Karakterisasi Yurisprudensi No : 110 K/AG/2007

  • Post : 2024-08-08 11:47:32
  • Download ()
Kaidah Yurisprudensi : 110 K/AG/2007
Pertimbangan utama dalam masalah hadlanah (Pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, dan bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. Sekalipun si anak belum berumur 7 (tujuh) tahun, karena si ibu sering bepergian ke luar negeri sehingga tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan selama ini telah terbukti si anak telah hidup tenang dan tentram bersama ayahnya, maka demi kemaslahatan si anak hak hadlanah nya diserahkan kepada ayahnya

Perbaikan Kiadah Yurisprudensi

Kepentingan terbaik dan kemaslahatan bagi anak merupakan penentu hak asuh anak berada pada salah satu orang tua
Pertimbangan Hukum
Berdasarkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, di mana masalah handlanah anak harus berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak, hal ini sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang dianut dalam Pasal 2 huruf (b) Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan sesuai dengan fakta hukum dalam persidangan bahwa anak lebih menghendaki bersama dalam pemeliharaan ayahnya, di samping itu sebaliknya telah terbukti, Termohon kasasi telah tidak mempedulikan anak, sehingga justru tidak maslahat berada dalam pengasuhan Termohon kasasi

Anotasi Oleh : Ramdani Wahyu Sururie
KEPENTINGAN DAN KEMASLAHATAN BAGI ANAK SEBAGAI ASAS YANG MENENTUKAN PENGASUHAN ANAK 

Putusan ini  berawal dari adanya ketegangan mengenai hak asuh anak antara ibu dan ayah yang memiliki anak dibawah usia 12 tahun. Pada awalnnya kehidupan pasangan suami dan isteri yang telah dikaruniai 1 anak perempuan itu hidup dalam kebahagiaan. Namun semenjak 2 tahun setelah menikah tahun 2001, terjadi perselisihan  terus menerus diantara suami isteri tersebut hingga keduanya tidak lagi sepakat mempertahankan perkawinannya. Selama mereka menikah telah dikarunia 1 orang anak perempuan lahir di Jakarta, tanggal 12 November 2001. Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah antara Penggugat dengan Tergugat telah ditempuh, akan tetapi tidak membuahkan hasil yang positif. Mengingat anak dimaksud belum mumayyiz, Penggugat mengajukan supaya anak berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat sebagai ibunya. Dan mengingat anak masih membutuhkan biaya pemeliharaan dan pendidikan, maka patut dan cukup alasan apabila biaya-biaya dimaksud dibagi sama rata besarnya antara Tergugat dan Penggugat. Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan memutuskan sebagai berikut :
  1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 
  2.  Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana diterangkan dalam Kutipan Akta Nikah No. 333/47/X/99 tertanggal 23 Oktober 1999, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya;  Menetapkan hak pengasuhan dan pemeliharaan anak (hadhanah) yang bernama KiaraAndjani Rachman, perempuan, tempat lahir Jakarta, tanggal lahir 12 November 2001 ada pada Penggugat sebagai ibunya; 
  3.  Menetapkan biaya-biaya pemeliharaan, perawatan dan pendidikan anak dimaksud dibagi samarata antaraTergugat dan Penggugat, di manaTergugat diwajibkan untuk mengirimkan biaya tersebut secara teratur disetiap akhir bulan (sekitar29-30 bulan bersangkutan) tanpa harus diminta oleh Penggugat; 
  4.  Menghukum Tergugat untuk menyerahkan anak yang bernama Kiara Andjani Rachman, Perempuan, Tempat Lahir Jakarta, tanggal lahir 12 November 2001 kepada Penggugat sebagai ibunya; 
- Adapun mengenai masalah pendidikan (pemilihan sekolah,jenis pelajaran dan kegiatan yang akan diikuti, biaya sekolah dan sebagainya), maka hal ini juga harus selalu dimusyawarahkan antara Tergugat dan Penggugat dan juga anak dari Tergugat dan Penggugat;  - Jika di kemudian hari Penggugat meninggal dunia terlebih dahulu, maka Tergugat diwajibkan untuk membiayai keseluruhan biaya pemeliharaan, perawatan dan pendidikan dari anak Tergugat dan Penggugat;  ATAU  Apabila Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); Kemudian Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam amarnya menyatakan bahwa menetapkan pengasuhan dan pemeliharaan anak Penggugat dan Tergugat berada di pihak Tergugat (Selbi NugrahaRachman bin Ir. Ide Syahfridin). Pada tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Agama tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Pengadilan Tinggi Agama menetapkan Penggugat sebagai pemegang hadhanah (pemeliharaan) terhadap si anak dan memerintahkan kepada Tergugat untuk menyerahkan anak tersebut kepada Penggugat. Dan pada tingkat kasasi, amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan hak asuh anak diberikan kepada ayahnya/tertugat/pemohon kasasi (Selby Nugraha Rachman bin Ir. Ide Syahfridin) 

