Karakterisasi Yurisprudensi No : 68 K Kr 1973
Suatu putusan pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan, yang dalam perkara ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan tersebut, yaitu antara lain ?Bahwa PT. Tjahaja Negeri telah ditutup terdakwa, dan apabila mau menyaksikan kematian PT. Tjahaja Negeri tersebut supaya datang dan bila ada barang-barang yang dipinjamkan PT. Tjahaja Bank Germany atau barang-barang tanggungan PT. Tjahaja Negeri agar segera diangkut demi keamanan barang-barang tersebut dan penempelan surat terdakwa pada dinding PT. Tjahaja Negeri yang dapat dilihat umum?, lebih ditujukan pada Pasal 310 KUHP.
Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi : Sekalipun uraian fakta dalam dakwaan mengarah pada pemenuhan unsur pasal lain yang tidak didakwakan, putusan pengadilan harus tetap didasarkan pada dakwaan yang telah disusun penuntut umum.
Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi : Sekalipun uraian fakta dalam dakwaan mengarah pada pemenuhan unsur pasal lain yang tidak didakwakan, putusan pengadilan harus tetap didasarkan pada dakwaan yang telah disusun penuntut umum.
Perkara ini bermula dari suatu perbuatan terdakwa mengirimkan surat kepada beberapa pihak. Surat itu berisi ?PT Cahaya Negeri telah ditutup oleh terdakwa. Apabila mau menyaksikan kematian PT. Cahaya Negeri tersebut, supaya datang. Terdakwa juga menyatakan bahwa apabila ada barang-barang yang dipinjamkan oleh PT Bank Gemary atau barang-barang tanggungan PT Cahaya Negeri, agar segera diangkut demi keamanan barang-barang tersebut. Di samping itu, Terdakwa menempelkan surat pada dinding-dinding PT Cahaya Negeri yang dapat dilihat oleh umum yang bertujuan untuk menghilangkan kepercayaan masyarakat?.
Terhadap perbuatan itu, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana penghinaan ringan menurut Pasal 315 KUHP oleh judex factie (dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur). Putusan itu kemudian dimintakan Banding kepada Pengadilan Tinggi Jakarta oleh terdakwa. Putusan judex factie Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur. Putusan itu kemudian dimohonkan Kasasi oleh terdakwa kepada Mahkamah Agung.
Dalam pertimbangannya, judex juris Mahkamah Agung menyatakan bahwa suatu putusan pengadilan harus didasarkan pada surat tuduhan (disesuaikan agar lebih tepat menjadi surat dakwaan). Perbuatan terdakwa didakwa dengan delik penghinaan ringan sesuai dengan Pasal 315 KUHP sekalipun beririsan dengan delik penghinaan menurut Pasal 310 KUHP.
Beberapa putusan pengikut kemudian menyebutkan putusan ini dalam pertimbangannya. Beberapa di antaranya adalah Putusan No. 92/PID.B/2013/PN/LWK, Putusan No. 258/Pid.Sus/2014/PN Lwk, Putusan No. 443/PID.B/2010/PN.Mdo, Putusan No. 467/PID.B/2013/PN.Mdo, Putusan No. 34/Pid.Sus/2014/PN. Bik, Putusan No. 13/Pid.Sus/2015/PN.SDK, dan Putusan No. 33/Pid.Sus/2014/PN.Bik. Kesemua putusan ini tidak membahas secara berarti persoalan terkait dengan persoalan ?dasar putusan adalah surat dakwaan? ini.
Putusan yang dianotasi ini diambil menjadi bagian pertimbangan dalam hal hakim menyatakan standard pembuktian dan pengambilan putusan. Oleh karena itu, di semua putusan tersebut juga mencantumkan standar pembuktian bahwa untuk mempermasalahkan seseorang dalam suatu tindak pidana menurut Pasal 183 KUHAP, hakim harus mendasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah disertai dengan keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya dan atau perbuatannya itu telah memenuhi semua unsur-unsur delik (vide Putusan Mahkamah Agung No. 163 K/Kr/1977).
