Karakterisasi Yurisprudensi No : 54 K TUN 2014
Mengenai derajat kepastian hak atau status hukum seseorang , kejelasannya menurut keputusan pengadilan perdata, pengadilan pidana, dan keputusan pengadilan tata usaha negara mulai berlaku. Namun, hukumnya tetap sama jika ada pertentangan antara aturan hukum substantif dengan aturan hukum formal yang kemudian diputuskan oleh hakim. Dalam hal ini negara harus mengedepankan keadilan substantif (mengedepankan sisi substantif daripada formil).
193 PK/TUN/2017 Merujuk pada pertimbangan amar Putusan 54/K/TUN yang berbunyi ''Terkait kepastian hak dan posisi subjek hukum yang telah diputuskan oleh pengadilan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka akan sangat menciderai keadilan jika keadilan substantif dipinggirkan pada saat bergesekan dengan aturan formal.
533 K/TUN/2017 Maka kaidah formal terkait tenggang waktu tidak tepat jika kemudian diterapkan secara ketat sehingga mengesampingkan persoalan substantif. Dengan demikian, demi mengutamakan keadilan substantif, maka kaidah hukum formal patut dikesampingkan.
193 PK/TUN/2017 Merujuk pada pertimbangan amar Putusan 54/K/TUN yang berbunyi ''Terkait kepastian hak dan posisi subjek hukum yang telah diputuskan oleh pengadilan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka akan sangat menciderai keadilan jika keadilan substantif dipinggirkan pada saat bergesekan dengan aturan formal.
533 K/TUN/2017 Maka kaidah formal terkait tenggang waktu tidak tepat jika kemudian diterapkan secara ketat sehingga mengesampingkan persoalan substantif. Dengan demikian, demi mengutamakan keadilan substantif, maka kaidah hukum formal patut dikesampingkan.
Latar Belakang
Yurisprudensi atau preseden hukum merupakan aspek penting dalam sistem hukum di Indonesia. Meskipun Indonesia tidak secara ketat mengikuti yurisprudensi, yurisprudensi dapat digunakan sebagai preseden atau alternatif bagi hakim untuk dipertimbangkan saat mengadili kasus. Hal ini terutama berlaku jika putusan sebelumnya dianggap telah menciptakan keadilan bagi para pihak. Manfaat yurisprudensi termasuk mengisi kesenjangan dalam hukum dan memberikan panduan bagi hakim dalam membuat keputusan. Selain itu, putusan yang konsisten dapat menghasilkan kepastian hukum dan stabilitas yang lebih besar.
Tujuan dari yurisprudensi adalah untuk mengembangkan dan mempertahankan prinsip-prinsip hukum yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam undang-undang. Hakim memiliki kewajiban untuk menciptakan yurisprudensi ketika ada masalah yang tidak diatur dalam hukum atau ketika hukum tidak lengkap atau tidak jelas. yurisprudensi juga dapat digunakan untuk mengatasi stagnasi pemerintah demi kepentingan publik.
Pembuatan yurisprudensi dapat memastikan bahwa ada nilai kegunaan dalam putusan, dan bahwa putusan tersebut mengandung nilai terobosan dan diikuti secara konsisten oleh hakim, sehingga memaksimalkan kepastian hukum. Yurisprudensi memiliki beberapa macam, yaitu yurisprudensi tetap, yurisprudensi tidak tetap, yurisprudensi semi yuridis, dan yurisprudensi administratif. Yurisprudensi tetap adalah putusan hakim yang berulang kali dipergunakan pada kasus-kasus yang sama dan dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan untuk memutuskan suatu perkara. Yurisprudensi tidak tetap adalah putusan hakim terdahulu yang tidak dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan. Yurisprudensi semi yuridis adalah semua penetapan pengadilan yang didasarkan pada permohonan seseorang yang berlaku khusus hanya pada pemohon, seperti penetapan status anak. Yurisprudensi administratif adalah surat edaran Mahkamah Agung yang berlaku hanya secara administratif dan mengikat intern di dalam lingkup pengadilan.
Hukum formil dan hukum materiil/substansial adalah dua konsep penting dalam sistem hukum. Hukum formil mengacu pada aturan yang mengatur cara menjalankan atau mempertahankan hukum materil, sedangkan hukum materiil/substansial mengacu pada isi atau materi dari hukum itu sendiri. Sumber hukum formal dan materil juga berbeda. Sumber hukum formal menentukan bentuk dan sebab terjadinya suatu peraturan, sedangkan sumber hukum materil menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum yang mengikat setiap orang. Hukum formil dan hukum materiil/substansial memiliki peran yang berbeda dalam sistem hukum.