Analisis

Kaidah yang termaktub dalam Yurisprudensi Nomor : 110 K/AG/2007 tentang pangsuhan anak berbunyi “Pertimbangan utama dalam masalah hadlanah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. Sekalipun si anak belum berumur 7 (tujuh) tahun, tetapi karena si ibu sering bepergian ke luar negeri sehingga tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan selama ini telah terbukti si anak telah hidup tenang dan tenteram bersama ayahnya, maka demi kemaslahatan si anak hak hadlanah-nya diserahkan kepada ayahnya”.  Kaidah ini setelah dilakukan analisis telah memberi arah yang jelas dan mampu meraih nilai-nilai keadilan dalam penerapan penetapan pengasuhan anak yang saat ini konsisnya semakin meningkat. Kaidah ini juga memberi argumentasi hukum bahwa penetapan kepada siapa anak di bawah umur diasuh tidak semata-mata diletakkan pada dasar normatifnya, yakni mesti diasuh oleh ibu melainkan pada kepentingan dan kemaslahatan anak.  Mengapa kaidah ini perlu dianalisis karena kaidah ini merupakan konkretisasi dari Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak. Oleh karena itu, hakikat pengambilan keputusan dalam pengasuhan anak, membatasi para hakim pada aspek kepentingan anak ini. Konkretisasi makna kepentingan terbaik anak sepenuhnya menjadi otoritas majelis hakim dalam menetapkannya di persidangan.  Studi putusan mengenai pengasuhan anak sudah banyak sekali dilakukan oleh para peneliti yang terangkum dalam disertasi, tesis dan artikel jurnal. Sheila Fakhria (2022) menyebutkan bahwa penetapan pengasuhan anak masih dipertimbangkan pada sisi normatifnya. Penalaran hakim yang lebih empiris menurut artikel Shela Fakhira tersebut bukan diabaikan tetapi belum menjadi pijakan utama sebagaimana tercantum dalam putusan Pengadilan Agama Padang Nomor 873/ Pdt.G/2012/PA.Pdg. Demikian pula dalam Putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor 1154/Pdt.G/ 2017/PA.Mks, hakim memutuskan bahwa hak asuh anak di bawah umur adalah ibunya dan apabila sudah mumayyiz (dewasa) diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dengan membebankan biaya pemeliharaan ditanggung kepada ayahnya. 

Berbeda dengan sebelumnya, argumentasi hakim dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor 46/Pdt.G/2017/PTA.Mks mulai menggunakan pendekatan sosiologis dan psikologis. Pada kasus ini kepentingan terbaik anak menjadi pertimbangan utama selain mengunakan pijakan teks hukum terkait hak anak baik dalam undang-undang maupun fiqh (Sheila Fakhira, 2022). Dengan penjelasan ini, yurisprudensi Nomor 110/K/AG/2007 yang dijadikan analisis dalam tulisan ini masih relevan digunakan karena beberapa putusan hakim selain menggunakan hukum positif juga banyak menggunakan pertimbangan sosiologi empiris yaitu kepentingan terbaik anak. Kasus putusan di atas yang menggunakan hukum positif tidak berarti mengabaikan dimensi empiris problema ketegangan pengasuhan anak. Yurisprudensi ini menjadi angin segar bagi dinamika putusan pengasuhan anak yang selama ini lebih banyak menetapkan pada aspek normatifnya kepada ibu.  Studi lain menyebutkan bahwa pengasuhan anak yang dilandasi kepentingan terbaik anak merupakan inti dari proses penyelesaian sengketa hak asuh anak. 


