Karakterisasi Yurisprudensi No : 98 K TUN 1998
Bahwa tanah yang berasal dari hak barat (Eingendom) telah kembali kepada Negara, maka Lurah dan Camat tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat keterangan tentang Status Kepemilikan atas tanah tersebut.
1. Judex Factie telah mempertimbangkan bahwa Penggugat asal (Pemohon Kasasi) tidak ada pembuktiannya atas isi Surat Keterangan Kepala Kelurahan yang dijadikan dasar pemberian hak yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah, maka dalil tersebut harus dikesampingkan (vide putusan PTUN halaman 71). Padahal, tanah tersebut beradal dari hak barat (eigendom) yang telah kembali kepada Negara, dengan demikian Lurah dan Camat tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat Keterangan tentang status Kepemilikan atas tanah tersebut, yang berarti terbitnya Sertifikat Hak Milik No. 224 dan No. 225 yang menjadi objek dalam perkara ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
2. Bahwa sebelum Surat Keterangan Kepala Kelurahan tersebut terbit, ternyata Penggugat telah memperoleh status hak milik atas tanah yang dimaksud dalam SHM objek sengketa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Agraria tanggal 15 Juli 1963 No. SK.l/376/KaJ63 (vide bukti P.IA), bukti mana kemudian oleh Judex Factie ditafsirkan secara keliru dengan pertimbangan: "karena belum memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam P-IA (in casu pemberian tanda batas dan melakukan pendaftaran tanah) maka pemberian hak tersebut menjadi batal, dan selanjutnya tanah kembali menjadi milik Negara" (vide putusan P.TUN halaman 70);.
3. Padahal dalam bukti P.IA tersebut tidak terdapat clasula yang memberi batas waktu sebagaimana dimaksud oleh Judex Factie, lebih-lebih lagi Penggugat telah dinyatakan sebagai pemilik yang sah dan berhak untuk mendirikan bangunan di atasnya (vide bukti P.2).
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, nampak Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah dalam menerbitkan Surat Keputusan tanggal 18 Agustus 1987 No. SK.DA.II/HGB/662/I/1929/87 tidak menerapkan Azas-azas Umum pemerintahan yang baik (the Principle of good Government), maka terbitnya Sertifikat Hak Milik No. 224 dan Sertifikat Hak Milik No. 225 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor I0 Tahun 1961, sehingga hams dinyatakan batal demi hukum.
LURAH DAN CAMAT TIDAK BERWENANG MENGELUARKAN SURAT KETERANGAN TENTANG STATUS KEPEMILIKAN ATAS TANAH
Perkara dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara terkait dengan Pembatalan 2 (dua) Sertifikat Hak Milik (SHM) yaitu SHM No. 224 dan SHM No. 225 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam perkara ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan dengan diterbitkannya SHM No. 224 tertanggal 19 Juni 1992 atas nama Adi Suharno (in casu Pihak Intervensi 1) dan SHM No. 225 tertanggal 19 Juni 1992 atas nama Reddy Soesanto (in casu Pihak Intervensi 2) yang terletak di Kelurahan Gajahmungkur, Kecamatan Gajahmungkur, Kotamadya Semarang oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang (in casu Tergugat) karena Penggugat telah diberikan hak status hak milik atas tanah tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53 tertanggal 15 Juli 1963. Selain itu, Penggugat mendalilkan dasar/syarat pengajuan pemberian hak atas tanah tersebut yaitu Surat Keterangan Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah adalah tidak benar/palsu. Dahulu sebidang tanah yang tercantim dalam SHM No. 224 dan SHM No. 225 (selanjutnya disebut Objek Sengketa) merupakan sebidang tanah dengan dasar eigendom (hak barat) yang kemudian menjadi tanah negara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria No. SK-292/KA tertanggal 16 Oktober 1958. Tanah negara tersebut kemudian diberikan status kepemilikannya kepada Penggugat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53 tertanggal 15 Juli 1963, tetapi dikarenakan Penggugat mengalami kesulitan dalam melakukan pendaftaran tanah serta hanya dapat melakukan proses pembayaran uang pemasukan negara yang mengakibatkan tanah tersebut kembali menjadi tanah negara. Pada tanggal 18 Agustus 1987, Kepala Kelurahan mengeluarkan Surat Keterangan Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah, yang kemudian dijadikan dasar/syarat pengajuan penerbitan SK Gubernur Jawa Tengah No. SK.DA.II/HGB/662/I/1929/87 yang pada pokoknya memberikan hak atas tanah tersebut kepada Agung Bunakur Partowidjojo, yang kemudian dilakukan beberapa kali peralihan dan terakhir terbit bukti kepemilikan hak atas tersebut yaitu Objek Sengketa.
Penggugat mengajukan gugatan sengketa tata usaha negara terhadap Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang ke PTUN Semarang untuk membatalkan Objek Sengketa dengan dasar hak status hak milik atas tanah tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53 tertanggal 15 Juli 1963 serta Surat Keterangan Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah yang dijadikan dasar/syarat pengajuan adalah tidak benar/palsu. PTUN Semarang berdasarkan Putusan No. 11/G/TUN/TN/1997/PTUN.SMG memutuskan menolak gugatan Penggugat dikarenakan Objek Sengketa telah diterbitkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Penggugat tidak dapat membuktikan Surat Keterangan Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah yang dijadikan dasar/syarat pengajuan adalah tidak benar/palsu. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya berdasarkan Putusan No. 91/B/TUN/1997/PT. TUN.SBY memutuskan menguatkan Putusan PTUN Semarang. Sedangkan di tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (dahulu Penggugat) dengan mengadili sendiri dengan amar putusan: Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi dan Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya No. 91/B/TUN/1997/PT. TUN.SBY jo. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No. 11/G/TUN/TN/1997/PTUN.SMG serta mengadili sendiri : mengabulkan gugatan penggugat, menyatakan batal objek sengketa dan menghukum Tergugat untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat terhadap objek gugatan.
