-syarat yang diperjanjikan, yang
sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau yang bertentangan dengan
perikemanusiaan (onredelyke contractsvoorwarden atau unfair contrac-terms);
2.
Pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie);
3. Apabila
terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan-pilihan lain kecuali
mengadakan perjanjian aquo dengan syarat-syarat yang memberatkan;
4. Nilai dari
hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan
prestasi timbal balik dari para pihak.
Penyalahgunaan keunggulan ekonomi
berakibat pada timbulnya kerugian objektif atau kerugian material.
Adapun
syarat-syarat agar suatu keadaan dapat dikatakan mengandung penyalahgunaan
keunggulan psikologis yaitu:
1. Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan
relatif. Misalnya, terdapat salah satu pihak yang memiliki kekuasaan atau
kehormatan tertentu seperti pemuka agama, dokter, polisi, tentara atau profesi
lain yang erat hubungannya dengan kehormatan tertentu menyalahgunakan keadaan
yang ada pada dirinya tersebut untuk memaksa pihak yang lebih normal (orang
biasa) dalam membuat perjanjian tertentu.
2. Salah satu pihak menyalahgunakan
keadaan jiwa yang istimewa. Misalnya, pihak yang lebih lemah tersebut mengalami
depresi, gegabah, kurang pengetahuan dan sakit. Bahkan bisa terjadi juga dalam
hal pihak lawannya tersebut sedang mengalami masalah berat sehingga tidak bisa
berpikir dengan akal sehat. Penyalahgunaan keunggulan kejiwaan berakibat timbulnya
kerugian subjektif, immaterial atau tidak berwujud.
Budi Haliman Halim dan
Yayasan HWA ING FONDS sepakat mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli
merek. Perjanjian tersebut disepakati pada saat Budi Haliman Halim berada di
tahanan. Merujuk ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, sepakat telah dicapai. Pasal
1321 lebih lanjut menyatakan bahwa sepakat yang merupakan bentuk dari kebebasan
kehendak tidak boleh dicapai dengan kekhilafan, paksaan dan penipuan. Lebih
lanjut dalam perkembangannya, tiga keadaan tersebut ditambah dengan kehadiran
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang tidak diatur dalam
KUHPerdata. Kensekuensinya adalah pelanggaran asas konsensualisme dalam membuat
perjanjian sebagai mana yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Keadaan Budi
Haliman Halim yang berada pada posisi yang lemah dan dibawah tekanan, menjadi
dasar perjanjian yang dibuat adalah cacat.
Putusan Nomor 2356 K/Pdt/2008,
Mahkamah Agung menggunakan keadaan Budi Haliman Halim sebagai bahan
pertimbangan. Keadaan Budi Haliman Halim yang berada dalam tahanan,
menyebabkannya tidak dapat menyepakati perjanjian dengan kehendak bebas.
Kesepakatan dalam perjanjian tersebut dicapai dengan penyalahgunaan keadaan dan
memenuhi empat syarat yang dikemukakan Nieuwenhuis. Yayasan HWA ING FONDS yang
berada pada posisi istimewa memanfaatkan keunggulannya untuk membuat Budi
Haliman Halim yang berada pada posisi ketergantungan dan darurat menyetujui
perjanjian tersebut. Yayasan HWA ING FONDS yang secara nyata mengetahui
perjanjian tersebut bertujuan memperoleh sesuatu dengan paksaan tetap
melaksanakan perjanjian tersebut. Sehingga terpenuhi hubungan sebab akibat yang
muncul dari perjanjian. Dengan demikian syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat
para pihak tidak terpenuhi. Perjanjian jual beli merek ini menjadi cacat dan
dapat dibatalkan (voidable). Mahkamah Agung tepat memperhatikan posisi Budi
Haliman Halim yang menyepakati perjanjian jual beli merek dengan terpaksa yang
merupakan misbruik van omstandigheden. Penyalahgunaan keadaan yang terjadi
adalah penyalahgunaan keunggulan kejiwaan yang berakibat kerugian subjektif,
immaterial bagi Budi Haliman Halim.
Mahkamah Agung dengan putusannya
menguggurkan putusan Judex Factie adalah tepat karena perjanjian harus dibuat
dengan adanya kebebasan kehendak dari para pihak. Para pihak yang membuat
perjanjian harus berada pada kedudukan yang sama. Tidak dibenarkan salah satu
pihak diuntungkan sementara pihak lain mengalami kerugian. Hal ini bertentangan
dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata sepakat mereka yang mengikatkan diri.
Keadaan ini berdampak pada syarat sahnya perjanjian suatu sebab yang tidak
dilarang. Ketimpangan posisi antara Budi Haliman Halim dan Yayasan HWA ING
FONDS menimbulkan penafsiran yang kemudian dapat dikualifikasi sebagai upaya
Yayasan HWA ING FONDS untuk menguasai merek ARISE SHINE CES secara melawan
hukum.