Karakterisasi Yurisprudensi No : 353 K_AG_2005

  • Post : 2024-08-08 09:56:17
  • Download ()
Kaidah Yurisprudensi : 353 K_AG_2005
Akta Pembagian Warisan di luar sengketa (Akta P3HP) eks Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 harus mencantumkan seluruh ahli waris. Apabila tidak, maka akta tersebut dapat digugat.

Usulan Perbaikan Kaidah Yurisprudensi
Akta Pembagian Warisan di luar sengketa (Akta P3HP) eks Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 harus mencantumkan seluruh ahli waris. Apabila tidak, maka akta tersebut dapat digugat.

Pertimbangan Hukum
  • Bahwa berdasarkan fakta tersebut, maka Akta pembagian warisan Nomor 11 /PPPHP/2003/PAMdn adalah cacat hukum karena tidak mencantumkan semua ahli waris Setia Ganti Tua Manurung/S.G.T. Manurung (Pewaris).

Anotasi Oleh : Dewi Sukma Kristianti
Sebelum anotator menguraikan catatan mengenai putusan yang dibuat Majelis Hakim, terdapat usulan revisi dalam Kaidah yurisprudensi pada Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung Nomor 353 K/AG/2005 Tanggal 27 April 2006. Dalam kaidah yurisprudensi tertera “Akta Pembagian Warisan di luar sengketa (Akta P3HP) eks Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 harus mencantumkan seluruh ahli waris. Apabila tidak, maka akta tersebut dapat digugat.” Harus direvisi, menjadi: “Akta Pembagian Warisan di luar sengketa (Akta P3HP) eks Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 harus mencantumkan seluruh ahli waris. Apabila tidak, maka akta tersebut dapat digugat.” Revisi tersebut perlu dilakukan karena rumusan Pasal 107 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagai pasal yang menjadi bagian dari BAB VII KETENTUAN PENUTUP memiliki 2 (dua) ayat, meliputi: ayat (1) berisi pencabutan seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum adanya UU Nomor 7 Tahun 1989; dan ayat (2) berisi tentang “…permohonan masalah pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.” Maka Pasal 107 yang dimaksud dalam kaidah yurisprudensi yang dibuat Majelis Hakim dalam Putusan 353K/AG/2005 pastinya merujuk pada Pasal 107 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989.

Pertanyaan retoris seketika muncul saat membaca kaidah yurisprudensi dalam Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung Nomor 353 K/AG/2005 Tanggal 27 April 2006 Mengapa Majelis Hakim Mahkamah Agung mendasari putusan pada Pasal 107 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 untuk perkara antara Para Pemohon Kasasi/Termohon Kasasi yang merupakan anak-anak kandung Pewaris dari perkawinan dengan istri pertama, dengan Para Termohon Kasasi/Tergugat yang merupakan istri kedua dan anak-anak kandung Pewaris dari istri kedua?

Menurut anotator, Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 353K/AG/2005, menggunakan rumusan Pasal 107 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989, “….permohonan masalah pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama”, meliputi beberapa pertimbangan:

Pertama, sebagai dasar untuk membatalkan dan menyatakan putusan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Medan No. 19/Pdt.G/2005/PTA.Mdn tanggal 7 Maret 2005. PTA Medan telah salah menyatakan bahwa perkara permohonan penetapan pembagian waris bukanlah merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Pertimbangan Majelis Hakim PTA Medan dianggap semata didasarkan pada tafsiran secara otentik pada rumusan Pasal 49 huruf b UU No. 7 Tahun 1989, yang memang menyatakan bahwa perkara waris yang dimaksud menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah sebatas pada penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, dan penentuan bagian masing-masing ahli waris. Majelis Hakim PTA Medan seolah melupakan rumusan Pasal 107 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989. Memang pada dasarnya UU No. 7 Tahun 1989 tidak mengatur kewenangan untuk memberikan penetapan atas perkara permohonan penetapan ahli waris yang bersifat voluntair (permohonan tanpa lawan) (H.M. Anshary, 2013, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Dinamika Pemikiran Dari Fiqih Klasik Ke Fiqih Indonesia Modern, Mandar Maju). Justru Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan No.353K/AG/2005 memperluas tafsiran Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 dengan rumusan Pasal 107 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989, dengan mengatakan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa perkara permohonan penetapan ahli waris bagi yang beragama Islam, sekaligus tampaknya Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung No. 353K/AG/2005 ini secara tidak langsung ingin mengesampingkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 PK/AG/1991 tanggal 22 Januari 1990. Dalam Putusan No.1 PK/AG/1991 memang menegaskan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang menetapkan ahli waris yang diperiksa secara voluntair. Tafsiran Hakim Mahkamah Agung pada Putusan No. 353K/AG/2005 selaras dengan bagian Penjelasan Pasal 49 huruf b UU No.3 Tahun 2006 sebagai Perubahan UU No. 7 tahun 1989, menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris”. Kalimat terakhir yang ditebalkan dan bergaris bawah (dilakukan oleh anotator) menunjukkan bahwa perkara permohonan penetapan ahli waris bagi pencari keadilan yang beragama Islam adalah perkara voluntair telah diberikan dan menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.

Kedua, Majelis Hakim dalam Putusan No. 353K/AG/2005 melakukan penafsiran secara otentik di dalam HIR, UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU Mahkamah Agung, bahwa Mahkamah Agung sebagai tingkatan badan peradilan tertinggi berwenang memeriksa perkara pada judex juris. Judex Juris yaitu memeriksa putusan-putusan pada tingkatan peradilan di bawahnya terhadap hal-hal yang berkenaan dengan kesesuaian atau koherensi penerapan nprma hukum pada putusan-putusan yang telah dibuat (Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation). Atas dasar hukum itulah, maka telah tepat Mahkamah Agung membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan No. 19/Pdt.G/2005/PTA.Mdn tanggal 7 Maret 2005, sebab salah satu putusannya adalah “Menyatakan Pengadilan Agama Medan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.”, merupakan putusan yang dianggap oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak sesuai dengan rumusan Pasal 49 dan 107 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 jo. UU Nomor 50 Tahun 2009.

Ketiga, Meski memeriksa hukum formil memang menjadi kewenangan hakim Mahkamah Agung sebagaimana di atur dalam HIR dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, serta Undang-Undang Mahkamah Agung, namun sebenarnya apa yang menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 353K/AG/2005 tersebut menembus hingga ke hukum materiil mengenai pemeriksaan permohonan penetapan akta pembagian waris. Sebab tampak persoalan ini adalah bermula dari tidak lengkapnya atau tidak semua ahli waris dicantumkan namanya dalam akta pembagian waris. Penetapan akta pembagian waris merupakan suatu bentuk ketetapan yang dibuat hakim atau pejabat yang berwenang berdasarkan permohonan pembagian waris yang diajukan. Artinya pada saat permohonan pembagian waris tersebut diajukan tidak diawali dengan adanya sengketa antar ahli waris. Pembagian waris oleh Para Tergugat/Termohon Kasasi ke Pengadilan Agama Medan melalui Akta Pembagian Warisan No. 1 l/PPPHP/2003/PA.Mdn tanggal 16 Juni 2003 adalah bentuk pengajuan pembagian waris yang diajukan melalui permohonan, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR/142 RBG. Maka menurut Majelis Hakim Mahkamah Agung akta pembagian waris yang diajukan Hj. Sunarsih (Termohon Kasasi/Tergugat) yang kurang atau tidak mencantumkan 3 (tiga) orang anak kandung Pewaris dari perkawinan terdahulu (Para Pemohon Kasasi/Penggugat), dikarenakan ketidaktahuan Hj. Sunarsih (Termohon Kasasi/Tergugat) mengenai perkawinan tersebut. Oleh karenanya sudah tepat kaidah yurisprudensi Majelis Hakim Mahkamah Agung pada Putusan Nomor 353K/AG/2005 didasarkan pada Pasal 107 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989, sehingga yang seharusnya dilakukan oleh hakim pada pengadilan di tingkat bawah adalah memeriksa apakah Para Penggugat/Pemohon Kasasi merupakan ahli waris yang memiliki hubungan sebab mewaris menurut prinsip waris Islam atau tidak. Apabila memiliki hubungan mewaris berdasarkan prinsip tersebut, maka Para Penggugat dapat mengajukan pembatalan Akta Pembagian Warisan No. 1 l/PPPHP/2003/PA.Mdn. Begitupun sebaliknya, apabila Para Penggugat tidak dapat membuktikan memiliki hak mewaris sebagai ahli waris berdasarkan prinsip waris Islam, maka Para Penggugat tidak dapat mengajukan pembatalan Akta Pembagian Warisan No. 1 l/PPPHP/2003/PA.Mdn. Ditambahkan pula perlu diperhatikan, dalam kasus ini tidak termasuk sengketa waris karena permohonan pembagian waris berbeda dengan sengketa waris. Permohonan pembagian waris diajukan dalam hal tidak ada sengketa dan produk hukumnya adalah penetapan, sedangkan gugatan waris adalah terdapat sengketa terhadap obyek waris, yang disebabkan karena adanya ahli waris yang tidak mau membagi warisan sehingga terjadi konflik antara ahli waris, dan produk hukumnya adalah putusan (Abdul Ghofur Anshori, 2017, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Eksistensi dan Adaptabilitas, Gadjah Mada University Press).

