Karakterisasi Yurisprudensi No : 1048 K_Pdt_2012
''Atas dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, perempuan mempunyai hak atas warisan orang tuanya atau suaminya sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan untuk memperoleh warisan dan mendapatkan warisan dengan bagian (porsi) yang sama dengan laki-laki''
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari Hukum Perdata di Indonesia. Di Indonesia belum terdapat kodifikasi mengenai hukum waris. Hal ini berarti terhadap penerapan hukum waris di Indonesia masih berbeda-beda. Pemberlakuan hukum waris di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: (1) Hukum waris adat, (2) Hukum waris Islam dan (3) Hukum waris Barat. Pemberlakuan ketiga aturan hukum waris tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat pluralisme dalam hukum waris. Hukum waris adat adalah hukum waris yang berlaku orang Indonesia asli. Pemberlakuan hukum waris adat di masing-masing daerah di Indonesia berbeda-beda tergantung pada sistem kekerabatan yang dianut. Penerapan hukum waris adat yang berbeda dan tidak jarang belum diberlakukan dengan dinamis dapat menimbulkan persoalan sengketa waris. Contohnya dalam sistem kekerabatan patrilineal yang menempatkan laki-laki sebagai ahli waris. Ketentuan ini dapat menimbulkan sengketa waris bagi istri dan anak perempuan dalam keluarga patrilineal. Dimana istri dan anak perempuan dianggap tidak berhak atas harta warisan keluarga. Seperti yang terjadi dalam perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor: 1048 K/Pdt/2012.
Perkara ini melibatkan Ny. Jance Faransina Mooy-Ndun sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Pembanding melawan Junus Ndoy, Johanis Mesah, Anderias Tau, Eduard Ndoi, Orias Tau, Felipus Tasi, Thobias Ndolu, Frans Mesah, Nehemia Seli, Yonathan Tau, Yunus Tau sebagai Para Termohon Kasasi dahulu Tergugat I s/d Tergugat XI/ Terbanding I s/d Terbanding XI. Sengketa yang terjadi diantara para pihak adalah sengketa ahli waris. Dimana Ny. Jance Faransina Mooy-Ndun adalah anak kandung sekaligus ahli waris yang sah dari ayahanda Jermias Ndoen (alm). Jermias Ndoen (alm) memiliki memiliki 4 (empat) bidang tanah kering yang masing- masing terletak di Dusun Fimok, Desa Bo’a, Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao. Keempat bidang tanah sengketa tersebut diperoleh sebagai warisan dari ayahanda Pemohon Kasasi yang bernama Jermias Ndoen (alm) dan ayahanda Jermias Ndoen (alm) memperoleh keempat bidang tanah sengketa dari ayahandanya yang bernama Jermias Paulus Ndoen yaitu kakek dari Pengugat, yang semasa hidupnya menjabat sebagai Raja Dela-Oenale.
Setelah meninggalnya kakek Jermias Paulus Ndoen dan ayahanda Jermias Ndoen keempat bidang tanah sengketa dikuasai oleh ayahanda keempat bidang tanah sengketa dikuasai oleh Pemohon Kasasi dengan selain menikmati hasil-hasil kelapa yang ditanam oleh ayahanda Jermias Ndoen (alm), Pemohon Kasasi juga menanam kelapa di dalam keempat bidang tanah sengketa serta memberi izin kepada Yahuda Ello (alm)/ayah kandung Sera Ello untuk menggarap sebagian tanah sengketa bidang I dengan cara menanam kelapa di dalamnya dan kepada Adrianus Mbau (alm)/ayah kandung dari Imanuel Mbau untuk menanam kelapa di dalam tanah sengketa bidang IV. Persoalan timbul ketita tanpa izin satu persatu Termohon Kasasi dahulu Tergugat I s/d Tergugat XI/ Terbanding I s/d Terbanding XI melakukan aktifitas tanpa izin Pemohon Kasasi sebagai ahli waris. Adapun tindakan yang dilakukan Para Termohon Kasasi antara lain: membangun rumah, menanam kelapa dan mengajukan permohonan pengukuran atas tanah sengketa tanpa seizin dan sepengetahuan Pemohon Kasasi. Atas sengketa tersebut, Pengadilan Negeri Rote Ndao telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 07/Pdt.G/2010/PN.RND, tanggal 8 Maret 2011 yang amarnya sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI :
Menolak eksepsi Para Tergugat; DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa Penggugat adalah ahli waris sah dari JEREMIAS NDOEN (almarhum);
3. Menghukum Penggugat dan para Tergugat untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebesar Rp 5.844.000,00 (lima juta delapan ratus empat puluh empat ribu Rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dibatalkankan oleh Pengadilan Tinggi Kupang dengan putusan No. 57/PDT/2011/PTK tanggal 28 Oktober 2011, dengan amar putusan sebagai berikut:
• Menereima permohonan banding dari Penggugat/Pembanding;
DALAM EKSEPSI:
• Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Rote Ndao tanggal 8 Maret 2011, No. 07/Pdt.G/2010/PN.RND, yang dimintakan banding tersebut;
DALAM POKOK PERKARA:
• Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Rote Ndao tanggal 8 Maret 2011 perkara No. 07/Pdt.G/2010/PN.RND, yang dimohonkan banding tersebut;
• Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat pengadilan, yang di tingkat banding sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu Rupiah);
Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Penggugat/Pembading pada tanggal 30 Desember 2011 kemudian terhadapnya oleh Penggugat/Pembanding diajukan permohonan kasasi pada tanggal 9 Januari 2012 sebagaimana ternyata dari akta pernyataan permohonan kasasi No. 07/PDT.G/2010/PN.RND yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Rote Ndao, permohonan tersebut disertai dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 10 Januari 2012. Setelah itu oleh para Tergugat/para Terbanding yang pada tanggal 12 Januari 2012 (untuk Tergugat I s/d Tergugat V dan Tergugat VII s/d Tergugat XI) dan pada tanggal 13 Januari 2012 (untuk Tergugat VI) telah diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat/Pembanding diajukan kontra memori kasasi secara bersama-sama melalui kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 20 Januari 2012, yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Rote Ndao pada tanggal 25 Januari 2012
Alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi/Penggugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:
I. PERTIMBANGAN HUKUM JUDEX FACTI PENGADILAN TINGGI KUPANG SALAH MENERAPKAN ATAU MELANGGAR HUKUM YANG BERLAKU
II. PENGADILAN TINGGI KUPANG SALAH MENERAPKAN HUKUM ADAT YANG BERLAKU DI ROTE NDAO
III. PUTUSAN PN ROTE NDAO SALAH MENERAPKAN SECARA PASAL 283 RBg dan 1865 KUH PERDATA.
IV. PERTIMBANGAN HUKUM PN ROTE NDAO BERTENTANGAN DENGAN FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN SERTA BERSIFAT SEPIHAK.
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut di atas, dapat dibenarkan, Judex Facti/Pengadilan Tinggi Kupang yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Rote Ndao salah dalam menerapkan hukum karena pertimbangan Pengadilan Tinggi Kupang tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, yaitu Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 179 K/Sip/1961 tanggal 11 November 1961 yang menyatakan bahwa hak waris perempuan disamakan dengan laki- laki. Artinya, hukum adat yang tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat, seperti hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki, tidak dapat lagi dipertahankan;
Namun demikian, oleh karena di persidangan Penggugat/Pemohon Kasasi (Ny. JANCE FARANSINA MOOY-NDUN) tidak mampu membuktikan dalil gugatannya bahwa tanah objek sengketa adalah miliknya yang diperoleh berdasarkan warisan dari ayahnya bernama JEREMIAS NDOEN, maka gugatan Penggugat/Pemohon Kasasi (Ny. JANCE FARANSINA MOOY-NDUN) yang menuntut supaya ia dinyatakan sebagai pemilik tanah objek sengketa yang diperoleh berdasarkan pewarisan dari ayahnya yang bernama JEREMIAS NDOEN, harus ditolak karena tidak memiliki dasar hukum;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Ny. JANCE FARANSINA MOOY- NDUN tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Kupang No. 57/ PDT/2011/PTK tanggal 28 Oktober 2011 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Rote Ndao No. 07/Pdt.G/2010/PN.RND, tanggal 8 Maret 2011 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini; Menimbang, bahwa oleh karena para Termohon Kasasi berada di pihak yang kalah, maka ia harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I:
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi:
Ny. JANCEFARANSINA MOOY-NDUN tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Kupang No. 57/ PDT/2011/PTK
tanggal 28 Oktober 2011 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Rote Ndao No. 07/Pdt.G/2010/PN.RND, tanggal 8 Maret 2011;
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Eksepsi :
• Menolak eksepsi Tergugat I untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara :
• Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
• Menyatakan bahwa Penggugat adalah ahli waris sah dari JEREMIAS NDOEN (almarhum);
• Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya ; Menghukum para Termohon Kasasi/Tergugat I s/d Tergugat XI secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah);
Majelis Hakim Kasasi Putusan Nomor No. 1048 K/Pdt/2012:
Hakim Ketua: Prof. Rehngena Purba, SH, MS.