Selain itu, terdapat tiga putusan yaitu Putusan No. 2222 K/Pid.Sus/2010, Putusan No. 1901 K/Pid.Sus/2013, dan Putusan No. 1709 K/PID.SUS/2010 di mana putusan yang dianotasi ini dijadikan argumentasi oleh pemohon kasasi untuk menyatakan bahwa judex factie telah salah dalam menerapkan hukum dengan memeriksa hal-hal di luar yang didakwakan. Namun, argumentasi ini lebih bersifat ?pembuktian?, bukan persoalan yang lebih substansial, misalnya judex factie secara nyata keluar dari pasal yang didakwaan oleh penuntut umum.
Dengan demikian, sebenarnya tidak terdapat persoalan terlalu berarti dari kaidah putusan ini. Putusan ini hanya menegaskan bahwa dasar pembuktian adalah 1) surat dakwaan, 2) sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, 3) keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana benar terjadi, 4) Terdakwa yang bersalah melakukannya dan/atau perbuatannya telah memenuhi semua unsur-unsur delik.
Terlebih lagi, Pasal 182 ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (dikenal dengan istilah KUHAP) sudah menegaskan bahwa dasar dari putusan adalah ?surat dakwaan?. Ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP secara jelas menyatakan bahwa ?Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang?. Ketentuan ini secara argumentum a contrario berarti suatu putusan tidak dibenarkan apabila tidak berdasarkan apa yang didakwakan dan apa yang terbukti di persidangan.
Ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP ini sejalan dengan putusan ini sekaligus mengakhiri perdebatan ketidakjelasan rezim pengaturan Herziene Inlandsch Reglement (HIR) mengenai dasar pembuktian. Saat putusan ini dijatuhkan, dasar hukum yang pembuktian didasarkan pada pengaturan Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang disusun khusus untuk golongan Bumiputera.
Pada perkembangannya, beberapa kali dilakukan perubahan terhadap HIR. Misalnya, melalui Staatsblad No. 31 jo. No. 98 Tahun 1941 yang memuat pembaharuan peraturan penuntutan terhadap orang-orang non-Eropa. Begitu juga dengan Staatsblad No. 44 Tahun 1941 tentang pemberlakuan HIR yang telah diperbaharui (yang kemudian dikenal dengan istilah RIB (Reglemen Indonesia yang Diperbaharaui). Selain itu, pada kurun waktu putusan dijatuhkan (1973), praktik peradilan pidana juga didasarkan pada praktik-praktik peradilan (sebagaimana disebutkan dalam penjelasan HIR dan RIB) sehingga terbuka kemungkinan terdapat perbedaan penerapan hukum.
Selain itu, Pasal 292 HIR yang menyatakan bahwa ?Pengadilan negeri harus meminta pendapat penasehat yang dimaksud pada Pasal 7 Reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan justisi di Indonesia berhubung dengan surat tuduhan dan yang kenyataan dari pemeriksaan pada persidangan, perihal kesalahan pesakitan tentang perbuatan-perbuatan yang dituduhkan tentang patut tidaknya dihukum, dan berat ringannya hukuman itu menurut hukum agamanya, adat dan istiadat dan kemudian bermusyawarat tentang hal-hal yang berikut: Perbuatan mana yang sudah terbukti karena pemeriksaan pengadilan; telah terbuktilah, bahwa pesakitan itu salah tentang perbuatan itu; kejahatan apakah yang dilakukan oleh karena itu; hukuman manakah yang mesti dijatuhkan pada pesakitan? sudah dicabut berdasarkan Staatsblad No. 32 Tahun 1941. Dengan demikian, tidak terlalu jelas apakah pada rezim HIR, hakim terikat pada apa yang disebut dalam dakwaan atau tidak.
Dengan demikian, tidak ada persoalan hukum yang cukup berarti dari putusan ini. Putusan ini hanya menegaskan bahwa dasar pembuktian dan pengambilan putusan bagi hakim adalah surat dakwaan dan apa yang terbukti di persidangan. Ketentuan yang sejalan dan sudah tercantum pada Pasal 182 ayat (4) KUHAP.