Analisa :
Perkara tersebut merupakan kompetensi absolut (kewenangan absolut) dari badan peradilan Tata Usaha Negara karena berkaitan dengan pembatalan beschikking (in casu objek sengketa) karena fungsi dan kewenangan dari Badan Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai beschikking apakah bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) atau tidak. Kewenangan tersebut didasarkan pada pemeriksaan penerbitan beschikking secara prosedural atau substansi.
Dalam perkara ini, prosedur dari penerbitan objek sengketa bertentangan dengan PP No. 10 Tahun 1961, karena dasar dari penerbitan objek sengketa yaitu Surat Keterangan Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah, yang kemudian dijadikan dasar penerbitan SK Gubernur Jawa Tengah No. SK.DA.II/HGB/662/I/1929/87 diterbitkan dengan melanggar/bertentangan dengan syarat material keabsahan suatu keputusan in casu dibuat oleh organ pemerintahan yang berwenang, Walapun bukan Surat Keterangan Kepala Kelurahan tersebut yang menjadi objek sengketa tetapi Surat kepala kelurahan tersebut menjadi salah satu dasar/syarat pengajuan penerbitan Objek sengketa yang mengakibatkan objek sengketa tersebut batal karena secara prosedural penerbitannya melanggar Peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, Lurah/Kepala Desa dapat mengeluarkan Surat Keterangan status kepemilikan atas tanah yang didasarkan pada tanah yang didasarkan pada hak ulayat, sedangkan Surat Keterangan status kepemilikan tanah untuk tanah yang didasarkan pada eigendom atau tanah negara bukan merupakan kewenangan dari Lurah/Kepala Desa melainkan kewenangan dari Kantor Pertanahan Nasional. Sehingga karenanya, kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 masih relevan.
Tetapi, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 terdapat salah satu pertimbangan yang menyatakan Penggugat telah memperoleh status hak milik berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53 yang dijadikan dasar bagi Majelis Hakim Kasasi untuk menghukum Tergugat menerbitkan SHM untuk Penggugat. Hal ini akan menjadi bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 445K/TUN/2005 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 61K/TUN/2006 jo. Putusan Mahkamah Agung No. 383 K/Sip/1971 jo. Putusan Mahkamah Agung No. 88 K/TUN/1993, karena fakta hukum yang tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 yaitu Penggugat telah mengajukan 3 (tiga) gugatan perdata di Pengadilan Semarang yaitu:
1. Putusan Pengadilan Semarang No. 73/Pdt/1970/PN.Smg jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 290/1972/PT.Smg yang pada pokoknya memutuskan Gugatan Penggugat tidak berdasarkan hukum;
2. Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 47/Pdt/1989/PN.Smg jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 135/Pdt/1991/PT.Smg yang pada pokoknya memutuskan Gugatan Penggugat tidak dapat diterima (N.O);
3. Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 108/Pdt.G/1991/PN. Smg jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 108/Pdt/1994/PT.Smg jo. Putusan Mahkamah Agung No. 2704 K/Sip/Pdt/1994 yang pada pokoknya memutuskan menolak gugatan Penggugat.
Dari ketiga perkara perdata tersebut, tidak terdapat Putusan Pengadilan yang menunjukkan siapa yang berhak atas tanah tersebut, sehingga Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 telah keliru dengan mengesampingkan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang memberikan kewenangan bagi Peradilan Umum (Perdata) untuk menilai sengketa kepemilikan guna menunjukkan pemilik yang sah atas suatu tanah. Tetapi untuk kaidah hukum berkaitan dengan Lurah dan Camat tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat Keterangan tentang status tanah negara yang berasal dari hak barat (eigendom) adalah tepat karena masih dalam kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk menilai kebasahan suatu prosedur penerbitan dari beschikking.
Dengan demikian, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 masih relevan sepanjang kaidah hukum berkaitan dengan Lurah dan Camat tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat Keterangan tentang status tanah negara yang berasal dari hak barat (eigendom) tetapi untuk menghukum Tergugat untuk menerbitkan SHM atas nama Penggugat akan bertentangan dengan Yurisprudensi lain yang mengakibatkan tidak dapat dijadikan kaidah hukum dalam Yurisprudensi.
