Karakterisasi Yurisprudensi No : 3138K/Pdt/1994
kekecewaan yang diakibatkan oleh wanprestasi merupakan bentuk Kerugian immateriil. Kaidah 2:
Ganti rugi yang didasarkan pada kekecewaan tidak dapat dikabulkan, bilamana dalam gugatan tersebut tidak diperinci berapa besarnya ganti rugi yang diminta.
- Bahwa dengan adanya promosi yang berlebihan yang ternyata dari semula memang tidak akan dipenuhi, maka dapat dimengerti kekecewaan yang timbul akibat promosi tersebut.
- Bahwa akan tetapi seberapa besar nilai kekecewaan tersebut tidak diberikan perincian oleh para pemohon kasasi, sehingga ganti rugi yang dimohonkan tidak dapat dikabulkan.
- Dalam rekonpensi, karena dasar gugatan Penggugat Rekonpensi adalah kerugian yang diderita olehnya disebabkan oleh pemberitaan-pemberitaan dalam berbagai surat khabar mengenai masalah yang disengketakan; bahwa pemberitaan-pemberitaan tersebut langsung atau tidak langsung disebabkan oleh kekecewaan para Tergugat Rekonpensi sehubungan dengan promosi berlebihan dari pihak Penggugat Rekonpensi yang sudah dikonstatir oleh Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup; bahwa oleh karena mana apa yang dilakukan oleh para Tergugat Rekonpensi tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga gugatan rekonpensi harus ditolak dan putusan judex facti harus dibatalkan
PERMOHONAN GANTI KERUGIAN IMMATERIIL YANG TIDAK DIPERINCI BESARANNYA DALAM GUGATAN TIDAK DAPAT DIKABULKAN
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3138 K/Pdt/1994 menyelesaikan sengketa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Developer PT. Kentanik Super Internasional terhadap konsumen perumahan. Developer mengelabuhi konsumen dengan cara memanfaatkan keberadaan lahan genangan air bekas galian sirtu seluas ± 1,2 Ha (12.000 M2), sebagai fasilitas pemancingan dan rekreasi sebagaimana tercetak dalam bentuk brosur yang diedarkan kepada konsumen sebagai media promosi perumahannya.
Berdasarkan Site plan No. 11/648.21/Bappenda tanggal 12 September 1986 dan Site plan No. 046/649.21/Bappenda tanggal 10 Juni 1991, yang tidak adanya rencana fasilitas pemancingan/rekreasi dalam pembangunan perumahannya, menunjukkan bahwa Developer memang sejak awal tidak merencanakan penyediaan fasilitas pemancingan dan rekreasi, dan tidak ada niat merealisasikan fasilitas pemancingan dan rekreasi tersebut. Pencantuman fasilitas pemancingan dan rekreasi pada brosur promosi hanya sebagai upaya untuk menarik minat konsumen dalam membeli perumahan miliknya. Developer sejak awal dengan sengaja dan itikad buruk telah membuat brosur dengan promosi yang berlebihan, dan yang sejak awal memang tidak akan dipenuhinya (janji palsu).
Para Pemohon kasasi selaku konsumen membeli rumah-rumah yang ditawarkan oleh Developer (Termohon kasasi) tersebut karena adanya "Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi" yang terdapat dalam brosur promosi dari Developer. Ditinjau dari segi kepatutan apabila pemohon kasasi beritikad baik seharusnya ia memenuhi janji-janjinya yang dituangkan dalam brosur tersebut.
Perbuatan hukum yang dilakukan Developer yang menjanjikan fasilitas pemancingan dan rekreasi dalam brosur merupakan bentuk promosi yang berlebihan yang dilakukan dengan sengaja tanpa adanya itikad baik dari developer yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh developer.
Terhadap kerugian yang telah dialami oleh para Pemohon kasasi selaku konsumen, para Pemohon kasasi mengajukan petitum bahwa: Berdasarkan brosur yang telah diedarkan oleh Tergugat Konpensi/Termohon kasasi sebagai sarana promosinya, Tergugat Konpensi/Termohon kasasi telah melakukan wanprestasi dengan tidak melaksanakan janjinya dalam menyediakan "Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi" sebagaimana tertulis/tergambar dalam brosurnya.
