Karakterisasi Yurisprudensi No : 76 K/AG/1992
Hibah melebihi sepertiga harta peninggalan yang merugikan ahli waris lainnya.
Mahkamah Agung telah mengabulkan pemohon kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta , sehingga Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan menguatakan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur yang dianggapnya telah tepat dan benar tetapi masih memerlukan perbaikan mengenai amarnya.
Hukum waris Islam merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia sejak masa lalu, dan pelaksanaannya merupakan kewajiban bagi setiap muslim karena dalam hukum waris dikenal asas ijbari, yaitu hukum waris Islam secara otomatis berlaku atas peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Dalam arti lain pelaksanaan waris Islam melekat bagi setiap muslim dan pelaksanaannya merupakan suatu ibadah kepada Allah. Berkaitan dengan anotasi putusan Reg. No. 76 K.AG/1992 tentang hukum waris Islam khususnya permasalahan hibah melebihi sepertiga sebagaimana yang diatur pada ketentuan yang ada, apakah dapat ditarik kembali karena merugikan ahli waris lainnya belum memiliki kepastian hukum yang cukup bagi hakim dalam memutuskan perkara-perkara tersebut. Aturan terkait waris Islam khususnya terkait hibah diatur pada instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (selanjutnya disebut KHES).
Pasal-pasal terkait hibah dalam KHI hanya terbatas diantaranya Pasal 210 menyatakan bahwa:
1. Orang yang berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki;
2. Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Selain hal tersebut dalam PASAL 211 menyatakan "Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan" dan dalam Pasal 212 KHI menjelaskan " Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya."
Saat ini , selain dalam KHI permasalahan hibah diatur dalam KHES memberikan penjelasan tentang hibah yang cukup rinci pada Pasal 692-734 . Lebih khusus berkaitan dengan Pembatalan atau penarikan hibah secara khusus diatur pada Pasal 716-734 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2020 mencatat ada 154 beban perkara hibah yang ditangani Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, akumulasi perkara tahun 2019 yang belum diputus dan perkara masuk tahun berikutnya. Dilihat dari jumlah dan jenis perkara, hibah menempati posisi ke-10 dari 22 item perkara yang ditangani lingkungan Peradilan Agama. Pada tahun yang sama, Mahkamah Agung menangani 23 perkara hibah di tngkat kasasi. Kenyataan di masyarakat, cukup banyak permasalahan berkaitan dengan hibah yang diberikan orang tua kepada anak saat orang tua masih hidup atau pun hibah kepada kerabat yang bukan keluarga, hibah melebihi 1/3 dari harta pewaris tanpa persetujuan ahli waris lainnya, serta permasalahan terkait hibah lainnya. Banyaknya kasus terkait hubah dan pembatalannya, namun hukum tertulis yang ada masih terbatas, sehingga untuk mengatasi kekurangan hukum tertulis tersebut, perlu mensiasati agar hal tersebut tidak tampak ke permukaan sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat.
Peranan kekuasaan yudisial sangat dibutuhkan dalam hal mengurangi dampak-dampak buruk atas kekurangan dari Peraturan Perundang-Undangan. Hakim bukan sebaai corong dari peraturan perundang-undangan, namun hakim harus mampu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat, sehingga diharapkan apabila peraturan perundang-undangan tidak mampu memenuhi rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat maka peran hakim adalah mengembalikan rasa keadilan tersebut.
Menurut R. Soebekti, yurisprudensi memiliki pengertian sebagai putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang tetap. Yurisprudensi memounyai peranan yang besar dalam pembangunan hukum nasional. Berdasarkan hal tersebut, dalam ragka mendukung Pembangunan Sistem Hukum Nasional yang dicita-citakan dan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum, hakim mempunyai kewajiban untuk membentuk yurisprudensi terhadap masalah-masalah yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tidak lengkap atau tidak jelas, atau ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memberikan suatu pilihan dan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Yurisprudensi itu dimaksudkan sebagai pengembangan hukum itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Konkritnya, melalui yurisprudensi tugas hakim menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau telah ketinggalan zaman.