LURAH DAN CAMAT TIDAK BERWENANG MENGELUARKAN SURAT KETERANGAN TENTANG STATUS KEPEMILIKAN ATAS TANAH
Perkara
dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara terkait dengan Pembatalan 2 (dua) Sertifikat Hak Milik
(SHM) yaitu SHM No. 224 dan SHM No. 225 bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam
perkara ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan dengan
diterbitkannya SHM No. 224 tertanggal 19 Juni 1992 atas nama Adi Suharno
(in casu Pihak Intervensi 1) dan SHM No. 225 tertanggal 19 Juni 1992
atas nama Reddy Soesanto (in casu Pihak Intervensi 2) yang terletak di
Kelurahan Gajahmungkur, Kecamatan Gajahmungkur, Kotamadya Semarang oleh
Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang (in casu Tergugat) karena
Penggugat telah diberikan hak status hak milik atas tanah tersebut
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53
tertanggal 15 Juli 1963. Selain itu, Penggugat mendalilkan dasar/syarat
pengajuan pemberian hak atas tanah tersebut yaitu Surat Keterangan
Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah adalah tidak
benar/palsu. Dahulu sebidang tanah yang tercantim dalam SHM No. 224 dan
SHM No. 225 (selanjutnya disebut Objek Sengketa) merupakan sebidang
tanah dengan dasar eigendom (hak barat) yang kemudian menjadi tanah
negara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria No. SK-292/KA
tertanggal 16 Oktober 1958. Tanah negara tersebut kemudian diberikan
status kepemilikannya kepada Penggugat berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53 tertanggal 15 Juli 1963,
tetapi dikarenakan Penggugat mengalami kesulitan dalam melakukan
pendaftaran tanah serta hanya dapat melakukan proses pembayaran uang
pemasukan negara yang mengakibatkan tanah tersebut kembali menjadi tanah
negara. Pada tanggal 18 Agustus 1987, Kepala Kelurahan mengeluarkan
Surat Keterangan Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah,
yang kemudian dijadikan dasar/syarat pengajuan penerbitan SK Gubernur
Jawa Tengah No. SK.DA.II/HGB/662/I/1929/87 yang pada pokoknya memberikan
hak atas tanah tersebut kepada Agung Bunakur Partowidjojo, yang
kemudian dilakukan beberapa kali peralihan dan terakhir terbit bukti
kepemilikan hak atas tersebut yaitu Objek Sengketa.
Penggugat
mengajukan gugatan sengketa tata usaha negara terhadap Kepala Kantor
Pertanahan Kota Semarang ke PTUN Semarang untuk membatalkan Objek
Sengketa dengan dasar hak status hak milik atas tanah tersebut
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53
tertanggal 15 Juli 1963 serta Surat Keterangan Kepala Kelurahan tentang
status kepemilikan atas tanah yang dijadikan dasar/syarat pengajuan
adalah tidak benar/palsu. PTUN Semarang berdasarkan Putusan No.
11/G/TUN/TN/1997/PTUN.SMG memutuskan menolak gugatan Penggugat
dikarenakan Objek Sengketa telah diterbitkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan Penggugat tidak dapat membuktikan Surat
Keterangan Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah yang
dijadikan dasar/syarat pengajuan adalah tidak benar/palsu. Di tingkat
banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya berdasarkan
Putusan No. 91/B/TUN/1997/PT. TUN.SBY memutuskan menguatkan Putusan PTUN
Semarang. Sedangkan di tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (dahulu Penggugat) dengan
mengadili sendiri dengan amar putusan: Mengabulkan permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi dan Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Surabaya No. 91/B/TUN/1997/PT. TUN.SBY jo. Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Semarang No. 11/G/TUN/TN/1997/PTUN.SMG serta mengadili
sendiri : mengabulkan gugatan penggugat, menyatakan batal objek
sengketa dan menghukum Tergugat untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik
atas nama Penggugat terhadap objek gugatan.
Analisa :
Perkara
tersebut merupakan kompetensi absolut (kewenangan absolut) dari badan
peradilan Tata Usaha Negara karena berkaitan dengan pembatalan
beschikking (in casu objek sengketa) karena fungsi dan kewenangan dari
Badan Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai beschikking apakah
bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan dan Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB) atau tidak. Kewenangan tersebut didasarkan
pada pemeriksaan penerbitan beschikking secara prosedural atau
substansi.
Dalam perkara ini, prosedur dari
penerbitan objek sengketa bertentangan dengan PP No. 10 Tahun 1961,
karena dasar dari penerbitan objek sengketa yaitu Surat Keterangan
Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah, yang kemudian
dijadikan dasar penerbitan SK Gubernur Jawa Tengah No.
SK.DA.II/HGB/662/I/1929/87 diterbitkan dengan melanggar/bertentangan
dengan syarat material keabsahan suatu keputusan in casu dibuat oleh
organ pemerintahan yang berwenang, Walapun bukan Surat Keterangan Kepala
Kelurahan tersebut yang menjadi objek sengketa tetapi Surat kepala
kelurahan tersebut menjadi salah satu dasar/syarat pengajuan penerbitan
Objek sengketa yang mengakibatkan objek sengketa tersebut batal karena
secara prosedural penerbitannya melanggar Peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, Lurah/Kepala Desa dapat
mengeluarkan Surat Keterangan status kepemilikan atas tanah yang
didasarkan pada tanah yang didasarkan pada hak ulayat, sedangkan Surat
Keterangan status kepemilikan tanah untuk tanah yang didasarkan pada
eigendom atau tanah negara bukan merupakan kewenangan dari Lurah/Kepala
Desa melainkan kewenangan dari Kantor Pertanahan Nasional. Sehingga
karenanya, kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998
masih relevan.
Tetapi, dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 98 K/TUN/1998 terdapat salah satu pertimbangan yang menyatakan
Penggugat telah memperoleh status hak milik berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53 yang dijadikan dasar bagi
Majelis Hakim Kasasi untuk menghukum Tergugat menerbitkan SHM untuk
Penggugat. Hal ini akan menjadi bertentangan dengan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 445K/TUN/2005 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 61K/TUN/2006
jo. Putusan Mahkamah Agung No. 383 K/Sip/1971 jo. Putusan Mahkamah Agung
No. 88 K/TUN/1993, karena fakta hukum yang tidak dipertimbangkan oleh
Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 yaitu
Penggugat telah mengajukan 3 (tiga) gugatan perdata di Pengadilan
Semarang yaitu:
1. Putusan Pengadilan Semarang No.
73/Pdt/1970/PN.Smg jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.