Muhammad Husain Zahabi dalam (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008) mendefinisikan hadlanah sebagai upaya melayani kebutuhan dan kepentingan anak yang masih di bawah umur oleh pihak-pihak yang diberi hak untuk melakukan hal tersebut. Melayani kebutuhan anak tidak terbatas pada pemenuhan hak-hak dasarnya semata, namun juga mencakup upaya mendidik kepribadian dan mentalitas anak.  Pada definisi lain yang memiliki pemaknaan serupa, Andi Syamsu Alam dan Ahmad Fauzan mendefinisikan hadlanah sebagai kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu guna melaksanakan tugas merawat dan mendidik anak yang masih belum mumayyiz (dewasa). Pemasalahan hadlanah dapat muncul dikarenakan adanya perceraian dari kedua orang tua si anak atau karena kedua orang tua anak tersebut meninggal dunia. Pentingnya menetapkan pihak yang berhak melakukan tugas dan fungsi hadlanah dilatari kenyataan bahwa si anak yang belum mumayyiz secara faktual belum dapat memenuhi kebutuhannya sendiri serta belum dapat mengorganisasikan kehidupannya selayaknya orang-orang yang telah dewasa. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadlanah merupakan penetapan yang memberikan kewenangan kepada salah satu pihak untuk melaksanakan tugas dan kewajiban mengurus dan memenuhi kebutuhan seorang anak yang belum mumayyiz, baik secara moril maupun materil, guna menjamin terpenuhinya hak-hak dasar anak hingga anak tersebut dewasa dan/atau mandiri.

Dalam hadlanah terkandung suatu prinsip bahwa yang menjadi aksentuasi hadlanah adalah kepentingan terbaik si anak, yaitu bagaimana hadlanah mampu menjamin terpenuhinya hak-hak dasar si anak dan memastikan bahwa hadlanah dapat menghindarkan si anak dari berbagai kemudharatan yang mungkin dapat menimpanya. Berdasarkan dua studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana dinyatakan dalam Yurisprudensi Nomor 110/K/AG/2007 bukan saja menjadi suatu keniscayaan melainkan akan lebih menjamin keadilan hukum dikarenakan hukum menjadi lebih responsif terhadap dinamika ketegangan yang terjadi antara dua pihak yakni ayah dan ibunya. Pertimbangan hukum sebagai jantungya sebuah putusan dalam Putusan Kasasi Nomor 110/K/AG/2007 telah menyatakan bahwa dasar pertimbangan terhadap putusan tersebut yaitu bahwa mengenai pemeliharaan anak, bukan semata-mata dilihat dari siapa yang paling berhak, akan tetapi harus melihat fakta ikut siapa yang lebih tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak, dengan kata lain yang harus lebih di kedepankan adalah kepentingan si anak, bukan siapa yang paling berhak. Dan fakta yang telah diungkapkan Hakim Pertama, si anak akan lebih menderita sekiranya ia harus ikut ibunya, karena ibu si anak sering bepergian ke luar negeri, dan tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan fakta yang ada sekarang si anak tenang dan tenteram bersama bapaknya (Pemohon kasasi). Dengan berdasar pada pertimbangan hakim di atas bahwa penentuan hak asuh anak bukan hanya didasarkan pada aspek normative belaka melainkan harus pula dilihat kemanfatannya bagi anak. Sungguhpun yurisprudensi ini memberi jalan bagi lahinya keadilan dalam pemberian hak asuh anak namun dalam batas-batas tertentu masih menyisakan persoalan, karena putusan dalam yurisprudensi tersebut masih berpihak pada salah satu orang tua (split parenting) anak yang diberi hak mengasuh. Pada perkembangannya, norma dan konsepsi pengasuhan anak tidak lagi sekadar berkutat pada pengasuhan terpisah (split parenting), namun mulai mengarah pada konsepsi pengasuhan bersama (shared parenting). Ada beberapa alasan mengapa pengasuhan bersama kemudian mendapat perhatian cukup besar dalam penormaan hak asuh anak.  