Putusan Nomor 353K/AG/2005 ingin mendasarkan pada masalah penetapan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris berdasarkan prinsip hukum waris Islam, bukan pada status perkawinan poligami yang tidak diketahui oleh istri terdahulu atau tanpa izin istri sebelumnya. Di dalam prinsip kewarisan Islam, terdapat beberapa hal yang wajib diperhatikan dalam melakukan pembagian waris, yaitu, rukun dan syarat hukum waris. Rukun waris Islam adalah pokok-pokok dan ketentuan serta aturan yang berkaitan dengan maslaah pewarisan, yang apabila tidak dilaksanakan atau dipenuhi pokok-pokoknya maka tidak sempurna atau terbentuklah hukum warisnya. Pasal 171 huruf a Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dari rumusan tersebut terdapat 3 (tiga) penting yang menjadi unsur pewarisan, pewaris yang memiliki harta waris yang telah meninggal, ahli waris yang berhak menerima harta waris, dan harta waris yang dialihkan dari pewaris kepada ahli waris. Untuk dapat dikatakan sebagai ahli waris, maka menurut Pasal 171 huruf c KHI adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Kemudian lebih lanjut mengenai syarat menjadi ahli waris adalah apabila memenuhi Pasal 172 dan tidak terdapat halangan sebagaimana diatur dalam Pasal 173 KHI. Seorang ahli waris dapat menjadi ahli waris apabila orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Halangan seseorang menjadi ahli waris adalah apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; dan
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Terkait kasus pada Putusan 353K/AG/2005, Para Penggugat/Pemohon Kasasi, seharusnya selama pemeriksaan di tingkat pertama ataupun banding, seharusnya diperiksa keterangan berhak menjadi ahli waris karena memiliki hubungan darah, dengan menunjukkan Akta Kelahiran atau Kartu Keluarga yang menunjukkan bahwa Para Penggugat/Pemohon Kasasi adalah anak kandung atau memiliki hubungan darah/nasab dengan pewaris. Dalam Putusan Nomor 353K/AG/2005 ini, Majelis Hakim Mahkamah Agung ingin mengingatkan para Penggugat/Pemohon Kasasi, Tergugat/Termohon Kasasi dan Majelis Hakim di kedua tingkatan pengadilan, untuk melihat perkara dalam kasus ini adalah mengenai pengajuan sebagai ahli waris yang belum disebutkan dalam akta pembagian waris, sehingga mengakibatkan dapat dibatalkan akta yang dibuat oleh pihak Tergugat/Termohon Kasasi yang disebabkan tidak semua ahli waris yang berhak mewaris dimasukkan di dalam akta pembagian waris. Sehingga seluruh gugatan Para Penggugat adalah membuktikan benar atau tidaknya Akta Pembagian Waris yang telah dibuat dengan berdasarkan bukti-bukti autentik berupa Kutipan Akta Nikah, serta eksepsi yang diajukan ke Pengadilan Agama Medan hingga Pengadilan Tinggi Medan, majelis hakim di kedua tingkatan pengadilan “semata terpusat” perhatiannya hanya pada status perkawinan Pewaris dengan kedua istrinya, adalah keliru. Hal ini terlihat pada dasar hukum yang diajukan dalam gugatan Para Penggugat, adalah sebagai berikut:
a. Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam “…terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”;
b. Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”;
c. Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.”
Begitu pula dalam Eksepsi Para Tergugat yang menyatakan: “Bahwa petitum gugatan para Penggugat langsung memohon agar menyatakan batal Akta Pembagian Warisan No. ll/PPPHP/2003/PA.Mdn, tanggal 16 Juli 2003 yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Medan, tanpa terlebih dahulu memohon agar menyatakan batal Akta Nikah No. 115/IV/1987.”