290/1972/PT.Smg yang pada pokoknya memutuskan Gugatan Penggugat tidak
berdasarkan hukum;
2. Putusan Pengadilan Negeri
Semarang No. 47/Pdt/1989/PN.Smg jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
No. 135/Pdt/1991/PT.Smg yang pada pokoknya memutuskan Gugatan Penggugat
tidak dapat diterima (N.O);
3. Putusan Pengadilan
Negeri Semarang No. 108/Pdt.G/1991/PN. Smg jo. Putusan Pengadilan Tinggi
Semarang No. 108/Pdt/1994/PT.Smg jo. Putusan Mahkamah Agung No. 2704
K/Sip/Pdt/1994 yang pada pokoknya memutuskan menolak gugatan Penggugat.
Dari
ketiga perkara perdata tersebut, tidak terdapat Putusan Pengadilan yang
menunjukkan siapa yang berhak atas tanah tersebut, sehingga
Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98
K/TUN/1998 telah keliru dengan mengesampingkan Yurisprudensi Mahkamah
Agung yang memberikan kewenangan bagi Peradilan Umum (Perdata) untuk
menilai sengketa kepemilikan guna menunjukkan pemilik yang sah atas
suatu tanah. Tetapi untuk kaidah hukum berkaitan dengan Lurah dan Camat
tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat Keterangan tentang status tanah
negara yang berasal dari hak barat (eigendom) adalah tepat karena masih
dalam kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk menilai kebasahan
suatu prosedur penerbitan dari beschikking.
Dengan
demikian, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 masih relevan
sepanjang kaidah hukum berkaitan dengan Lurah dan Camat tidak berwenang
untuk mengeluarkan Surat Keterangan tentang status tanah negara yang
berasal dari hak barat (eigendom) tetapi untuk menghukum Tergugat untuk
menerbitkan SHM atas nama Penggugat akan bertentangan dengan
Yurisprudensi lain yang mengakibatkan tidak dapat dijadikan kaidah hukum
dalam Yurisprudensi.
LURAH DAN CAMAT TIDAK BERWENANG MENGELUARKAN SURAT KETERANGAN TENTANG STATUS KEPEMILIKAN ATAS TANAH
Perkara
dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara terkait dengan Pembatalan 2 (dua) Sertifikat Hak Milik
(SHM) yaitu SHM No. 224 dan SHM No. 225 bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam
perkara ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan dengan
diterbitkannya SHM No. 224 tertanggal 19 Juni 1992 atas nama Adi Suharno
(in casu Pihak Intervensi 1) dan SHM No. 225 tertanggal 19 Juni 1992
atas nama Reddy Soesanto (in casu Pihak Intervensi 2) yang terletak di
Kelurahan Gajahmungkur, Kecamatan Gajahmungkur, Kotamadya Semarang oleh
Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang (in casu Tergugat) karena
Penggugat telah diberikan hak status hak milik atas tanah tersebut
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53
tertanggal 15 Juli 1963. Selain itu, Penggugat mendalilkan dasar/syarat
pengajuan pemberian hak atas tanah tersebut yaitu Surat Keterangan
Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah adalah tidak
benar/palsu. Dahulu sebidang tanah yang tercantim dalam SHM No. 224 dan
SHM No. 225 (selanjutnya disebut Objek Sengketa) merupakan sebidang
tanah dengan dasar eigendom (hak barat) yang kemudian menjadi tanah
negara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria No. SK-292/KA
tertanggal 16 Oktober 1958. Tanah negara tersebut kemudian diberikan
status kepemilikannya kepada Penggugat berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53 tertanggal 15 Juli 1963,
tetapi dikarenakan Penggugat mengalami kesulitan dalam melakukan
pendaftaran tanah serta hanya dapat melakukan proses pembayaran uang
pemasukan negara yang mengakibatkan tanah tersebut kembali menjadi tanah
negara. Pada tanggal 18 Agustus 1987, Kepala Kelurahan mengeluarkan
Surat Keterangan Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah,
yang kemudian dijadikan dasar/syarat pengajuan penerbitan SK Gubernur
Jawa Tengah No. SK.DA.II/HGB/662/I/1929/87 yang pada pokoknya memberikan
hak atas tanah tersebut kepada Agung Bunakur Partowidjojo, yang
kemudian dilakukan beberapa kali peralihan dan terakhir terbit bukti
kepemilikan hak atas tersebut yaitu Objek Sengketa.
Penggugat
mengajukan gugatan sengketa tata usaha negara terhadap Kepala Kantor
Pertanahan Kota Semarang ke PTUN Semarang untuk membatalkan Objek
Sengketa dengan dasar hak status hak milik atas tanah tersebut
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53
tertanggal 15 Juli 1963 serta Surat Keterangan Kepala Kelurahan tentang
status kepemilikan atas tanah yang dijadikan dasar/syarat pengajuan
adalah tidak benar/palsu. PTUN Semarang berdasarkan Putusan No.
