Karakterisasi Yurisprudensi No : 154 PK/TUN/2010
Bahwa perlu dipahami oleh pihak-pihak yang bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, bahwa batalnya Keputusan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan hak tanah (Sertipikat Hak Milik / Sertipikat Hak Guna dan lain-lain) tidak serta merta menghilangkan hak pemegangnya terhadap tanah tersebut. Tetapi sebaliknya putusan yang menentukan substansi hak atas tanah di Pengadilan Perdata, dapat dijadikan landasan bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang untuk merubah Surat Keputusan tentang Hak Tanah tersebut menjadi keatas nama pihak yang diberi title hak oleh Putusan Perdata.
Bahwa seharusnya setelah rangkaian proses perkara Tata Usaha Negara yang berakhir dengan putusan Peninjauan Kembali ke-I, maka amar putusan tersebut, harus dipedomani oleh pihak-pihak berperkara dengan melanjutkan sengketanya di Pengadilan yang berwenang yaitu Peradilan Umum untuk menyelesaikan sengketa "kepemilikan" agar dapat dipastikan milik siapakah sesungguhnya tanah dimana Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa diterbitkan;
Permasalahan hukum atau sengketa mengenai pertanahan khususnya adanya 2 (dua) sertifikat/bukti kepemilikan atas tanah yang saling tumpang tindih dapat diselesaikan melalui 2 (dua) badan peradilan yaitu badan peradilan umum (Pengadilan Negeri/Perdata) dan badan Peradilan Tata Usaha Negara, yang salah satu perkara tercermin dalam Putusan No. 154 PK/TUN/2010. Dalam perkara ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan terhadap terbitnya Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 6957/Bencongan, Gambar Situasi tanggal 1995 No. 11350/1995 seluas 4.400 m2 tercatat atas nama PT. Tunggal Reksa Kencana (yang telah diubah dengan nama PT. Lippo Karawaci, Tbk). Hal tersebut dikarenakan Penggugat merasa memiliki sebidang tanah berdasaran Sertifikat Hak Milik No. 39/Desa Bencongan, Gambar Situasi tanggal 19 Maret 1982 No. 2450/1982 seluas 4.223 m2 atas nama Amin Lembe yang tumpang tindih dengan sebidang tanah yang tercatat dalam SHGB tersebut. Dengan alasan adanya tumpang tindih terhadap kepemilikan terhadap sebidang tanah yang sama, Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung yang telah diputus dalam Putusan PTUN Bandung No. 49/G/1997/PTUN-BDG jo. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 40/B/1998/PTTUN-JKT jo.
Putusan Mahkamah Agung No. 166 K/TUN/1999 jo. Putusan Mahkamah Agung No. 20 PK/TUN/2003 yang pada pokoknya memutuskan gugatan penggugat tidak dapat diterima karena Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadili perkara tersebut.Setelah putusan tersebut berkekuatan hukum (in kracht) dalam ranah badan peradilan tata usaha negara, Penggugat kembali mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan dasar dan objek yang sama, dimana Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung memutuskan perkara tersebut berdasarkan Putusan PTUN Bandung No. 55/G/2001/PTUN- BDG dengan amar putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya dan membatalkan SHGB No. 6957/Bencongan tercatat atas nama PT. Tunggal Reksa Kencana (yang telah diubah dengan nama PT. Lippo Karawaci, Tbk), kemudian dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta memutus dalam tingkat banding berdasarkan Putusan PT.TUN Jakarta No. 45/B/2022/PT.TUN.JKT dengan amar putusan membatalkan Putusan PTUN Bandung No. 55/G/2001/PTUN-BDG, kemudian dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung memutus dalam tingkat kasasi berdasarkan Putusan No. 11 K/TUN/2003 dengan amar putusan membatalkan Putusan PT.TUN Jakarta No. 45/B/2022/PT.TUN.JKT serta mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya yang mengakibatkan batalnya SHGB No. 6957/Bencongan tercatat atas nama PT. Tunggal Reksa Kencana (yang telah diubah dengan nama PT. Lippo Karawaci, Tbk), dan