Karakterisasi Yurisprudensi No : 2 Yur Arbt 2018 (56 PK PDT SUS 2011)
Putusan Banding Arbitrase yang diputus oleh Mahkamah Agung adalah final dan mengikat dan tidak dapat diajukan peninjauan kembali
Terhadap permohonan PK, hakim pada Mahmakah Agung menyatakan menolak permohonan peninjauan kembali Berikut adalah pertimbangan hakim Mahkamah Agung pada perkara No. 56_pk_pdt sus_2011, antara lain:
1. Bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung, dan menurut ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, putusan banding Mahkamah Agung tersebut adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir;
2. Bahwa oleh karena putusan banding Mahkamah Agung adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir, maka dengan demikian Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak mengenal upaya hukum luar biasa PK;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan, maka permohonan PK yang diajukan oleh para pemohon PK yaitu Pertamina EP dan kawan harus ditolak;
4. Bahwa oleh karena permohonan PK dari para pemohonon PK tersebut ditolak, maka para pemohon PK dihukum untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan PK.
Penyelesaian perkara perdata para prinsipnya dapat diselesaikan melalui pengadilan atau melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 1999. Terdapat peran dari pengadilan terhadap putusan arbitrase yaitu dalam hal pendaftaran putusan, pembatalan, maupun pelaksanaan eksekusi.
Penyelesaian melalui arbitrase dengan hasil yang bersifat win-win solution akan berjalan efektif apabila dilaksanakan secara itikad baik, namun demikian UU No 30 Tahun 1999 membuka peluang dengan memberikan landasan normatif untuk membatalkan putusan arbitrase ke pengadilan Pada Putusan Mahkamah Agung 56_pk_pdt sus_2011, berdasarkan catatan diikuti oleh 2 ( dua) putusan lain yang juga diajukan pada tingkat PK di Mahkamah Agung.
Berawal dari perkara PT. PERTAMINA EP sebagai pembanding dan pemohon PK serta PT. PERTAMINA (Persero), melawan PT. LIRIK PETROLLEUM, perkara diputus secara arbitrase untuk selanjutnya didaftarkan. Oleh karena mempermasalahkan kedudukan arbitase yang bersifat domestik atau internasional yang tentunya akan berpengaruh terhadap proses pendaftaran putusan ini ke pengadilan. Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diajukan banding ke Mahkamah Agung dan selanjutnya PK sebagai upaya hukum luar biasa.
Yurisprudensi ini berkaitan dengan hukum acara berupa kedudukan Mahkamah Agung sebagai lembaga banding yang memutus upaya hukum pada tingkat pertama dan terakhir, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (4) tersebut seharusnya tidak dimunginkan lagi adanya upaya hukum PK. Menurut anatator terdapat kekosongan hukum dalam UU No 30 Tahun 1999 sehingga dalam praktik ditemukan perkara-perkara yang mengajukan PK sebagai upaya pembatalan putusan arbitrase. Dalam memutus perkara ini hakim agung telah melakukan penemuan hukum berupa penafsiran gramatikal untuk memahami Pasal 72 ayat (4) tersebut. Dalam menjatuhkan putusan tidak ditemukan adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) diantara majelis hakim.
Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran dokumen, tidak terdapat karya ilmiah dalam bentuk artikel jurnal maupun literatur yang mengutip yurispridensi No 56_pk_pdt sus_2011. Berikut dipaparkan beberapa hal terkait dengan teori sebagai tinjauan Pustaka.