11/G/TUN/TN/1997/PTUN.SMG memutuskan menolak gugatan Penggugat
dikarenakan Objek Sengketa telah diterbitkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan Penggugat tidak dapat membuktikan Surat
Keterangan Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah yang
dijadikan dasar/syarat pengajuan adalah tidak benar/palsu. Di tingkat
banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya berdasarkan
Putusan No. 91/B/TUN/1997/PT. TUN.SBY memutuskan menguatkan Putusan PTUN
Semarang. Sedangkan di tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (dahulu Penggugat) dengan
mengadili sendiri dengan amar putusan: Mengabulkan permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi dan Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Surabaya No. 91/B/TUN/1997/PT. TUN.SBY jo. Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Semarang No. 11/G/TUN/TN/1997/PTUN.SMG serta mengadili
sendiri : mengabulkan gugatan penggugat, menyatakan batal objek
sengketa dan menghukum Tergugat untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik
atas nama Penggugat terhadap objek gugatan.
Analisa :
Perkara
tersebut merupakan kompetensi absolut (kewenangan absolut) dari badan
peradilan Tata Usaha Negara karena berkaitan dengan pembatalan
beschikking (in casu objek sengketa) karena fungsi dan kewenangan dari
Badan Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai beschikking apakah
bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan dan Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB) atau tidak. Kewenangan tersebut didasarkan
pada pemeriksaan penerbitan beschikking secara prosedural atau
substansi.
Dalam perkara ini, prosedur dari
penerbitan objek sengketa bertentangan dengan PP No. 10 Tahun 1961,
karena dasar dari penerbitan objek sengketa yaitu Surat Keterangan
Kepala Kelurahan tentang status kepemilikan atas tanah, yang kemudian
dijadikan dasar penerbitan SK Gubernur Jawa Tengah No.
SK.DA.II/HGB/662/I/1929/87 diterbitkan dengan melanggar/bertentangan
dengan syarat material keabsahan suatu keputusan in casu dibuat oleh
organ pemerintahan yang berwenang, Walapun bukan Surat Keterangan Kepala
Kelurahan tersebut yang menjadi objek sengketa tetapi Surat kepala
kelurahan tersebut menjadi salah satu dasar/syarat pengajuan penerbitan
Objek sengketa yang mengakibatkan objek sengketa tersebut batal karena
secara prosedural penerbitannya melanggar Peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, Lurah/Kepala Desa dapat
mengeluarkan Surat Keterangan status kepemilikan atas tanah yang
didasarkan pada tanah yang didasarkan pada hak ulayat, sedangkan Surat
Keterangan status kepemilikan tanah untuk tanah yang didasarkan pada
eigendom atau tanah negara bukan merupakan kewenangan dari Lurah/Kepala
Desa melainkan kewenangan dari Kantor Pertanahan Nasional. Sehingga
karenanya, kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998
masih relevan.
Tetapi, dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 98 K/TUN/1998 terdapat salah satu pertimbangan yang menyatakan
Penggugat telah memperoleh status hak milik berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian/Agraria No. SK.1/376/Ka/53 yang dijadikan dasar bagi
Majelis Hakim Kasasi untuk menghukum Tergugat menerbitkan SHM untuk
Penggugat. Hal ini akan menjadi bertentangan dengan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 445K/TUN/2005 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 61K/TUN/2006
jo. Putusan Mahkamah Agung No. 383 K/Sip/1971 jo. Putusan Mahkamah Agung
No. 88 K/TUN/1993, karena fakta hukum yang tidak dipertimbangkan oleh
Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 yaitu
Penggugat telah mengajukan 3 (tiga) gugatan perdata di Pengadilan
Semarang yaitu:
1. Putusan Pengadilan Semarang No.
73/Pdt/1970/PN.Smg jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.
290/1972/PT.Smg yang pada pokoknya memutuskan Gugatan Penggugat tidak
berdasarkan hukum;
2. Putusan Pengadilan Negeri
Semarang No. 47/Pdt/1989/PN.Smg jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
No. 135/Pdt/1991/PT.Smg yang pada pokoknya memutuskan Gugatan Penggugat
tidak dapat diterima (N.O);
3. Putusan Pengadilan
Negeri Semarang No. 108/Pdt.G/1991/PN. Smg jo. Putusan Pengadilan Tinggi
Semarang No. 108/Pdt/1994/PT.Smg jo. Putusan Mahkamah Agung No. 2704
K/Sip/Pdt/1994 yang pada pokoknya memutuskan menolak gugatan Penggugat.
Dari
ketiga perkara perdata tersebut, tidak terdapat Putusan Pengadilan yang
menunjukkan siapa yang berhak atas tanah tersebut, sehingga
Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 98
K/TUN/1998 telah keliru dengan mengesampingkan Yurisprudensi Mahkamah
Agung yang memberikan kewenangan bagi Peradilan Umum (Perdata) untuk
menilai sengketa kepemilikan guna menunjukkan pemilik yang sah atas
suatu tanah. Tetapi untuk kaidah hukum berkaitan dengan Lurah dan Camat
tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat Keterangan tentang status tanah
negara yang berasal dari hak barat (eigendom) adalah tepat karena masih
dalam kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk menilai kebasahan
suatu prosedur penerbitan dari beschikking.
Dengan
demikian, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 98 K/TUN/1998 masih relevan
sepanjang kaidah hukum berkaitan dengan Lurah dan Camat tidak berwenang
untuk mengeluarkan Surat Keterangan tentang status tanah negara yang
berasal dari hak barat (eigendom) tetapi untuk menghukum Tergugat untuk
menerbitkan SHM atas nama Penggugat akan bertentangan dengan
Yurisprudensi lain yang mengakibatkan tidak dapat dijadikan kaidah hukum
dalam Yurisprudensi.