POSISI STRATEGIS DAKWAAN
DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA PERKARA PIDANA
Permohonan kasasi yang ditangani oleh Mahkamah Agung dengan nomor register 68 K/Kr/1973 sering dirujuk oleh Hakim dalam mengadili perkara pidana, bahkan hingga berpuluh-puluh tahun sejak secara resmi diucapkan oleh Prof. Oemar Seno Adji selaku Hakim Ketua Sidang pada 30 Maret 1977. Putusan yang melibatkan Koesnin Faqih sebagai terdakwa dalam kasus penghinaan ringan tersebut dianggap berhasil meletakkan kaidah yurisprudensi mengenai posisi strategis dakwaan dalam proses pengambilan keputusan pada perkara pidana. Majelis hakim menilai putusan pengadilan harus selalu didasarkan pada dakwaan, sekalipun fakta-fakta yang diuraikan dalam surat dakwaan lebih mengarah pada pasal lain yang tidak didakwakan.
Pertimbangan hukum yang demikian dirumuskan oleh majelis hakim setelah terlebih dahulu membatalkan putusan Pengadilan Tinggi di Jakarta sehubungan dengan tidak dipenuhinya aspek formil mengenai upaya hukum yang seharusnya ditempuh oleh terdakwa. Ketika memutuskan untuk mengadili sendiri perkara ini, hakim menyusun kaidah yurisprudensi di atas dengan mempertimbangkan sebagai berikut:
?Menimbang, bahwa suatu putusan pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan, yang dalam perkara ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan tersebut ? lebih banyak ditujukan pada Pasal 310 KUHP.?
Untuk dapat memahami konteks perumusan kaidah hukum tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu kronologis peristiwa yang sedang didiskusikan tersebut. Dalam dakwaan yang disusun penuntut umum, diuraikan bahwa perkara ini bermula dari dikirimkannya surat oleh Koesnin Faqih kepada relasi Achmad Nasri atau PT. Tjahaja Negeri, yang berisikan kata-kata sebagai berikut:
?PT. Tjahaja Negeri telah ditutup terdakwa, dan apabila mau menyaksikan kematian PT. Tjahaja Negeri tersebut supaya datang dan bila ada barang-barang yang dipinjamkan PT. Bank Germany atau barang-barang tanggungan PT. Tjahaja Negeri agar segera diangkut demi keamanan barang-barang tersebut?
Selain disebarkan kepada beberapa pihak, terdakwa juga menempelkan surat tersebut pada dinding-dinding perusahaan. Tindakan ini dinilai bertujuan untuk menghilangkan kepercayaan publik kepada perusahaan tersebut. Oleh karena itu, penuntut umum mendakwa Koesnin Faqih dengan penghinaan ringan sesuai dengan rumusan Pasal 315 KUHP.
Penting untuk dipahami bahwa kata ?terdakwa? yang tertera dalam surat di atas bukan merupakan kata ganti untuk Koesnin Faqih yang menjadi terdakwa dalam perkara ini. Jika ditelusuri secara lebih cermat, penuntut umum mengutip kata-kata tersebut secara langsung dari surat yang disusun oleh Koesnin Faqih sehingga menjadi tidak mungkin apabila ia menyebut dirinya sendiri di surat yang ditulisnya kepada orang-orang tersebut. Surat tersebut ditujukan kepada Achmad Nasri, yang merupakan pimpinan PT. Tjahaja Negeri dan sedang terlibat dalam kasus pidana. Atas dasar inilah, Koesnin Faqih menulis surat kepada relasi Achmad Nasri untuk memperingatkan pihak-pihak tersebut mengenai tindakan penutupan perusahaan yang sedang dilakukan oleh Achmad Nasri.
Berangkat dari konteks perkara di atas, majelis hakim kasasi berpendapat terdapat kekeliruan yang dilakukan oleh penuntut umum dalam perkara Koesnin Faqih tersebut. Setelah mendalami berkas-berkas perkara, Mahkamah Agung menilai kata-kata yang tertera dalam surat Koesnin Faqih lebih sesuai dengan anasir delik pencemaran sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP. Pertimbangan yang demikian dapat dibenarkan mengingat Koesnin Faqih sengaja menyerang kehormatan atau nama baik Achmad Nasri dengan menuduhkan sesuatu hal, yakni:
Achmad Nasri akan melakukan penutupan perusahaan;
Barang-barang yang dipinjamkan PT. Bank Germany atau barang-barang tanggungan PT. Tjahaja Negeri menjadi tidak aman akibat penutupan perusahaan oleh Achmad Nasri dan harus segera diangkut oleh pemiliknya.
