Karakterisasi Yurisprudensi No : 4 Yur Pdt 2018 (1051 K Pdt 2014)
Topik yang dianalisis dalam Yurisprudensi sebagaimana yang tertuang dalam Putusan Regno. 318K/TUN/2000 adalah berkenaan dengan proses Perkara TUN yang berkaitan dengan sengketa pembatalan pendaftaran hak milik. Penemuan hukum yang terdapat dalam Putusan Regno. 318K/TUN/2000 adalah ''Kepala Kantor Pertanahan tidak boleh melakukan pendaftaran peralihan hak, jika tanah yang bersangkutan merupakan objek sengketa di Pengadilan.''
Mahkamah Agung memutus perkara ini dengan mengacu pada kaidah hukum bahwa berdasarkan pasal 45 ayat (1) huruf e PP No. 24 Tahun 1997, Kepala Kantor Pertanahan tidak boleh melakukan Pendaftaran Peralihan Hak jika tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di pengadilan.
Hubungan hukum para pihak secara keperdataan, salah satunya dapat terbentuk dari perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan. Walaupun perjanjian telah disepakati dan terpenuhi unsur sebagaimana Pasal 1320 KUHPerdata, namun dalam pelaksanaan dapat saja dibatalkan oleh salah satu pihak secara sepihak. Daya mengikat sebuah perjanjian sebagaimana undang-undang bagi para pihak yang membuatnya diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang salah satunya menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Pembatalan perjanjian secara sepihak pada prinsipnya melanggar ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Merujuk pada ketentuan normatif dalam KUHPerdata, tidak ada satu pasal pun yang menentukan akibat hukum dari pembatalan perjanjian, padahal dalam praktik pembatalan perjanjian secara sepihak banyak dilakukan yang pada akhirnya berujung pada gugatan di pengadilan. Dalam konteks pelaksanaan perjanjian selalu dikaitkan dengan keadaan wanprestasi, dan pelanggaran terhadap undang-undang, kepatutan, dan kesusilaan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain merupakn unsur-unsur terpenuhinya perbuatan melawan hukum ( Pasal 1365 KUHPerdata) Abdulkadir M. menyampaikan bahwa apabila salah satu pihak terbukti melakukan cidera janji atau wanprestasi, dapat diajukan gugatan pembatalan perjanjian kepada pengadilan. Pasal 1267 KUHPerdata menyatakan bahwa pihak yang merasa dirugikan karena tidak dipenuhi hak dan/atau kewajiban dapat memilih penyelesaian melalui 2 cara, yaitu; pihak lain melakukan persetujuan untuk memenuhi objek tersebut apabila masih dapat dilakukan, atau dilakukan pembatalan perjanjian/kontrak dengan penggantian biaya, kerugian, dan bunga, namun, pembatalan kontrak harus sesuai dengan syarat dan prosedur yang terdapat pada Pasal 1266 KUHPerdata. Namun keadaan berbeda ketika pembatalan perjanjian tidak dilakukan melalui putusan pengadilan, namun secara sepihak sehingga gugatan ditujukan karena akibat dari pembatalan perjanjian secara sepihak dirasakan telah menimbulkan kerugian bagi hak subjektif pihak penggugat sebagaimana kasus yang memiliki pertimbangan dan putusan yang saling menguatkan dan menghasilkan kaidah hukum bahwa: “Pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum”.Putusan hakim No 1051K/pdt/2014, setidaknya diikuti oleh 3 (tiga) putusan yang sama, sehingga menjadi yurisprudensi tetap yaitu No. 4_Yur_Pdt_2018. Oleh karena itu Mahkamah Agung berpandangan bahwa Pemutusan perjanjian secara sepihak merupakan perbuatan melawan hukum, telah menjadi yurisprudensi tetap di Mahkamah Agung. Selanjutnya Mahkamah Agung telah secara konsisten menerapkan sikap hukumnya tersebut diseluruh putusan dengan permasalahan serupa sejak tahun 2014.Asas-Asas Dalam Perjanjian1) Kebebasan BerkontrakAsas kebebasan berkontrak dapat dipahami pada Pasal 1338(1) KUH Perdata, yakni: “Setiap pengaturan itu dinyatakan sah sebagai undang-undang bagi mereka yang menciptakan itu". Asas berkontrak adalah salah satu asas yang mana menyediakan kebebasan terhadap para pihak untuk:a) Membuat ataupun tak membuat nya suatu perjanjian;b) Menyelenggarakan perjanjian bersama pihak manapun;c) Menetapkan isi kontrak atau perjanjian, pelaksanaan serta persyaratan pada perjanjian;d) Menetapkan segala bentuk perjanjian, yaitu lisan maupun tertulis.2) KonsensualismeAsas konsensualisme dapat ditarik kesimpulannya dari Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pada pasal tersebut ditetapkan bahwa "salah satu syarat suatu perjanjian yang sah adalah harus disetujui oleh kedua belah pihak." Konsensualisme adalah suatu asas yang mengemukakan cukup hadirnya kesepakatan antara dua belah pihak walaupun tidak diadakan secara formal. Kesepakatan adalah keselarasan kehendak serta klaim yang diciptakan oleh dua belah pihak.3) Pacta Sunt ServandaPrinsip pacta sunt servanda dikenal sebagai premis kepastian hukum. Gagasan tersebut berkaitan dengan konsekuensi kontrak atau perjanjian. Pada asas pacta sunt servanda menyatakan bahwasanya pihak ketiga atau hakim wajib menjunjung tinggi syarat-syarat kontrak atau perjanjian yang sudah dibuat oleh dua belah pihak seolah-olah suatu undang-undang. Pihak ketiga seharusnya tidak mengubah ketentuan perjanjian yang sudah dibuat oleh dua belah pihak. Hal tersebut merujuk pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang mengemukakan bahwasanya “Perjanjian yang dibentuk dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang”.4) Itikad BaikKesimpulan tentang asas itikad baik dapat diambil dari KUH Perdata tepatnya pada Pasal 1338 ayat (3), “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini mengemukakan bahwasanya dua belah pihak yakni kreditur serta debitur wajib memegang teguh isi akad berdasarkan itikad baik, keyakinan, atau