Menurut Penulis, petitum yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon Kasasi, bahwa Tergugat Konpensi/Termohon kasasi telah melakukan wanprestasi adalah tidak tepat, karena:
- Yang dijadikan dasar wanprestasi oleh Penggugat/Pemohon Kasasi adalah brosur yang berisi promosi yang berlebihan. Berdasarkan site plan Site plan No. 11/648.21/Bappenda tanggal 12 September 1986 dan Site plan No. 046/649.21/Bappenda tanggal 10 Juni 1991, terlihat bahwa Tergugat/Termohon kasasi sejak awal sebelum pembuatan brosur tersebut tidak pernah merencanakan untuk menyediakan sarana pemancingan/rekreasi. Tergugat Konpensi/Termohon kasasi tidak pernah merencanakan penyediaan dan tidak ada niat dan keinginan untuk menyediakan "Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi" sebagaimana tertera dalam brosur. Artinya, Tergugat Konpensi/Termohon kasasi telah membuat brosur dengan niat dan itikad tidak baik.
- Sehingga menurut Penulis, perbuatan Tergugat Konpensi/Termohon kasasi dalam membuat brosur dengan itikad tidak baik tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
- Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum bila perbuatan tersebut telah bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. Yang dimaksud dengan kewajiban hukum adalah kewajiban yang berdasarkan atas hukum yaitu yang mencakup keseluruhan norma-norma baik tertulis maupun tidak tertulis, sehingga yang dimaksud dengan bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku adalah perbuatan seseorang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau larangan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman (referensi?), perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur: Harus ada perbuatan, baik yang bersifat positif maupun negatif; Perbuatan itu harus melawan hukum; Ada kerugian; Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; dan adanya kesalahan.
- Sehingga pembuatan brosur yang merupakan tahap pra perjanjian dengan niat dan itikad (catatan: kata yang baku "iktikad") tidak baik, merupakan perbuatan melawan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan perjanjian yang sah harus dilaksanakan dengan itikad baik yang berlaku pada tahap pra perjanjiaan, pelaksanaan dan tahap akhir.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat/Termohon kasasi dengan itikad buruk yang dilakukan oleh Tergugat/Termohon kasasi yang tidak merealisasikan penyediaan fasilitas pemancingan dan rekreasi sebagaimana yang dijanjikan dalam brosur yang dibuat oleh Developer, tetapi ternyata tidak pernah direncanakan dan juga tidak akan merealisasikan isi brosur tersebut, mengakibatkan para Penggugat/Pemohon kasasi mengalami kekecewaan yang mendalam. Perasaan kecewa dari para Penggugat/Pemohon Kasasi tersebut menurut kaidah penemuan hukum 1, yaitu: "kekecewaan yang diakibatkan oleh wanprestasi merupakan bentuk Kerugian immateriil."
Selanjutnya dalam gugatannya Penggugat/Pemohon kasasi mengajukan tuntutan ganti rugi sebesar Rp. 7.680.000,- (tujuh juta enam ratus delapan puluh ribu rupiah) kepada masing-masing Penggugat atau sebesar Rp.261.120.000 (dua ratus enam puluh satu juta serratus dua puluh ribu rupiah) kepada Para Penggugat. Akan tetapi, Penggugat tidak menjelaskan secara rinci tuntutan ganti kerugian tersebut untuk kerugian yang mana atau terhadap kerugian apa, sehingga berdasarkan kaidah penemuan hukum 2, yaitu: "Permohonan ganti kerugian immateriil yang tidak diberikan perinciannya, tidak dapat dikabulkan". Berdasarkan Kaidah Hukum 2 tersebut, Dalam pokok perkara, Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak gugatan para Penggugat seluruhnya.
Putusan yang menjadikan putusan MARI Nomor: 3138 K/Pdt/1994 ini sebagai yurisprudensi antara lain adalah Putusan Nomor: 01/Pdt.G.Plw/2012/PN.PKL. dan Putusan Nomor: 05/Pdt.G.Plw/2012/PN.PKL.