Di samping itu, pengiriman surat dan penempelan surat di dinding perusahaan sudah menunjukkan niat Koesnin Faqih untuk membuka akses seluas-luasnya bagi publik untuk mengetahui tuduhan tersebut. Dari kerangka teoretis, seluruh unsur yang dirumuskan Pasal 310 ayat (2) KUHP mengenai pencemaran tertulis dapat dinyatakan terpenuhi secara sempurna oleh terdakwa.
Meski demikian, Mahkamah Agung menilai terdakwa harus tetap dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 315 KUHP yang telah didakwakan kepadanya. Pendirian majelis hakim di atas diambil dengan mempertimbangkan bahwa satu-satunya ketentuan yang didakwakan oleh penuntut umum adalah Pasal 315 KUHP mengenai tindak pidana penghinaan ringan. Menariknya, majelis hakim tidak secara langsung mengadili terdakwa dan menguraikan pemenuhan unsur-unsur penghinaan ringan dalam Pasal 315 KUHP. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Mahkamah Agung hanya membatalkan putusan PT Jakarta karena alasan formil dan, selanjutnya, menyatakan permohonan banding tidak dapat diterima. Dengan kata lain, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur yang berlaku. Koesnin Faqih tetap dinyatakan terbukti melakukan penghinaan ringan dan dipidana selama 3 (tiga) bulan dengan masa percobaan selama 7 (tujuh) bulan.
Pertimbangan majelis kasasi tersebut cukup kompleks. Secara normatif, pencemaran dan penghinaan ringan merupakan dua tindak pidana yang berbeda. Untuk bisa dijerat dengan Pasal 310 KUHP, pelaku harus menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, yang dilakukan dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui oleh umum. Unsur ?tuduhan? inilah yang membedakan dengan pencemaran dengan penghinaan ringan. Pasal 315 KUHP justru menggarisbawahi bahwa karakteristik penghinaan ringan ditandai dengan adanya perbuatan menghina yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis. Dari perbandingan tersebut, terlihat dengan jelas bahwa pelaku pencemaran tidak mungkin ?ditarik? oleh majelis hakim untuk selanjutnya dinyatakan terbukti melakukan penghinaan ringan.
Jika mengikuti pola pikir hakim kasasi bahwa dakwaan harus menjadi dasar pemeriksaan dalam perkara pidana, Koesnin Faqih seharusnya dibebaskan dari dakwaan mengingat unsur ?penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis? dalam Pasal 315 KUHP tidak terbukti. Ketiadaan Pasal 310 KUHP dalam surat dakwaan, yang diyakini hakim terbukti dilakukan oleh terdakwa, justru memperkuat argumentasi bahwa yang dilakukan oleh Koesnin Faqih bukanlah penghinaan ringan, melainkan pencemaran.
Majelis hakim tampak khawatir apabila langkah tersebut yang diambil, hal ini akan berdampak pada dibebaskannya terdakwa meskipun yang bersangkutan terbukti melakukan tindak pidana (pencemaran) yang tidak didakwakan terhadapnya. Di sisi lain, Mahkamah Agung juga berpendapat penyusunan dakwaan penuntut umum harus dikoreksi karena tidak secara tepat memilih ketentuan pidana dalam perkara ini. Pada akhirnya, Mahkamah Agung memilih strategi yang moderat dengan memberikan koreksi terbatas pada penyusunan dakwaan melalui perumusan kaidah yurisprudensi di atas tanpa secara langsung menyentuh hasil akhir perkara Koesnin Faqih tersebut.
Meski tidak sependapat dengan keputusan tersebut, yurisprudensi ini diikuti oleh banyak diikuti oleh majelis hakim lain dalam perkara yang berbeda. Dalam penelusuran yang berhasil dilakukan, setidaknya terdapat sembilan putusan pengadilan yang mengutip yurisprudensi Koesnin Faqih tersebut dalam pertimbangan hukum yang disusun majelis hakim. Menariknya, penerapan kaidah hukum yang disusun Mahkamah Agung pada tahun 1973 tersebut memiliki pola yang beragam.