Hakim Anggota: H. Djafni Djamal, SH, MH dan Dr. Nurul Elmiyah, SH, MH.
Putusan Nomor 1048 K/Pdt/2012 telah diikuti oleh beberapa putusan, antara lain:
1. Putusan Nomor 1130 K/Pdt/2017
2. Putusan Nomor 148/PDT./2016/PT.KPG.
Beberapa penelitian yang terkait dengan kaidah yurisprudensi “Atas dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, perempuan mempunyai hak atas warisan orang tuanya atau suaminya sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan untuk
memperoleh warisan dan mendapatkan warisan dengan bagian (porsi) yang sama dengan laki-laki” antara lain:
1. Penelitian karya Muhammad Burhan dalam Jurnal Mahkamah dengan judul “Kedudukan Dan Hak Perempuan Sebagai Ahli Waris Dalam Hukum Kewarisan Indonesia (Tinjauan Hukum Perdata, Adat dan Islam). Penelitian ini membahas tiga sistem hukum kewarisan tersebut, kedudukan perempuan maupun hak-haknya sebagai ahli waris terdapat perbedaan yang cukup mencolok.
2. Penelitian karya I Putu Andre Warsita, I Made Suwitra dan I Ketut Sukadana dalam Jurnal Analogi Hukum dengan judul “Hak Wanita Tunggal terhadap Warisan dalam Hukum Adat Bali”. Penelitian ini membahas tentang Hak waris bagi wanita dalam hukum adat Bali pada hakekatnya Wanita bukan ahli waris menurut Hukum Adat Waris Bali, namun wanita berhak mendapat bagian harta warisan dari orang tuanya, dimana dalam praktek pemberian tersebut dipergunakan dengan berbagai macam istilah diantaranya harta tetatadan, bekal hidup, pengupa jiwa dan juga disebut jiwa dana.
3. Penelitian karya Mahalia Nola Pohan dalam Doktrina:Jurnal of Law dengan judul “Hukum Adat Sumatera Utara dalam Yurisprudensi di Indonesia”. Penelitian ini menelusuri beberapa putusan hakim yang sudah menjadi yurisprudensi yang mengakomodir keberadaan hukum adat dari Sumatera Utara dalam putusannya. Berdasarkanpenelusuran ditemukan ada beberapa ketentuan-ketentuan hukum adat dari Sumatera Utara yang menjadi yurisprudensi yang dimuat dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan hukum keluarga, hukum waris, hukum tanah, dan sebagainya. Termasuk didalamnya ditemukan beberapa putusan Mahkamah Agung terkait kedudukan perempuan sebagai ahli waris.
4. Penelitian karya Ni Luh Gede Isa Praresti Dangin dalam Disertasi Doktor Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang dengan judul “Kedudukan Hak Mewaris Wanita Hindu Dalam Sistem Hukum Adat Waris Di Bali”. Penelitian ini membahas tentang masyarakat Bali yang menganut sistem kekeluargaan Patrilineal dimana yang berhak mewaris hanyalah anak laki-laki saja sedangkan anak perempuan tidak berhak untuk mewaris yang menyebabkan rasa ketidakadilan terhadap anak perempuan. Sehingga dari keadaan tersebut menimbulkan masalah “Apakah ketentuan tidak memberikan hak kepada anak perempuan untuk mewaris ini sesuai dengan perkembangan masyarakat hukum adat di Bali, serta tindakan apa yang dapat dilakukan agar anak perempuan di Bali mendapatkan haknya atas harta warisan”.