Kaidah yurisprudensi nomor putusan 98 K/TUN/1998 menjelaskan dalam perkara ini bahwa tanah yang berasal dari hak barat (eigendom) telah kembali kepada Negara, setelah sempat menjadi hak sewenang-wenang lurah dan camat. Dalam pertimbangan hukum yang relevan dengan perkara sengketa tanah ini adalah: yang pertama Judex Factie telah mempertimbangkan bahwa penggugat asal (pemohon kasasi) tidak ada pembuktiannya atas isi Surat Keterangan Kepala Kelurahan yang dijadikan dasar pemberian hak yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah, maka dalil tersebut harus dikesampingkan (vide putusan P.TUN halaman 71). Padahal, tanah tersebut berasal dari hak barat (eigendom) yang telah kembali kepada Negara, dengan demikian lurah dan camat tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat Keterangan tentang status Kepemilikan atas tanah tersebut, yang berarti terbitnya Sertifikat Hak Miliki No. 224 dan No. 225 yang menjadi objek dalam perkara ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
Yang kedua, bahwa Surat Keterangan Kepala Kelurahan tersebut terbit, ternyata Penggugat telah memperoleh status hak milik atas tanah yang dimaksud dalam SHM objek sengketa berdasrkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria tanggal 15 Juli 1963 No. SK.1/376/Ka/63 (vide bukti P.IA), bukti mana kemudian oleh Judex Factie ditafsirkan secara keliru dengan pertimbangan: “karena belum memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam P-IA (in casu pemberian tanda batas dan melakukan pendaftaran tanah) maka pemberian hak tersebut menjadi batal, dan selanjutnya tanah kembali menjadi miliki Negara” (vide putusan P.TUN halaman 70).
Berdasarkan pertimbangan hukum diatas yang dikaitkan dengan perkara ini, terbitnya Sertifikat Hak Milik No. 224 dan Sertifikat Hak Milik No. 225 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, sehingga harus dinyatakan batal demi hukum.
Sehingga, relevansi dalam perkara ini sangat relevan untuk digunakan dalam putusan yurisprudensi. Hal ini sangat mendukung, karena acuan sebuah perkara tidak lepas dari perkara lainnya yang dapat menguatkan atau juga dapat menjatuhkan putusan. Tetapi, dalam perkara ini perkara dikuatkan oleh putusan yurisprudensi yang benar dan sesuai fakta perkara. Maka, baik camat dan lurah seharusnya tidak sewenang-wenang dalam mengadili perkara ini atas dasar hak miliki mereka, pasalnya hak atas tanah ini sah menjadi tanah Negara tanpa diperebutkan lagi oleh pihak lain termasuk camat dan lurah.
Berbicara mengenai perkara ini, jika tidak dikaji maka sangat mengakibatkan kerugian berbagai pihak karena sengketa tanah menjadi sifat yang sensitif dalam perkara hukum di Indonesia, apalagi terdapat mafia tanah yang mengambil hak-hak atas tanah tanpa surat keterangan yang jelas, sertifikat ganda, bahkan memiliki atas tanah tanpa memiliki buktinya. Hakim dan PTUN berhak mengusut tuntas mafia tanah yang sewenang-wenang tidak mengikuti prosedur hukum yang berjalan, sehingga mafia tanah dapat diberantas dengan bukti-bukti kepemilikan tanah yang kuat antar gugatan.
Jika menelisik dalam perkara ini, hak prioritas adalah urutan-urutan penerima hak atas tanah, bagi masyarakat yang memenuhi syarat dan menduduki tanah negara bekas hak eigendom diberikan prioritas untuk mengajukan hak atas tanah. Namun, dalam praktik administrasi pertanahan yang masih berpegangan adanya hak-hak keperdataan yang dimiliki bekas pemegang hak yang bisa dihapus hak keperdataannya dengan memberikan ganti kerugian. Pemberian tanah negara hanya dapat diberikan apabila adanya kesepakatan dengan bekas pemegang hak masalah ganti kerugian. Jika tidak ada kesepakatan dengan bekas pemegang hak eigendom secara administrasi pertanahan tidak dapat didaftarkan hak-haknya. Maka, pentingnya hal ini terjadi sesuai prosedur hukum, jika tidak dalam rana hukum yang mengatasi maka ha katas tanah ini mungkin masih menjadi hal yang diperbutkan tanpa ada titik temu atau titik ujungnya dalam perkara ini.
Tujuan daripada perkara ini juga menajdi alasan sebuah kepastian hukum, yang mana setiap hak-hak itu harus diselaraskan dengan legalisasi kepemilikan tanah tersebut. Sehingga, hal ini menjadi alasan perkara diusut dan dibenarkan atas kuasa tanah sesuai hak yang sesuai melalui bukti-bukti yang kuat. Jika pemegang hak eigendom itu tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak, maka haknya atas tanah menjadi hapus dan tanah tersebut berstatus menjadi tanah negara, dan terhadap tanah tersebut dapat dimohonkan haknya oleh setiap subjek hukum yang memenuhi syarat.
Oleh karena itu, bentuk legalisasi tanah-tanah bekas hak barat (eigendom) perlu dikonversi, yakni disesuaikan hak-hak atas tanah. Dalam hal ini juga, hak atas tanah barat (eigendom) yang sudah menjadi kepimilikan Negara, bukan camat dan lurah maka Negara ini berhak untuk memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.