terakhir dalam upaya hukum peninjauan kembali, Mahkamah Agung memutus dalam tingkat Peninjauan Kembali berdasarkan Putusan No. 49 PK/TUN/2007 dengan amar putusan menolak permohonan peninjauan Kembali dari PT. Lippo Karawaci, Tbk.Dari rangkaian tersebut, terdapat 2 (dua) putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan yaitu Putusan Putusan Mahkamah Agung No. 20 PK/TUN/2003 dan Putusan Mahkamah Agung No. 49 PK/TUN/2007, yang mana hal tersebut dijadikan dasar oleh PT. Lippo Karawaci, Tbk. untuk diajukan Peninjauan Kembali, dimana Mahkamah Agung memutus perkara tersebut dalam upaya hukum peninjauan Kembali berdasarkan Putusan MA No. 154 PK/TUN/2010 dengan amar putusan :
a. Mengabulkan permohonan PK dari PT. Lippo Karawaci, Tbk serta membatalkan Putusan Mahkamah Agung No. 49 PK/TUN/2007 beserta turunannya
b. Menguatkan Putusan Mahkamah Agung No. 20 PK/TUN/2003 yang menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, karena sengketa tersebut merupakan sengketa kepemilikan yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Umum (Perdata);
Analisa :
Perkara tersebut merupakan penegasan mengenai pembagian kompetensi absolut (kewenangan absolut) untuk menyelesaikan sengketa pertanahan khususnya berkaitan dengan adanya 2 (dua) subyek hukum yang merasa memiliki hak atas 1 (satu) bidang tanah yang sama, singkatnya terdapat sertifikat ganda dalam 1 (satu) bidang tanah.Berdasarkan ketentuan dalam PP No. 24 tahun 1997 menyatakan untuk terbitnya suatu sertifikat hak atas tanah, harus didahului oleh adanya kepastian pemegang hak atas tanah, artinya sebelum sertifikat hak atas tanah berupa Hak Milik, HGB, HGU dan seterusnya, maka mesti ada kepastian siapa yang menjadi pemegang hak atas tanah, adanya kepastian siapa yang pemegang hak miliknya. Sertifikat tanah merupakan tanda bukti hak keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan hukum atas suatu bidang tanah. Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan sertifikat tanah merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis suatu bidang tanah;Wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa dan memutus sengketa tata usaha Negara adalah menilai sebatas keabsahan hukum dari suatu keputusan tata usaha negara (KTUN), timbulnya suatu kepentingan hukum harus selalu didasarkan pada hubungan hukum terlebih dahulu. Kepentingan hukum tidak serta merta timbul tanpa adanya hubungan hukum sebelumnya. Dalam konteks peradilan TUN, hak dari penggugat yang dirugikan itu haruslah didasarkan pada hubungan hukum yang telah menimbulkan pengaruh pada kepentingan hukum penggugat sebagai akibat langsung dari putusan TUN tersebut, dan bukannya sebagai akibat dari peristiwa hukum lain meskipun hal itu ada kaitannya;Mengenai kepemilikan atas tanah ini tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan fungsi pemerintahan atau penggunaan kewenangan yang bersifat hukum publik. Kepemilikan atas tanah diatur oleh hukum keperdataan sedangkan yang diatur oleh hukum publik penetapan kepemilikan atas tanah tersebut ketika pemerintah cq BPN mengeluarkan suatu KTUN yang disebut sertifikat atas tanah;Dengan demikian, pelaksanaan pemeriksaan dan penilaian oleh Pengadilan TUN terhadap KTUN baru dilakukan setelah setelah selesaianya permasalahan kepemilikan hak atas tanah, sehingga penilaian oleh PTUN dilakukan bersifat posteriori, yaitu dilakukan setelah terjadi penyelesaian keperdataannya, dalam hal ini adalah sengketa kepemilikan atas tanah. Putusan Mahkamah Agung ini pun sejalan dengan beberapa yurisprudensi yang telah ada, yaitu:
a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 445K/TUN/2005 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 61K/TUN/2006 yang menghasilkan kaidah hukum:“...maka terhadap tanah obyek sengketa terdapat sengketa kepemilikan dan hal ini perlu diselesaikan melalui peradilan umum/pengadilan negeri.”