Berdasarkan hal tersebut perlunya kajian atas anotasi putusan Reg. No. 76 K/AG/1992, dengan obyek yang disengketakan yaitu tanah yang dihibahkan seluas 949 M hal mana melebihi dari sepertiganya luas tanah milik almarhum H. Saman (Pemberi hibah) yaitu dari 1.340 M persegi, sehingga luas obyek sengketa yang dihibahkan bertentangan dengan ketentuan hukum. Bahwa berdasarkan apa yang dipertimbangkan tersebut terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Mardjuki bin H. Saman tersebut, dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, sehingga mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan menguatkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur yang dianggapnya telah tepat dan benar yang menyatakan batalnya hibah yang telah diberikan orang tuanya kepada salah satu anaknya melebihi sepertiga dari harta peninggalannya.
Download Karakterisasi
File Putusan
Pasal-pasal terkait hibah dalam KHI hanya terbatas diantaranya Pasal 210 menyatakan bahwa:
1. Orang yang berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki;
2. Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Selain hal tersebut dalam PASAL 211 menyatakan "Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan" dan dalam Pasal 212 KHI menjelaskan " Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya."
Saat ini , selain dalam KHI permasalahan hibah diatur dalam KHES memberikan penjelasan tentang hibah yang cukup rinci pada Pasal 692-734 . Lebih khusus berkaitan dengan Pembatalan atau penarikan hibah secara khusus diatur pada Pasal 716-734 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2020 mencatat ada 154 beban perkara hibah yang ditangani Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, akumulasi perkara tahun 2019 yang belum diputus dan perkara masuk tahun berikutnya. Dilihat dari jumlah dan jenis perkara, hibah menempati posisi ke-10 dari 22 item perkara yang ditangani lingkungan Peradilan Agama. Pada tahun yang sama, Mahkamah Agung menangani 23 perkara hibah di tngkat kasasi. Kenyataan di masyarakat, cukup banyak permasalahan berkaitan dengan hibah yang diberikan orang tua kepada anak saat orang tua masih hidup atau pun hibah kepada kerabat yang bukan keluarga, hibah melebihi 1/3 dari harta pewaris tanpa persetujuan ahli waris lainnya, serta permasalahan terkait hibah lainnya. Banyaknya kasus terkait hubah dan pembatalannya, namun hukum tertulis yang ada masih terbatas, sehingga untuk mengatasi kekurangan hukum tertulis tersebut, perlu mensiasati agar hal tersebut tidak tampak ke permukaan sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat.
Peranan kekuasaan yudisial sangat dibutuhkan dalam hal mengurangi dampak-dampak buruk atas kekurangan dari Peraturan Perundang-Undangan. Hakim bukan sebaai corong dari peraturan perundang-undangan, namun hakim harus mampu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat, sehingga diharapkan apabila peraturan perundang-undangan tidak mampu memenuhi rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat maka peran hakim adalah mengembalikan rasa keadilan tersebut.
Menurut R. Soebekti, yurisprudensi memiliki pengertian sebagai putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang tetap. Yurisprudensi memounyai peranan yang besar dalam pembangunan hukum nasional. Berdasarkan hal tersebut, dalam ragka mendukung Pembangunan Sistem Hukum Nasional yang dicita-citakan dan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum, hakim mempunyai kewajiban untuk membentuk yurisprudensi terhadap masalah-masalah yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tidak lengkap atau tidak jelas, atau ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memberikan suatu pilihan dan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Yurisprudensi itu dimaksudkan sebagai pengembangan hukum itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Konkritnya, melalui yurisprudensi tugas hakim menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau telah ketinggalan zaman.
Berdasarkan hal tersebut perlunya kajian atas anotasi putusan Reg. No. 76 K/AG/1992, dengan obyek yang disengketakan yaitu tanah yang dihibahkan seluas 949 M hal mana melebihi dari sepertiganya luas tanah milik almarhum H. Saman (Pemberi hibah) yaitu dari 1.340 M persegi, sehingga luas obyek sengketa yang dihibahkan bertentangan dengan ketentuan hukum. Bahwa berdasarkan apa yang dipertimbangkan tersebut terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Mardjuki bin H. Saman tersebut, dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, sehingga mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan menguatkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur yang dianggapnya telah tepat dan benar yang menyatakan batalnya hibah yang telah diberikan orang tuanya kepada salah satu anaknya melebihi sepertiga dari harta peninggalannya.