SIMPULAN
Dalam kaidah Yurisprudensi 98 K/TUN/1998 menjelaskan bahwa tanah yang berasal dari hak barat (Eingendom) telah kembali kepada Negara, maka Lurah dan Camat tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat keterangan tentang Status Kepemilikan atas tanah tersebut. Sehingga, hal ini menjadi perhatian apakah tanah tersebut berhak dimiliki camat dan lurah atau menjadi hak kepemilikan Negara.
Maka, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria tanggal 15 Juli 1963 No. SK.1/376/Ka/63 (vide bukti P.IA), bukti mana kemudian oleh Judex Factie ditafsirkan secara keliru dengan pertimbangan: “karena belum memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam P-IA (in casu pemberian tanda batas dan melakukan pendaftaran tanah) maka pemberian hak tersebut menjadi batal, dan selanjutnya tanah kembali menjadi miliki Negara” (vide putusan P.TUN halaman 70).
Hak eigendom adalah salah satu hak atas tanah yang telah ada sebelum Undang-Undang Pokok Agraria, dan ketika disahkan, sesuai dengan aturan konversi Pasal I, kecuali pemegang hak eigendom tidak memenuhi, hak diubah menjadi hak milik. Jika pemiliknya adalah warga negara Indonesia pada tanggal 24 September 1960, atau badan formal, hak leluhurnya dapat diubah menjadi hak milik. Jika pemilik adalah warga negara asing, kepemilikan diubah menjadi hak guna bangunan untuk jangka waktu 20 tahun. Hak eigendom dapat menjadi hak pakai hasil jika digunakan untuk tempat tinggal kepala perwakilan asing.
Orang yang memiliki hak eks eigendom yang memenuhi syarat dan menempati tanah negara didahulukan untuk mengajukan hak atas tanah. Hak prioritas adalah urutan penerima hak atas tanah. Namun, administrasi properti masih menganut gagasan bahwa pemilik hak di masa lalu memiliki hak sipil yang dapat dicabut dengan imbalan pembayaran. Hanya setelah mencapai kesepakatan tentang kompensasi dengan mantan pemegang hak dapat diberikan tanah negara. Hak tersebut tidak dapat didaftarkan jika tidak ada perjanjian pengelolaan tanah dengan pemilik hak eigendom sebelumnya. Prioritas diberikan kepada pemohon hak atas tanah yang memiliki hak eks eigendom, memenuhi persyaratan, dan menempati barang milik negara. Para pemegang hak atas tanah diurutkan berdasarkan prioritas. Gagasan bahwa pemilik hak sebelumnya memiliki hak sipil yang dapat ditangguhkan dengan imbalan pembayaran saat ini ditegakkan oleh administrasi properti. Tanah negara hanya dapat diberikan jika kesepakatan kompensasi telah dicapai dengan mantan pemegang hak. Jika tidak ada perjanjian pengelolaan tanah dengan pemilik hak eigendom sebelumnya, hak tersebut tidak dapat didaftarkan.
Setidaknya terdapat 2 hal mengapa kemudian kaidah yurisprudensi tersebut di atas penting untuk dijelaskan dan dianalisis: Pertama, dalam konteks hukum agraria sebagai salah satu bagian dari hukum administrasi negara, untuk dapat menjelaskan status tanah-tanah yang berasal dari hak barat. Kedua, salah satu hal terpenting dalam membicarakan hukum administrasi negara dan eksekutornya, yaitu administrasi negara (Pejabat dan/atau Badan Tata Usaha Negara (Badan/Pejabat TUN)) adalah perihal kewenangan, yang mana hal ini adalah salah satu isu utama dalam kaidah yurisprudensi tersebut.
Dalam yuridprudensi tersebut, setidaknya terdapat poin penting yang diberikan oleh Judex Factie, yang mana hal tersebut dapat dikatakan sebagai pertimbangan hukum yang berkaitan dengan kaidah yurisprudensi yaitu bahwa tanah yang berasal dari hak barat (eigendom) yang telah kembali kepada Negara, maka demi hukum kewenangan yang berkaitan dengan tanah tersebut pun kembali kepada organ dan/atau lembaga negara yang berada pada Pemerintah Pusat, yang bahkan sebenarnya hal tersebut telah mendapatkan kepastian hukum dengan adanya SHM objek sengketa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria tanggal 15 Juli 1963 No. SK.1/376/Ka/63 (vide bukti P.IA). dengan fakta demikian, maka Judex Factie sampai pada kesimpulan bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah dalam menerbitkan Surat Keputusan tanggal 18 Agustus 1987 No. SK.DA.I/HGB/662/1/1929/87 tersebut tidak menerapkan Azas-azas Umum pemerintahan yang baik (the Principle of good Government), oleh karenanya kemudian, terbitnya Sertifikat Hak Milik No. 224 dan Sertifikat Hak Milik No. 225 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, sehingga harus dinyatakan batal demi hukum.
Dalam yuridprudensi tersebut, setidaknya terdapat poin penting yang diberikan oleh Judex Factie, yang mana hal tersebut dapat dikatakan sebagai pertimbangan hukum yang berkaitan dengan kaidah yurisprudensi yaitu bahwa tanah yang berasal dari hak barat (eigendom) yang telah kembali kepada Negara, maka demi hukum kewenangan yang berkaitan dengan tanah tersebut pun kembali kepada organ dan/atau lembaga negara yang berada pada Pemerintah Pusat, yang bahkan sebenarnya hal tersebut telah mendapatkan kepastian hukum dengan adanya SHM objek sengketa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria tanggal 15 Juli 1963 No. SK.1/376/Ka/63 (vide bukti P.IA). dengan fakta demikian, maka Judex Factie sampai pada kesimpulan bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah dalam menerbitkan Surat Keputusan tanggal 18 Agustus 1987 No. SK.DA.I/HGB/662/1/1929/87 tersebut tidak menerapkan Azas-azas Umum pemerintahan yang baik (the Principle of good Government), oleh karenanya kemudian, terbitnya Sertifikat Hak Milik No. 224 dan Sertifikat Hak Milik No. 225 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, sehingga harus dinyatakan batal demi hukum.