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 383 K/Sip/1971 tanggal 3 Nopember 1971, yang pada pokoknya menerangkan:“Kewenangan pengadilan dalam hal ini adalah menyatakan sertifikat tidak berkekuatan hukum. Hal tersebut perlu ditinjau ulang karena esensi dari peradilan perdata adalah menilai siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak atas sebidang tanah terperkara, bukan menilai keabsahan administratif penerbitan sertifikat dimaksud.”
c. Kemudian terdapat pula Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 88 K/TUN/1993 tertanggal 7 September 1994 yang menghasilkan kaidah hukum :“meskipun sengketa terjadi akibat dari surat keputusan pejabat, tetapi perkara tersebut menyangkut pembuktian hak milik atau tanah gugatan harus diajukan terlebih dahulu ke peradilan umum karena merupakan sengketa perdata.”
Dari beberapa yurisprudensi tersebut temasuk juga Putusan Mahkamah Agung No. 154 PK/TUN/2010 ini menjadi penegasan terhadap pengadilan perdata/pengadilan negeri untuk menentukan terlebih dahulu siapa pemilik yang sah terhadap sebidang tanah yang menjadi objek sengketa, setelahnya untuk pembatalan terhadap bukti kepemilikan bagi pihak yang tidak berhak dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.Dengan demikian, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 154 PK/TUN/2010 masih sangat relevan untuk dijadikan yurisprudensi atau bahkan kaidah hukum ini seyogianya dinormakan dalam peraturan perundang-undangan (in casu UU Kekuasaan Kehakiman) guna mencapai kepastian hukum dalam sengketa pertanahan.
Download Karakterisasi
File Putusan
Putusan Mahkamah Agung No. 166 K/TUN/1999 jo. Putusan Mahkamah Agung No. 20 PK/TUN/2003 yang pada pokoknya memutuskan gugatan penggugat tidak dapat diterima karena Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadili perkara tersebut.Setelah putusan tersebut berkekuatan hukum (in kracht) dalam ranah badan peradilan tata usaha negara, Penggugat kembali mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan dasar dan objek yang sama, dimana Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung memutuskan perkara tersebut berdasarkan Putusan PTUN Bandung No. 55/G/2001/PTUN- BDG dengan amar putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya dan membatalkan SHGB No. 6957/Bencongan tercatat atas nama PT. Tunggal Reksa Kencana (yang telah diubah dengan nama PT. Lippo Karawaci, Tbk), kemudian dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta memutus dalam tingkat banding berdasarkan Putusan PT.TUN Jakarta No. 45/B/2022/PT.TUN.JKT dengan amar putusan membatalkan Putusan PTUN Bandung No. 55/G/2001/PTUN-BDG, kemudian dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung memutus dalam tingkat kasasi berdasarkan Putusan No. 11 K/TUN/2003 dengan amar putusan membatalkan Putusan PT.TUN Jakarta No. 45/B/2022/PT.TUN.JKT serta mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya yang mengakibatkan batalnya SHGB No. 6957/Bencongan tercatat atas nama PT. Tunggal Reksa Kencana (yang telah diubah dengan nama PT. Lippo Karawaci, Tbk), dan terakhir dalam upaya hukum peninjauan kembali, Mahkamah Agung memutus dalam tingkat Peninjauan Kembali berdasarkan Putusan No. 49 PK/TUN/2007 dengan amar putusan menolak permohonan peninjauan Kembali dari PT. Lippo Karawaci, Tbk.Dari rangkaian tersebut, terdapat 2 (dua) putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan yaitu Putusan Putusan Mahkamah Agung No. 20 PK/TUN/2003 dan Putusan Mahkamah Agung No. 49 PK/TUN/2007, yang mana hal tersebut dijadikan dasar oleh PT. Lippo Karawaci, Tbk. untuk diajukan Peninjauan Kembali, dimana Mahkamah Agung memutus perkara tersebut dalam upaya hukum peninjauan Kembali berdasarkan Putusan MA No. 154 PK/TUN/2010 dengan amar putusan :
a. Mengabulkan permohonan PK dari PT. Lippo Karawaci, Tbk serta membatalkan Putusan Mahkamah Agung No. 49 PK/TUN/2007 beserta turunannya
b. Menguatkan Putusan Mahkamah Agung No. 20 PK/TUN/2003 yang menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, karena sengketa tersebut merupakan sengketa kepemilikan yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Umum (Perdata);
Analisa :