Putusan Nomor: 01/Pdt.G.Plw/2012/PN.PKL. ini mengambil kaidah hukum bahwa kerugian materiil dan kerugian immaterial yang didalilkan Penggugat tidak terperinci, sehingga berdasarkan Yurisprudensi MARI No. 550K/Sip/1979 yang memutuskan bahwa "petition tentang ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak diadakan perincian mengenai kerugian yang dituntut" dan Yurisprudensi MARI No. 3138K/Pdt/1994 yang memutuskan bahwa "ganti rugi yang didasarkan pada kekecewaan tidak dapat dikabulkan, bilamana dalam gugatan tersebut tidak diperinci berapa besarnya ganti rugi yang diminta."
Putusan Nomor: 05/Pdt.G.Plw/2012/PN.PKL., mengambil dasar hukum Yurisprudensi MARI No. 3138K/Pdt/1994 tgl. 29-04-1997 yang memutuskan: "Yang membolehkan gugatan ganti rugi karena kekecewaan sebagai kerugian immaterial dapat dikabulkan". Selanjutnya dalam gugatan immateriilnya, Terlawan memerinci tuntutan ganti kerugian immaterial sebagai berikut:
- "uang ganti rugi karena kekecewaan atas perbuatan Pelawan dalam memblokir SHM No. 00527 Kel. Sugihwaras Kec. Pekalongan Timur Kota Pekalongan sebesar Rp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah)"
- Permohonan maaf dari Pelawan kepada Terlawan di halaman depan surat kabar nasional selama 3 hari berturut-turut sebesar setengah halaman surat kabar.
- Menghukum kepada Pelawan untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 100.000,-/hari kepada Terlawan apabila Pelawan tidak mematuhi putusan pengadilan yang memeriksa perkara ini.
Pemberitaan yang Disebabkan oleh Kekecewaan Tergugat terhadap Promosi Berlebihan yang Dilakukan oleh Penggugat yang Telah Dikonstantir Pejabat Berwenang Bukanlah Perbuatan Melawan Hukum.
Pada perkara ini, gugatan (rekonpensi, namun tentu harus dipahami bahwa kaidah yurisprudensi berlaku untuk gugatan konpensi maupun rekonpensi) yang diajukan penggugat perihal ganti kerugian PMH karena pemberitaan media massa dan laporan ke instansi pemerintah maupun swasta, dikabulkan oleh hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Namun, hakim mahkamah agung berpendapat lain sehingga memberi putusan sendiri yang pada pokoknya menolak gugatan tersebut. Lebih rinci, mahkamah agung berpendapat bahwa "Pemberitaan tersebut langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh kekecewaan pada tergugat sehubungan promosi berlebihan yang dilakukan penggugat yang sudah dikonstantir oleh Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, tidak dapat dikategorikan sebagai PMH".
Berdasarkan yurisprudensi tersebut, hakim MA tidak menguraikan lebih detail perihal peraturan perundangan maupun doktrin yang dijadikan bahan rujukan, serta uraian lebih mendalam perihal kaidah hukum tersebut. Namun, jika diperhatikan isi yurisprunsi, dapat disimpulkan MA berpendapat bahwa 2 kondisi yang menyebabkan tidak adanya PMH dalam pemberitaan tersebut, yaitu: 1) Pemberitaan tersebut ada karena penggugat yang terlebih dahulu melakukan promosi yang berlebihan (promosi dilakukan melalui media brosur), dan 2) Pemberitaan tersebut telah dikonstantir oleh pejabat yang berwenang.
Berbicara tentang PMH, secara umum diatur dalam Pasal 1365 KUHperdata (PMH atau onrechtmatige daad), dimana suatu perbuatan dapat dikategorikan PMH jika memenuhi unsur:
- adanya perbuatan "Melawan hukum";
- adanya kerugian;
- adanya kesalahan; dan
- hubungan kausalitas antara kerugian dan PMH yang dilakukan.