kepercayaan yang kuat. Dua kategori prinsip itikad baik adalah itikad baik relatif dan itikad baik mutlak. Orang memperhatikan sikap dan perilaku aktual subjek dengan itikad baik. Dalam itikad baik yang paling ketat, keputusan didasarkan pada keadilan dan akal sehat, dan penilaian yang tidak memihak dibuat atas keadaan sesuai dengan standar objektif.Syarat batal suatu perjanjian apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya telah diatur pada Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat utama agar pembatalan tersebut dapat dilakukan, yaitu; perjanjian bersifat timbal balik, harus ada wanprestasi, dan harus dengan putusan hakim.Secara teori dan landasan norma, tidak ditemukan kaidah hukum dalam KUHPerdata yang mengatur bahwa akibat hukum dari pembatalan perjanjian secara sepihak merupakan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perbuatan disebut perbuatan melawan hukum apabila terpenuhinya semua unsur, yaitu:1. Perbuatan itu harus melawan hukum (Onrechtmatige);2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian); dan4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.Unsur onrechtmatige atau perbuatan itu harus melawan hukum, diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi:a. Perbuatan yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum;b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden);d. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.Kaidah yurisprudensi dalam putusan No. 1051 K/Pdt/2014 banyak dikutip dalam berbagai data elektronik baik dalam bentuk jurnal maupun ulasan hukum lain seperti hukum online, demikian pula ditemukan artikel juranl yang menguti yurisprudensi No 4_Yur_Pdt_2018 di Jurnal Arena Hukum Volume 15, Nomor 3, Desember 2022 terkait pembatalan kontrak sepihak dalam pengadaan barang dan jasa dan dalam Acta Diurnal Vol 3 No 2 Tahun 2020 terkait Akibat Hukum Klausula Pemutusan Secara Sepihak Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Hak Milik Atas Tanah.Menurut hukum Indonesia, pembatalan perjanjian merupakan suatu kosekuensi apabila salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi). Pengaturan tentang pembatalan perjanjian telah diatur dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata yang intinya mengatur bahwa pembatalan perjanjian harus dimintakan kepada hakim, meskipun syarat batal tercantum atau tidak di dalam perjanjian, dan pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Dalam praktik para pihak sering mencantumkan suatu klausula dalam perjanjian bahwa mereka sepakat untuk melepaskan atau mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUHPerdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Ada beberapa alasan yang mendukung pencantuman klausula ini. Menurut Wangsawidjaja, kekuatan mengikat klausul syarat batal dalam kontrak yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267 KUHPerdata didasarkan atas asas pacta sunt servanda yang terlihat dari sifat terbuka suatu perjanjian yang mengandung asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga pencantuman klausula yang melepaskan ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUHPerdata, harus ditaati oleh para pihak.Secara yuridis, pemutusan perjanjian yang sah akan memberikan akibat hukum bagi para pihak. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja berpendapat bahwa perjanjian atau perikatan yang diakhiri oleh para pihak, para pihak tidak dapat meniadakan atau menghilangkan hak-hak para pihak. Yang hanya dapat ditiadakan dengan pemutusan tersebut hanya akibat-akibat yang terjadi di masa yang akan datang diantara para pihak tersebut, sedangkan bagi perjanjian yang dibatalkan oleh Hakim, pembatalan mengembalikan kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada keadaan semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak perna terjadi, dengan pengecualian terhadap hak-hak tertentu yang tetap dipertahankan oleh undang-undang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu secara das sein, terkadang perjanjian tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi, force majeur, atau bahkan perbuatan melawan hukum. Pihak yang merasa dirugikan atas suatu perjanjian terkadang dapat mengambil sikap untuk memutuskan perjanjian yang telah disepakati secara sepihak Demikian dalam praktik, pembatalan perjanjian secara sepihak menimbulkan kerugian bagi pihak lain sehingga ditemukan beberapa gugatan dengan kualifikasi perbuatan melawan hukum. Melalui putusan Pengadilan Negeri Bekasi yang dikuatkan oleh putusan judex factie melalui putusan No 1051/pdt/k/2014, hakim telah melakukan penemuan hukum sehubungan dengan kekosongan norma yang ada dalam KUHPerdata.Menurut anatator, hakim dalam perkara ini melakukan penemuan hukum dengan memperluas (ekstensif) bahwa kerugian yang timbul karena pembatalan perjanjian secara sepihak selain bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak juga karena ada hak subjektif yang dilanggar. Mengingat bahwa tidak ditemukannya kaidah hukum tersebut dalam KUHPerdata, maka melalui putusan hakim terbentuknya hukum (judge made law). Berdasarkan data yang ada, terdapat pertimbangan dan putusan pengadilan dalam perkara lain yang mengutip putusan No 1051/pdt/k.2014 sehingga menjadi yurisprudensi dan menjadi sumber hukum karena tidak ditemukan kaidah hukum dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu telah terjadinya kepastian hukum dengan harapan tidak ditemukan putusan yang saling bertentangan satu sama lain terhadap kualifikasi pembatalan perjanjian secara sepihak.
Download Karakterisasi
File Putusan