Karakterisasi Yurisprudensi No : 179 K_SIP_1961
Atas dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, perempuan mempunyai hak atas warisan orang tuanya atau suaminya sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan untuk memperoleh warisan dan mendapatkan warisan dengan bagian (porsi) yang sama dengan laki-laki.
Mahkamah Agung atas rasa peri kemanusiaan dan keadilan umum serta atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, jadi juga di Tanah Karo bahwa seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang tuanya.
Latar Belakang
Yurisprudensi atau preseden hukum merupakan aspek penting dalam sistem hukum di Indonesia. Meskipun Indonesia tidak secara ketat mengikuti yurisprudensi, yurisprudensi dapat digunakan sebagai preseden atau alternatif bagi hakim untuk dipertimbangkan saat mengadili kasus. Hal ini terutama berlaku jika putusan sebelumnya dianggap telah menciptakan keadilan bagi para pihak. Manfaat yurisprudensi termasuk mengisi kesenjangan dalam hukum dan memberikan panduan bagi hakim dalam membuat keputusan. Selain itu, putusan yang konsisten dapat menghasilkan kepastian hukum dan stabilitas yang lebih besar. Tujuan dari yurisprudensi adalah untuk mengembangkan dan mempertahankan prinsip-prinsip hukum yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam undang-undang. Hakim memiliki kewajiban untuk menciptakan yurisprudensi ketika ada masalah yang tidak diatur dalam hukum atau ketika hukum tidak lengkap atau tidak jelas. yurisprudensi juga dapat digunakan untuk mengatasi stagnasi pemerintah demi kepentingan publik.
Pembuatan yurisprudensi dapat memastikan bahwa ada nilai kegunaan dalam putusan, dan bahwa putusan tersebut mengandung nilai terobosan dan diikuti secara konsisten oleh hakim, sehingga memaksimalkan kepastian hukum. Yurisprudensi memiliki beberapa macam, yaitu yurisprudensi tetap, yurisprudensi tidak tetap, yurisprudensi semi yuridis, dan yurisprudensi administratif. Yurisprudensi tetap adalah putusan hakim yang berulang kali dipergunakan pada kasus-kasus yang sama dan dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan untuk memutuskan suatu perkara. Yurisprudensi tidak tetap adalah putusan hakim terdahulu yang tidak dijadikan sebagai dasar bagi pengadilan. Yurisprudensi semi yuridis adalah semua penetapan pengadilan yang didasarkan pada permohonan seseorang yang berlaku khusus hanya pada pemohon, seperti penetapan status anak. Yurisprudensi administratif adalah surat edaran Mahkamah Agung yang berlaku hanya secara administratif dan mengikat intern di dalam lingkup pengadilan.
Tinjauan Pustaka
Feminist Legal Theory (FLT). Oxford Dictionary of Law mengartikan FLT sebagai gerakan luas yang berusaha menunjukkan bagaimana teori hukum konvensional, jauh dari buta-gender, mengabaikan posisi dan perspektif perempuan. Feminist legal theory sendiri merupakan aliran pemikiran yang memihak kepada perempuan dalam rangka memberdayakan, melindungi, dan mengemansipasi perempuan. Feminist legal theory juga memperjuangkan kesetaraan gender dalam aturan hukum dan implementasinya. Feminist legal theory memerlukan pengembangan teori, analisis konseptual, dan revisi konseptual. Feminist legal theory mempromosikan kebebasan dan kesetaraan bagi perempuan dan memerlukan kembali pemahaman tentang seks, gender, dan peran gender. Feminist legal theory bergerak pada beberapa level, dari yang pragmatis, konkret, dan khusus hingga konseptual dan akhirnya visioner. Beberapa pendekatan feminist jurisprudence adalah model kesetaraan liberal, model perbedaan seksual, model dominasi, model anti-esensialisme, dan model postmodern.
Kaum feminis menemukan kesenjangan dalam hukum pidana, hukum perdata, dan cabang lain dari hukum substantif bersifat publik. Tujuan FLT adalah melawan tatanan patriarki dalam hukum yang menempatkan perempuan dalam posisi terpinggirkan. Menurut Margaret Davies, substansi hukum telah mengabaikan kebutuhan perempuan dan menunjukkan adanya ideologi patriarki di dalam hukum. Teori FLT dapat diimplementasikan ke dalam pendekatan hukum bernama feminist legal approach, yang bermakna suatu pendekatan hukum berdasarkan teori hukum feminist dan menghendaki adanya hukum yang adil bagi kaum perempuan. Penggunaan feminist legal approach diharapkan dapat meminimalisasi hukum dari ideologi patriarki. Ideologi patriarki yang berada di masyarakat dan peraturan yang substansinya mendiskreditkan perempuan menyebabkan implementasi konsep pengarusutamaan gender tak akan berjalan maksimal. Menurut Profesor Sulistyowati, selama ini hukum dibuat dari kacamata laki-laki hingga melupakan narasi perempuan. Oleh karenanya, diperlukan feminist legal approach dalam setiap kebijakan pemerintah dan menjadikan pengalaman perempuan sebagai standpoint.