Putusan tersebut masih relevan untuk dijadikan yurisprudensi, dengan mengingat bahwa dasar aturan yang menjadi acuan tersebut (soal tanah hak barat) masih berlaku sampai dengan saat ini. Hal lain yang juga menjadi dasar argumentasi masih patutnya putusan tersebut dijadikan yurisprudensi adalah pertimbangan Judex Factie yang menyatakn perihal hapusnya hak barat tersebut yang telah menempatkan perihal kewenangan sesuai pada tempatnya, bahwa terkait tanah negara, maka hal tersebut adalah kewenangan dari instansi negara, khususnya yang berada di Pemerintah Pusat.
Salah satu penemuan hukum dalam putusan yang kemudian dipertimbangkan adalah: “Tanah yang berasal dari hak barat (eigendom) telah kembali kepada negara, maka lurah dan camat tidak berwenang untuk mengeluarkan surat keterangan tentang status kepemilikan atas tanah tersebut”. Dasar kembalinya tanah tersebut menjadi tanah negara dapat dikatakan berasal dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), di mana pada Bagian kedua tentang Ketentuan-Ketentuan Konversi Pasal I, III, dan V menyatakan bahwa hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak barat berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980 (UUPA diundangkan pada 24 September 1960). Setelah tenggang waktu tersebut berakhir, maka tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai oleh negara atau disebut juga dengan Tanah Negara. Pasal 55 UUPA menyatakan:
(1) Hak-hak asing yang menurut ketentuan konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak usaha-usaha dan hak guna-bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
(2) Hak guna-usaha dan hak guna-bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan- badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh Undang- undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.
Perlu dipahami, bahwa tujuan utama hukum administrasi adalah menjaga agar kewenangan pemerintah tersebut digunakan dalam batas-batas kekuasaannya (intra vires), sehingga warga negara tidak terlanggar atas segala “perbuatan” yang dilakukan pemerintah dan tetap terjaga hak-haknya (Wade & Forsyth, 1997:41; Simanjuntak, 2018:4). Dengan berdasarkan hal tersebut, maka keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB, termasuk asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
Terkait dengan wewenang, asas yang prinsipil adalah asas spesialitas (specialiteitsbeginsel), yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada subjek hukum dengan tujuan tertentu (H. R., 2016:382), dan melekat pada jabatan (inherent aan het bestuursambt) dan dijalankan oleh pejabat (ambtsdrager) tersebut (H. R. 2016:6). Dengan pertimbangan sebagaimana di atas, dapat dikatakan Judex Factie selain telah menegakkan ketentuan transisi yang diatur dalam UUPA dengan baik, juga dapat dikatakan telah menempatkan kemudian kewenangan sesuai pada tujuan kewenangan tersebut diberikan. Hal tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa jika memang terkait dengan tanah negara, maka yang berhak untuk melakukan perbuatan terkait statusnya adalah Pemerintah Pusat, khususnya kementerian.
Hal tersebut merupakan perwujudan kepastian hukum, yang oleh Mertokusumo dinyatakan bahwa kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan (2007:160). Sebagaimana salah satu cita-cita dari 3 cita hukum (idea of the law) yang diperkenalkan oleh Radburch: yang meliputi: keadilan (justice), kebermanfaatan atau kedayagunaan (expediency), dan kepastian hukum (legal certainty) (Lask, Radbruch, Dabin, 2013:108).
Sebagaimana pertimbangan Judex Factie, bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah dalam menerbitkan Surat Keputusan tanggal 18 Agustus 1987 No. SK.DA.I/HGB/662/1/1929/87 tersebut tidak menerapkan AUPB, yang mana dapat dikatakan asas yang tidak terpenuhi adalah asas kecermatan atau asas bertindak cermat, yang menghendaki bahwa pemerintah dalam melakukan tindakannya tersebut harus berhati-hati dan menghindari kerugian bagi warga negara. Oleh karenanya, keputusan pemerintah sebagai salah satu tindakan pemerintah tersebut haruslah dipersiapkan dan diambil dengan cermat (Utrecht, 1960:76). Ketidakcermatan perihal status tanah dalam kasus a quo yang telah kembali menjadi tanah negara tersebut, mengakibatkan Judex Factie membatalkan Surat Keputusan tanggal 18 Agustus 1987 No. SK.DA.I/HGB/662/1/1929/87 yang dikeluarkan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah, sebagaimana teori kewenangan di atas, bahwa kewenangan berkaitan dengan tanah negara adalah merupakan kewenangan lembaga pada Pemerintah Pusat dan bukan merupakan kewenangan dari Kepala Daerah.
Dapat disimpulkan bahwa Judex Factie telah menerapkan status tanah negara dengan tepat terkait ketentuan dalam UUPA dan sekaligus juga menunjukkan penempatan yang tepat perihal kewenangan terkait tanah negara, bahwa hal tersebut bukan menjadi domain dari Kepala Daerah, melainkan lembaga pada Pemerintah Pusat.