Unsur pertama, perihal adanya perbuatan yang dapat dikategorikan melawan hukum, sebelum tahun 1919, PMH diidentikan sebagai perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undanganya (Fuady 2017). Kemudian, sejak tahun 1991 melalui H.R. 31 Januari 1919, pengertian PMH menjadi lebih luas, mencakup (Fauzan 2014; Hamidi 2011; Bimasakti 2019):
- Melanggar hak subjek hukum lain;
- Bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku; dan/atau
- Bertentangan dengan nilai kepatutan yang seyogyanya diindahkan dalam kehidupan bersama terhadap integritas subjek hukum.
Selanjutnya, annotator akan mencoba membahas perihal ada tidaknya unsur "Melawan hukum" dalam kasus ini. Pertama, pemberitaan yang dimuat di media massa adalah bentuk dari hak mengeluarkan pendapat yang dilindungi oleh konstitusi yaitu pada Pasal 28 UUD 1945 (sebelum amandemen) serta Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 (amandemen kedua). Turunannya, hal ini diatur dalam TAPMPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsabangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".
Kedua, laporan yang dilayangkan ke instansi swasta maupun pemerintah adalah hak dari para tergugat untuk mendapatkan kejelasan, solusi dan pemenuhan hak atas prestasi yang dijanjikan oleh penggugat dalam brosur yang diedarkan sebagai iklan dan dasar para tergugat membeli rumah kepada penggugat.
Ketiga, harus dipahami bahwa pemberitaan tersebut lahir sebagai akibat dari promosi berlebihan yang dilakukan oleh penggugat dalam brosur iklan perumahan yang dijualnya. Apabila penggugat dengan itikad baik melaksanakan apa yang telah diperjanjikan dalam brosur, tentu pemberitaan tersebut tidak akan ada. Promosi yang berlebihan tersebut sebenarnya menimbulkan hak bagi tergugat untuk melayangkan somasi. Promosi tersebut juga menyebabkan adanya "Ada hak pribadi sebagai dasar", yang artinya adalah bahwa diri pribadi tergugat memiliki hak secara hukum untuk melakukan perbuatan tersebut (Fuady 2017). Hak pribadi ini dikuatkan dengan adanya ‘Konstantir’ yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup berarti membenarkan adanya kondisi telah dilakukan promosi yang berlebihan dan hal ini berpotensi menimbulkan harapan kepada calon pembeli (tergugat). Namun harus dipahami, bahwa konstantir yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup bukan menjadi unsur pembenar atau hal-hal yang menghapus unsur perbuatan melawan hukum dalam suatu perbuatan. Konstantir ini menjadi penguat, bahwa memang penggugat telah memberi harapan-harapan (melalui brosur) dengan melakukan promosi berlebihan.
Karena unsur pertama yaitu adanya perbuatan melawan hukum tidak terpenuhi, maka unsur-unsur berikutnya tidak perlu diuraikan lagi. Hal ini dikarenakan unsur-unsur yang terdapat pada Padal 1365 KUHPerdata bersifat kumulatif (Suadi 2017), sehingga satu unsur saja tidak terpenuhi, maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan kepada suatu subjek hukum. Karena PMH tidak terbukti, maka sudah pasti ganti kerugian yang dituntut oleh Penggugat tidak dapat dikabulkan oleh hakim.
Kesimpulannya, pemberitaan di media massa dan laporan ke instansi pemerintan maupun swasta yang dilakukan oleh tergugat yang dikonstantir oleh pejabat yang berwenang, bukanlah PMH. Secara otomatis tidak adanya PMH menyebabkan ganti kerugian yang dimintakan oleh penggugat, tidak dapat dikabulkan. Artinya putusan yang dilakukan oleh hakim mahkamah agung berupa menganulir putusan judex factie dan menolak gugatan penggugat adalah sudah tepat.
Perihal putusan yang mengikuti, terdapat putusan 01/Pdt.G/2012/PN.Pkl dan putusan 05/Pdt.G.Plw/2012/PN.PKL, yang menggunakan yurisprudensi putusan 3138 K/Pdt/1994 sebagai salah satu dasar putusan. Sayangnya, kaidah yang digunakan bukan kaidah 3 yang sedang dibahas dalam anotasi a quo, melainkan kaidah 1 dan kaidah 2.