a. PembahasanAkibat Hukum Putusan 179/K/SIP/1961 bagi Para Pihak
Karena keterbatasan akses pada website direktori maka Penulis menyimpulkan bahwa pada pokoknya para Penggugat/ Tergugat yang berjenis kelamin wanita berhasil memperjuangkan haknya yakni memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan terkait ahli waris dan berhak memperoleh porsi harta waris yang sama dengan kaum laki-laki.
b. Pertimbangan Hukum Hakim pada Putusan 179/K/SIP/1961 ditinjau dari asas Equality Before The Law dan Feminist Legal Approach
Llewellyn berpendapat bahwa hakim selain berpedoman pada putusan sebelumnya, juga harus melihat situasi yang melingkupi kasus tersebut sehingga tidak merta menafsirkan secara dogmatis suatu peraturan. Dalam hal ini juga bisa diterapkan konsep realisme hukum yakni menentang adanya suatu sistem hukum yang absolut dan tertutup karena yang terpenting adalah fokus kepada fakta dan tindakan yang ditemukan dalam suatu kasus. Jika dikaitkan dalam pertimbangan hakim dalam putusan ini, maka sesungguhnya telah tercermin melalui poin hakim tidak hanya berpijak pada sistem hukum adat Karo yang mana menganut Patrilineal. Hakim telah melihat situasi sekitar (sosiologis) bahwa seorang anak perempuan sebagai subjek hukum yang setara dengan laki-laki juga berhak mendapat hak waris.
Kemudian, jika ditinjau dari asas equality before the law, hakim telah berhasil menerapkan asas tersebut dengan baik dan benar. Equality before the law adalah jaminan bahwa setiap orang memiliki kesamaan derajat di mata hukum, tanpa pengecualian apapun. Konsep equality before the law juga diakui oleh Universal Declaration of Human Rights yang mana artinya termasuk dalam lingkup hak asasi manusia. Dalam a quo, hakim mendudukkan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama sehingga kepentingannya juga harus diakomodir oleh hukum. Tak hanya itu, dalam pertimbangannya, hakim secara tidak langsung telah menerapkan feminist legal approach yakni sebuah paradigma untuk menjadikan perempuan terbebas dari belenggu sistem sosial yang kerap kali membuat perempuan terpinggirkan. Yurisprudensi ini semakin terlihat menonjol karena diterapkan dalam lingkup masyarakat adat yang notabenenya sangat kental dengan konsep adat istiadatnya. In Casu, perempuan ini berada di masyarakat adat karo yang menempatkan kaum laki-laki berkedudukan lebih tinggi dari perempuan.
Sebagaimana yang kita tahu bahwa Indonesia memiliki konsep pluralisme hukum yang salah satu elemennya adalah (living law) hukum adat. Sebagai negara dengan masyarakat yang menjunjung tinggi kepercayaan dan adat istiadat, hakim kerap kali canggung untuk melakukan terobosan hukum karena khawatir dinilai mendapat stigma buruk dari masyarakat setempat. Namun, rupanya hal tersebut tidak berlaku bagi majelis yang menangani kasus ini karena tampak jelas bahwa majelis berani bertindak independen dan justru menjadikan putusan ini sebagai bukti untuk berhenti menormalisasi budaya yang tidak sejalan dengan keadilan dan konsep hak asasi manusia. Adanya yurisprudensi ini juga menghapuskan stigma masyarakat hukum adat yang konservatif dan patrilineal. Berdasarkan analisis tersebut, maka secara lugas yurisprudensi sangat relevan dan harus diterapkan untuk menangani kasus dengan sengketa yang sama.
Kesimpulan
a. Pada pokoknya majelis hakim mengabulkan permohonan para Penggugat/ Tergugat yang berjenis kelamin wanita yang memperjuangkan haknya yakni memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan terkait ahli waris dan berhak memperoleh porsi harta waris yang sama dengan kaum laki-laki.
b. Dalam kasus ini, hakim berhasil menerapkan asas equality before the law dengan baik dan benar, serta secara tidak langsung menerapkan feminist legal approach untuk menjadikan perempuan terbebas dari belenggu sistem sosial yang kerap kali membuat perempuan terpinggirkan. Yurisprudensi ini semakin terlihat menonjol karena diterapkan dalam lingkup masyarakat adat yang notabenenya sangat kental dengan konsep adat istiadatnya. Putusan ini juga menghapuskan stigma masyarakat hukum adat yang konservatif dan patrilineal, dan secara lugas yurisprudensi sangat relevan dan harus diterapkan untuk menangani kasus dengan sengketa yang serupa.