Karakterisasi Yurisprudensi No : 06 PK/TUN/2008
Suatu perbedaan pendapat dalam memori PK antara Pemohon PK dan judex juris (i.c. Putusan kasasi MA) pada hakikatnya merupakan perbedaan penafsiran tentang suatu masalah hukum, dan karenanya tidak dapat dianggap atau dikategorikan sebagai suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam pengertian Pasal 67 butir f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (vide yurisprudensi putusan MA No. 431/K/Pdt/2007 hlm 35)
Bahwa suatu perbedaan pendapat dalam memori PK antara Pemohon PK dan judex juris (i.c. Putusan kasasi MA) pada hakikatnya merupakan perbedaan penafsiran tentang suatu masalah hukum, dan karenanya tidak dapat dianggap atau dikategorikan sebagai suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam pengertian Pasal 67 butir f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (vide yurisprudensi putusan MA No. 431/K/Pdt/2007 hlm 35)
Ini adalah anotasi untuk putusan 06 PK/TUN/2008. Putusan ini dikutip oleh aneka putusan TUN yang lain. Namun patut dikhawatirkan bahwa pernyataan yang dikutip oleh aneka putusan TUN yang lain tersebut tidak valid, karena pernyataan yang dikutip tersebut tidak dapat ditemukan di bagian ratio decidendi dan/atau dictum putusan ini. Sebelum mengupas lebih jauh, dipandang relevan untuk menjelaskan kasus posisi sbb.
Kasus ini dimulai ketika pada tahun 2002, Kementerian Kehutanan (''tergugat'') mengeluarkan SK 1680/Menhut-III/2002 (''SK 2002'') berupa persetujuan prinsip yang diberikan kepada Koperasi Perkebunan Sawit Bukit Harapan (''penggugat'') untuk memanfaatkan hutan untuk kelapa sawit seluas 23.000 Ha. Namun dua tahun kemudian Kementerian Kehutanan mengeluarkan SK S419/Menhut II/2004 (''SK 2004'') yang intinya menganulir SK 2002.
Penggugat kemudian menggugat SK 2004 tersebut di PTUN Jakarta, yang mana putusan hakim membatalkan SK 2004 tersebut. Namun kemudian tergugat banding, dan hakim PT TUN menyatakan bahwa SK 2004 tersebut sah dan berlaku. Tidak terima dengan putusan banding tersebut, penggugat mengajukan kasasi. MA ternyata memberikan favourable ruling pada penggugat; MA sependapat dengan peradilan pertama; SK 2004 dinilai tidak sah.
Terguggat kemudian PK dengan argumentasi bahwa Pasal 67 UU 14/1985 bahwa PK diperbolehkan ''(…) f. apabila dalam suatu putusan tersebut terdapat suatu kehilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata''. Alasan tergugat adalah, penggugat memasukkan gugatan pembatalan SK 2004 diatas pada hari ke 122 setelah KTUN 2004 tersebut terbit.
Menurut tergugat, dengan merujuk ke Pasal 55 UU PTUN, gugatan ini telah kadaluarsa; karena telah melewati tenggat waktu 90 hari yang dihitung sejak dikeluarkannya/diumumkannya KTUN. Namun alasan ini dibantah oleh penggugat karena menurutnya titik penghitungan 90 hari tersebut harus dihitung sejak diketahuinya KTUN tersebut oleh penggugat. Ada keterlambatan pengetahuan penggugat, karena ketika tergugat mengirimkan KTUN tersebut via pos, surat tersebut tidak sampai ke penggugat, dan malah kembali ke tergugat (hal ini dikonfirmasi baik oleh penggugat dan tergugat).
Tergugat kemudian beralasan, fakta dimana pernah ada kejadian dimana MA memberikan putusan yang berbeda dengan PT, mengindikasikan bahwa hakim MA telah khilaf atau melakukan kekeliruan yang nyata. Inilah yang kemudian dijadikan salah satu alasan untuk PK. Sayangnya, tergugat tidak memberikan alasan (reasoning) atas claim ini.
Hakim PK yang menilai kasus ini pun kemudian menyatakan bahwa isu ini hanyalah sebatas perbedaan penafsiran masalah hukum, sehingga tidak dapat dianggap sebagai kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Sayangnya, hakim PK juga tidak memberikan reasoning yang cukup atas pernyataan ini.
Selain alasan gugatan kadaluarsa, tergugat juga mengajukan PK dengan alasan ada bukti baru; aktivitas penggugat dalam membuka lahan juga bekerjasama dengan perusahaan yang dimiliki oleh DL Sitorus; orang yang dijatuhi sanksi pidana oleh MA karena melakukan illegal logging. Ia diputus oleh MA (kamar pidana) telah melakukan illegal logging karena aktivitas pemanfaatan hutan yang ia lakukan illegal, karena aktivitasnya didasarkan pada SK 2002 yang telah dicabut oleh SK 2004.