Tinjauan Pustaka
Hukum formil membantu menjaga kepastian hukum dan memberikan panduan bagi hakim dalam menjalankan hukum materil. Hukum materil/substansial, di sisi lain, menentukan perbuatan apa yang dapat dihukum serta hukuman apa yang dapat dijatuhkan. Hukum materiil/substansial juga menentukan isi dari suatu perjanjian, perhubungan, atau perbuatan. Terdapat beberapa teori hukum yang mengatakan bahwa hukum materil lebih penting daripada hukum formil. Salah satu teori tersebut adalah teori Sudikno Mertokusumo, yang menyatakan bahwa hukum materiil/substansial merupakan inti dari hukum, sedangkan hukum formil hanya merupakan alat untuk menjalankan hukum materiil/substansial. Fais Yonas Bo’a juga menyebutkan bahwa sumber hukum materiil merupakan tempat dari mana materi hukum itu diambil, seperti situasi sosial ekonomi, tradisi, perkembangan internasional, dan keadaan geografis. Ada juga yang berpendapat bahwa hukum formil dan hukum materiil/substansial memiliki peran yang sama pentingnya dalam sistem hukum. Hukum formil membantu menjaga kepastian hukum dan memberikan panduan bagi hakim dalam menjalankan hukum materil. Pentingnya hukum formil dan hukum materiil/substansial dalam sistem
hukum menunjukkan bahwa keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Hukum formil membantu menjaga kepastian hukum dan memberikan panduan bagi hakim dalam menjalankan hukum materil, sedangkan hukum materiil/substansial menentukan perbuatan apa yang dapat dihukum serta hukuman apa yang dapat dijatuhkan. Oleh karena itu, baik hukum formil maupun hukum materiil/substansial memiliki peran yang sama pentingnya dalam sistem hukum. Dalam penelitian hukum, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mempelajari hukum formil dan hukum materiil/substansial. Metode penelitian hukum teoritis dapat digunakan untuk mempelajari konsep-konsep hukum dan hubungan antara hukum formil dan hukum materiil/substansial. Sementara itu, metode penelitian hukum empiris dapat digunakan untuk mempelajari efektivitas hukum formil dan hukum materiil/substansial dalam praktik.
Pembahasan
a. Akibat Hukum Putusan Nomor 54/K/TUN/2014 bagi Para Pihak
Akibat hukum adalah konsekuensi atau hasil dari suatu tindakan atau kejadian yang diatur oleh hukum.18 Akibat hukum dapat berupa sanksi pidana, sanksi perdata, atau sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran yang dilakukan. Bagi para Penggugat akibat hukum dari putusan ini adalah dikabulkannya permohonan terkait Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 26/ G/2012/PT.TUN.JKT. tanggal 1 Agustus 2013 sehingga memberlakukan Kembali Surat Keputusan Tergugat (Ketua BAPEK) Nomor 077/KPTS/ BAPEK/2012 tentang Penguatan Hukuman Disiplin atas nama Maizon Hendri. NIP: 19690501 199403 1 006; memberlakukan Kembali Surat Keputusan Nomor 077/KPTS/BAPEK/2012 tentang Penguatan Hukuman Disiplin atas nama Maizon Hendri. NIP: 19690501 199403 1 006. yang semula dicabut; menerbitkan surat keputusan yang berisi memberhentikan termohon sebagai Pegawai Negeri Sipil; dan menghentikan proses rehabilitasi termohon pada posisi dan kedudukan semula. Sedangkan bagi Tergugat akibat hukum yang diterima adalah pemberhentian kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil karena telah melanggar aturan mengenai Disiplin Pegawai Negeri yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri dan membayar biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah). Selain itu gugur pula segala rehabilitasi dan pemulihan posisi kepada tergugat.
b. Pertimbangan hakim dalam Putusan 54 K/TUN/2014 ditinjau dari Hukum Progresif.
Hukum progresif adalah suatu gagasan yang ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo. Asumsi dasar hukum progresif adalah hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.19 Lahirnya hukum progresif merupakan bentuk kritik atas kelemahan sistem hukum yang terlalu mengedepankan birokrasi dan prosedur sehingga berpotensi besar dalam mengesampingkan kebenaran dan keadilan.20 Suteki menyatakan bahwa hukum progresif tidak menekankan pada formalisme hukum semata karena praktik formalisme hukum mengandung berbagai kontradiksi dan kebuntuan dalam pencarian kebenaran dan keadilan substantif.21 Dalam hukum progresif, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang bersifat final melainkan sebagai sesuatu yang secara terus-menerus harus dibangun (law in the making), artinya hukum adalah suatu proses yang berkesinambungan.