Alasan yang paling mudah terbaca yaitu adanya implikasi bahwa pemegang hak asuh berhak sepenuhnya terhadap kehidupan anaknya (winner takes all). Ini melahirkan kebiasaan pemegang hak asuh berhak mengatur secara ketat pertemuan anak dengan orangtua lain yang tidak memegang hak asuh. Model atau pradigma demikian tidak selaras dengan upaya memberi keleluasaan bagi anak untuk mengekspresikan dirinya, bersosialisasi dengan kedua orangtuanya secara masif, dan memeroleh kasih sayang terbaik dari kedua orangtuanya. Sebaliknya, anak seolah terkungkung oleh kekuasaan pemegang hak asuh terhadapnya, diwajibkan tunduk pada aturan-aturan tak tertulis yang dibuat oleh pemegang hak asuhnya. Konsepsi pengasuhan bersama menawarkan paradigma baru dalam tata laksana pengasuhan anak. Konsepsi ini telah jamak diimplementasikan di negara-negara common law seperti Amerika Serikat dan Kanada. Dengan mempertimbangkan ide pengasuhan anak secara bersama (joint custody) maka yurisprudensi Nomor 110/K/AG/2007 menjadi kurang relevan untuk konflik yang terjadi pada masa mendatang. Namun demikian, Yurispridensi Nomor 110/K/AG/2007 sesungguhnya telah tepat untuk digunakan pada kasus-kasus sengketa pengasuhan anak. Yurisprudensi ini juga sekaligus menyimpangi secara diametris teks Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa anak yang belum berumur 12 tahun berada di bawah pengasuhan ibu kandungnya. Pembaruan norma hukum hak asuh anak dalam yurisprudensi tersebut di atas menandai dimulainya penentuan hak asuh anak dengan dasar utama kepentingan terbaik bagi anak. Paradigma yang muncul kemudian adalah bahwa penentuan hak asuh anak tidak lagi semata-mata melihat keadaan dari kedua orang tuanya, namun lebih dari itu harus memerhatikan dengan seksama keadaan si anak dan bagaimana hubungan atau relasi yang terbangun antara si anak dengan kedua orang tuanya. Penting pula memerhatikan faktor kenyamanan dan kemampuan anak mengekspresikan diri dan pikirannya jika ia sedang bersama dengan salah seorang dari orang tuanya. Berdasarkan penelusuran, terdapat 2 putusan yang mengikuti putusan tersebut yaitu :
  1.  Putusan Pengadilan Agama Sumedang Nomor 0945/Pdt.G/2018/PA.Smd
  2.  Putusan Pengadilan Agama Tarakan Nomor : 1911/Pdt.G/2019/PA.Tnk 
Dalam putusan Pengadilan Agama Sumedang Nomor 0945/Pdt.G/2018/PA.Smd tersebut, majelis hakim mengutif  Yurisprudensi Nomor 110/K/AG/2007 dalam bagian pertimbangan hukumnya yang menyebutkan bahwa disamping itu dalam perkara ini Majelis Hakim perlu mengemukakan bahwa prinsip yang harus dikedepankan dalam masalah hak hadlanah anak bukanlah “semata-mata siapa yang paling berhak” akan tetapi adalah “semata-mata demi kepentingan anak”, yaitu fakta siapa yang lebih mendatangkan manfaat dan tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak. Redaksi dalam pertimbangan yang disampaikan hakim telah sesuai dengan konteks pemeriksaan perkara pengasuhan anak pada yurisprudensi Nomor 110/K/AG/ 2007. Hakim telah mampu menerapkan yurisprudensi tentang pengasuhan anak pada perkara yang diperiksanya dengan menempatkan asas kepentingan bagi anak dalam pertimbangan hukumnya.  Sedangkan Putusan Pengadilan Agama Tanjungkarang Nomor : 1911/ Pdt.G/2019/ PA.Tnk dalam pertimbangan hukumnnya disebutkan bahwa disamping itu dalam perkara ini Majelis Hakim perlu mengemukakan bahwa prinsip yang harus dikedepankan dalam masalah hak hadlanah anak bukanlah “semata-mata siapa yang paling berhak” akan tetapi adalah “semata-mata demi kepentingan anak”, yaitu fakta siapa yang lebih mendatangkan manfaat dan tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak, pertimbangan demikian sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110 K/AG/2007 tanggal 07 Desember 2007. 