Salah satu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) yang ada di Indonesia adalah Arbitrase yang menurut Pasal 1 butir 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa), Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa yang timbul karena adanya hubungan konraktual secara ajudikasi selain dilakukan melalui mekanisme pengadilan (litigasi), juga melalui Arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat ajudikasi, tapi bukan merupakan proses pengadilan (litigasi) melainkan termasuk ke dalam proses non litigasi. Hal ini dikarenakan Arbitrase tidak termasuk sebagai Badan Peradilan (bukan pengadilan tapi lembaga penyelesaian sengketa),
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada asas-asas berikut ini: asas kesepakatan artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter, asas musyawarah yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri, asas limitatif artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dan asas final and binding yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas-asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Dikenal adanya arbitrase nasional dan internasional. Sepanjang perkara tersebut diselesaikan dalam wilayah Republik Indonesia maka dikategorikan sebagai arbitrase nasional (domestik). Terhadap putusan arbitrase nasional diatur bahwa putusan arbitrase dapat diajukan pembatalan ke Pengadilan Negeri (PN) bila memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999. Pasal 70 UU 30/1999 menyebutkan, “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa”. Pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang telah didaftarkan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal 71 UU No 30 Tahun 1999, menyatakan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera PN. Pasal 72 ayat (1), (2), dan (3) UU No 30 Tahun 1999, mengatur permohonan pembatalan putusan arbitrase yang harus diajukan kepada Ketua. Mengacu Pasal 72 ayat (4), terhadap pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung (MA). Putusan banding itu merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir.
Pembahasan
Penyelesaian perkara melalui arbitrase memiliki hukum acara tersendiri, dan putusan arbitrase merupakan putusan yang bersifat final and banding, artinya pada tingkat pertama dan terkahir. Namun demikian UU No 30 Tahun 1999 membatasi indepedensi dari forum arbitrase yaitu membuka peluang adanya pembatalan terhadap putusan arbitrase yang harus diajukan ke Pengadilan Negeri.
Pembatalan terhadap putusan arbitrase hanya dapat diajukan pada putusan yang telah didaftarkan, baik dari arbitrase yang bersifat domestik maupun internasional. UU No 30 Tahun menentukan bahwa untuk arbitrase internasional harus didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Entry point untuk menentukan kompetensi absolut dari arbitrase adalah didasarkan pada perjanjian arbitrase atau klasul arbitrase yang harus disepakati oleh para pihak. Oleh karena itu putusan arbitrase pada prinsipnya bersifat win-win solution. Namun demikian dalam praktik ditemukan beberapa perkara yang diajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase. Secara yuridis formil alasan pembatalan ditentukan dalam Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999, dan jika hakim mempertimbangkan untuk membatalkan putusan tersebut maka hasil kesepakatan dalam putusan arbitase dinyatakan batal demi hukum.
Sebagai pemeriksaan perkara perdata khusus, maka pada prinsipnya tidak ditempuhnya upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi, penyebutan banding ditujukan pada upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung yang menurut Pasal 72 ayat (4) disebut upaya hukum tingkat pertama dan terakhir. Jika memaknai maksud dari Pasal 72 ayat (4) maka tidak dimungkinkan adanya upaya hukum apapun selain kasasi, namun demikian dalam bagian penjelasan tidak ditemukan maksud dari pasal tersebut sehingga merupakan ketentuan yang kurang jelas.
Hakim Mahkamah Agung dalam perkara a-quo menyatakan permohonan PK tidak dapat diterima sehinggga tidak perlu mempertimbangkan lagi pokok perkara maupun bukti-bukti pendukung yang diajukan oleh pemohon. Hakim mendasarkan pertimbangannya berdasarkan Pasal 72 ayat (4) dengan melakukan penafsiran gramatikal (Bahasa) dan penemuan hukum yang mempersempit makna (restrikif). Tafsir terhadap Pasal 72 ayat (4) tidak lain bermakna yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999. Dengan kata lain, tidak ada upaya hukum lanjutan setelah banding, apalagi peninjauan kembali (PK). Begitu juga dengan putusan PN yang menolak pembatalan putusan arbitrase, maka terhadap putusan tersebut tidak tersedia upaya hukum banding maupun PK karena sudah cukup jelas banding hanya dapat diajukan terhadap pembatalan putusan arbitrase.
Berdasarkan dataa putusan pada perkara lain yng mengikuti yurisprudensi 56_pk_pdt sus_2011, tidak secara eksplisit mencantumkan no yurisprudensi namun mencantumkan isi dari yurisprudensi dalam pertimbangan hukumnya sebagai dasar memutus perkara pada tingkat PK berkaitan dengan pembataln putusan arbitrase.