Berkaitan dengan pertimbangan hakim dalam putusannya, maka sejalan dengan konsep hukum progresif yang memandang hukum materil/substansial lebih esensial dibanding hukum formil. Kaidah yurisprudensi ini menjadi terobosan baru bagi penegakan hukum di Indonesia karena pada praktik kerap kali ada hal-hal yang tidak diprediksi, semisal force majeure yang menghambat dalam penegakan formil. Namun, pandangan tersebut bukan berarti menganggap bahwa hukum formil tidak perlu untuk ditegakkan. Sejatinya keduanya adalah satu kesatuan, materiil sebagai isi aturan, formil sebagai medium penegakannya. Jika keduanya terjadi benturan, maka harus dikembalikan lagi ke tujuan awal diadakannya penegakan hukum.
Hukum diciptakan untuk melindungi berbagai kepentingan manusia.23 Dalam penegakannya ada tiga poin yang harus selalu diperhatikan yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.24 Sebagai ujung tombak penegakan hukum, hakim harus bisa mengakomodasi tiga poin tersebut sekaligus senantiasa memegang konsep untuk tidak bisa menangguhkan pelaksanaan atau penegakan undang-undang yang telah dilanggar. Dalam putusan poin keadilan tercermin dari adanya pertimbangan hakim terkait tindakan Maizon yang telahmelakukan penipuan dan dalam keadaan memanfaatkan jabatannya untuk mengambil keuntungan pribadi serta mencederai marwah pegawai negeri sipil. Kemudian poin kepastian hukum tercermin melalui In casu, pada pengadilan tingkat pertama BAPEK dinilai melebihi kurun waktu prosedur formilnya yakni 180 hari dan hakim tidak lagi melihat komponen/ substansi lainnya. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan tugas hakim itu sendiri. Keputusan yang tepat bagi majelis hakim di Kasasi untuk menganulir pertimbangan tersebut. Esensi penegakan hukum adalah melihat fakta hukum apa yang terjadi dan kemungkinan dilanggar, bukan sekedar melihat sisi luar dari sebuah perkara. Sebab, jika hanya didasarkan pada sisi formil, maka hakim akan kesulitan untuk melakukan penemuan hukum, interpretasi hukum, dan melihat argumen secara lebih dekat. Jika hukum hanya didasarkan pada sisi formil maka akan semakin sedikit orang yang merasakan kemanfaatan karena hakim tidak menganalisis secara detail duduk perkara suatu kasus. Dengan demikian, maka kaidah yurisprudensi dalam Putusan 54/K/TUN/2014 sangat relevan dengan kondisi sekarang dan menjadi preseden yang bijak untuk dapat diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam memutus kasus serupa.
Kesimpulan
a. Bagi para penggugat akibat hukum dari putusan ini adalah dikabulkannya permohonan terkait Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 26/ G/2012/PT.TUN.JKT. tanggal 1 Agustus 2013 sehingga memberlakukan Kembali Surat Keputusan Tergugat (Ketua BAPEK) Nomor 077/KPTS/ BAPEK/2012 tentang Penguatan Hukuman Disiplin atas nama Maizon Hendri. NIP: 19690501 199403 1 006; memberlakukan Kembali Surat Keputusan Nomor 077/KPTS/BAPEK/2012 tentang Penguatan Hukuman Disiplin atas nama Maizon Hendri. NIP: 19690501 199403 1 006. yang semula dicabut; menerbitkan surat keputusan yang berisi memberhentikan termohon sebagai Pegawai Negeri Sipil; dan menghentikan proses rehabilitasi termohon pada posisi dan kedudukan semula. Sedangkan bagi tergugat akibat hukum yang diterima adalah pemberhentian kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil karena telah melanggar aturan mengenai Disiplin Pegawai Negeri yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri dan membayar biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah).
b. Pertimbangan hukum hakim dalam Putusan 54/K/TUN/2014 sejalan dengan konsep hukum progresif yang memandang hukum materiil/substansial lebih esensial dibanding hukum formal. Hukum diciptakan untuk melindungi berbagai kepentingan manusia. Dalam penegakannya ada tiga poin yang harus selalu diperhatikan yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Sebagai ujung tombak penegakan hukum, hakim harus bisa mengakomodasi tiga poin tersebut sekaligus senantiasa memegang konsep untuk tidak bisa menangguhkan pelaksanaan atau penegakan undang-undang yang telah dilanggar. Oleh karena itu, kaidah yurisprudensi dalam Putusan 54/K/TUN/2014 sangat relevan dengan kondisi sekarang dan menjadi contoh yang bijak untuk dapat diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam memutus kasus serupa.