Putusan Majelis Hakim Nomor 353K/AG/2005, ingin menitikberatkan pada persoalan penetapan ahli waris dalam Permohonan Penetapan Pembagian Waris, sehingga yang perlu diperiksa adalah masalah syarat-syarat menjadi ahli waris, bukan keabsahan perkawinannya, sekalipun dua hal tersebut saling berkaitan. Penting untuk diperhatikan dalam prinsip waris Islam adalah adanya asas ijbari dan asas membagi habis harta warisan. Ijbari adalah yang dimaksud dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory) terutama terlihat dari segi di mana ahli waris (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan bagian yang sudah dipastikan. Asas Ijbari ini dapat juga dilihat dari segi yang lain yaitu a. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia; b. Jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris; dan c. Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan (Drs. H.M. Anshary MK, SH, MH, 2013, Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta). Jadi begitu seseorang dinyatakan meninggal dunia secara hukum, maka pada saat itu juga hukum menganggap harta warisan pewaris beralih menjadi hak milik para ahli warisnya.

Pada prinsipnya dalam hukum waris Islam tidak ada satupun orang dapat menghalangi orang lain untuk menerima warisan. Namun dalam hukum waris Islam dikenal istilah hajib (penghalang), yaitu terhalangnya seseorang mendapatakan harta warisan karena suatu alasan, dan orang yang terhalang disebut mahjub. Adapun yang menjadi alasan-alasan seseorang tidak dapat menerima harta warisan pewaris, adalah karena alasan orang yang terhalang memiliki hubungan kekerabatan/nasab lebih jauh daripada ahli waris lainnya, misal saudara seibu akan terhalang oleh saudara kandung, ataupun karena penghalang sebagaimana diatur dalam Pasal 173 KHI: “a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.” Dengan demikian dari analisis terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam kaidah yurisprudensi Putusan Nomor 353 K/AG/2005 tersebut didapat beberapa kaidah yurisprudensi yang dapat dijadikan pegangan bagi perkara sejenis, yaitu:
1. Persoalan penetapan ahli waris melalui permohonan atau tanpa sengketa (voluntair) menjadi kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 sebagai Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dan Pasal 107 UU No.7 Tahun 1989.
2. Permohonan penetapan ahli waris tidak bercampur dengan pengajuan permohonan apapun meski memiliki keterkaitan.agar terpenuhi permohonan tanpa sengketa.
3. Sepanjang para ahli waris memiliki sebab mewaris sebagaimana diatur dalam Pasal 171 huruf c dan Pasal 172 KHI dan tidak terdapat penghalang sebagaimana diatur dalam Pasal 173 KHI, maka akta pembagian waris yang tidak mencantumkan seluruh ahli waris yang berhak mewaris dapat digugat.
Dasar pertimbangan kaidah yurisprudensi di atas telah digunakan pula secara sama dan sesuai dalam 2 (dua) putusan yang mengikuti, yaitu, Putusan No.18/Pdt.G/2020/PTA.Mtr. Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Putusan No. 684/Pdt.G/2021/PA.Pbr. Pengadilan Agama Pekanbaru. Hanya saja bedanya dalam Putusan PTA Mataram No. 18/Pdt.G/2020/PTA.Mtr memiliki sedikit perbedaan dengan perkara yang diajukan dalam Putusan 353K/AG/2005. Dalam Putusan No.18/Pdt.G/2020/PTA.Mtr Majelis Hakim PTA menilai Putusan Pengadilan Agama Praya tidak salah dalam membuat putusan dan menggunakan hukumnya, namun kesulitan melakukan eksekusi karena mencampur adukkan perkara. Dalam pertimbangan Majelis Hakim PTA Mataram secara tegas menyebutkan bahwa yurisprudensi No.353K/AG/2005 dimaknai bahwa dalam menetapkan ahli waris dan pembagiannya harus ditetapkan terlebih dahulu ahli waris dan bagiannya seluruh ahli waris dalam tingkatannya. Oleh karenanya PTA Mataram menyusun kembali pembagian harta warisan almarhum Ortajab alias Amaq Amsiah yang meninggal dunia setelah ditentukan seluruh ahli waris. Sama halnya dengan Putusan Pengadilan Agama Pekanbaru No. 684/Pdt.G/2021/PA.Pbr, Majelis Hakim tegas menyatakan bahwa Para Penggugat/Pelawan seharusnya mengajukan pembatalan akta pembagian waris tidak menumpuk dan mencampuradukkan permasalahan yang dimohonkan sehingga obyek pengajuan perkara menjadi kabur, yang menyebabkan perkara ditolak.