Pencantuman yurisprudensi dalam putusan pengadilan Putusan Nomor : 1911/Pdt.G/ 2019/PA.Tnk telah tepat terhadap fakta hukum yang ditemukannya dimana kehidupan anak sudah nyaman bersama penggugat daripada tergugat sehingga atas dasar itulah unsur kepentingan anak telah terpenuhi. Berdasarkan putusan yang mengikuti yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 110/K/AG/2007, putusan yang mengikuti yurisprudensi tersebut telah diterapkan dalam kasus yang konkrit dengan mengacu pada kaidah yurisprudensi yang menetapkan pengasuhan anak didasarkan pada asas kepentingan terbaik dan kemaslahatan bagi anak. Putusan pengikut yurisprudensi Mahkamah Agung pada Putusan Pengadilan Agama Sumedang telah menerapkan yurisprudensi karena fakta hukum menemukan bahwa kemanfaatan pengasuhan anak ada pada ibunya sebagai penggugat dari pada kepada ayahnya selaku tergugat yang posisinya berada dalam tahanan. Demikian pula putusan pengikut yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjungkarang dimana amar putusannya mengabulkan bahwa hak asuh anak diberikan kepada ibunya selaku penggugat dikarenakan dalam fakta persidangan ditemukan kalau tergugat selaku ayahnya mengizinkan dan bersedia memberikan nafkah setiap bulan sebesar Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) setiap bulan diluar biaya Pendidikan dan kesehatan ditambah 10 % setiap tahunnya terhitung sejak putusan ini dibacakan sampai anak tersebut dewasa/mandiri.
 
  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • H. Andi Syamsu Alam, S.H.,MH -
  • Drs. H. Habiburrahman, M.Hum -
  • Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum -

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 2007-12-07  
  • Penggugat dengan Tergugat telah melangsungkan perkawinan di Bandung pada tanggal 23 Oktober 1999 sebagaimana ditunjukkan dengan Kutipan Akta Nikah No. 333/47/X/99 tertanggal 23 Oktober 1999.
  •    Tanggal : 2007-12-07  
  • Hasil dari perkawinan tersebut telah dikaruniai 1 (satu) orang anak, yaitu Kiara Andjani Rachman, perempuan, lahir di Jakarta. 
  •    Tanggal : 2007-12-07  
  • Maharani Hardjoko Binti Sri Hardjoko Wirjo Martono mengajukan gugatan hak asuh anak kepada Selby Nugraha Rachman bin ir. Ide Syahfridin ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang intinya menuntut (1) perceraian (2) pengasuhan anak bernama Kiara Andjani Rachman jatuh kepada penggugat/Ibu (3) Menetapkan biaya-biaya pemeliharaan, perawatan dan pendidikan anak dimaksud dibagi sama. rata antaraTergugat dan Penggugat, di mana Tergugat diwajibkan untuk mengirimkan biaya tersebut secara teratur disetiap akhir bulan (sekitar29-30 bulan bersangkutan) tanpa harus diminta oleh Penggugat

  •    Tanggal : 2007-12-07  
  • Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusan Nomor: 50/Pdt.G/2006/PA.JS tanggal 27 Juli 2006 M bertepatan dengan tanggal 2 Rajab 1427 H, yang amarnya berbunyi  (1) Menjatuhkan talak 1 (satu) bain sughra Tergugat (Selby Nugraha Rachman bin Ir. Ide Syahfridin) terhadap Penggugat (Maharani Hardjoko binti Sri Hardjoko Wirjo Martono) (2) Menetapkan pengasuhan dan pemeliharaan anak Penggugat dan Tergugat nama Kiara Andjani Rachman berada di pihak Tergugat (Selbi Nugraha Rachman bin Ir. Ide Syahfridin);

  •    Tanggal : 2007-12-07  
  • Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Agama tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dengan putusannya Nomor: 105/Pdt.G/2006/PTA.JK, tanggal 20 Desember 2006 M bertepatan dengan tanggal 29 Dzulqo’dah 1427 H, yang amarnya berbunyi sebagai berikut: (1)  Menyatakan, banding yang diajukan Penggugat/Pembanding dapat dikabulkan;  (2)  Membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 50/Pdt.G/ 2006/PA.JS tanggal 27 Juli 2006 M bertepatan dengan tanggal 2 Rajab 1427 H;

  •    Tanggal : 2007-12-07  
  • Tergugat/Pembanding/Pemohon Kasasi mengajukan memori kasasi yaitu bahwa PTA Jakarta telah Keliru dan mengabaikan fakta kemaslahatan anak, yang mempertimbangkan mengenai pemberian hak atas hadhanah kepada Tergugat berdasarkan Pasal 105 Komplasi Hukum Islam, di mana yang benar dan tepat, masalah hadhanah anak harus berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak.

Frasa Terkait Karakterisasi

Author Info