Keempat penelitian diatas memberi gambaran bahwa masih terdapat persoalan-persoalan terhadap kedudukan perempuan sebagai ahli waris di Indonesia. Persoalan waris ini muncul Ketika berhadapan dengan penerapan hukum waris adat bagi perempuan. Sehingga diperlukan kaidah hukum yang tepat dan diterapkan secara konsisten terhadap persoalan yang sama yang terjadi di Indonesia.
Hukum waris sebagai bagian dari hukum adat di akui keberadaannya dan tetap mengkar kuat dalam masyarakat Indonesia. Pengakuan tersebut tercermin dari ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUDNRI yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Rapublik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Keberadaan hukum adat diakui pula sebagai bagian dari HAM. Ketentuan Pasal 67 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan “Setiap orang yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.” Hukum tak tertulis yang dimaksud dalam UU HAM adalah hukum adat.
Wirjono Prodjodikoro menyatakan waris dalam hukum waris adalah perihal soal apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Pewarisan merupakan suatu proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya yang terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi 3 persyaratan, yaitu:
1. Ada seseorang yang meninggal dunia;
2. Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan menerima sejumlah harta peninggalan pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna Pasal 2 B.W yaitu: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.”Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam kandunganjuga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris
3. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewarisMengenai ahli waris menurut undang-undang, dalam Pasal 832 KUH Perdata dinyatakan: “Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan si suami atau si istri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini. Bila keluarga sedarah dan si suami atau si istri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.” Hukum waris merupakan bagian dari bidang hukum adat kekeluargaan yang sangat erat kaitannya dengan system kekerabatan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Di Indonesia pada prinsipnya dikenal 3 (tiga) system kekerabatan atau tiga cara melihat garis keturunan:
1. Patrilinieal. Garis keturunan yang semata-mata hanya dilihat menurut garis laki-laki atau garis ayah. System ini dianut di daerah Batak, Lampung, Bali, Gayo, Ambon, Buru, Nias.
2. Matrilineal. Pertalian keturunan yang semata-mata dilihat menurut garis perempuan saja atau garis ibu. System ini dianut di Minangkabau, Kerinci.
3. Parental. Garis keturunan dilihat baik menurut garis laki-laki (ayah) maupun menurut garis perempuan (ibu) atau menurut garis dua sisi (ayah – ibu), dimana kedudukan lai-laki dan peremuan tidak dibedakan. System ini dianut di daerah Aceh, Bugis, Riau, Kalimantan dan Jawa.
Sebagian besar suku bangsa di Indonesia menganut paham patrilineal dengan mengutamakan laki-laki dan anak laki-laki sebagai pemimpin keluarga yang mempunyai peran publik dan akan meneruskan keturunan serta kepemimpinan keluarga sehingga hanya laki-laki dan anak laki-laki yang dapat memperoleh warisan, sementara perempuan dan anak perempuan dipandang hanya dapat berperan di ranah domestik (rumah tangga), karenanya tidak memperoleh warisan atau memperoleh warisan dengan porsi setengah dari laki-laki atau bagian yang lebih kecil lagi. Sistem patrilineal adalah system kekerabatan yang memperhitungkan keturunan melalui garis laki-laki yang membawa konsekuensi penerusan harta warisan. Artinya harta warisan diwariskan kepada keturunan laki-laki. Menurut hukum adat harta peninggalan tidak merupakan satu kebulatan homogen yang diwariskan dengan cara yang sama, yaitu:
a. ada harta bawaan yang melekat pada ikatan kerabat, ada harta yang dipupuk dalam ikatan keluarga, ada benda yang termasuk tanda kehormatan,
b. ada benda-benda yang masih terpatri dalam ikatan persekutuan hukum, dalam kesatuan tata susunan rakyat dengan hak ulayat yang masih berpengaruh pada pewarisan harta perseorangan yang ditinggalkan pemiliknya,
c. harta warisan itu dapat dilekati hutang, dapat pula menyandang piutang,
d. bila pewaris tidak mempunyai anak, maka barang asalnya kembali kepada kerabatnya, sedangkan harta pencahariannya jatuh ketangan oleh teman hidupnya yang tinggal.