  Download Karakterisasi   File Putusan

Majelis Hakim

  • Drs. Andi Syamsu Alam, S.H.,M.H. -
  • Dr. Rifyal Ka’bah, M.A. -
  • H Hamdan, S.H., M.H. -

Ringkasan Putusan

  •    Tanggal : 2003-06-07  
  • Setia Ganti Tua Manurung/S.G.T Manurung (pria beragama Islam) meninggal dunia pada tanggal 7 Juni 2003 di Medan meninggalkan 2 (dua) orang istri dan 6 (enam) orang anak kandung dari kedua istrinya.
  •    Tanggal : 2003-06-16  
  • S.G.T. Manurung meninggal dunia saat bertempat di rumah bersama istri yang bernama Hj.Sunarsih (Termohon Kasasi/Tergugat). Selama ini Hj. Sunarsih (Termohon Kasasi/Tergugat) tidak pernah mengetahui kalau S.G.T Manurung (Pewaris) memiliki seorang istri (telah meninggal) dan 3 (tiga) orang anak kandung (Para Pemohon Kasasi/Penggugat) dari perkawinan terdahulu. Akibat tidak mengetahui status perkawinan terdahulu Pewaris, maka Hj. Sunarsih (Termohon Kasasi/Tergugat) membuat dan mengajukan penetapan ahli waris dari S.G.T. Manurung tanpa mencantumkan ketiga anak Pewaris lainnya (Para Pemohon Kasasi/Penggugat). Akta tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Medan dan dikeluarkan Akta Pembagian Warisan No. 1 l/PPPHP/2003/PA.Mdn tanggal 16 Juni 2003 yang menyatakan bahwa para Tergugat sebagai ahli waris dari S.G.T Manurung.
  •    Tanggal : 2003-09-16  
  • Pada Penggugat menunjukkan bahwa Kutipan Akta Nikah No.115/IV/1987 yang dikeluarkan KUA Kecamatan Sunggal dalam suratnya No. K211PW/01/106/2003 tanggal 16 September 2003 tidak dapat dibuktikan keabsahan perkawinan, karena nama mempelai bukanlah S.G.T. Manurung dan Hj. Sunarsih melainkan Budy Caroko bin Maryoto dengan Sridarmi binti Sukardi. Sehingga diduga Kutipan Akta Nikah inilah yang dilampirkan saat penetapan ahli waris di PA Medan.

Frasa Terkait Karakterisasi

Author Info