Perkara tersebut merupakan penegasan mengenai pembagian kompetensi absolut (kewenangan absolut) untuk menyelesaikan sengketa pertanahan khususnya berkaitan dengan adanya 2 (dua) subyek hukum yang merasa memiliki hak atas 1 (satu) bidang tanah yang sama, singkatnya terdapat sertifikat ganda dalam 1 (satu) bidang tanah.Berdasarkan ketentuan dalam PP No. 24 tahun 1997 menyatakan untuk terbitnya suatu sertifikat hak atas tanah, harus didahului oleh adanya kepastian pemegang hak atas tanah, artinya sebelum sertifikat hak atas tanah berupa Hak Milik, HGB, HGU dan seterusnya, maka mesti ada kepastian siapa yang menjadi pemegang hak atas tanah, adanya kepastian siapa yang pemegang hak miliknya. Sertifikat tanah merupakan tanda bukti hak keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan hukum atas suatu bidang tanah. Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan sertifikat tanah merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis suatu bidang tanah;Wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa dan memutus sengketa tata usaha Negara adalah menilai sebatas keabsahan hukum dari suatu keputusan tata usaha negara (KTUN), timbulnya suatu kepentingan hukum harus selalu didasarkan pada hubungan hukum terlebih dahulu. Kepentingan hukum tidak serta merta timbul tanpa adanya hubungan hukum sebelumnya. Dalam konteks peradilan TUN, hak dari penggugat yang dirugikan itu haruslah didasarkan pada hubungan hukum yang telah menimbulkan pengaruh pada kepentingan hukum penggugat sebagai akibat langsung dari putusan TUN tersebut, dan bukannya sebagai akibat dari peristiwa hukum lain meskipun hal itu ada kaitannya;Mengenai kepemilikan atas tanah ini tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan fungsi pemerintahan atau penggunaan kewenangan yang bersifat hukum publik. Kepemilikan atas tanah diatur oleh hukum keperdataan sedangkan yang diatur oleh hukum publik penetapan kepemilikan atas tanah tersebut ketika pemerintah cq BPN mengeluarkan suatu KTUN yang disebut sertifikat atas tanah;Dengan demikian, pelaksanaan pemeriksaan dan penilaian oleh Pengadilan TUN terhadap KTUN baru dilakukan setelah setelah selesaianya permasalahan kepemilikan hak atas tanah, sehingga penilaian oleh PTUN dilakukan bersifat posteriori, yaitu dilakukan setelah terjadi penyelesaian keperdataannya, dalam hal ini adalah sengketa kepemilikan atas tanah. Putusan Mahkamah Agung ini pun sejalan dengan beberapa yurisprudensi yang telah ada, yaitu:
a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 445K/TUN/2005 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 61K/TUN/2006 yang menghasilkan kaidah hukum:“...maka terhadap tanah obyek sengketa terdapat sengketa kepemilikan dan hal ini perlu diselesaikan melalui peradilan umum/pengadilan negeri.”
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 383 K/Sip/1971 tanggal 3 Nopember 1971, yang pada pokoknya menerangkan:“Kewenangan pengadilan dalam hal ini adalah menyatakan sertifikat tidak berkekuatan hukum. Hal tersebut perlu ditinjau ulang karena esensi dari peradilan perdata adalah menilai siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak atas sebidang tanah terperkara, bukan menilai keabsahan administratif penerbitan sertifikat dimaksud.”
c. Kemudian terdapat pula Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 88 K/TUN/1993 tertanggal 7 September 1994 yang menghasilkan kaidah hukum :“meskipun sengketa terjadi akibat dari surat keputusan pejabat, tetapi perkara tersebut menyangkut pembuktian hak milik atau tanah gugatan harus diajukan terlebih dahulu ke peradilan umum karena merupakan sengketa perdata.”
Dari beberapa yurisprudensi tersebut temasuk juga Putusan Mahkamah Agung No. 154 PK/TUN/2010 ini menjadi penegasan terhadap pengadilan perdata/pengadilan negeri untuk menentukan terlebih dahulu siapa pemilik yang sah terhadap sebidang tanah yang menjadi objek sengketa, setelahnya untuk pembatalan terhadap bukti kepemilikan bagi pihak yang tidak berhak dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.Dengan demikian, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 154 PK/TUN/2010 masih sangat relevan untuk dijadikan yurisprudensi atau bahkan kaidah hukum ini seyogianya dinormakan dalam peraturan perundang-undangan (in casu UU Kekuasaan Kehakiman) guna mencapai kepastian hukum dalam sengketa pertanahan.