Sistem kekerabatan pada masyarakat patrilineal ini juga mempengaruhi kedudukan janda dan anak perempuan. Kedudukan janda menurut adat bertitik tolak pada asas bahwa wanita sebagai orang asing sehingga tidak berhak mewaris, namun selaku isteri turut memiliki harta yang diperoleh selamanya karena ikatan perkawinan (harta bersama). Oleh sebab itulah, janda pada masyarakat patrilineal ada suatu ketentuan, yaitu apabila janda diintegrasikan ke dalam kerabat suaminya, ia dapat menetap di sana dan mendapat nafkahnya. Akan tetapi, apabila janda tersebut memisahkan diri dari kerabat suaminya, janda tidak akan pernah membawa benda milik suaminya, seakan-akan ia mewarisinya.
Kedudukan perempuan setara dengan laki-laki dalam melakukan perbuatan hukum (termasuk sebagai ahli waris) dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar, 1945 yang menetapkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Demikian pula ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor: 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menetapkan “setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar” yang menjadi dasar bagi perempuan untuk melakukan perbuatan hukum (dalam kasus ini mengajukan gugatan) adalah setara dengan laki-laki.
Kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki juga tertuang dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Konvensi tersebut menjadi pernyataan komitmen negara-negara di dunia menekankan kesetaraan dan keadilan antara wanita dan laki-laki (equality dan equity). CEDAW diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination Of All Forms Of Discrimanation Against Women) pada tanggal 24 Juli 1984. Ketentuan tersebut juga diadopsi dalam Konvensi perempuan yang memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip persamaan substantive, yaitu persamaan hak, kesempatan akses dan penikmatan manfaat.
2. Prinsip nondiskriminasi.
3. Prinsip kewajiban negara.
Soepomo yang dikutip oleh I Putu Andre Warsita, I Made Suwitra dan I Ketut Sukadana dalam Jurnal Analogi Hukum mengatakan Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterial goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya. Proses-proses itu tidak menjadi akut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya Bapak atau Ibu adalah suatu peristiwa yang penting dalam proses itu, akan tetapi tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda tersebut.
Keberadaan hukum adat (khususnya hukum waris adat) dalam masyarakat yang diakui konstitusi secara positif menambah khasanah hukum yang berlaku di Indonesia. Karena hukum waris adat tumbuh, berkembang dan meletak dalam masyarakat sehingga diharapkan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari sudut pandang hukum adat, hukum waris adat mencerminkan cara berpikir dan semangat tradisional Indonesia, atas budaya kolektif dan komunal. Masyarakat mementingkan dan mengutamakan keluarga, kebersamaan, kegotongroyongan, musyawarah dan mufakat dalam membagi harta warisan. Maka sudah selayaknya keberadaan hukum waris adat mengalami proses penyesuaian dan bersifat dinamis. Mengikuti perkembangan masyarakat serta mengedepankan rasa keadilan. Dalam kasus ini memperhatikan keadilan dengan memberikan kesetaraan hak bagi perempuan dalam hukum waris adat. Kesetaraan hak sebagai ahli waris. Kesetaraan hak mengajukan gugatan di pengadilan saat hak warisnya dilanggar.
Perkembangan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam hal waris khususnya menyangkut pemberlakuan hukum waris adat semakin mendapat perhatian dan diperjuangkan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa putusan pengadilan di Indonesia yang memberlakukan kaidah Atas dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, perempuan mempunyai hak atas warisan orang tuanya atau suaminya sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan untuk memperoleh warisan dan mendapatkan warisan dengan bagian (porsi) yang sama dengan laki-laki. Beberapa putusan tersebut antara lain:
1. Kedudukan Anak Perempuan terhadap Warisan Orangtuanya (Hukum Adat di Daerah Kabanjahe) Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 179 K/Sip/1961 berlaku kaidah hukum bahwa seorang anak perempuan harus dianggap sebagai akhli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang tuanya.