Perkara ini disidangkan di Mahkamah Agung yang menyelesaikan sengketa terkait perbuatan melawan hukum. Hukum yang diterapkan adalah Hukum Perdata khususnya Undang – Undang Nomor 14 tahun 1970 dan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1985. Pada dasarnya sengketa terjadi berawal dari Penggugat Asli telah membaca iklan perumahan Taman Narogog Indah yang dikelola Tergugat asli dengan fasilitas pemancingan dan rekreasi seluas ± 1,2 Ha. Berdasarkan iklan tersebut Penggugat Asli tertarik untuk membeli rumah – rumah yang ditawarkan Tergugat asli. Namun tergugat asli telah merubah fasilitas pemancingan dan rekreasi menjadi rumah – rumah yang akan dipasarkan kepada konsumen. Penggugat asli merasa bahwa tergugat asli telah melakukan wanprestasi / cidera janji. Terguat asli kemudian mengajukan rekonpensi bahwa penggugat rekonpensi/ tergugat asli sebagai developer telah membebaskan tanah dengan izin dan persetujuan Pemda setempat dan telah pula diterbitkan site plan oleh Bappeda. Namun karena penggugat asli melakukan/membuat berita terkait permasalahn tersebut di media maka memghambat pembangunan perumahan selama 14 bulan sehingga tergugat asli mengalami kerugian materill dan juga merugikan nama baik tergugat asli/penggugat rekonpensi.
Putusan pada pengadilan tingkat pertama Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 237/Pdt.G/1992/PN.Jkt.Tim tanggal 6 April 1993 menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya dan mengabulkan gugatan rekonpensi untuk Sebagian. Kemudian dalam tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Jakarta No. 496/PDT/1993PT.DKI menerima permohonan banding pembanding / penggugat asli dan memperbaiki putusan pengadilan Negeri Jakarta Timur menolak gugatan para pembanding/penggugat asli dan semakin menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan menyatakan bahwa penggugat asli telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Mahkamah Agung memberikan pertimbangan terkait sengketa tersebut, yang pada dasarnya menyatakan bahwa judex facti telah salah dalam menerpakan hukum acara yaitu kesimpulan – kesimpulan yang diambil tidak berdasarkan pada pembuktian yang diajukan dalam persidangan sebagaimana tercantum dalam berita acara. Selain itu MA menyimpulkan bahwa judex factie juga telah keliru menerapkan beban pembuktian, tidak mempertimbangkan dengan seksama bukti – bukti yang diajukan oleh pemohon kasasi dan putusan judex factie harus dibatalkan. Putusan Pengadilan Negeri telah banyak memuat kesalahan redaksional,
judex factie telah memberikan penilaian dan pendapat hukum yang berlebihan, judex factie telah salah menerapkan hukum yaitu keberadaan brosur yang diakui termohon kasasi. MA berpendapat bahwa apa yang disampaikan dalam brosur terbut yakni fasilitas pemancingan dan rekreasi terbukti secara sah menurut hukum bahwa termohon kasasi telah menjanjikan fasilitas tersebut, namun tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata brosur in casu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pendahuluan pembelian rumah. Sehingga MA menilai termohon kasasi tidak
melakukan itikad baik dalam menepati janji – janji nya yang dituangkan dalam brosur. Apabila judex factie mau membaca site plan terlihat bahwa memang fasilitas pemancingan dan rekreasi tersebut tidak ada. MA menilai perbuatan termohon kasasi bukanlah unsur yang memaksa termohon kasasi untuk cidera janji namun sengaja melanggar izin yang diberikan Pemda/Bappeda dengan menjanjikan pada pihak lain sesuatu untuk meningkatkan usahanya dengan membohongi konsumen.
Kaidah hukum yang digunakan dalam Putusan MA Nomor. 3138 K/Pdt/1994 yakni Pasal 1339 KUHPerdata bahwa "Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang - undang." Berdasarkan pasal tersebut apa yang dijanjian termohon kasasi pada brosur yaitu fasilitas pemancingan dan rekreasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian awal.