Secara garis besar, hakim-hakim menggunakan yurisprudensi Koesnin Faqih tersebut sebagai justifikasi teoretis untuk menyatakan bahwa yang akan dipertimbangkan oleh hakim adalah dakwaan yang disusun penuntut umum. Pengutipan kaidah hukum tersebut biasanya diletakkan tepat sebelum hakim menguraikan unsur-unsur tindak pidana dan membenturkannya dengan fakta hukum yang diperoleh di persidangan. Praktik yang demikian ditemukan pada putusan Rano Kristianto Hari & Fahrudin Linang, Rosmantu Butu & Kurniawandianto Kudo, Triwulan, Steven Rumabar, Dodi Utrex Mudumi, Glen Auditia Dengah, Fredi Mandalika, dan Tohap Mangidoasi Sinambela. Pada perkara-perkara tersebut, hakim menerapkankaidah yurisprudensi secara normatif semata tanpa memiliki konteks apapun yang serupa dengan perkara Koesnin Faqih.
Berbeda dengan kasus-kasus di atas, penerapan yurisprudensi Koesnin Faqih pada perkara Muh. Sobur sejalan dengan maksud perumusan kaidah hukum 1973 tersebut. Oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri Bekasi, Muh. Sobur dinyatakan terbukti melanggar Pasal 112 UU Narkotika karena memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan satu paket narkotika jenis shabu seberat 0,3 gram bruto yang ditemukan ketika polisi melakukan penggeledahan badan/rumah. Ketika diadili oleh Pengadilan Tinggi Bandung, majelis hakim justru membebaskan terdakwa dari dakwaan primair dan subsidair, tetapi menghukum terdakwa dengan Pasal 127 UU Narkotika mengenai penyalahgunaan narkotika yang sama sekali tidak didakwakan oleh penuntut umum.
Sehubungan dengan hal ini, Mahkamah Agung menganulir putusan banding tersebut dengan mengutip kaidah hukum Koesnin Faqih dan kembali menegaskan bahwa hakim harus mengambil keputusan berdasarkan dakwaan. Apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan dakwaan, hakim hanya diperkenankan mengadili hal tersebut melalui penjatuhan putusan sela setelah terdakwa dan penasihat hukumnya mengajukan keberatan (eksepsi). Dalam kasus tersebut, Mahkamah Agung menilai pemidanaan atas pasal yang tidak didakwakan merupakan preseden yang tidak dibenarkan dalam praktik peradilan.
Dalam perkembangan berikutnya, khususnya pada perkara narkotika, Mahkamah Agung memodifikasi pendiriannya pada yurisprudensi Koesnin Faqih tersebut. Apabila penuntut umum mendakwa dengan Pasal 111 atau 112 UU Narkotika, tetapi yang terbukti di persidangan adalah Pasal 127 UU Narkotika yang tidak didakwakan, sepanjang bisa dibuktikan bahwa (a) pelaku adalah pemakai dan (b) barang bukti yang ditemukan jumlahnya relatif kecil, maka hakim diwajibkan memutus perkara sesuai dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan memberikan pertimbangan yang cukup.
Dua tahun berselang, Mahkamah Agung kembali memperbarui kesepakatan Kamar Pidana tersebut. Jika pelaku tidak tertangkap tangan sedang menggunakan narkotika, ditemukan barang bukti narkotika dalam jumlah sedikit, hasil tes urin menunjukkan positif mengandung Metamphetamine, tetapi penuntut umum tidak mendakwakan Pasal 127 UU Narkotika, perbuatan terdakwa dikategorikan sebagai Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri, tetapi kualifikasi tindak pidananya tetap mengacu pada dakwaan.
Meski konteks pemberlakuannya tidak seketat yurisprudensi pada kasus Koesnin Faqih, rumusan kesepakatan Kamar Pidana Mahkamah Agung mengenai peran dakwaan dalam perkara pidana tersebut perlu terus diikuti dan dianalisis secara berkelanjutan. Hal ini juga perlu didukung oleh tindakan korektif oleh Kejaksaan sehingga praktik peradilan bisa berjalan sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana, dengan tidak menghilangkan esensi untuk mencapai keteraturan dan keadilan sebagai tujuan akhir penyelenggaraan peradilan pidana.
Download Karakterisasi
File Putusan