2. Putusan Mahkamah Agung dalam perkara sengketa kewarisan dalam hukum adat Batak Mandailing yang juga menganut paham patrilinialisme. Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 415 K/SIP/1970 tanggal 16 Juni 1971 dalam perkara Usman dkk melawan Marah Iman Nasution dkk menyatakan bahwa: Hukum Adat di daerah Tapanuli kini telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan danlaki-laki.
3. Perkara lain menyangkut kewarisan yang berlaku pada hukum adat yang secara tegas juga menganut paham patrilineal, yaitu Bali, dalam Putusan Nomor 4766 K/Pdt/1998 tanggal 16 November 1999, Mahkamah Agung kembali menggariskan kaidah hukum bahwa:
Perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris walaupun sistem pewarisan di Bali sendiri menganut sistem pewarisan mayorat laki-laki.
4. Penyetaraan hak waris perempuan kembalidiputuskan Mahkamah Agung pada tahun 147 K/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017.Dalam perkara ini Mahkamah Agung memutus perkara waris terkait adat Tionghoa.Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan:
Bahwa dalam rangka kesetaraan gender ,hak wanita dan pria adalah sama dalam hukum, maka adil dan patut harta benda sipeninggal waris harus dibagi sama oleh ahli waris tanpa membedakan pria danwanita terlebih lagi hukum adat Tionghoa yang tidak tertulis dan harusmenyesuaikan dengan perkembangan zaman;
Bahwa adalah tidak adil memposisikananak laki-laki tertua sebagai satu-satunya penerima warisan orang tuanyaterhadap harta benda tetap, sementara anak perempuan hanya mendapat perhiasan;
5. Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 19 Juni 2017 yaitu dalam putusan No. 573 K/Pdt/2017 terkait pembagian waris dalam adat Batak dan putusan No.1130 K/Pdt/2017 tanggal 10 Juli 2017 terkait pembagian waris dalam adat Manggarai Nusa Tenggara Timur.
Pandangan hukum yang berpihak pada kesetaraan dan keadilan gender sebagaimana termuat di dalam berbagai putusan di atas kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung melalui fungsi pengaturan atau legislasi dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum pada tanggal 4 Agustus 2017.
Konsistensi sikap Mahkamah Agung tentang persamaan hak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris adat menjadikan kaidah “Atas dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, perempuan mempunyai hak atas warisan orang tuanya atau suaminya sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan untuk memperoleh warisan dan mendapatkan warisan dengan bagian (porsi) yang sama dengan laki-laki” layak menjadi yurisprudensi dan diikuti oleh hakim-hakim lain dipengadilan dalam memutus perkara serupa. Keberadaan kaidah ini mengakomodir kesempatan yang sama bagi perempuan dalam memperjuangkan hak atas warisan orangtuanya atau suaminya. Karena sering perkembangan kedudukan dan peran perempuan tidak terbatas melakukan kegiatan domestic. Perempuan dewasa ini juga berperan sebagai tulang punggung keluarga, kepala keluarga, layaknya laki-laki.
Kesimpulan
Keberadaan hukum waris adat yang dipengaruhi oleh sistem kekerabatan patrilineal cenderung menempatkan perempuan dalam posisi yang lemah dan dirugikan. Hukum waris adat yang demikian perlu pembaruan dan lebih dinamis menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Keberadaan hukum waris adat yang diakui konstitusi tidak boleh menjadi alasan bagi hukum waris adat untuk bertentangan dengan HAM dan tidak memberikan keadilan khususnya bagi perempuan. Terobosan yang lahir melalui putusan-putusan hakim terkait hak perempuan dalam hukum waris adat merupakan langkah baik bagi terwujudnya hukum yang berkeadilan. Putusan-putusan tersebut yang diikuti secara konsisten melahirkan kaidah “Atas dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, perempuan mempunyai hak atas warisan orang tuanya atau suaminya sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan untuk memperoleh warisan dan mendapatkan warisan dengan bagian (porsi) yang sama dengan laki-laki” sebagai yurisprudensi.