Namun hakim PK ternyata juga tidak teryakinkan dengan argumentasi putusan pidana sebagai novum sebagaimana diatas. Menurut hakim PK, perlu dibedakan mana isu pidana yang fokus pada kesalahan pribadi DL Sitorus dengan isu hukum administrasi mengenai keabsahan KTUN yang diberikan untuk Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan. Hakim juga menambahkan dengan berargumen bahwa ini isu yang berbeda karena DL Sitorus bukan pengurus koperasi tersebut.
Diluar dari hal-hal diatas, hakim PK bahkan juga menilai bahwa tergugat telah mengeluarkan kebijakan yang berubah ubah, dan tergugat telah mengabaikan investasi besar yang dilakukan penggugat.
Pandangan Penulis
Dengan segala hormat, namun penulis memiliki pendapat yang tidak selalu sama dengan hakim PK. Terkait dengan poin pertama, idealnya sebelum sampai ke konklusi putusan, hakim PK memberikan kerangka konseptual untuk mengklasifikasikan kapan sesuatu disebut ''perbedaan penafsiran hukum'' dan kapan sesuatu dapat disebut dengan ''khilaf atau kekeliruan yang nyata''. Setelah itu, barulah hakim PK menerapkan situasi konkret kedalam kerangka konseptual, dan menunjukkan pembaca bagaimana hakim PK sampai pada kesimpulan bahwa argumentasi tergugat tidak dapat dimasukkan kedalam klasifikasi “khilaf atau penafsiran yang nyata”, melainkan hanya ''perbedaan penafsiran hukum''.
Atau jika ini terlampau rumit untuk ukuran kasus yang sederhana ini, maka menurut penulis hakim boleh untuk tidak repot membangun kerangka konseptual baru, namun hakim tetap perlu memberikan reasoning atas claim putusan yang ia hasilkan. Misalnya, hakim dapat merujuk pada penjelasan Pasal 55 UU PTUN. Sekalipun norma di pasal 55 menyatakan bahwa masa hitung dimulai dari ''diterimanya atau diumumkannya'' KTUN, namun penjelasan pasal 55 lebih menekankan bahwa titik hitungnya adalah ''sejak hari diterimanya'' KTUN yang digugat. Dengan demikian, argumentasi tergugat bahwa ada kekeliruan atau kekhilafan atas putusan MA bukanlah argumentasi yang kuat.
Sedangkan dalam poin kedua, pernyataan hakim PK tersebut juga tidak cukup meyakinkan. Fakta dimana DL Sitorus bukan pengurus koperasi tidak dapat serta merta diartikan bahwa putusan pidana tersebut tidak dapat digunakan sebagai novum dalam perkara ini. Apalagi mengingat DL Sitorus dinyatakan berperan aktif dalam membiayai pembukaan lahan dan aktivitas koperasi tersebut. Lebih dari itu, bukankah alasan MA (kamar pidana) menghukum DL Sitorus salah satunya adalah tindakan illegal yang parameternya adalah telah keluarnya SK 2004? Dengan demikian ada objek hukum yang sama yang sedang didiskusikan. Catatan kritis penulis yang terakhir adalah penilaian hakim atas kebijakan yang berubah ubah merupakan komentar yang sifatnya mengevaluasi doelmatigeheid; suatu hal yang bisa dipandang offside mengingat hakim harusnya fokus pada isu legalitas KTUN.
Terkait dengan Yurisprudensi Beberapa putusan TUN di tingkat pertama mengklaim bahwa putusan PK diatas mengeluarkan kaidah: ''untuk menghindari putusan yang berbeda antara dua badan peradilan, sebaiknya ditempuh penyelesaian sengketa ke peradilan TUN terlebih dahulu mengingat terbatasnya tenggang waktu tergugat''. Kutipan ini bisa dilihat di aneka putusan sbb: 97/G/2014/PTUN-JKT (hlm 74); 135/G/2014/PTUN-JKT (hlm 101); 208/G/2013/PTUN-JKT (hlm 75). Masalahnya adalah, hakim PK tidak pernah menyatakan hal ini sama sekali di ratio decidendi putusan ini. Substansi ratio decidendi adalah yang penulis telah ringkas diatas. Memang ada isu yang dapat diinterpretasikan sebagai perbedaan pandangan antara kamar TUN dengan kamar pidana. Namun tidak ditemukan pernyataan yang menyinggung tentang timbulnya norma di putusan yang dapat dimaknai agar suatu kasus diselesaikan di peradilan TUN terlebih dahulu sebelum dibawa ke peradilan lain.
Boleh jadi ketiga putusan ini salah kutip atau salah kira. Hal ini mengingat tiga putusan tersebut memang tampaknya tidak mengutip langsung dari putusan 06 PK/TUN/2008 ini. Melainkan dari publikasi yang dirilis oleh Badan Penelitian dan Pengembangan & Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung 2010, sebagaimana diindikasikan dalam bodynote yang ada di masing-masing putusan.